• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANTANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI-SAWIT DALAM ASPEK TEKNIS, EKONOMI DAN SOSIAL BUDAYA DI PROVINSI RIAU

KELAPA SAWIT DI PROVINSI RIAU T ANTAN R W IRADARYA

TANTANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI-SAWIT DALAM ASPEK TEKNIS, EKONOMI DAN SOSIAL BUDAYA DI PROVINSI RIAU

Tantangan Sistem Integrasi dalam Aspek Teknis

Sebagai rangkuman dari uraian sebelumnya dikemukakan bahwa diperkirakan setiap hari di Provinsi Riau dihasilkan rata-rata sekitar 12.450 ton pelepah, 6.303 ton lumpur sawit, 4.931 ton tandan buah kosong, 3.859 ton serat perasan, 1.916 ton daun, dan 750 ton bungkil kelapa sawit. Produk

serat perasan dan bungkil kelapa sawit terkonsentrasi pada 132 Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang umumnya terletak dekat atau di tepi sarana transportasi darat atau sungai yang cukup prima. Sejauh ini hasil samping dan limbah ini belum dimanfaatkan sebagai pakan sapi oleh para peternak sapi di Provinsi Riau.

Pendinginan dan pematangan limbah cair memerlukan waktu sekitar 10 – 15 hari. Bagi PKS hal ini kurang menguntungkan bila harga CPO tidak berbeda dengan harga minyak sawit. Inti buah kelapa sawit diproses menjadi minyak putih dan bungkil inti sawit (BIS). Pada bungkil inti sawit (BIS) masih banyak faktor anti nutrisi sehingga perlu dieliminir sebelum layak pakan. Proses ini belum dapat dilakukan di dalam negeri. Selama ini inti buah kelapa sawit diekspor untuk diproses lebih lanjut. Turbin dan Boiler merupakan jantung dari PKS. Pengoperasiannya memerlukan bahan bakar cukup banyak. Untuk mengurangi biaya bahan bakar ini maka tandan dan sabut ampas (sekitar 70 – 75% dari TBS) serta batok/tempurung inti (Kernel) oleh PKS dimanfaatkan sebagai bahan bakar.

Belum dimanfaatkannya hasil samping dan limbah pengolahan kelapa sawit sebagai pakan sapi dikarenakan pakan sapi masih dapat dipenuhi dari rumput/hijauan makanan ternak alam yang tumbuh di sekitar peternakan sapi rakyat tersebut. Terlebih lagi rumput atau hijauan makanan ternak ini dapat langsung dikonsumsi oleh ternak sapi tanpa harus diolah terlebih dahulu. Namun tingkat produksi rumput sela lahan kelapa sawit semakin menurun dengan meningkatnya umur pohon kelapa sawit. Hal ini dikarenakan semakin meningkatnya naungan (kanopi) pohon kelapa sawit. Akibatnya semakin lemah daya dukung rumput sela ini.

Semakin meningkatnya umur pohon kelapa sawit, semakin meningkat pula produksi hasil samping dan limbah pengolahan kelapa sawit. Dengan demikian semakin meningkat pula sumber prospek pakan sapi dari perkebunan kelapa sawit. Akan tetapi, untuk layak pakan, hasil samping dan limbah pengolahan kelapa sawit ini, perlu terlebih dahulu ditingkatkan palatabilitas dan nilai biologisnya serta dieliminir faktor anti-nutrisinya melalui perlakuan fisik, kimiawi ataupun biologis. Untuk mendapat perlakuan tersebut, sudah tentu hasil samping dan limbah kelapa sawit ini harus dikumpulkan dan/atau diangkut ke tempat perlakuan.

