• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tarik Ulur Kebijakan Perfilman Jawa Timur Ellen Meianzi Yasak

Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang Jl. Telaga Warna Blok C Tlogomas Malang

Email: ellenyasak@gmail.com

Abstrak

Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pembangunan dan Pemberdayaan Perfilman Jawa Timur, telah disahkan pada 19 Agustus 2014 lalu. Namun masih banyak persoalan pasca disahkannya Perda tersebut. Hal mendasar yang melatar belakangi terbitnya Perda ini adalah lokasi wisata di Jawa Timur banyak dijadikan background cerita film oleh sineas dari luar daerah. Sayangnya, lahirnya Perda ini tidak disambut baik oleh sebagian kalangan. Pihak Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur, merasa Perda ini cacat hukum karena tidak sesuai dengan UU No. 32/ 2004. Sementara pihak DPRD Provinsi, terus berupaya menjalankan Perda ini. Metode yang digunakan dalam paper ini adalah Studi Literatur dan Observasi Partisipatif dengan promotor, praktisi, dan pemerhati film. Hasil dari observasi ini diantaranya pengusulan perbaikan Perda No. 8/ 2014, meningkatkan peran Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT), memanfaatkan Information and Communication Technology (ICT) sebagai forum diskusi antar sineas, dan memaksimalkan pemberdayaan masyarakat film Jawa Timur.

Kata kunci: film, kebijakan, negara, pasar, dan publik

Abstract

Local regulation Number 8/2014 about Development and Empowerment Film in East Java, was approved on Augus19th 2014. But there are still many problems after the enactment of the regulation. The basic point underlying this legislation is a tourist location in East Java, many used as background story movies by filmmakers from outside the area. Unfortunately, this regulation is not welcomed by some circles. East Java Provincial Government feel, this law legally flawed because its des not comply with the act number 32/ 2004 about Local Government . While the Provincial Parliement, continue to implement this law. The method used in this paper is Literature Study and Participant Observation with film promoters, practicioners, and observer of the film. Result of this observation is proposing fixes Local Regulation number 8 /2014, enhance the role of the Art Council of East Java (DKJT), utilizing Information and Communication Technology (ICT) as A forum for discussion among filmmakers, and maximize the film community development in East Java.

Keywords: film, policy, state, market, and public

Film adalah media massa yang sifatnya sangat kompleks; film bisa menjadi sebuah karya estetis sekaligus sebagai alat informasi yang terkadang bisa menjadi alat penghibur, alat propaganda, bahkan alat politik, (Kurnia, 2006:271). Begitu kompleksnya peran film dalam masyarakat, membuat beberapa pihak mencari celah kekuasaan dari kebijakan di bidang perfilman. Industri perfilman tidak lagi menjadi aspek yang terpisah dengan kondisi di sekitarnya. Kini industri perfilman tumbuh selayaknya institusi ekonomi, yang menjual komoditi. Tidak bisa dipisahkan antara kepentingan ekonomi, politik, dan publik dalam konteks ini.

Dedi Nur Hidayat (dalam Wijayani, 2007) berpendapat bahwa media merupakan salah satu elemen dari konfigurasi yang besar. Media ada dalam triangulasi hubungan antara negara, pasar, dan publik. Artinya media menjadi komponen yang menjembatani hubungan segitiga itu, tapi harus dilihat juga wujud kepentingan media itu sendiri. Dulu hubungan triangulasi ini sangat didominasi oleh negara, sekarang pasar yang lebih dominan. Publik saat ini, sekalipun sudah menonjol

P r o c e e d i n g | C o m i c o s 2 0 1 5

pe a a, tapi asih elu ukup de asa , asih a ak dii te ensi dan dapat dengan mudah dimanfaatkan.

Kebijakan perfilman di Indonesia belum mendapat perhatian serius. Salah satu buktinya, tidak ada bahasan tentang industri perfilman dalam Badan Ekonomi Kreatif yang disahkan 20 Januari 2015 lalu. Lalu dimana kebijakan tentang industri perfilman diatur?. Jawabannya hanya di Undang- undang (UU) No. 33/ 2009 tentang Perfilman, yang Peraturan Pemerintah-nya (PP) hingga saat ini belum juga keluar. Lemah dan lambannya kebijakan yang mengatur perfilman di Indonesia, berdampak pada minimnya kualitas dan kuantitas produksi film dalam negeri. Masyarakat kita, cenderung lebih memilih film produksi luar negeri. Dari Amerika misalnya, lebih diminati karena kualitas gambar, tata artistik, tata suara, serta segala aspek yang lebih berkualitas secara keseluruhan dibandingkan film produksi dalam negeri.

