• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggapan Responden Mengenai Persepsi Kepemimpinan (Variabel X) Tabel 4.12 Hasil Jawaban Responden Pada Pernyataan No. 9

HASIL PENELITIAN 4.1 Deskripsi Objek Penelitian

4.3 Deskripsi Hasil Penelitian

4.3.2 Tanggapan Responden Mengenai Persepsi Kepemimpinan (Variabel X) Tabel 4.12 Hasil Jawaban Responden Pada Pernyataan No. 9

Diagram 4.12

Berdasarkan tabel dan diagram diatas maka dapat dilihat bahwa pada pernyataan Y1 tentang “Saya mengetahui siapa saja calon kepala daerah yang diusung oleh parpol.” dari 100 responden yang menjawab setuju sebanyak 30

Y1

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Sangat Tidak Setuju 2 2.0 2.0 2.0

Tidak Setuju 8 8.0 8.0 10.0

Setuju 30 30.0 30.0 40.0

Sangat Setuju 60 60.0 60.0 100.0

orang (30%), sangat setuju sebanyak 60 orang (60%), tidak setuju sebanyak 8 orang (8%), dan sangat tidak setuju sebanyak 2 orang (2%).

Dari hasil jawaban responden tersebut, mayoritas responden menjawab sangat setuju dan menyetujui bahwa mereka mengetahui siapa saja calon kepala daerah yang diusung oleh parpol dalam Pilgub Banten 2017 dengan jawaban responden sebanyak 60 orang (60%). Pada calon nomor urut 1 yakni Pasangan Calon WH-Andika, sedangkan Nomor Urut 2 pasangan calon Rano-Embay.

Tabel 4.13 Hasil Jawaban Responden Pada Pernyataan No. 10

Y2

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Sangat Tidak Setuju 2 2.0 2.0 2.0

Tidak Setuju 18 18.0 18.0 20.0

Setuju 45 45.0 45.0 65.0

Sangat Setuju 35 35.0 35.0 100.0

Diagram 4.13

Berdasarkan tabel dan diagram diatas maka dapat dilihat bahwa pada pernyataan Y2 tentang “Saya mengetahui bahwa calon kepala daerah yang diusung diputuskan berdasarkan keputusan pimpinan pusat partai politik” dari

100 responden yang menjawab setuju sebanyak 45 orang (45%), sangat setuju sebanyak 35 orang (35%), tidak setuju sebanyak 18 orang (18%), dan sangat tidak setuju sebanyak 2 orang (2%).

Dari hasil jawaban responden tersebut, mayoritas responden menjawab sangat setuju dan menyetujui bahwa Saya mengetahui bahwa calon kepala daerah yang diusung diputuskan berdasarkan keputusan pimpinan pusat partai politik dengan jawaban responden sebanyak 45 orang (45%). Adanya seleksi calon kepala daerah melalui parpol yang tidak lagi demokratis mengakibatkan adanya penentuan berdasarkan keputusan pimpinan pusat partai politik.

Tabel 4.14 Hasil Jawaban Responden Pada Pernyataan No.11

Y3

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Sangat Tidak Setuju 9 9.0 9.0 9.0

Tidak Setuju 29 29.0 29.0 38.0

Setuju 40 40.0 40.0 78.0

Sangat Setuju 22 22.0 22.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

Diagram 4.14

Berdasarkan tabel dan diagram diatas maka dapat dilihat bahwa pada pernyataan Y3 tentang “Saya mengetahui proses seleksi calon kepala daerah yang dilakukan oleh partai politik lebih didominasi oleh calon yang memiliki kekuasaan” dari 100 responden yang menjawab setuju sebanyak 40 orang (40%),

sangat setuju sebanyak 22 orang (22%), tidak setuju sebanyak 29 orang (29%), dan sangat tidak setuju sebanyak 9 orang (9%).

Bermula dari urgensi keberadaan partai politik, maka kekuasaan dan kepemimpinan adalah unsur yang tidak bisa terpisah dari partai politik. Kekuasaan dibangun untuk mengelola pemerintahan, dan pemerintahan membutuhkan kepemimpinan yang kuat. Partai politiklah yang memiliki tugas besar untuk mempersiapkan calon pemimpin yang diharapkan mampu mengatur jalannya pemerintahan yang baik dalam konteks pemerintahan lokal maupun nasional.

