• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Dampak Kebakaran Hutan

2.4.2. Taksonomi Penilaian Ekonomi Total

Beberapa peneliti menggunakan total economic value (TEV) untuk menilai perubahan ketersediaan jasa lingkungan atau ekologi, dengan cara mengukur surplus total perunit area (kurva permintaan dan penawaran terhadap jasa lingkungan diperhitungkan). Menurut Opschoor (1998) relevansi penggunaan penilaian ekonomi (economic valuation) hanya benar apabila terpenuhi kondisi berikut: (1) jika individu diasumsikan dapat menduga dampak perubahan lingkungan terhadap kesejahteraan mereka, (2) jika dampak tidak langsung dari perubahan ini dapat dihitung, dan (3) jika penilaian ekonomi dilakukan kepada semua subyek (termasuk pelaku potensial).

Secara konseptual, penilaian ekonomi total suatu sumberdaya terdiri dari: (a) nilai guna (use value), dan nilai bukan guna (non-use value). Tercakup dalam nilai guna ini yaitu: nilai guna langsung (direct use value -DUV), nilai guna tidak langsung (indirect use value -IUV), dan nilai pilihan (option value -OV). Sedang yang tercakup nilai bukan guna yaitu nilai warisan (bequest value -BV) dan nilai eksistensi (existence value-EV) (Garrod and Kenneth, 1999). Contoh nilai guna dan bukan guna dari suatu sumberdaya (sumberdaya hutan) dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan konsep nilai ekonomi diatas, secara matematis

Munasinghe (1993) membuat formula sebagai berikut: TEV = UV + NUV

atau TEV = (DUV + IUV + OV) + (BV + EV).

Deskripsi nilai guna langsung dari suatu sumberdaya dinilai atas dasar kontribusi produksi dan konsumsi dari sumberdaya. Nilai guna tidak langsung mencakup manfaat yang diperoleh dari keberadaan sumberdaya alam dan lingkungan untuk mendukung produksi dan konsumsi saat ini. Nilai pilihan didasarkan pada kesediaan konsumen untuk membayar (willingness to pay) untuk sumberdaya alam yang belum digunakan atau kesediaan membayar untuk menghindari resiko tidak tersedia dimasa mendatang. Nilai warisan adalah nilai dari pengetahuan mengenai ketersediaan manfaat historis dari suatu sumberdaya dan dapat diteruskan kepada generasi yang akan datang. Nilai eksistensi didasarkan kepuasan karena mengetahui sumberdaya tetap tersedia, meskipun penilai tidak menggunakannya secara intensif.

Disagregasi dari nilai total ekonomi suatu sumberdaya alam dan lingkungan dengan memasukan semua unsur nilai yang terkandung di dalamnya, secara skematis dapat dilihat pada Gambar 2, dengan mengambil contoh penilaian ekonomi total dari sumberdaya hutan hujan tropik yang dikemukakan oleh Pearce (1992) dalam Munasinghe (1993).

Pearce dan Turner (1990) juga mendefinisikan nilai ekonomi total menurut kegunaannya, yaitu use value dan non use value (existence value dan

bequest value). Menurut McNeely (1992) mengemukakan penilaian ekonomi

sumberdaya hayati ada 2 yaitu: nilai langsung (nilai pemakaian konsumtif, nilai pemakaian produktif) dan nilai tidak langsung (nilai pemakaian non-konsumtif, nilai pilihan dan nilai keberadaan).

Nilai guna langsung adalah kenikmatan atau kepuasan yang diterima langsung oleh konsumen yang mengkonsumsi sumberdaya hayati. Nilai guna yang sifatnya konsumtif diberikan pada produk-produk alam yang dikonsumsi langsung. Nilai penggunaan konsumtif dapat diberi harga pasar melalui berbagai mekanisme penilaian harga pasar jika produk dijual di pasar. Nilai penggunaan produktif dapat diperoleh langsung dari kurva permintaan dari sumberdaya alam.