Publik kita hingga saat ini belum sepenuhnya mampu mengapresiasi film dalam negeri yang berkualitas. Ini dibuktikan dengan data jumlah penonton film pertahunnya. Misalnya di tahun 2015 ini, jumlah penonton film Komedi Moderen Gokil berjumlah 296.232, sedangkan Toba Dreams 255.933, dan Filosofi Kopi the Movie hanya 229.680. Di tahun 2013 jumlah penonton film Cowboy Junior the Movie berjumlah 683.604, mengalahkan Laskar Pelangi 2: Edensor yang hanya meraih 390.810 penonton. Kondisi tiga tahun terakhir ini masih cukup baik dibandingkan dengan tahun 2011, film Arwah Goyang Karawang yang ber-genre horror seksualitas, memperoleh 727.540 penonton, sedangkan film Tendangan dari Langit hanya memperoleh 491.077 penonton, (data diambil dari http://filmindonesia.or.id/).

Posisi film sebagai media yang banyak dinikmati oleh publik, belum bisa mendorong pemerintah untuk serius menggarap peluang ini. Provinsi Jawa Timur pada 19 Agustus 2014 lalu sesungguhnya sudah mencoba terobosan baru, dengan pengesahan Perda Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pembangunan dan Pemberdayaan Perfilman Jawa Timur. Namun implementasi kebijakan tersebut belum terlihat serius hingga saat ini. Pada 26 – 28 Juli 2015 lalu Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) telah menyelenggarakan Workshop Film & Video di Gedung Cak Durasim Surabaya. Ini merupakan ajang mengumpulkan sineas muda di Jawa Timur (Jatim). Dilanjutkan dengan Rapat Koordinasi (Rakor) Pengembangan Perfilman di Jawa Timur, pada 10 – 12 September 2015 lalu. Hasil dari usulan Rakor tersebut hingga saat ini, belum juga direalisasikan.

Terdapat beberapa persoalan terkait dengan lahirnya Perda Perfilman Jatim ini. Pertama konten Perda tidak sesuai dengan Undang-undang (UU) No. 32/ 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33/2009 tentang Perfilman. Kedua, rujukan Peraturan Pemerintah (PP) yang digunakan, masih PP No. 6/1994 tentang Penyelenggaraan Usaha Perfilman.

Hal mendasar yang melatar belakangi disahkannya Perda ini adalah, lokasi wisata di Jatim banyak dijadikan background cerita film oleh sineas dari luar daerah. Ini membuat sineas Jatim ingin mengembangkan dan memajukan pariwisata daerah melalui film. Selain itu juga upaya untuk membentuk sistem mulai dari produksi, distribusi, hingga eksibisi. Hingga saat ini Dewan Kesenian Ja a Ti u DKJT se agai pihak a g ditu juk e jala ka ke ijaka , elu e iliki pola atau sistem untuk memajukan perfilman Jatim.

Persoalan lain yang muncul adalah, lahirnya Perda ini tidak disambut baik oleh sebagian kalangan. Pihak Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur, merasa Perda ini cacat hukum karena tidak sesuai dengan UU No. 32/ 2004 tentang Pemerintah Daerah. Sementara pihak DPRD Provinsi, terus berupaya menjalankan Perda ini melalui DKJT. Berbagai konflik yang muncul terkait

disahkannya Perda Pembangunan dan Pemberdayaan Perfilman Jatim ini, membuat produk kebijakan ini belum dapat diimplementasikan dengan maksimal. Berbagai kepentingan yang melatar belakangi disahkannya Perda, hingga penolakan sekelompok pihak dengan adanya Perda ini membuat hal ini menarik untuk dibahas sebagai kajian kebijakan komunikasi di Jatim.

Metode yang digunakan dalam paper ini adalah Studi Literatur dan Observasi Partisipatif dengan promotor film, praktisi film, dan pemerhati film. Hasil analisis dalam paper ini diantaranya pengusulan perbaikan Perda No. 8/ 2014, meningkatkan peran DKJT, memanfaatkan Information and Communication Technology (ICT) sebagai forum diskusi antar sineas, dan memaksimalkan pemberdayaan masyarakat film Jawa Timur.

