• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tahapan dan Pola Pengembangan Kawasan 1. Tahapan Pengembangan Kawasan

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

E. Analisis overlay Domba

5.7. Tahapan dan Pola Pengembangan Kawasan 1. Tahapan Pengembangan Kawasan

Pengembangan kawasan dilakukan dengan memetakan areal yang ada menjadi kawasan non land base farming dan land base farming menjadi kawasan intensif dan industri. Tahapan pengembangan kawasan tertera pada Tabel 5.21.

Tabel 5.21. Tahapan pengembangan kawasan peternakan.

Tahap Tahun Kegiatan Catatan

I 2014 Penyusunan Masterplan Kawasan

II 2015-2017

Pengembangan model peternakan berbasis komoditas. Kriteria: efisien, produktivitas tinggi dan ramah lingkungan (green farming)

Dibahas dalam detil plan

III 2017-2018

Pelatihan, deseminasi, TTG dan implementasi untuk hasilkan yang terbaik.

Bagi semua kabupaten/ kota

IV

2020-2025 Replikasi dan pembinaan di se kab/ kota

Disesuaikan dengan komoditas prioritas

V 2025-2030

Terciptanya kawasan peternakan efisien, produktivitas tinggi dan ramah lingkungan

Industri peternakan modern

Pengembangan kawasan dilakukan secara bertahap misalnya dengan merubah pola pengembangan dari pendekatan kawasan secara ekstensif menuju kawasan industri, begitu seterusnya. Fase pengembangan kawasan peternakan NTB tertera pada Gambar 5.7.

Model tersebut dimantapkan dan kemudian direplikasikan ke kabupaten lain sehingga pemeliharaan ternak dapat diimplementasikan dalam skala besar, tenaga relatif sedikit dalam skala industri. Perbaikan managemen industri peternakan dilakukan dengan memberikan feed back pada perbaikan pengembangan industri peternakan. Dalam waktu 15 tahun diharapkan industri peternakan di kawasan sampel dapat terealisir.

PENYUSUNAN MASTERPLAN KAWASAN (2014) PILOT PROYEK DI KABUPATEN/ KOTA (Peternakan: efisien, produktif dan ramah lingkungan (2015) REPLIKASI DI KABUPATEN DAN KOTA DI NTB (2020) JUMLAH BESAR INDUSTRI (2030) PERBAIKAN MODEL MELALUI UMPAN BALIK (2020-2030)

Gambar 5.7. Bagan tahapan pengembangan kawasan ternak di NTB

Produktivitas ternak dapat diukur secara individual dan secara kelompok melalui strategi perbaikan mutu genetic dan/atau perbaikan mutu lingkungan. Idealnya, peningkatan produktivitas ternak dilakukan secara bersamaan antara perbaikan mutu genetik dan perbaikan mutu lingkungan.

Strategi perbaikan mutu genetik ternak tergantung pada kebijakan pemuliaan (breeding policy) dan tujuan pemuliaan. Arah kebijakan pemuliaan sapi Bali di NTB adalah menjadikan NTB sumber bibit dan sentra pengembangan sapi Bali potong. Cara yang dapat dilakukan adalah memasukkan pejantan unggul dari luar kelompok seperti dari UPT Serading. Rasio induk dibandingkan pejantan sekitar 25–30 ekor untuk seekor pejantan dengan lama penggunaan untuk pembiakan dua tahun. Hal itu dimaksudkan agar pejantan tidak sempat mengawini anak betinanya sehingga efek

inbreeding tidak terjadi. Selanjutnya pejantan ini dapat dipakai peternak lain untuk

memacek sapi betina yang tidak memiliki hubungan kekerabatan (di atas 6 generasi). Pengadaan pejantan menjadi tanggung jawab pemerintah. Kewajiban peternak adalah memelihara, merawat, dan menggunakan secara baik dan benar selama 2 (dua) tahun. Setelah dua tahun, pejantan itu ditarik untuk digulirkan ke peternak lain. Selanjutnya, setelah digunakan oleh 2 (dua) peternak, pejantan ditarik pemerintah untuk dijual dan membeli pejantan baru yang jauh hubungan kekerabatannya,

demikian seterusnya. Untuk menghindari inbreeding anak ternak jantan dari keturunan pejantan yang digulirkan digemukkan untuk dijadikan ternak potong.

Strategi pengembangan unggas lokal (ayam buras dan ternak itik) diarahkan pada terbentuknya usaha rakyat yang maju dan mandiri. Untuk tujuan tersebut pengusaha dan calon pengusaha harus mendapat pendampingan yang intensif disertai dengan pengadaan modal yang mudah dan murah.

