• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. PEMBINAAN HIDUP RELIGIUS YUNIOR MENURUT

C. Pembinaan Hidup Religius Para Suster Yunior PRR dalam

2. Tantangan-tantangan hidup religius zaman sekarang

Budaya yang muncul di zaman modern tidak hanya menguntungkan manusia dan peningkatan martabatnya, namun mendatangkan banyak kecemasan dan keraguan setiap manusia. Kemudahan yang diperoleh melalui kemajuan teknologi memiliki pengaruh ganda yakni, di satu pihak, banyak mendapatkan kemudahan dan efisiensi kerja meningkat. Manusia dapat hidup lebih nyaman dan tidak banyak bersusah payah, namun dilain pihak, tidak semua orang dapat menikmati kemajuan tersebut, mengingat kemampuan finansial dan daya beli yang terbatas (Komisi Teologi KWI, 2006: 112).

Pengaruh arus globalisasi telah menghimpit segala aspek kehidupan manusia yang kemudian mempengaruhi kaum religius yang mulai kehilangan relevansinya sebagai orang yang terpanggil. Tantangan ini dapat berasal dari keadaan masyarakat modern yang menawarkan banyak hal yang bertentangan dengan penghayatan hidup panggilan dan kaul-kaul maupun tantangan yang berasal dari dalam pribadi religius. Tantangan-tantangan dalam hidup religius sebagai berikut:

Pertama, bidang ekonomi yang ditandai dengan konsumerisme yang mengkonsumsi hasil produk yang melimpah di pasaran. Budaya hedonisme yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kenikmatan terhadap eksistensi manusia. Paham materialisme yang mendewakan materi sekaligus menjadi ukuran untuk segala- galanya dalam hidup seseorang. Minat memiliki menjadi dominan dan menguasai kehidupan, akibatnya nilai pribadi dan sosial hanya berdasarkan logika ketamakan dan pemerasan sesama sehingga yang kaya semakin jaya dan yang miskin semakin melarat (Komisi Teologi KWI, 2006: 112-113).

Kedua, bidang sosial yang ditandai dengan diskriminatif perorangan maupun kolektif, mengorbankan hak asasi perorangan demi kelompok atau organisasi tertentu, tingginya rasa individualistis dan pluralisme agama yang dalam kenyataan kaum religius hidup di tengah-tengah para penganut agama lain serta adanya paham-paham kebebasan yang menceraikan nilai manusiawi yang mendasar dalam norma serta moralitas hidup manusia (Komisi Teologi KWI, 2006: 115).

Ketiga, bidang etika nilai yang ditandai dengan adanya kontradiksi antara diri ideal dan diri aktual, antara nilai yang ditawarkan dan nilai yang dihayati. Kecendrungan kaum religius yang terpengaruh dalam mendalami secara afektif emosional, sehingga bukan menyumbang pertumbuhan pribadi yang seimbang dan terbuka, melainkan secara psikologis dan etis menutup diri di dalam proses cinta diri, kecendrungan membangun relasi superior dan inferior atau senior dan yunior yang dikondisikan untuk selalu berada di atas yakni yang memimpin dan yang memutuskan, tercipta rasa superioritas suku dan golongan tertentu terhadap suku lain yang mana sekelompok religius ini hanya mau bila dipimpin oleh religius dari

sukunya sendiri dan bukan berdasarkan kemampuan dan kualitas seseorang dalam memimpin (Primadiana & Samosir, 2007: 274-283).

Keempat, bidang ilmu dan teknologi yang ditandai dengan kemajuan teknologi informasi dalam berbagai bidang seperti telpon, handphone, internet, fax, televisi, video, digital (Suparno, 2007a: 359). Alat komunikasi yang mempengaruhi relasi antar biarawan-biarawati dan awam secara cepat yang melampaui tembok biara sehingga membentuk sikap apatis dan askese batin melemah.

Kelima, bidang kebudayaan yang ditandai dengan budaya instan, suatu budaya yang mana orang selalu ingin mencapai tujuan secara cepat dan kalau bisa dalam sekejap. Sikap budaya ini dipengaruhi oleh kenyataan atau praktek hidup sehari- hari yang menggunakan barang instan. Walaupun budaya instan dapat mendorong orang lebih berpikir cepat dan menyelesaikan pekerjaan secara efisien dan efektif namun mempunyai dampak negatif yakni tidak memiliki daya tahan untuk mengerjakan pekerjaan yang membutuhkan waktu lama, kurang bertahan dalam pergulatan bila mengalami kesulitan, mudah frustasi dan putus asa (Suparno, 2007a: 139). Adanya paham budaya sekularisme yang mana orang merasa tidak membutuhkan campur tangan Allah dalam kehidupan ini, serta primodialisme terhadap kebudayaan setempat ke dalam hidup membiara sehingga memupuk rasa kesukuan.

