• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teknik-Teknik Perbaikan Sifat Keawetan Kayu

Dalam dokumen Deteriorasi dan perbaikan sifat pdf (Halaman 136-146)

BAB VII PERBAIKAN SIFAT KEAWETAN KAYU

A. Teknik-Teknik Perbaikan Sifat Keawetan Kayu

Ketahanan kayu terhadap serangan organisme disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal mencakup faktor lingkungan seperti suhu, pH, tekanan oksigen dan karbon dioksida parsial, dan kadar air (highley dan Kirk, 1979 dalam Febrianto, dkk., 2000). Sedangkan faktor internal antara lain kandungan zat ekstraktif, bagian dalam batang (teras dan gubal), dan umur pohon (Martawijaya, dkk., 2001). Pada dasarnya, kayu yang dapat menahan serangan organisme tersebut dalam periode waktu tertentu, misalkan 5-10 tahun di daerah tropis (Eaton and Hale, 1993), dapat dikatakan sebagai kayu yang awet. Demikian pula sebaliknya, kayu yang terserang dalam jangka waktu singkat dapat dikatakan sebagai kayu yang sangat rentan. Untuk memperbaiki ketahanan kayu terhadap organisme perusak kayu, berbagai teknik-teknik perbaikan sifat keawetan kayu dapat dilakukan antara lain:

A.1. Pengeringan Kayu

Air menyediakan beragam fungsi dalam kehidupan organisme dan proses pelapukan. Air merupakan reaktan, agen pengembang, dan medium difusi baik oleh enzim pendegradasi dan degradasi kayu. Air dalam kayu terdapat dalam bentuk air bebas dan air terikat. Air bebas terdapat dalam rongga sel dan dalam rongga-rongga lebih besar pada dinding sel kayu. Air terikat berinteraksi secara kimia dengan dinding sel dan lebih sulit untuk dikeluarkan. Titik di mana air bebas tidak ada dan air mengisi semua dinding sel diistilahkan dengan titik jenuh serat atau fiber saturation point (FSP). Kebanyakan jenis kayu memiliki TJS antara 27 – 30% (Morrel, 2002); di bawah titik ini air yang ada diasumsikan terikat dengan kayu dan merupakan air yang sebagian besar tidak dapat diakses oleh organisme perusak. Kebanyakan organisme perusak yang mendegradasi kayu membutuhkan kadar air (MC, moisture content) di atas TJS,

meskipun beberapa kumbang dapat menyerang kayu di bawah TJS, dan beberapa jamur pelapuk dapat memperoleh air dari tanah untuk meningkatkan kadar air yang memungkinkan untuk pertumbuhannya. Kadar air udara kayu pada kebanyakan bangunan berkisar antara 6 – 12%.

Kebanyakan jamur membutuhkan kayu pada level kadar air di atas TJS, tetapi sekali jamur mengkolonisasi substrat, jamur dapat melanjutkan pertumbuhan pada kadar air 20% (Scheffer, 1973). Pastinya, jamur tidak akan tumbuh baik pada kadar air lebih rendah (kadar air optimum antara 40-60%), namun keberadaannya dalam kayu harus dipertimbangkan dalam strategi remediasi. Beberapa serangga juga memiliki kemampuan serupa, pada awalnya memasuki pohon yang baru saja ditebang tetapi selanjutnya melengkapi siklus hidupnya pada kondisi kayu kering atau produk akhir.

Pada dasarnya, kayu utuh dan kebanyakan produk hutan lainnya dikeringkan sebelum digunakan untuk berbagai alasan, terutama untuk mengontrol kadar air produk. Sebagaimana diketahui bahwa kadar air kayu yang baru ditebang bervariasi dari lebih 200% sampai 40%. Mulai kayu pertama kali dikuliti sampai kering, maka kayu akan perlahan-lahan mengeluarkan air sampai mencapai kadar air yang sama dengan lingkungannya, biasanya sebesar 20% pada lingkungan basah dan sekitar 6% pada iklim panas yang kering. Pengeringan kayu dapat dilakukan dengan menggunakan kiln maupun dengan pengeringan alami. Jadi, meskipun tujuan utama pengeringan kayu adalah menurunkan kadar air, namun secara tidak langsung dapat menghambat timbulnya serangan organisme karena ketersediaan unsur pendukung kehidupannya tidak terpenuhi dari kayu.