Pengembangan ayam buras secara spesifik diarahkan pada pengembangan ayam kampung unggul hasil seleksi Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor, yaitu ayam KUB (Kampung Unggul Balitnak) serta ayam Arab. Kelebihan kedua jenis ayam ini adalah produksi telurnya mencapai 60% lebih dibandingkan ayam kampung. Tingginya produksi ini merupakan modal untuk melipat-gandakan populasi sehingga keterbatasan produksi daging ayam kampung dapat tertanggulangi.

Bibit ayam KUB bisa didatangkan dari Stasiun Riset di Ciawi Bogor atau dari BPTP Narmada yang sudah ditunjuk sebagai suplayer untuk NTB. Adapun bibit ayam Arab dan itik diambil dari peternak lokal yang ada di sentra peternakan ayam buras dan itik yang ada sekarang. Beberapa sentra ayam Arab di Jawa sudah menjalin hubungan dengan peternak NTB guna pengembangan perbibitan ternak ini di NTB.

Pengembangan kawasan dapat dilakukan dengan memetakan kawasan NTB menjadi kawasan ekstensif, semi intensif, intensif dan kawasan industri. Pengembangan kawasan dengan berbagai pola pemeliharaan tersebut bisa dilakukan secara bertahap misalnya dengan merubah pola pengembangan dari kawasan ekstensif menuju kawasan industri, begitu seterusnya.

5.7.2. Pengembangan Produktivitas Ternak

Produktivitas ternak dapat diukur secara individual dan secara kelompok melalui strategi perbaikan mutu genetik dan/atau perbaikan mutu lingkungan. Idealnya, peningkatan produktivitas ternak dilakukan secara bersamaan antara perbaikan mutu genetik ternak dengan perbaikan mutu lingkungan ternak.

Peningkatan produktivitas ternak secara individual dilakukan dengan meningkatkan kemampuan produksi per ekor ternak, sedangkan peningkatan

produktivitas secara kelompok dilakukan melalui peningkatan angka reproduksi (calf

crop) dan/atau peningkatan produktivitas individual sehingga dapat mewakili suatu

wilayah. Idealnya, peningkatan produktivitas kelompok dilakukan melalui perbaikan reproduksi dan peningkatan kemampuan individual ternak secara bersamaan.

5.7.3. Perbaikan Lingkungan Ternak

Faktor lingkungan sangat berperan dalam menentukan seberapa besar kemampuan berproduksi masing-masing ternak. Dari sekian banyak faktor lingkungan yang berperan, pakan menyumbang angka terbesar dalam biaya produksi. Oleh karena itu, perlu disusun suatu strategi agar kualitas dan kuantitas pakan tersedia secara kontinyu dengan harga yang terjangkau peternak.

Faktor lingkungan yakni kebijakan dan dukungan pemerintah juga berperan untuk meningkatkan produktivitas ternak. Dukungan pemerintah bersifat kontinyu dan sesuai dengan kondisi dan masalah yang dihadapi peternak, terutama bagi peternak yang ditetapkan sebagai wilayah perbaikan mutu genetik ternak. Kepemilikan ternak per kepala keluarga yang rendah/kecil dengan ketidak-mampuan peternak memelihara ternak sehingga kualitasnya terjaga, menyebabkan upaya perbaikan mutu genetik ternak tidak berjalan sesuai rencana.

5.7.4. Perbaikan Mutu Genetik

Strategi perbaikan mutu genetic ternak bergantung pada kebijakan pemuliaan (breeding policy) dan tujuan pemuliaan suatu rumpun ternak. Untuk sapi Bali di NTB, kebijakan pemuliaan yang ditetapkan adalah menjadikan NTB sebagai sumber sapi Bali bibit dengan tujuan untuk dikembangkanbiakan maupun untuk dipotong. Hal ini memberikan petunjuk bahwa tujuan pemuliaan sapi Bali di NTB adalah peningkatan bobot atau ADG. Dengan demikian maka strategi perbaikan mutu genetik diutamakan melalui seleksi yang diikuti pengaturan perkawinan antar-ternak sedemikian rupa agar tingkat silang menjadi seminimal mungkin.

Pejantan yang digulirkan di kelompok, perlu diuji performannya di UPT/BPT milik pemerintah untuk memastikan kualitas genetiknya. Jika tidak memungkinkan

uji performan dilakukan oleh kelompok peternak penggemukan yang disepakati di bawah kordinasi pemerintah atau perguruan tinggi. Selanjutnya, jika kelompok penggemukan belum/tidak terbentuk maka pengadaan pejantan berasal dari kelompok yang penggulirannya tetap dipantau pemerintah atau perguruan tinggi.

Pejantan terpilih baik untuk uji performan maupun yang akan digulirkan langsung harus memiliki prestasi terbaik yang diketahui melalui recording. Secara skematis Gambar 5.8 menunjukkan pola SUP (stasiun uji performance) yang dikelola pemerintah atau penggemukan dan Gambar 5.9 adalah pola penggunaan pejantan secara langsung.