Nilai Guna Nilai Bukan Guna Nilai Guna Langsung Nilai Guna Tidak Langsung Output yang dapat dikonsumsi langsung Manfaat – Manfaat Fungsional Nilai Guna Langsung dan Tidak Langsung Masa datang Nilai bukan guna untuk diwariskan kepada generasi mendatang - Makanan - Biomas - Rekreasi - Kesehatan - Fungsi ekologi - Pengendali banjir - Biodiversity - Habitat - Habitat - Perubahan irreversible

Nilai Nilai Nilai

Pilihan Warisan Keberadaan

- Habitat - Spesies Langka Nilai dari pengetahuan terhadap keberadaan

Nilai Ekonomi Total

Menurunnya Keterukuran (tangibility) Penilaian Individu

Gambar 2. Kategori Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Hutan (Pearce, 1992

dalam Munasinghe, 1993)

Nilai penggunaan produktif diberikan pada produk-produk yang dipanen secara komersial, baik sumberdaya kayu maupun non kayu (termasuk flora dan fauna). Menurut Hufschmidt et al. (1983), produk yang mempunyai nilai guna dapat ditaksir dengan metode pendekatan harga pasar atau produktivitas, pendekatan biaya ganti, dan pendekatan survei. Menurut Duerr (1960), pendekatan nilai pasar pada sumberdaya hutan ada dua yaitu pendekatan langsung dan pendekatan tidak langsung (pendekatan kapitalisasi, pendekatan biaya, dan pendekatan konversi).

Pendekatan nilai sumberdaya hutan yang tidak langsung menurut McNeely (1992) berkaitan dengan fungsi-fungsi ekosistem, yang mencakup penilaian kegunaan tidak konsumtif, nilai pilihan dan nilai keberadaan. Freeman (1994)

membagi tiga manfaat sumberdaya hutan yang tidak dikonsumsi dengan istilah yang hampir sama yaitu nilai eksistensi, nilai intrinsik dan nilai preservasi. Dalam tataran ini Attfield (1998) menyatakan bahwa nilai eksistensi biasa didefinisikan sebagai nilai yang tidak timbul dari penggunaan, dimana nilai eksistensi mungkin termasuk nilai intrinsik, tetapi tidak dapat dikatakan sama. Nilai keberadaan spesies atau eksistensi merupakan bagian dari nilai intrinsik, tidak hanya saat ini tetapi juga untuk kehidupan spesies akan datang.

Menurut Hufschmidt et al. (1983) dan Munasinghe (1993), pendekatan nilai pasar atau produktivitas merupakan teknik analisis biaya manfaat dengan menggunakan harga pasar. Pendekatan penghasilan yang hilang memakai harga pasar atau tingkat upah untuk menilai sumbangan potensial seseorang. Pendekatan harga pasar pengganti didasarkan pada harga substitusi untuk menilai barang dan jasa lingkungan tidak ada harganya.

Contingent valuation (CV) adalah suatu survei dengan teknik dasar

penentuan nilai barang dan jasa yang tidak dipasarkan seperti kenyamanan lingkungan. Bentuk pendugaan didasarkan kepada besarnya perilaku konsumsi untuk barang dan jasa yang tidak dipasarkan ke dalam nilai moneter. Menurut Carson (1998) tahapan penggunaan contingent valuation dalam hutan hujan, harus memperhatikan tiga kategori utama yaitu: (1) definisi komoditas, (2) luas pasar, dan (3) mekanisme pembayaran dan provisi.

Teknik survei untuk menentukan nilai pilihan masyarakat dengan cara menilai kesediaan membayar seseorang untuk menerima pampasan bila lingkungan berubah. Sedang pendekatan teknik biaya ganti menurut Freeman (1994) dapat dilakukan secara langsung melalui observasi pengeluaran aktual untuk memperbaiki kerusakan lingkungan. Teknik ini berguna untuk menduga nilai fungsi hutan sebagai pengendali banjir dan nilai tanaman obat-obatan tradisional.

Nilai pilihan merupakan sarana untuk menentukan nilai yang terdapat dalam sumberdaya alam dan lingkungan melalui pencegahan resiko ketidakpastian, menanggulangi nilai di masa depan, serta biaya kesempatan yang tidak mungkin kembali guna melestarikan lingkungan alami dan bahan genetik.