Namun bentuk kekuasaan ini tidak semestinya terjadi dalam proses seleksi calon kepala daerah oleh parpol. Partai politik dibelenggu oleh hukum besinya oligarki dan fokus pada upaya memperoleh, mempertahankan dan menggunakan kekuasaan untuk kepentingan politiknya. Doktrin Benjamin Disraeli seperti

dikutip Whitman (2003:80) menyatakan “Real politics are the possession and distribution of power“ tampaknya sangat relevan dengan kondisi kepartaian di Indonesia. Partai politik berebut untuk menggeggam kekuatan dan distribusi kekuasaan dijadikan salah satu sarana bargaining politik.

Ketika proses seleksi yang dilakukan oleh partai politik didominasi oleh calon yang memiliki kekuasaan, maka aspek kualifikasi kemampuan termarjinalkan.

Sehingga upaya pencarian pemimpin yang memiliki visi dan kapasitas memimpin pemerintahan melalui partai politik belum dapat terealisasi.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dari 100 resonden, yang menjawab setuju sebanyak 40 orang (40%). Hasil jawaban menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat menyatakan setuju bahwa saya mengetahui proses seleksi calon kepala daerah yang dilakukan oleh partai politik lebih didominasi oleh calon yang memiliki kekuasaan.

Tabel 4.15 Hasil Jawaban Responden Pada Pernyataan No.12

Y4

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Sangat Tidak Setuju 4 4.0 4.0 4.0

Tidak Setuju 26 26.0 26.0 30.0

Setuju 35 35.0 35.0 65.0

Sangat Setuju 35 35.0 35.0 100.0

Diagram 4.15

Berdasarkan tabel dan diagram diatas maka dapat dilihat bahwa pada pernyataan Y4 tentang “Saya mengetahui proses seleksi calon kepala daerah ditentukan oleh kemampuan modal si calon” dari 100 responden yang menjawab setuju sebanyak 35 orang (35%), sangat setuju sebanyak 35 orang (35%), tidak setuju sebanyak 26 orang (26%), dan sangat tidak setuju sebanyak 4 orang (4%) . Mekanisme seleksi yang tidak terbuka menjadikan fungsi partai politik dalam kaderisasi tidak sejalan dengan demokrasi. Hal ini menyebabkan timbulnya penyimpangan di tubuh partai politik dalam kaderisasi. Beberapa faktor pendorong penyimpangan itu secara bervariasi yaitu imbas liberalisasi sistem pemilu, efek kegagalan partai dalam mengikat konstituen, implikasi rapuhnya sistem kaderisasi dan perekrutan di internal partai, akibat kuatnya oligarki di organisasi partai, serta dampak dari menguatnya pragmatisme politik.

Sehingga yang terjadi adalah penjaringan dilakukan dengan mengedepankan faktor kemampuan finansial dan popularitas calon kepala daerah. Hal ini berdampak pada kepemimpinan yang belum membawa kearah kemajuan yang signifikan bagi kesejahteraan rakyat.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dari 100 resonden, yang menjawab sangat setuju sebanyak 35 orang (35%) dan setuju sebanyak 35 orang (35%). Hasil jawaban menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat menyatakan sangat setuju bahwa saya mengetahui proses seleksi calon kepala daerah ditentukan oleh kemampuan modal si calon.

Tabel 4.16 Hasil Jawaban Responden Pada Pernyataan No.13

Y5

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Sangat Tidak Setuju 3 3.0 3.0 3.0

Tidak Setuju 14 14.0 14.0 17.0

Setuju 46 46.0 46.0 63.0

Sangat Setuju 37 37.0 37.0 100.0

Diagram 4.16

Berdasarkan tabel dan diagram diatas maka dapat dilihat bahwa pada pernyataan Y5 tentang “Saya mengetahui bahwa karena modal menjadi faktor utama dalam pencalonan maka kaderisasi tidak berjalan dan calon yang diusung biasanya dari elit politik tertentu” dari 100 responden yang menjawab setuju sebanyak 46 orang (46%), sangat setuju sebanyak 37 orang (37%), tidak setuju sebanyak 14 orang (14%), dan sangat tidak setuju sebanyak 3 orang (3%).

Dari hasil jawaban 100 responden tersebut sebanyak 46 orang (46%), mayoritas responden menjawab setuju dan menyetujui bahwa mereka mengetahui karena modal menjadi faktor utama dalam pencalonan maka kaderisasi tidak berjalan dan calon yang diusung biasanya dari elit politik tertentu.