A.2. Pengawetan Kayu

Pada prinsipnya, sistem pengawetan kayu dikembangkan untuk menyediakan perlindungan yang efektif bagi kayu terhadap serangan mikroorganisme, serangga dan api. Untuk maksud tersebut, impregnasi berbagai jenis bahan yang memiliki sifat proteksi yang dimasukkan ke dalam kayu, baik dari bahan alam maupun bahan sintesis. Pemberian bahan pengawet ini dapat diaplikasikan pada kayu utuh maupun produk kayu komposit. Pada produk komposit, pemberian bahan pengawet dapat diaplikasikan sebelum atau sesudah pengempaan (pressing) pada bahan kayu maupun perekatnya.

a) Pengawetan dengan bahan alam (biosida)

Adanya issu kesehatan manusia dan lingkungan telah menjadikan pengawetan kayu konvensional yang selama ini digunakan untuk melindungi kayu dari kerusakan oleh serangga dan mikrobial saat ini mendapat perhatian yang serius. Pencarian bahan pengawet alternatif dan ekonomis yang lebih ramah lingkungan telah banyak dilakukan oleh peneliti, meskipun efektivitas menahan serangan organisme belum sebaik jika menggunakan bahan pengawet yang berasal dari bahan kimia.

Salah satu bahan alam yang cukup banyak menarik perhatian adalah tanaman perdu guayule (Parthenieum argentatum Gray) sebagai bahan pengawet (Nakayama, 2005). Bahan resin yang diekstrak sebagai by-produk dari proses ekstraksi getah ditemukan memiliki sifat anti-rayap dan anti-jamur. Hasil uji laboratorium untuk menentukan ketahanan produk kayu dan papan komposit yang diimpregnasi dengan bahan resin yang diekstraksi dengan pelarut organik terhadap rayap tanah Reticulitermes spp. dan jamur brown rot Gleophyllum trabeum dan

Poria placenta (Fr.) Cook menunjukkan bahwa tanaman ini berpotensi untuk

menjadi alternatif bahan pengawet alami dan terbaharukan (Nakayama et al., 2001). Hal ini ditunjukkan oleh mortalitas rayap yang tinggi pada kayu maupun papan komposite yang diimpregnasi dengan resin content >50%, demikian pula dengan kayu pinus yang diimpregnasi dengan ekstrak resin memperlihatkan pengurangan bobot yang rendah pada kadar resin yang berbeda, yaitu 10,3% atau lebih untuk G.

trabeum dan 51,8% atau lebih untuk P. placenta.

Sejumlah penelitian sejenis dengan bahan alam yang berbeda juga diteliti untuk mendapatkan bahan pengawet yang ramah lingkungan, antara lain: pengembangan bahan pengawet kayu benign yang ramah lingkungan yang berbasis kombinasi biosida organik dengan antioksidan dan peng-chelat logam (Schultz and Nicholas, 2002); perbaikan ketahanan kayu dengan perlakuan metil alkenoat sussinat anhidrida (M-ASA) yang berasal dari tumbuhan (Morard et al., 2007); serta ketahanan papan partikel yang dibuat dari partikel yang diimpregasi dengan ekstaktif kulit Pinus brutia terhadap jamur (Nemli et al., 2006).

b) Pengawetan dengan bahan kimia sintesis

Sejauh ini penggunaan bahan kimia sintesis untuk melindungi kayu dan produk turunan kayu dari serangan orgaisme perusak kayu masih mendominasi industri perkayuan, meskipun dalam beberapa dekade terakhir ini mulai banyak menuai perhatian karena dampaknya yang membahayakan bagi lingkungan dan kesehatan manusia, terutama bahan pengawet berbasis arsenit/kromium. Namun ditinjau dari efektivitasnya dalam melindungi bahan berlignoselulosa, bahan pengawet kimia ini belum banyak tergantikan oleh bahan pengawet alami yang juga beberapa tahun ini juga mulai ramai dilirik oleh peneliti.