Keenam, adanya krisis identitas di kalangan religius yang mana terdengar ungkapan di lingkungan Gereja bahwa tak ada lagi perbedaan antara imam dan awam. Paham ini muncul seiring dengan hadirnya spiritualitas baru yakni spiritualitas kebangkitan kaum awam. Apa yang dulu hanya dilakukan oleh imam

dan kaum religius, sekarang dapat dilakukan oleh kaum awam sebagai panggilan hidup (Suharyadi, 2006: 12-14).

K etujuh, bidang rohani yang ditandai dengan rasa kehadiran Allah mulai memudar membuat orang begitu sulit mengalami Allah secara personal, kurang bertahan dalam latihan rohani yang memerlukan waktu lama, ingin cepat selesai dalam doa, tidak bertahan dalam menghadapi kekeringan yang menuntut daya tahan, melunturnya gaya hidup asketik, makna kegiatan pantang dan puasa mulai menurun dikalangan religius, tidak memiliki waktu dan terlalu sibuk dengan tugas perutusan (Suparno, 2007b: 179). Memiliki pemahaman bahwa perutusan atau pekerjaan merupakan doa pribadi, kurang berkonsentrasi dalam doa, kurang mencintai keheningan, adanya sikap kejenuhan dalam doa yang dir asakan sebagai rutinitas belaka serta kurang memiliki daya juang dalam hidup panggilan.

Kedelapan, rasa individualisme dan egoisme yang mementingkan diri atau kelompok tertentu yang mengakibatkan tatanan kehidupan masyarakat yang mengarah pada usaha menjunjung kesejahteraan umum diabaikan. Kekerasan yang bernuansa gender mengakibatkan pihak perempuan kerap menjadi korban kekerasan kaum pria serta mendapat perlakuan diskriminatif. Kekerasan melalui peraturan dan struktur masyarakat, kerusuhan, pertikaian, perang ant ar suku (Komisi Teologi KWI, 2006: 114).

K esembilan, budaya korupsi, kolusi, nepotisme yang membudaya di tanah air saat ini demi kepentingan golongan tertentu. Kebudayaan merusak ekologi lingkungan hidup dalam masyarakat (Komisi Teologi KWI, 2006: 115). Paham rasionalisme yang meluas dan mengatasnamakan ilmu pengetahuan sehingga mempersempit makna kemanusiaan yang mengakibatkan orang menjadi kurang

peka untuk berjumpa dengan pewahyuan Allah. Gejala subyektivisme pribadi yang cendrung menutup diri dalam ind ividualisme yang melumpuhkan kemampuan manusia membangun hubungan antar pribadi. Segala yang dirasakan hanya suatu keterasingan dan kesepian sehingga memiliki kecendrungan berkompensasi ke arah hidup yang hedonistis dan pengelakan rasa tanggung jawab (PV, art. 7).

K esepuluh, penyalagunaan paham kebebasan yang bukannya diabdikan untuk taat pada kebenaran obyetif dan universal, tetapi dihayati sebagai pemuasan doronga n naluri dan keinginan untuk berkuasa. Suatu paham yang menceraikan nilai manusiawi yang mendasar dan hubungan yang hakiki dengan kebenaran dan norma-norma moral sehingga kurang adanya sikap saling menghormati antara manusia. Kebebasan dipahami sebagai kesempatan untuk mengungkapkan diri tanpa memperhitungkan etika dan nilai moral sosial (GE, art. 91).

K esebelas, pandangan tentang seksualitas yang keluhurannya diabdikan demi kesatua n dan cinta yang saling memberi, direndahkan menjadi barang dagangan untuk dikonsumsi. Manusia mengalami kehausan akan keadilan dan perdamaian, kepekaan akan perlunya merawat ciptaan dan menghormati alam serta jatuhnya ideologi yang keras mene ntang pesan-pesan rohani dan nilai- nilai agama (Mardi Prasetya, 2001a: 122).

Keduabelas, penyebaran pengguguran yang menghancurkan kehidupan dengan pembuatan produk-produk obat-obatan yang memungkinkan terjadinya pembunuhan janin dalam rahim seorang ibu tanpa membutuhkan bantuan medis. Menyediakan alat-alat kontrasepsi yang aman bagi siapapun yang membutuhkan. Cara ini bertentangan dengan kenyataan tindakan seksual sebagai ungkapan khas cintakasih suami- istri. Munculnya berbagai teknik pengadaan keturunan yang secara

moril ingin menceraikan pengadaan keturunan dari konteks manusiawi. Lahirnya sikap eutanasia yang mendorong pemikiran bahwa manusia dapat mengendalikan hidup dan maut dengan mengambil hak untuk memutuskan sendiri hidup dan mati (EV, art. 13).