Kurang maksimalnya kaderisasi partai politik untuk melahirkan calon kepala daerah yang baik, membuat praktik dinasti politik masih terjadi. Partai politik

menjadi ”corong” bagi sekelompok orang yang mencoba mengadu

keberuntungan di partai melalui pemilu, tanpa disertai penyaringan yang benar –

benar selektif. Strategi instan yang digunakan adalah melirik figur terkenal dari kalangan keluarga petahana (incumbent) kepala daerah (elite partai) atau kalangan artis, yang diyakini dapat menjadi modal utuk meraup suara.

Rapuhnya sistem kaderisasi dan pola perekrutan di internal partai, terutama mekanisme seleksi calon kepala daerah, juga menyebabkan partai terperangkap pada kebutuhan finansial dan popularitas kandidat dimana pembiayaan parpol didominasi oleh para elit dan pemilik modal.Sehingga yang terjadi adalah kepala daerah berasal dari dinasti politik yang cenderung memikirkan kekuasaan ketimbang kualitas pelayanan publik.

Tabel 4.17 Hasil Jawaban Responden Pada Pernyataan No.14

Y6

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Sangat Tidak Setuju 6 6.0 6.0 6.0

Tidak Setuju 25 25.0 25.0 31.0

Sangat Setuju 24 24.0 24.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

Diagram 4.17

Berdasarkan tabel dan diagram diatas maka dapat dilihat bahwa pada pernyataan Y6 tentang “Proses seleksi calon lebih kearah pada upaya

mendapatkan kekuasaan” dari 100 responden yang menjawab setuju sebanyak 45 orang (45%), sangat setuju sebanyak 24 orang (24%), tidak setuju sebanyak 25 orang (25%), dan sangat tidak setuju sebanyak 6 orang (6%).

Proses seleksi yang hanya formalitas dan tidak benar-benar menjaring calon dengan kualifikasi akan menghasilkan pemimpin yang hanya bernafsu pada upaya mendapatkan kekuasaan.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dari 100 resonden, yang menjawab sangat setuju sebanyak 45 orang (45%). Hasil jawaban menunjukkan

bahwa mayoritas masyarakat menyatakan sangat setuju bahwa proses seleksi calon lebih kearah pada upaya mendapatkan kekuasaan.

Diagram 4.18

Tabel 4.18 Hasil Jawaban Responden Pada Pernyataan No.15

Y7

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Sangat Tidak Setuju 3 3.0 3.0 3.0

Tidak Setuju 11 11.0 11.0 14.0

Setuju 53 53.0 53.0 67.0

Sangat Setuju 33 33.0 33.0 100.0

Berdasarkan tabel dan diagram diatas maka dapat dilihat bahwa pada pernyataan Y7 tentang “Kampanye politik pada pilkada belum memberikan informasi yang layak untuk bekal memilih.” dari 100 responden yang menjawab setuju sebanyak 53 orang (53%), sangat setuju sebanyak 33 orang (33%), tidak setuju sebanyak 11 orang (11%), dan sangat tidak setuju sebanyak 3 orang (3%).

Kampanye merupakan suatu usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh para calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagai sarana komunikasi pengenalan diri serta sebagai sarana untuk mendapat dukungan suara dari rakyat sebelum diadakannya pemilu. Kampanye juga dilakukan dengan tujuan untuk memaparkan visi, misi dan rencana setiap calon wakil rakyat apabila terpilih menjadi pemimpin Negara.

Kadangkala, kampanye dilakukan dengan cara menyindir, bahkan menyerang langsung dengan memopulerkan jargon yang menjatuhkan konsep diri lawan politik sehingga tidak fokus untuk menyampaikan misi visinya dengan baik.. Cara-cara ini terasa kurang sesuai bila dijadikan strategi kampanye yang dilakukan banyak calon kepala daerah.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dari 100 resonden, yang menjawab sangat setuju sebanyak 53 orang (53%). Hasil jawaban menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat menyatakan sangat setuju bahwa kampanye politik pada pilkada belum memberikan informasi yang layak untuk bekal memilih.