Persoalan Produksi, Distribusi, dan Eksibisi

Sejak kebangkitan film nasional di tahun 2000 hingga tahun 2015 ini, tidak ada film yang diproduksi oleh produser dan tim produksi dari Jatim. Sulit mendapatkan data apakah ada produser, tim produksi, dan investor dari Jawa Timur yang telah memproduksi film layar lebar untuk bioskop. Banyak kendala bagi filmmaker di Jatim untuk memproduksi film layar lebar. Selain karena sumber daya manusia dan dana, di Jatim tidak ada perusahaan film atau Production House yang memproduksi film layar lebar. Production House di Jatim kebanyakan hanya produksi untuk iklan TV,

company profile, program TV, FTV, Dokumenter, dan dokumentasi event/ wedding.

Jatim membutuhkan produser yang tidak hanya mengerti tentang produksi film tapi juga pemasaran, promosi, dan bisnis. Lebih dari itu bersedia memberikan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk perkembangan film di Jatim khususnya produksi layar lebar. Persoalan produksi, distribusi, dan eksibisi ini berkaitan erat dengan bagaimana cara meyakinkan investor untuk mau menginvestasikan uangnya untuk produksi film. Dibawah ini merupakan bagan resiko produksi film:

Sumber: Nelmes, 2012

Para investor, mencoba mengurangi resiko kerugian mereka dalam produksi film yaitu dengan terlibat pada keputusan-keputusan penting. Mereka akan mempertimbangkan apakah film tersebut termasuk yang digemari penonton, berapa dana yang dibutuhkan untuk produksi, apakan menguntungkan, dan apakah penonton akan menilai film tersebut menarik. Setidaknya dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut investor akan mempertimbangkan mau atau tidak berinvestasi dalam produksi film.

Tidak mudah meyakinkan investor untuk ikut memproduksi film. Bagaimana jika film yang telah diproduksi tidak dapat mendatangkan penonton? Tentu saja modal tidak dapat dikembalikan, rugi. Apa sesudah itu investor percaya lagi? Perlu strategi dalam menyiapkan produksi film agar dapat menarik minat penonton untuk membeli karcis. Mulai dari menentukan genre film, tema

P r o c e e d i n g | C o m i c o s 2 0 1 5

cerita, pemilihan aktor/ aktris, desain promosi, penciptaan isu, dan lain-lain, (Aryadien, 2015). Membuat film dari novel bestseller, dapat menjadi formula produser untuk mendapatkan investor film. Investor film akan tertarik dengan isi proposal yang memperhitungkan keuntungan jika film diproduksi. Membuat film dari cerita novel bisa menjadi strategi produser agar filmnya berhasil mendatangkan penonton.

Pendapatan film tidak hanya dari karcis bioskop tapi juga dari jual putus di TV dan penjualan DVD. Banyak strategi yang dapat direncanakan oleh produser, agar film yang diproduksi mampu menarik minat orang untuk menonton film yang berkualitas. Produksi film tidak bisa dilepaskan dari produser – investor – bioskop.

Lulu ‘at a seo a g P o oto Fil Pe dek e gataka , pe soala fil i i asih e jadi pe soala kelas agi Pe e i tah. I dust i pe fil a elu diga ap aksi al, da sela a i i belum ada kebijakan yang mengatur tentang produksi hingga distribusi film di I do esia . (Wawancara tanggal 27 Mei 2015).

Perlu sebuah gerakan atau tekad untuk bersama mewujudkan film yang diproduksi dari Jawa Timur. Hal ini tidak hanya ditekankan untuk tim produksi tapi juga produser harus lebih banyak presentasi pada calon investor. Akan lebih baik jika pemangku kebijakan dapat memfasilitasi pertemuan antara Produser, calon investor, dan pihak bioskop.