Swasembada daging sapi di Provinsi Riau tercapai bila tingkat pasokan sapi potong sebanyak 39.275 ST per tahun. Untuk ketahanan pasokan ternak sapi potong sebanyak itu, maka diperlukan populasi stok tetua sapi produktif (sebagai “mesin” penghasil sapi potongan tersebut) sekitar 14.000 ST yang setara dengan 1.050 ton bahan kering tercerna per hari (dengan asumsi nutrisi ransum sepadan dengan kebutuhan biologis ternak sapi).

Untuk skala peternakan sapi sebesar tersebut, sudah tentu dukungan hasil samping dan limbah pengolahan kelapa sawit sangat dibutuhkan. Maka perlu dicari teknik pengumpulan hasil samping dan limbah pengolahan sawit yang efektif dan efisien agar produk-produk tersebut sampai di lokasi perlakuan fisik, kimiawi atau biologis pada kuantitas dan kualitas yang prima. Berikutnya perlu dikaji teknik perlakuan fisik, kimiawi dan/atau biologis dan teknik distribusi produk perlakuan tersebut yang sepadan dengan skala usaha dan sebaran unit produksi integrasi sapi-sawit.

Tantangan Sistem Integrasi dalam Aspek Ekonomi

Keberadaan limbah pengolahan kelapa sawit yang berlimpah di PKS- PKS di Provinsi Riau juga diketahui oleh negara tetangga yang memiliki tingkat populasi ternak sapi tinggi seperti Australia, China, India dan beberapa negara di Eropa. Daya beli mereka jauh lebih tinggi dari daya beli petani pekebun kita. Selain itu, biaya dan teknik bongkar-muat ke kapal lebih efektif dan efisien dari biaya redistribusi produk ini ke masyarakat petani-pekebun di Riau. Hal-hal ini ditambah dengan keberadaan PKS-PKS ini di dekat sarana transportasi sungai atau darat yang prima, maka terbuka peluang mengalirnya limbah pengolahan kelapa sawit ke luar negeri.

Sistem usaha kelapa sawit sudah terbangun dengan mantap di Provinsi Riau ini dan telah menjamin tingkat pendapatan pekebun dari agribisnis kelapa sawit yang tinggi. Namun di lapangan menunjukkan bahwa selisih perbedaan harga minyak sawit dan harga CPO tidak stabil. Terkadang cukup besar, terkadang sangat tipis. Hal ini mengakibatkan pengusaha perkebunan kelapa sawit sangat berhati-hati dalam melakukan ekspansi usahanya, terlebih expansi ke bidang usaha non kelapa sawit.

Potensi Kapasitas Tampung sapi perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau terprediksi minimal setara dengan 115.583 ST sapi siap potong per tahun (atau 9.632 ST per bulan, atau 321 ST per hari). Untuk swasembada daging di Provinsi Riau diperlukan 39.275 ST sapi siap potong per tahun. Dengan demikian diperkirakan surplus potensi Kapasitas Tampung sapi perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau minimal sekitar 76.308 ST sapi siap pasar per tahun, bilamana integrasi sapi-sawit diimplementasikan sepadan dengan potensi produksi perkebunan kelapa sawit Provinsi Riau saat ini. Ini sudah merupakan skala pemasaran yang besar. Oleh karena itu, perlu disiapkan sarana-prasarana, infrastruktur, dan kapabilitas SDM untuk pemasaran sapi sebesar skala ini.

Tantangan Sistem Integrasi dalam Aspek Sosial Budaya

Budaya budidaya sapi di Riau menunjukkan adanya 3 cara pemeliharaan sapi, yaitu dilepas, digembalakan, dan diaritkan. Cara dilepas adalah cara dimana sapi dilepas merumput tanpa diikuti oleh peternak. Ternak melakukan Self Rotational Grazing mengikuti pola Regrowth dari rumput/hijauan di tempat ternak tersebut merumput. Dengan demikian terbangun pola perjalanan ternak yang khas sehingga memudahkan para peternak dalam mengecek ternaknya. Contoh dari cara ini adalah di desa Tanjung Pauh-Singingi Hilir-Kabupaten Kuantan Singingi. Pada cara ini, ternak bebas merumput di tempat ternak tersebut dilepas dan tidak ada kontrol peternak terhadap kegiatan merumput ternak. Ternak bebas melakukan seleksi tempat merumput dan jenis rumput atau hijauan yang akan dikonsumsinya.