Pada dasarnya, bahan kimia yang dapat dijadikan bahan pengawet harus memiliki persyaratan-persyaratan tertentu. Bahan pengawet kayu yang baik untuk penggunaan komersial umumnya harus beracun terhadap perusak-perusak kayu, permanen, mudah meresap, aman untuk digunakan, tidak merusak kayu dan logam, banyak tersedia, dan murah. Untuk pengawetan kayu-kayu bangunan atau barang- barang kerajinan, atau untuk tujuan-tujuan khusus lainnya diperlukan juga bersih, tidak berwarna, tidak berbau, dapat dicat, tidak mengembangkan kayu, tahan api, kalis lembab, atau mempunyai kombinasi-kombinasi tertentu dari sifat-sifat ini. Keefektifan suatu bahan pengawet sebagian tergantung daya racunnya atau kemampuan menjadikan kayu itu beracun terhadap organisme-organisme yang makan kayu atau masuk ke dalamnya untuk memperoleh perlindungan. Beberapa bahan nampaknya dapat kalis terhadap serangga tanpa bersifat meracun, tetapi untuk perlindungan terhadap cendawan dan cacing laut sifat racun merupakan hal yang sangat penting.

Secara umum, bahan pengawet kimia yang selama ini banyak digunakan untuk memperpanjang masa pakai kayu dengan cara melindungi kayu dari serangan organisme perusak, dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: pengawet larut air dan pengawet larut minyak. Secara detail penjelasan dari kedua jenis pengawet ini dan keefektifannya melindungi kayu dari organisme perusak dapat dilihat pada bahan pengayaan Hunt and Garrat (1986).

Berbagai penelitian dengan menggunakan bahan pengawet kimia sintesis yang lebih ramah lingkungan juga terus dilakukan, antara lain penggunaan bahan pengawet organik/produk konsolidant ‘linfosolid’ (Lionetto and Frigione, 2009) kombinasi asam borat dan tall oil (Temiz et al., 2008), serta penggunaan bahan pengawet bebas arsenit/kromium (Lin, et al., 2009).

c) Pengawetan dengan impregnasi SCF (supercritical fluid)

Impregnasi SCF merupakan peluang yang cukup menjanjikan di masa depan untuk menghasilkan produk kayu maupun produk komposit yang tahan terhadap organisme perusak. SCF memiliki sifat yang mirip gas dan cairan. Karbondiokasida (CO2) adalah SCF yang umumnya banyak digunakan karena murah dan tidak

mudah terbakar (Gambar 1). Penelitian pendahuluan (Morrell et al., 1997) menyarankan bahwa SCF merupakan media yang ideal untuk membawa biosida ke dalam kayu.

Gambar 17. Diagram fase perubahan karbondiokasida

Penelitian terhadap daya tahan lima jenis panel kayu komersial yang diperuntukkan untuk tujuan konstruksi (softwood plywood, hardwood plywood, particleboard, medium density fiberboard, dan oriented strandboard) menunjukkan bahwa daya tahan panel kayu terhadap jamur maupun rayap setelah diawetkan dengan IPBC dan/atau Silafluofen mengunakan CO2 pada suhu dan tekanan yang

cukup rendah (35oC dan 80 kg/cm2) meningkat secara nyata (Muin dan Tsunoda, 2003; 2004). Suatu hal yang menarik dari hasil penelitian tersebut adalah bahwa

dengan penggunaan tekanan yang jauh lebih rendah dari yang digunakan oleh Acda

dkk (1996) dapat dihasilkan keawetan yang tinggi. Keadaan ini memberikan

indikasi bahwa kondisi perlakuan pengawetan yang diterapkan termasuk siklus prosesnya dapat dimodifikasi untuk menghasilkan tingkat keawetan yang berbeda dari jenis bahan kayu yang sama.