Skema distribusi film di Jawa Timur juga belum terbentuk, mengingat produksi film di Provinsi ini juga masih sangat minim. Fase distribusi dalam industri film merupakan kompetisi bisnis paling tinggi terutama pada saat launching dan mempertahankan film dalam marketplace-nya, (Parks, 2012). Satu hal yang harus diingat adalah industri perfilman adalah bisnis, dan film diproduksi untuk dijual. Setiap film harus memiliki rencana distribusinya masing-masing, untuk memastikan bahwa film tersebut didistribusikan pada audiens yang tepat.

sumber: www.launchingfilms.com

Pemanfaatan internet untuk promosi dan distribusi film seperti yang dilakukan Inggris dengan www. launchingfilms.com, bisa diadopsi. Promosi dan distribusi dengan cara ini cukup efektif, mengingat masyarakat saat ini sudah mengakses segala informasi melalui internet. Selain itu, distribusi menggunakan platform website juga low cost.

Rilis film di bioskop, menandai tahap akhir dari salah satu bagian perjalanan film dari ide untuk penonton, (Hark, 2002). Setelah film rilis di bioskop,baru akan siap untuk dieksibisikan dalam berbagai format. Setiap eksibisi yang ditawarkan sebuah film, akan membuka peluang keuntungan yang lebih besar.

‘egulasi “ete gah Hati Regulasi Tata Niaga

Tata niaga film khususnya perlakuan terhadap film impor selalu berubah. Baik secara kuota maupun kutipan biaya. Film yang dulunya di bawah Departemen Penerangan RI, aturan kuota impor berubah sesuai situasi dan kondisi serta pergantian menteri.

Periode Judul/ Tahun Jumlah Copy/ Judul

1961 – 1971 BM Diah Bebas 2 1968 – 1973 Budiharjo 225 4 1973 – 1978 Mashuri 200 6 1978 – 1983 Ali Murtopo 200 6 1983 – 1997 Harmoko 180/160 8, 8-10 1997 – 1998 Hartono 160 8 – 10 1998 – 1999 Alwi Dahlan 160 8 – 10

1999 Yunus Yosfiah Bebas Bebas

Hingga saat ini kuota impor tetap bebas secara judul dan copy per judulnya. Sumber: Sugandhi, 2015

Untuk setiap fim yang diimpor, disamping dikenakan pajak impor juga dikenakan saham produksi atau sertifikat produksi yang jumlahnya selalu berubah. Pada jaman menteri Harmoko setiap copy tambahan juga dikenakan biaya. Sejak jama menteri Yunus Yosfiah segala pungutan itu ditiadakan. Kutipan biaya tersebut dimanfaatkan untuk pembinaan film dan dana taktis lainnya.

Dalam rangka mendorong film nasional mampu bersaing dengan film impor di Indonesia, pemerintah banyak mengeluarkan aturan dan regulasi yang dikaitkan dengan tata niaga impor.

 Kewajiban memproduksi satu film nasional setiap mengimpor beberapa film. Importer yang merangkap produser film melakukannya dengan perhitungan siap rugi. Maka muncul tren film asal jadi yang berbiaya rendah.

 SK Mendagri no.46/ 1983 membagi bioskop menjadi empat kelas. Pada saat itu sudah muncul era Cineplek. Film Indonesia hanya bisa diputar di satu jalur eksibisi saja.

 SKB tiga Menteri yang mewajibkan pemutaran film nasional dengan ketentuan jumlah minimal hari pemutaran (screen time quota).

(Sumber: Sugandhi, 2015)

Bergantinya Orde membawa perubahan yang signifikan, namun tetap saja unsur demokrasi belum begitu terasa. Era Marie Elka Pangestu yang menggaungkan Ekonomi Kreatif menjadi harapan pada saat itu. Namun perubahan mendasar kembali ketika film yang berada pada Kementrian Kebudayaan, dikembalikan ke ranah Pendidikan. Film akhirnya memiliki dua induk. Film cerita berinduk pada Departemen Pariwisata/ PAREKRAF, sementara film dokumenter berada di Departemen Pendidikan. Ada dua festival yang diselenggarakan.

Era pemerintahan Jokowi-JK kembali melakukan perubahan mendasar. Ekonomi Kreatif hanya berupa badan. Film masih terombang ambing menginduk kemana.

P r o c e e d i n g | C o m i c o s 2 0 1 5

Hirarki Regulasi Perda No. 8 tahun 2014 Timpang

Perda No. 8/ 2014 tentang Pembangunan dan Pemberdayaan Perfilman Jawa Timur, tidak sesuai dengan hirarki perundang-undangan di atasnya dan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur tentang film. Produk kebijakan yang tidak sesuai dengan hirarki kebijakan diatasnya, tergolong pada produk kebijakan yang cacat hukum. Dengan kata lain produk kebijakan tersebut tidak bisa dijadikan acuan sah, karena isinya tidak mencerminkan turunan dari kebijakan diatasnya.