Cara digembalakan adalah cara dimana sapi dilepas merumput sambil diawasi oleh peternak atau dengan ditambatkan pada tonggak penambat sehingga kebebasan sapi terkendali oleh pengembala atau oleh tambang penambat. Pada cara ini, ternak merumput hanya pada area gembala atau area jangkauan tambang penambat. Dengan demikian, ternak masih dapat melakukan seleksi jenis rumput atau hijauan namun sebatas pada area yang “diizinkan” oleh peternak atau sebatas jangkauan tambang penambat.

Cara diaritkan adalah sapi dikandangkan dan rumput atau hijauan disediakan dan disajikan oleh peternak. Pada cara ini, ternak hanya dapat menyeleksi jenis rumput atau hijauan yang diberikan oleh peternak dan sama sekali tidak dapat menyeleksi tempat merumput.

Dalam budaya Riau, ketiga cara ini diimplementasikan sesuai dengan dinamika kegiatan pertanian. Dulu, produksi tanaman padi hanya satu kali per tahun, oleh karena itu dalam kehidupan petani Riau hanya dikenal dua periode yaitu periode bercocok tanaman padi (penyemaian sampai panen) dan periode antara panen dan penyemaian. Pada periode bercocok tanaman padi, cara beternak sapi yang dilakukan adalah cara digembalakan dan/atau diaritkan. Pada periode antara panen dan penyemaian, maka ketiga cara beternak tersebut dapat dilakukan. Akan tetapi mayoritas peternak melakukan cara dilepas. Oleh karena itu periode ini disebut periode “Malopeh” (melepas).

Budaya tersebut juga memiliki norma hukumnya. Bila pada masa bercocok tanam terdapat perusakan tanaman oleh ternak, maka akan diperiksa hal-ihwalnya sebelum sanksi dijatuhkan. Sanksi diberikan sesuai pertimbangan berat tidaknya hal-ihwal perusakan tersebut. Sanksi perusakan tanaman oleh ternak yang lepas tambat lebih ringan daripada oleh ternak yang dilepas. Untuk meminimalkan terjadinya perusakan

tanaman oleh ternak, masyarakat sepakat memproklamirkan suatu area lahan sebagai “Padang Penggembalaan Bersama”. Di Padang Penggembalaan ini tidak dibenarkan adanya kegiatan bercocok tanam tanaman yang dapat dirusak oleh ternak.

Budaya bertani masyarakat Riau ini memberi peluang kepada peternak untuk memilih cara beternaknya yang dianggapnya paling sepadan dengan kondisi lingkungan dan kemampuan dirinya. Namun, akhir-akhir ini terjadi pola tanam padi, alih fungsi dari padang penggembalaan dan perluasan perkebunan sawit yang berkembang pesat. Area lahan rumput atau padang penggembalaan menyusut, sehingga pada kondisi ekstrim, para peternak hanya dihadapkan pada satu pilihan cara beternak, yaitu cara diaritkan. Akibatnya, setiap hari (tanpa hari libur), peternak harus menyediakan sebagian waktu dan tenaganya untuk mengarit rumput. Kondisi monoton ini, dan dengan imbalan yang tidak sepadan, menurunkan etos beternak para peternak. Pada sebagian masyarakat peternak, cara diaritkan menimbulkan suatu paham negatif, yaitu bahwa yang mengaritkan rumput bagi ternak itu harkatnya lebih rendah daripada ternaknya.