Tabel 4.19 Hasil Jawaban Responden Pada Pernyataan No. 16

Y8

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Sangat Tidak Setuju 2 2.0 2.0 2.0

Tidak Setuju 18 18.0 18.0 20.0

Setuju 56 56.0 56.0 76.0

Sangat Setuju 24 24.0 24.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

Diagram 4.19

Berdasarkan tabel dan diagram diatas maka dapat dilihat bahwa pada pernyataan Y8 tentang “Pasangan calon yang diusung oleh partai koalisi maupun perseorangan atau non kualisi belum memiliki pertanggung jawaban terhadap keterbukaan informasi publik” dari 100 responden yang menjawab setuju

sebanyak 56 orang (56%), sangat setuju sebanyak 24 orang (24%), tidak setuju sebanyak 18 orang (18%), dan sangat tidak setuju sebanyak 2 orang (2%)..

Sebagai mesin produksi pemimpin politik, partai politik menjalankan perannya dalam penjaringan calon kepala daerah. Proses penjaringan yang baik akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang baik pula.

Seperti yang diketahui oleh publik selama ini, khususnya dalam penentuan pasangan calon kepala daerah yang akan diusung oleh partai politik belum punya mekanisme yang terbuka dan demokratis. Tidak ada proses seleksi terbuka bagi kader ataupun nonkader untuk "bersaing" agar diusung oleh partai politik dalam suatu pemilihan kepala daerah. Kalaupun ada proses yang demikian, tetapi prosesnya tidak ada argumentasi atau alasan yang jelas mengapa seseorang diusung menjadi calon kepala daerah oleh parpol.

Dengan demikian akhirnya publik menangkap bahwa orang yang diusung partai politik menjadi calon kepala daerah adalah mereka yang punya modal berlimpah serta dekat dengan elite dan petinggi partai.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dari 100 resonden, yang menjawab sangat setuju sebanyak 53 orang (53%). Hasil jawaban menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat menyatakan sangat setuju bahwa pasangan calon yang diusung oleh partai koalisi maupun perseorangan atau non koalisi belum memiliki pertanggung jawaban terhadap keterbukaan informasi publik.

Tabel 4.20 Hasil Jawaban Responden Pada Pernyataan Y9

Y9

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Sangat Tidak Setuju 8 8.0 8.0 8.0

Tidak Setuju 24 24.0 24.0 32.0

Setuju 40 40.0 40.0 72.0

Sangat Setuju 28 28.0 28.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

Diagram 4.20

Berdasarkan tabel dan diagram diatas maka dapat dilihat bahwa pada pernyataan Y9 tentang “Pengusungan calon oleh partai politik biasanya

berdampak kepada orientasi pembagian proyek atau sumber daya politik yang bernilai ekonomis akibat adanya pengusungan” dari 100 responden yang menjawab setuju sebanyak 40 orang (40%), sangat setuju sebanyak 28 orang (28%), tidak setuju sebanyak 24 orang (24%), dan sangat tidak setuju sebanyak 8 orang (8%)

Pro dan kontra dukungan kepada elit politik lokal merupakan bagian dari rangkaian sistem demokrasi langsung pada setiap segmen politik. Dunia politik membutuhkan asupan dana untuk menggulirkan dan memperkuat fondasi strategi politik demi memperoleh kekuasaan. Keinginan kuat seorang calon untuk mendapatkan kekuasaan lewat pengusungan parpol dalam pilkada menyebabkan para calon membentuk gradasi hubungan dengan kelompok-kelompok tertentu.

Dalam diferensiasi politik, kelompok kepentingan tampil sebagai salah satu pelaku politik yang sangat penting. Kehadiran kelompok-kelompok tersebut biasanya dari kalangan pengusaha. Transparansi ini menampilkan bentuk hubungan mereka ditujukan pada korporasi dan pertukaran kepentingan demi untuk mendapatkan keuntungan dan ganjaran dari kontribusi yang diberikan pengusaha kepada elit politik pada proses pemilukada.

Kekuasaan elit politik dan relasinya dengan pengusaha menciptakan konsensus politik yang menjadi magnet hubungan pertukaran kepentingan seperti distribusi posisi kekuasaan, penanganan proyek serta kebijakan yang

menguntungkan pengusaha. Realitasnya bahwa bantuan operasional politik, untuk

“melunasi biaya politik” yang harus ditanggung penguasa, kepada kelompok pengusaha yang telah melimpahkan dukungan dalam memenangkan suksesi politik. 82

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dari 100 resonden, yang menjawab sangat setuju sebanyak 40 orang (40%). Hasil jawaban menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat menyatakan setuju bahwa pengusungan calon oleh partai politik biasanya berdampak kepada orientasi pembagian proyek atau sumber daya politik yang bernilai ekonomis akibat adanya pengusungan.