Pertama, pihak Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur, menganggap Perda ini cacat hukum dan tidak layak dijadikan landasan untuk memajukan perfilman daerah. Hal ini mengacu pada hirarki Perda yang tidak sesuai dengan Undang-undang No. 32/ 2004 tentang Pemerintah Daerah. Misalnya pada Bagia Ketiga pasal te ta g Pe geda a Fil e ataka Pe e i tah P o i si dapat memfasilitasi Pemerintah Kabupaten/ Kota, perseorangan atau organisasi kemasyarakatan dalam e geda ka fil se agai a a di aksud dala pasal . Kuasa Pe e i tah P o insi sebagai fasilitator, tidak sesuai dengan UU No. 32/ 2004 tentang Pemerintah Daerah yang menyatakan bahwa posisi Pemerintah Provinsi sebagai koordinator pengembangan wilayah.

Kedua, Peraturan Pemerintah (PP) dari UU Perfilman No. 33/ 2009, masih menggunakan PP No. 6/ 1994 tentang Penyelenggaraan Usaha Perfilman. PP yang keluar dari UU No. 33/ 2009, masih PP No. 18/ 2014 tentang Lembaga Sensor Film (LSF), belum ada perbaikan PP yang mengatur tentang usaha perfilman.

Secara keseluruhan, isi dari Perda ini cukup bagus secara teori, namun sulit dilaksanakan di tingkat operasional. Pertanyaan mendasar, siapa yang akan menjaga Perda itu agar bisa dilaksanakan? Perangkat teknis operasional seperti apa yang harus mengiringi aplikasi Perda tersebut?

Dari paparan diatas, diketahui bahwa misalnya persoalan eksibisi baik film komersial maupun film independen tidak memiliki ruang eksibisi. Pasal 10 dari Perda ini menyebutkan:

1. Pemerintah Provinsi mendukung pelaksanaan kegiatan pertunjukan film non komersial sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat 3 dalam bentuk penyediaan sarana dan prasarana pertunjukan film di setiap Kabupaten/ Kota.

2. Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa gedung atau lahan terbuka untuk pertunjukan film.

Sosialisasi yang harus dilakukan untuk memajukan perfilman Jatim, tidak hanya dari isi Perda namun Perda No. 8/ 2014 tentang Pembangunannya dan Pemberdayaan Perfilman Jatim UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah UU No. 33/2009 tentang Perfilman PP No. 6/ 1994 tentang Penyelenggaraan Usaha Perfilman

juga perangkat teknis operasional dan koordinatif.

Film Tidak Diatur dalam Perpres No. 6/ 2015 tentang Badan Ekonomi Kreatif

Badan Ekonomi Kreatif sebagai lembaga pemerintah nonkementerian perlu mempertegas sikapnya terhadap perfilman nasional. Penegasan sikap ini penting karena perpindahan Badan Ekonomi Kreatif (BEK) dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus melahirkan perubahan yang mendasar di dunia perfilman nasional, (Kurniawan, 2015). Setelah pemindahan itu, industri perfilman hingga saat ini belum terpetakan dalam BEK. Bahkan, Perpres No. 7/ 2015 tentang Badan Ekonomi Kreatif hanya mengatur tentang organisasi, tugas dan fungsi BEK saja. Tidak ada penjabaran tentang industri perfilman dalam Perpres ini.

A i I u Haja , seo a g sut ada a fil asio al e gataka , sa a ggak pe ah peduli regulasi akan seperti apa, yang penting produksi. Mau untung atau rugi, yang penting bisa bikin film agus . Statement Ari ini, menunjukkan sikap tidak peduli dengan kebijakan perfilman. Asalkan memiliki idealisme untuk membuat film bagus sudah cukup. Namun, produksi film yang bagus harusnya sudah memikirkan strategi mulai dari produksi hingga eksibisi film.