PENUTUP

Bahasan di atas menunjukkan bahwa bila integrasi sapi-sawit ini didasarkan atas kesepadanan skala usaha antara usaha perkebunan kelapa sawit dengan usaha peternakan sapi, maka skala usaha sapi integrasi ini diprediksi dapat mencapai skala 1.295 000 ST dengan skala pasar 115.583 ST per tahun (minimal 13,4 kali dari kekuatan populasi sapi Provinsi Riau saat ini).

Implementasi sapi-sawit ini seyogyanya dilaksanakan terlebih dahulu pada perkebunan kelapa sawit rakyat dan disesuaikan dengan pola perkebunan setempat, seperti pola swadaya, pola UPP (Unit Pelayanan Pengembangan), pola PIR (baik PIR-BUN mapun PIR-Kemitraan) dan/atau pola PPB-HGU.

DAFTAR PUSTAKA

ABDULRAHMAN, M.Y., H.K. WONG, H. Z. AINIdan H.SHARIF. 1989. Preliminary observation on the allevation of copper in sheep fed with palm kernel meal based diet. Proc. 12thConf. MSAP. pp. 7578.

ALIMON, A.R. and M.H. BEJO. 1995. Feeding systems based on oil palm by- products in Malaysia. 1stInt. Symp. On Integration of Livestock to Oil Palm Production. MSAP/FAO and UPM. 25-27 June. Kuala Lumpur, Malaysia. ARITONANG, D. 1986. Perkebunan Kelapa Sawit. Sumber Pakan Ternak di

Indonesia. Jurnal Badan Litbang Pertanian Vol. 4.

BADANPUSATSTATISTIKKABUPATENBENGKALIS. 2008. Bengkalis Dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis.

BADANPUSATSTATISTIKKABUPATENINDRAGIRIHULU. 2008. Indragiri Hulu Dalam Angka 2007/2008. Badan Pusat Statistik Kabupaten Indragiri Hulu.

BADANPUSATSTATISTIKKABUPATENKAMPAR. 2007. Kampar Dalam Angka 2007. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kampar.

BADANPUSATSTATISTIKKABUPATENKUANTANSINGINGI. 2007. Kuantan Singingi Dalam Angka 2007. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kuantan Singingi. BADANPUSATSTATISTIKKABUPATENPELALAWAN. 2008. Pelalawan Dalam Angka

2008. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pelalawan.

BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN ROKAN HILIR. 2008. Rokan Hilir Dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik Kabupaten Rokan Hulu.

BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN ROKAN HULU. 2007. Rokan Hulu Dalam Angka 2007. Badan Pusat Statistik Kabupaten Rokan Hulu.

BADANPUSATSTATISTIKKABUPATENSIAK. 2008. Siak Dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik Kabupaten Siak.

BADAN PUSATSTATISTIKPROVINSIRIAU. 2008. Riau Dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik Provinsi Riau.

BATUBARA, L. 2002. Potensi biologis daun kelapa sawit sebagai pakan basal dalam ransum sapi potong. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.

DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN RIAU. 2009. Draft Rancangan Pendekatan Integrasi Sapi Potong dengan Kelapa Sawit.(Tidak dipublikasikan).

DIREKTORATJENDERALPERKEBUNAN. 1984. Perkebunan Penutup Tanah Kacangan. Departemen Pertanian.

DIWYANTO, K., D. SITOMPUL, I. MANTI, I.W. MATHIUS, dan SOENTORO. 2003. Pengkajian pengembangan usaha sistem integrasi kelapa sawit-sapi. Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit - Sapi. Bengkulu, 9-10 September 2003. pp: 11–22.

ELIZABETH, J. dan S.P. GINTING. 2003. Pemanfaatan hasil samping industri kelapa sawit sebagai bahan pakan ternak sapi. Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit - Sapi. Bengkulu, 9-10 September 2003. pp: 110–

118.

FOLD, N. 2003. Oil Palm Market and Trade.Burotrop. 19: 11–13

GOHL, B. 1981. Tropical Feeds. Feed information Summaries and Nutritive Value. Animal Production and Health Series. FAO. No.12.