Gambar 5.8. Skema perguliran Pejantan Hasil Uji Performan

Pada sistem pemeliharaan ekstensif perbaikan mutu genetik serupa dengan di wilayah intensif. Perbedaannya, pada pola ekstensif ternak lebih dominan tidak berada di kandang dan dipelihara oleh peternak secara individual namun dalam jumlah yang lebih banyak sehingga perguliran pejantan antar pemilik sulit dikontrol.

Oleh karena itu, cara yang dapat dilakukan adalah memasukkan sejumlah pejantan unggul dari luar kelompok seperti dari hasil seleksi pejantan di UPT Serading. Karena sistem ekstensif, maka rasio induk dibandingkan pejantan sekitar 25–30 ekor untuk seekor pejantan dengan lama penggunaan 2 (dua) tahun. Hal itu dimaksudkan agar pejantan tidak sempat mengawini anak betinanya sehingga efek silang (inbreeding) dapat dihindari. Selanjutnya, pejantan ini dapat digunakan pada peternak lain yang ternak betinanya baik yang dara maupun induk yang sudah jauh (di atas 6 generasi) tidak ada hubungan kekeluargaanya.

Pengadaan pejantan menjadi tanggung jawab pemerintah. Urusan peternak adalah memelihara, merawat, dan menggunakan secara baik dan benar selama 2 (dua) tahun. Setelah dua tahun, pejantan tersebut ditarik pemerintah untuk digulirkan ke peternak berikut. Selanjutnya, setelah digunakan oleh 2 (dua) peternak, pejantan ditarik untuk dijual guna membeli pejantan baru yang hubungan kekerabatannya jauh. Demikian seterusnya. Untuk menghindari inbreeding anak ternak jantan dari keturunan pejantan yang digulirkan, digemukkan untuk dijadikan ternak potong.

5.7.5. Pengembangan Unggas

Strategi pengembangan unggas dibagi menjadi dua bagian yaitu pengembangan unggas lokal dan pengembangan ayam ras (ayam pedaging dan petelur). Unggas lokal adalah ayam buras dan ternak itik. Strategi pengembangan unggas lokal (ayam buras dan ternak itik) diarahkan pada terbentuknya usaha rakyat yang maju dan mandiri. Untuk tujuan itu pengusaha dan calon pengusaha harus mendapat pendampingan intensif disertai dengan pengadaan modal yang mudah dan murah.

Pendampingan teknis dapat dilakukan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB, Disnak Keswan kabupaten/kota, perguruan tinggi serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Sedangkan pendampingan permodalan dilakukan Dinas

Koperasi, Usaha kecil dan Menengah dan lembaga keuangan mikro.

Pengembangan ayam buras diarahkan pada ayam kampung unggul hasil seleksi oleh Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor, yaitu ayam KUB (Kampung Unggul Balitnak) serta ayam Arab. Kelebihan kedua jenis ayam ini adalah produksi telurnya dapat mencapai 60% lebih dibandingkan ayam kampung. Tingginya produksi ini merupakan modal untuk melipat-gandakan populasi, sehingga keterbatasan produksi daging asal ayam kampung dapat tertanggulangi.

Bibit ayam KUB bisa didatangkan dari Stasiun Riset di Ciawi Bogor atau dari BPTP Narmada yang sudah ditunjuk sebagai suplayer untuk NTB. Sedangkan bibit ayam arab dan itik diambil dari peternak lokal yang ada di sentra peternakan ayam buras dan itik yang ada sekarang. Beberapa sentra ayam arab di Jawa sudah menjalin hubungan dengan peternak NTB guna pengembangan perbibitan ternak ini di NTB.

Pada pengembangan unggas lokal (ayam buras dan ternak itik) peternak diarahkan membentuk kelompok. Setiap kelompok usaha ayam kampung dan ayam arab agar mendapat pembinaan intensif kalau perlu hingga daerah tersebut berkembang menjadi Kampung Unggas yang maju dan mandiri. Pada tahap selanjutnya dikembangkan kelompok usaha ternak itik, di mana peternak berperan sebagai penghasil telur tetas, penghasil bibit (penetasan), pembuat telur asin (prosessing), penjual daging itik, telur konsumsi dan telur asin, serta penyedia sarana produksi. Bentuk pembinaan sama dengan pada kelompok usaha ayam buras yang mengarah pada terbentuknya kampung unggas berbasis itik.

Komoditi ayam ras (ayam pedaging dan petelur) umumnya sudah relatif mapan sehingga pengembangannya diserahkan pada dunia usaha.

Dokumen terkait