Memaksimalkan Peran DKJT

Peran Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) selama ini belum maksimal di bidang perfilman. Konten Perda No. 8/ 2014, sebetulnya adalah upaya mendorong Pemprov dan para sineas di Jawa Timur untuk saling berintegrasi membangun iklim perfilman di provinsi ini. Namun hal itu masih jauh dari harapan, karena pihak yang akhirnya ditunjuk untuk menjalankan Perda tersebut adalah DKJT. Pada Rakor Pengembangan Perfilman di Jawa timur 10 – 12 September 2015 lalu, diantara rekomendasi yang diberikan adalah perbaikan Perda dan membuat sistem baru untuk industri perfilman Jatim. Namun rekomendasi tersebut ditolak pihak Pemprov, karena Output dari Rakor tersebut, memaksimalkan tugas dan fungsi DKJT.

Dibawah ini adalah struktur organisasi DKJT. Jika ditelaah lebih dalam, dengan struktur yang demikian sederhana DKJT tidak akan mampu membuat sistem mulai dari produksi, distribusi, dan eksibisi film di Jatim.

(dkjatim.com)

Dalam struktur tersebut, Komite Film hanya beranggotakan dua orang. Sementara sistem perfilman di Jatim sangatlah kompleks. Seperti bagan yang dikembangkan penulis di bawah ini, yang juga merupakan breakdown dari isi Perda.

P r o c e e d i n g | C o m i c o s 2 0 1 5

Keterangan:

1. Advokasi film merupakan sebuah badan yang sama sekali lain dari regulasi pengembangan film di Jatim. Advokasi film adalah badan independen yang sepenuhnya otonom dan gerakannya hanya besifat advokasi.

2. Regulasi Perda

3. Distribusi film, adalah sebuah badan organisasi yang hanya menitikberatkan pada persoalan distribusi.

4. Eksibisi film, adalah lembag atau sebuah badan organisasi yang tugasnya mempromosikan dan mengedarkan film.

5. Badan Pengawas Reguator merupakan badan independen yang bertugas mengawasi implementasi Perda Perfilman di Jatim.

Kesimpulan

1. Jawa Timur belum siap membuat sistem perfilmannya sendiri.

2. Peran DKJT terlalu kompleks, jika implementasi Perda No. 8/ 2014 juga menjadi tanggung jawab DKJT.

3. Kepentingan pihak DPRD untuk menghabiskan anggaran, yang akhirnya melahirkan Perda ini.

4. Kepentingan sekelompok pihak untuk memonopoli seluruh produksi film di Jawa Timur. 5. Kepentingan Pemprov, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Provinsi diabaikan.

Referensi

Aryadien, Don. 2015. Krisis Lahirnya Film Nasional dari Jawa Timur. Disampaikan pada Rakor Pengembangan Perfilman di Jawa timur 10 – 12 September 2015

Data Penonton. (2015). <http://filmindonesia.or.id/movie/viewer/2015> ---. (2013). <http://filmindonesia.or.id/movie/viewer/2013> ---. (2011). <http://filmindonesia.or.id/movie/viewer/2011> Hark, Ina Rae. 2002. Exhibition the Film Reader. London: Routledge

Kurnia, Novi. 2006. Lambannya Pertumbuhan Industri Perfilman. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. 9 No. 3 Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Kurniawan, Aloysius Budi. 2015. Sikap Badan Ekonomi Kreatif terhadap Perfilman Nasional Perlu Diperjelas. http://print.kompas.com/baca/2015/04/17/Sikap Badan-Ekonomi-Kreatif-terhadap-Perfilman-Nas Nelmes, Jill. 2012. Introduction to Film Studies. New York: Routledge

Parks, Stacey. 2012. The I side s Guide to I depe de t Fil Dist i utio “e o d Editio . Oxford: Focal Press Peraturan Daerah Provinsi JawaTimur No. 8 Tahun 2004 tentang Pembangunan dan Pemberdayaan Perfilman

Jawa timur

Sugandhi, Aman. 2015. Aplikasi Perda Perfilman di Jawa Timur. Disampaikan pada Rakor Pengembangan Perfilman di Jawa timur 10 – 12 September 2015

Undang-undang No. 32/ 2004 tentang Pemerintah Daerah Undang-undang No. 33/ 2009 tentang Perfilman

Wijayani, Isna, Prof. Dr. 2007. Peran Media dalam Hubungan Negara, Pasar, dan Civil Society. Disampaikan pada Proses Pembelajaran Sekolah Demokrasi

Banyuasin di Palembang, 11 November 2007. www.launchingfilms.com

ISIS, Komunikasi Politik, dan Kejahatan Pascamodern