Tabel 4.21 Hasil Jawaban Responden Pada Pernyataan No. 18

Y10

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Sangat Tidak Setuju 1 1.0 1.0 1.0

Tidak Setuju 14 14.0 14.0 15.0 Setuju 48 48.0 48.0 63.0 Sangat Setuju 37 37.0 37.0 100.0 Total 100 100.0 100.0 82 https://www.bing.com/search?q=Pengusungan+calon+oleh+partai+politik+biasanya+berdampak+kep ada+orientasi+pembagian+proyek+atau+sumber+daya+politik+yang+bernilai+ekonomis+akibat+adan ya+pengusungan&pc=MOZD&form=MOZSBR

Diagram 4.21

Berdasarkan tabel dan diagram diatas maka dapat dilihat bahwa pada pernyataan Y10 tentang “Pencitraan dalam pengusungan calon berbeda dengan kenyataan” dari 100 responden yang menjawab setuju sebanyak 48 orang (48%), sangat setuju sebanyak 37 orang (37%), tidak setuju sebanyak 14 orang (14%), dan sangat tidak setuju sebanyak 1 orang (1%).

Para calon kepala daerah yang diusung parpol melakukan pencitraan dalam upaya mendapatkan simpati dan dukungan masyarakat. Perilaku pencitraan para calon kepala daerah menunjukkan sebagai seorang yang berbicara lembut, aksen sangat teratur. Perilaku pencitraan bisa jadi sampai pada pengubahan potongan rambut, gaya berbusana, menggunakan perlengkapan pakaian tertentu dan berjuang keras menurunkan nada dan tempo suara. Hal ini belum tentu dapat mempengaruhi oponi pemilih, karena penictraan tentu juga harus diiringi dengan

reputasi yang baik kalau tidak maka yang muncul hanyalah partai atau kandidat yang populer namun tidak electability.

Akhir-akhir ini kita tampaknya sering dihadapkan oleh sebuah ambigu untuk menempatkan sosok pemimpin yang dinilai memiliki cukup kompetensi. Kompetensi yang dimaksud bisa saja berasal dari imagenya yang baik dalam masyarakat, kinerjanya yang tidak setengah-setengah untuk kemakmuran rakyat atau memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap apa yang telah diamanatkan oleh rakyat..83

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dari 100 resonden, yang menjawab sangat setuju sebanyak 48 orang (48%). Hasil jawaban menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat menyatakan setuju bahwa pencitraan dalam pengusungan calon berbeda dengan kenyataan.

Tabel 4.22 Hasil Jawaban Responden Pada Pernyataan No. 19

Y11

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Tidak Setuju 11 11.0 11.0 11.0 Setuju 61 61.0 61.0 72.0 Sangat Setuju 28 28.0 28.0 100.0 83 http://www.kompasiana.com/syahirulalimuzer/antara-politik-kepartaian-dan-politik-pencitraan_5715e2f37793739a0a566b06

Total 100 100.0 100.0

Diagram 4.22

Berdasarkan tabel dan diagram diatas maka dapat dilihat bahwa pada pernyataan Y11 tentang “Seleksi calon kepala daerah belum memperlihatkan persoalan-persoalan strategis tetapi hanya pada elektabilitas dan ketenaran” dari

100 responden yang menjawab setuju sebanyak 61 orang (61%), sangat setuju sebanyak 28 orang (28%), dan tidak setuju sebanyak 11 orang (11%). Dengan nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa mayoritas masyarakat pemilih di Banten setuju dengan pernyataan tersebut.

Rekruitmen dan kaderisasi melalui parpol sangat penting karena menyangkut kualitas para calon pimpinan politik. Dalam tahap ini parpol yg paling bertanggung jawab untuk menyeleksi calon terbaik dengan kualifikasi, kompetensi dan track record yang terbaik untuk diserahkan kepada masyarakat untuk dipilih. Namun parpol sering kali mengabaikan faktor kualifikasi,

kompetensi dan track record seseorang. Partai politik dinilai lebih mengutamakan popularitas, elektabilitas.

Jabatan-jabatan publik diisi oleh orang-orang yang tidak punya kapabilitas dan orang pragmatis yang mengedepankan keuntungan pribadi bukan rakyat sehingga mengesampingkan persoalan dalam bidang pendidikan, pembangunan, penataan dan perdoalan-persoalan strategis lainnya.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dari 100 resonden, yang menjawab sangat setuju sebanyak 61 orang (61%). Hasil jawaban menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat menyatakan setuju bahwa seleksi calon kepala daerah belum memperlihatkan persoalan-persoalan strategis tetapi hanya pada elektabilitas dan ketenaran.