HANAFI, N.D. 1999. Perlakuan biologis dan kimiawi untuk meningkatkan mutu daun kelapa sawit sebagai bahan baku pakan domba. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

HANDAYANI, S.W., S.P. GINTING, and P.P. KETAREN. 1987. Effects of Suplementation of palm oil effluent to sheep fed basal diets of native grass. In: Advances in Animal Feeds and Feeding in the Tropics.

HUTAGALUNG, R.I., C.C.PENG, WAN M EMBONG, L.A. THHEEM and S. SIVARAJASINGAM(Eds). Proc. 10thAnnual Conference of the Malaysian Soc. Anim. Prod. Pahang, Malaysia. pp: 245–249.

HAIR-BEJO, M. and A.R. ALIMON. 1995. The protective role of zinc in palm kernel cake (PKC) toxicity in sheep.Mal. J. Nutr. 1: 75–82.

HORNE, P.W., K.R. POND, and L.P. BATUBARA. 1994. Strategies for utilising improved forages for sheep enterprises in North Sumatra and Aceh. Prosiding Ruminansia Kecil. Pengolahan dan Komunikasi Hasil Penelitian Sei Putih. Sub Balai Penelitian Ternak Sei Putih. Balai Penelitian Ternak Sei Putih. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.

IDRIS, MOH. S., A.F. MOHAMADdan DAHLANISMAIL.1998. Utilization of oil palm by-products as livestock feed. Proc. National Seminar on Livestock and Crop

Integration in Oil Palm: “Toward Sustainability”. A.DARUS, M.T. DOLMAT dan S. ISMAIL(Eds). 12–14 May 1998 Johor Malaysia.

ISHAKMANTI, AZMI, E. PRYOTOMO, dan D. SITOMPUL.2003. Kajian social ekonomi system integrasi sapi denganm kelapa sawit (SISKA). Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit - Sapi. Bengkulu, 9–10 September 2003. pp: 245–260.

ISHIDA, M. and A. HASAN. 1993. Effects of oil palm frond silage feeding on utilization of diet and meat production in fatening cattle in the Tropics. Proc.

JALALUDIN, S., Z.A. JELAN, N. ABDULLLAH and Y.W. HO. 1991. Recent Developments in the Oil Palm By Product Based Ruminant Feeding System. MSAP, Penang, Malaysia. pp. 35–44.

JELAN, Z.A., Y. ISHAK, and T. YAAKUB. 1991. Feedlotting cattle based on palm kernel cake in smallholders. Proc. 14thAnnual Conference MSAP. IASHAK (Ed). pp. 35–44.

LIWANG, T. 2003. Palm Oil mill effluent manajemen.Burotrop19: 38

NUR, M., dan C.R. SIDABUTAR. 2008. Krisis Ekonomi Global dan Prospek Perkebunan/Industri Kelapa Sawit di Riau. Economica. Edisi 11 Thn. II. Sept- Des 2008. Pekanbaru-Riau. pp. 5–11.

MATHIUS, I.W., D. SITOMPUL, B.P. MANURUNGdan AZMI. 2003. Produk Samping Tanaman dan Pengolahan Buah Kelapa Sawit Sebagai Bahan Dasar Pakan Komplit untuk Sapi: Suatu Tinjauan. Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit - Sapi. Bengkulu, 9-10 September 2003. Pp. 120–

128.

MIYASHIGE, T., O.A. HASSAN, D.M. JAAFAR and H.K. WONG. 1987. Digestibility and nutritive value of palm kernel cake, palm oil mill effluent, palm press fibre and rice straw by Kedah-Kelantan Bulls.In: Advances in Animal Feeds and Feeding in the Tropics. HUTAGALUNG, R.I., C.C.PENG, WANM EMBONG, L.A. THEEMand S.SIVARAJASINGAM(Eds). Proc. 10thAnnual Conference of the Malaysian Soc. Anim. Prod. Pahang, Malaysia. Pp. 245–249.