3. Pengaruh tantangan zaman bagi suster yunior PRR dalam menghayati hidup religius

Dengan keyakinan penuh akan hubungan pribadi dengan Yesus yang memanggil, maka Dia menjadi sumber air yang menghidupkan, menyegarkan serta menguatkan hidup religius. Tanpa relasi yang mendalam dengan Tuhan, hidup seorang religius akan menjadi hampa belaka (Suparno, 2007b: 177). Situasi dan keadaan seperti ini telah memasuki kehidupan kaum religius secara khusus bagi suster yunior PRR saat ini yang mana terjadi penyelewengan, pelanggaran serta penyalahgunaan hak dan kebebasan, baik hidup rohani, bersama, karya dan penghayatan kaul-kaul kebiaraan. Apa yang dulu dirasakan sebagai nilai yang luhur, sekarang dianggap bukan zaman lagi. Pengaruh tantangan zaman bagi yunior PRR sekarang ini meliputi:

Pertama, hidup rohani yang ditandai dengan lemahnya daya refleksi dan askese bathin, keheningan, disiplin diri dan waktu, kurang mendalami bacaan rohani, kitab suci dan konstitusi, malas berdoa dan bermatiraga, kurang menerima sakramen pengakuan sebagai kesempatan untuk menjernihkan suara hati dan membaharui diri di hadapan Tuhan, kurang jujur dengan diri sendiri dan suka membuat pembelaan diri, menghabiskan waktu di depan televisi daripada menciptakan saat hening dan pengolahan batin (Kongregasi PRR, 2007: 6).

Kedua, hidup berkomunitas yang ditandai dengan bersikap kasar terhadap sesama, kurang menghargai pimpinan komunitas, kurang peka terhadap kebutuhan sesama, kurang jujur dalam membina relasi dengan lawan jenis, penggunaan handphone yang kurang bertanggung jawab, emosi yang meledak- ledak, mengeluh, membela diri, menjelekkan nama baik sesama, suka bertengkar dan mengacaukan suasana komunitas, suka berdalil, perbedaan pola pembinaan sehingga mempengaruhi persepsi antara religius muda dan religius tua. Perbedaan latar belakang budaya, perbedaan karakter serta perbedaan pola berpikir (Kongregasi PRR, 2007: 7).

Ketiga, hidup karya yang ditandai dengan lemahnya kesatuan hati antara rekan kerja pada unit karya, kurang mendukung dan menghargai kelebihan sesama, kurang memprioritaskan tugas. Kerasulan kunjungan keluarga menurun, karya kongregasi dibeberapa bidang kurang berkembang, kurang rendah hati untuk belajar dari sesama yang lebih berpengalaman (Kongregasi PRR, 2007: 8).

Keempat, kaul kemurnian yang ditandai dengan penghayatan kaul secara ketat dan kurang berelasi dengan jenis lain secara baik dan wajar. Mempraktekan kaul ini sacara longgar dan lebih obyektif yaitu tetap berelasi dengan lawan lain. Kepekaan hati yang memudar dalam membina relasi dengan jenis lain dan membelokkan panggilan hidup selibat, kurang jujur dan terbuka dalam penggunaan handphone, pembedaan Roh yang lemah, adanya kecemburuan, kecurigaan, mencari kesenangan di luar komunitas (Kongregasi PRR, 2007: 9).

Kelima, kaul kemiskinan yang ditandai dengan kecendrungan untuk memiliki dan mengumpulkan banyak barang, kurang adanya perawatan terhadap fasilitas milik bersama, malas bekerja, menyerah pada situasi, menuntut hak secara

berlebihan tetapi kurang peduli akan kewajiban sebagai anggota, mudah mengeluh, bergaya hidup mewah (Kongregasi PRR, 2007: 10).

Keenam, kaul ketaatan yang ditandai dengan lemahnya semangat untuk mendengarkan sesama, ingin menang sendiri, lemahnya penghargaan terhadap struktur hidup dan karya, suka berdalil, melanggar apa yang menjadi keputusan bersama dalam komunitas, kemandekan dalam pengiriman surat refleksi pembaharuan kaul, kurang disipilin waktu, lamban dalam bekerja, menunda-nunda pekerjaan (Kongregasi PRR, 2007: 11).

Ketujuh, berkurangnya jumlah anggota kongregasi, mendahulukan proyek pribadi melebihi usaha komunitas dalam kasih persaudaraan. Takut membuat komitmen secara tetap, ketidakdewasaan dalam mengambil keputusan, kebebasan dalam berpikir dan bertindak, lemahnya tingkat kesetiaan terhadap apa yang telah dijanjikan, mudah mengeluh, kepekaan hati dalam menanggapi situasi zaman (Kongregasi PRR, 2007: 12).

Dokumen terkait