Nilai keberadaan yaitu nilai yang diberikan seseorang terhadap keberadaaan suatu spesies atau habitat, dimana orang tersebut tidak berniat akan mengunjungi atau menggunakan sumberdaya tersebut, dimensi etik, karenanya sangat penting dalam menentukan nilai keberadaan yang mencerminkan simpati, rasa tanggungjawab, dan kepedulian terhadap sumberdaya alam dan lingkungan.

Pembahasan mengenai nilai keberadaan oleh Attfield (1998) juga dinyatakan bahwa nilai eksistensi merupakan definisi baru yang sangat sensitif dari aspek etika lingkungan (environmental ethics), serta ada 2 metode untuk mengukur nilai eksistensi yaitu : (1) willingness to accept (WTA) untuk menerima kompensasi akibat kerusakan lingkungan, (2) willingness to pay (WTP) agar tidak terjadi kerusakan lingkungan.

Perhitungan nilai total dari suatu sumberdaya dan lingkungan, dapat pula didekati dengan cara pengukuran kesediaan membayar (willingness to pay / WTP) individu, agar sumberdaya tetap terpelihara dan tersedia. Menurut Huang Ju-Chin dan Smith (1998), model WTP dominan dalam menduga nilai non use (nilai pasif) dan mempunyai tingkat kesalahan (error) lebih rendah apabila digunakan untuk pendugaan nilai yang berguna (use value).

Salah satu metode untuk menilai WTP adalah dengan contingent

valuation method (CVM). Contingent valuation method (CVM) menyediakan

informasi tentang manfaat yang tidak digunakan secara langsung, seperti nilai diketahuinya keberadaan spesies di suatu tempat (existence value), nilai pilihan

(option value) untuk mengkonsumsi di masa datang dan nilai warisan bagi

generasi akan datang (bequest value) (Spash, 1997).

Menurut Randal (1987) contingent valuation method sebagai usaha untuk menentukan suatu jumlah kompensasi, dibayar atau diterima, yang dapat memulihkan atau mengembalikan kepuasan seseorang pada tingkat kepuasaan awal. Sedang menurut Eagle dan Betters (1998) teknik ini digunakan untuk menduga nilai ekonomi melalui pertanyaan kepada seseorang atau masyarakat, apakah mereka: (1) bersedia membayar barang dan jasa, atau (2) kesediaan menerima untuk menghindari turunnya atau hilangnya suatu barang atau jasa.

Menurut Freeman (1994), tiga hal penting dalam penggunaan CVM yaitu: gambaran hipotetikal responden terhadap barang dan jasa lingkungan,

kemampuan responden untuk menentukan nilai barang dan jasa lingkungan serta

opportunity cost, dan pengujian validitas WTP responden dengan karakteristik sosial ekonomi dan demografi. Pengujian validitas CVM dengan mencermati isi, kriteria dan struktur dari pertanyaan untuk menilai WTP responden.

Dalam hubungannya dengan gambaran hipotetikal responden, Loomis et al. (1996) menyimpulkan bahwa ada perbedaan antara kesediaan membayar secara hipotetis dan aktual, tetapi perbedaan tersebut relatif kecil, dimana

willingness to pay secara hipotetis lebih besar dua kali dari willingness to pay

aktual. Sehingga menurut Champ (1997) bahwa dalam membangun model statistik willingness to pay (WTP), penting untuk diprediksi apakah responden “inconsistent” atau tidak dalam memberikan penilaian tentang willingness to pay

secara hipotetis dan aktual.

Namun demikian, metode ini juga mempunyai beberapa kelemahan, sebagaimana dijelaskan oleh Tietenberg (1992) yaitu bias strategi, bias titik awal, bias informasi, dan bias hipotetis. Selain keempat bias diatas, Freeman (1994) mengembangkan lagi dengan beberapa kelemahan yaitu: bias terhadap pewawancara dan responden, bias aggregat, bias kemampuan mengingat responden, dan bias sarana pembayaran.