Tabel 4.23 Hasil Jawaban Responden Pada Pernyataan No.20

Y12

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Sangat Tidak Setuju 2 2.0 2.0 2.0

Tidak Setuju 15 15.0 15.0 17.0

Setuju 37 37.0 37.0 54.0

Sangat Tidak Setuju 46 46.0 46.0 100.0

Diagram 4.23

Berdasarkan tabel dan diagram diatas maka dapat dilihat bahwa pada pernyataan Y12 tentang “Proses seleksi yang ditentukan berdasarkan kemampuan besarnya modal oleh calon menyebabkan adanya potensi praktek-praktek korupsi” dari 100 responden yang menjawab sangat setuju sebanyak 46 orang (46%), setuju sebanyak 37 orang (37%), tidak setuju sebanyak 15 orang (15%), dan sangat tidak setuju sebanyak 2 orang (2%).

Proses seleksi oleh parpol yang bersifat pragmatis dan oligarkis mengakibatkan parpol mengesampingkan kualifikasi calon berdasarkan kompetensi kepemimpinan para elit politik. Parpol lebih mengutamakan popularitas serta kemampuan modal si calon. Hal ini memunculkan persaingan dari para elit politik untuk berlomba-lomba memiliki modal besar demi memperoleh kekuasaan untuk sebuah jabatan politik.

Para petinggi partai cenderung memasang tarif tinggi dalam pencalonan kepala daerah, karena setoran dari calon kepala daerah sekaligus menjadi sumber pemasukan bagi elite dan organisasi partai. Calon kepala daerah yang mengeluarkan biaya tinggi juga sudah hampir pasti berpikir bahwa biaya politik yang dikeluarkannya harus kembali. Di titik inilah, korupsi keuangan daerah akan menjadi jalan pintas untuk mengembalikan kapital yang telah dikeluarkan para kepala daerah.

4.4 Analisis Data

4.4.1 Analisis Deskriptif Data

Setelah mendeskripsikan masing- masing pernyataan pada setiap variabel X dan Y, maka penulis akan mengukur berapa besar presentase masing- masing variabel sebagai berikut :

1. Analisis deskriptif variable X (Profil calon kepala daerah) :

%

=74,625%

Perhitungan di atas menunjukkan bahwa presentase variabel X (Profil calon kepala daerah) sebesar 74,625% dan dikategorikan baik.

77,33%

Perhitungan di atas menunjukkan bahwa presentase variabel Y (Persepsi Kepemimpinan) sebesar 72% dan dikategorikan baik.

4.4.2Uji Normalitas Data

Analisis One-Sample Kolgomorov Smirnov membandingkan fungsi distribusi kumulatif pengamatan suatu variabel dengan distribusi tertentu secara teoritis. Kriteria penentuan uji normalitas data menurut Wahyu Agung antara lain sebagai berikut:

a. Jika sign pada kolom Asymp Sig (2-tailed) < 0,05 maka data tidak berdistribusi normal.

b. Jika sign pada kolom Asymp Sig (2-tailed) > 0,05 maka data berdistribusi normal.

Adapun hasil pengujian data distribusi normal pada variabel Profil Calon Kepala Daerah (X) dengan variabel Persepsi Kepemimpinan (Y) dapat dilihat pada tabel Kolgomorov-Smirnov dibawah ini:

Tabel 4.24

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Pengaruh Profil Calon Kepala Daerah Persepsi Kepemimpinan N 100 100

Normal Parametersa,b

Mean 23.8900 37.1600

Std. Deviation 3.68698 5.33470

Most Extreme Differences

Absolute .068 .083

Positive .065 .067

Negative -.068 -.083

Kolmogorov-Smirnov Z .675 .828

Asymp. Sig. (2-tailed) .752 .500

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.

Berdasarkan hasil uji normalitas data terlihat bahwa nilai sign pada tabel diatas pada kolom Asymp. Sig (2-tailed) untuk variabel X (Profil Calon Kepala Daerah) sebesar 0,752, dan Variabel Y (Persepsi Kepemimpinan) sebesar 0,500. Keduaanya melebihi angka 0,05 sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa data sampel pada variabel X dan Y berdistribusi normal dan dihitung menggunakan statistic parametrik.