MOHAMED, W.E., R.I. HUTAGALUNGand C.P. CHEN. 1987. Feed availability and constraint in plantation-based livestock production system. Advance in Animal Feeds and Feeding in the Tropics. Proceeding of the 10th. Annual conference of Malaysian Society of Animal Production. Malaysia.

OSHIO, S., M.J. DAUD, A.H. OSMAN.1988 The use of palm trunk as ruminant feed. JARQ 25: 125–133.

PURBA, A., S.P. GINTING, Z. POELOENGAN, K. SIMANIHURUKdan JUNJUNGAN. 1997. Nilai nutrisi dan manfaat pelepah kelapa sawit sebagai pakan domba.J. Penel. Kelapa Sawit5(3):161–177.

RIZSA, R. 1995. Budidaya Kelapa Sawit. AAK. Kanisius. Yogyakarta.

SHIBATA, M. and A.H. OSMAN.1988. Feeding value of oil palm by-products. 1. Nutrient intake and physiological responses of Kedah-kelantan cattle.JARQ 22: 77–84.

SIRAIT, H.J. 1989. Sumbangan simulasi agrometeorologi terhadap pengelolaan budidaya kelapa sawit. Proc. Seminar Sehari Peningkatan Pemanfaatan Agrometeorologi Dalam Pembangunan Hutan Tanaman Industri dan Pengembangan Perkebunan. Kerjasama Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia. Badan Litbang Kehutanan dan Pertanian. pp. 253–265.

SUHARTO. 2003. Pengalaman pengembangan usaha sistem integrasi sapi-kelapa sawit Riau. riset dan pengembangan peternakan PT Tri Bakti Sarimas, Riau. Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit - Sapi. Bengkulu, 9-10 September 2003. pp. 57–63.

SURYAHADI. 1997. Strategi Pemanfaatan Sumberdaya dan Aplikasi Teknologi Pakan. Makalah Pembekalan KKN Mahasiswa IPB tahun 1997. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

SUTARDI, T. 1997. Peluang dan Tantangan Pengembangan Ilmu-Ilmu Nutrisi Ternak. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Nutrisi Ternak. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

TOMIMURA, Y. 1992. Chemical characteristics and utilization of oil palm trunks. JARQ25: 283–288.

UMIYASIH, U. dan Y.N. ANGGRAENY. 2003. Keterpaduan sistem usaha perkebunan dengan ternak: Tinjauan tentang ketersediaan hijauan pakan untuk sapi potong di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit. Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit - Sapi. Bengkulu, 9–10 September 2003. hlm. 156–

165.

WEBB, B.H., R.I. HUTAGALUNGand S.T. CHEAM. 1976. Palm oil waste as animal feed-processing and utilization. Int. Symp. Palm Oil Processing and Marketing, Kuala Lumpur. pp. 125–146.

WIDYATI, S.D., T. SUTARDI, D. SASTRADIPRADJAdan A. SUDONO. 1992. Penggunaan lumpur sawit kering sebagai pengganti dedak padi dalam ransum sapi perah laktasi.J. Il. Pert. Indon. 2: 89–95.

WIJONO, D.B., L. AFFANDHY dan A. RASYID. 2003. Integrasi ternak dengan perkebunan kelapa sawit. Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit - Sapi. Bengkulu, 9-10 September 2003. hlm. 147–154. WINUGROHO, M. dan MAYATI. 1999. Kecernaan Daun Kelapa Sawit sebagai Pakan

Ternak Ruminansia. Laporan APBN 1998/1999. Balai Penelitian Ternak, Puslitbang Peternakan, Bogor.

PROSPEK, TANTANGAN DAN PENGEMBANGAN

SISTEM INTEGRASI SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN

KELAPA SAWIT DI PROVINSI JAMBI