1. Modifikasi Kimia

Modifikasi kimia sebagai strategi inovatif untuk melindungi kayu yang ramah lingkungan dilengkapi dengan reaksi antara bahan kimia tertentu dengan makromolekul kayu tanpa meninggalkan residu beracun dalam kayu (Morard et al., 2002). Modifikasi kimia kayu adalah reaksi kimia antara bagian reaktif komponen kayu dan pereaksi kimia sederhana membenuk ikatan kovalen di anatar keduanya (Rowell, 1991). Modifikasi kimia dapat dilakukan dengan berbagai perlakuan kimia seperti esterifikasi dan eterifikasi. Oleh karena itu, ikatan kovalen yang terbentuk adalah ester dan eter (Matsuda, 1996). Pada kayu, polimer lignin (non-krostalin, aksesibel semua), hemiselulosa (non-kristalin, hampir aksesibel semua), selulosa non-kristalin, dan permukaan kristalin selulosa adalah komponen dinding sel yang bertanggung jawab terhadap penyerapan air (Rowell and Rowell, 1988). Bagian inilah yang merupakan tempat reaktif untuk modifikasi kimia.

Modifikasi kimia untuk meningkatkan ketahanan biologis didasarkan pada teori bahwa enzim harus berhubungan langsung dengan substrat dan harus mempunyai konfigurasi khusus. Meningkatnya ketahanan didasarkan pada ketidakmampuan enzim menguraikan turunan selulosa dan ketidakmampuan dinding sel mengabsorpsi air yang dibutuhkan oleh jamur pelapuk (Stamm and Baechler, 1960). Karena air merupakan kebutuhan hidup organisme, maka salah satu cara mengubah substrat secara kimia adalah mengubah sifat hidrofilik kayu (Rowell, 1984). WPG (Weight Percent Gain) merupakan ukuran peningkatan bobot kayu selama proses reaksi yang umumnya digunakan dalam modifikasi kimia.

Berbagai penelitian secara ektensif dilakukan untuk menentukan ketahanan biologis dari kayu yang telah diberi perlakuan asetat anhidrida dan anhidrida lainnya (asetilasi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kayu terasetilasi memperlihatkan ketahanan yang

baik terhadap jamur pelapuk brown rot, white rot dan soft rot (Takahashi, 1996), meskipun ketahanan terhadap kolonisasi jamur tingkat rendah termasuk mold dan stain terbukti tidak memuaskan (Beckers et al., 1994). Selain jamur, kayu terasetilasi juga memperlihatkan ketahanan terhadap serangan rayap tanah (Imamura dan Nishimoto, 1986) dan marine borer (Johson and Rowell, 1988).

Perbaikan ketahanan kayu terhadap biodeteriorasi juga telah dilakukan dengan proses modifikasi kimia lainnya, termasuk epoksidasi (Rowell et al., 1979), furfurilasi (Arif et al., 1998), reaksi dengan isosianat (Ellis and Rowell, 1984), ikatan silang dengan aldehida (Yusuf et al., 1994) dan oligoesterifikasi (Matsuda, 1993).

B. Bahan Diskusi

Mahasiswa diharapkan menyiapkan makalah (10-15 halaman) untuk masing- masing teknik perbaikan sifat keawetan kayu. Makalah diharapkan mengacu pada bahan bacaan pengayaan dan penelusuran dari internet dan jurnal. Kebaharuan pustaka menjadi salah satu penilaian utama.

C. Bahan Bacaan Pengayaan

Untuk pengayaan materi yang telah diuraikan di atas, mahasiswa dapat mempelajari secara mandiri bahan bacaan berikut:

1) Textbook

(1) Archer, K. and S. Lebow. 2006. Wood Preservation. In: Walker, J.C.F. (Eds.), Primary Wood Processing: Principles and Practice. Springer. Netherland. p: 297-338.

(2) Hunt, G.M. and G.A. Garratt. 1986. Pengawetan Kayu. Alih Bahasa: Mohammad Jusuf. Penerbit Akademika Pressindo. Jakarta.

(3) Zabel, R.A. and J.J. Morrell. 1992. Wood Microbiology: Decay and its Prevention. Edisi Pertama. Academic Press, Inc. San Diego. California.

(4) Eaton, R.A. and M.D.C. Hale. 1993. Wood: Decay, Pests and Protection. Edisi Pertama. Chapman & Hall. London.

(5) Kirk, T.K. and E.B. Cowling. 1984. Biological Decomposition of Solid Wood. In: R.Rowell (Eds.), The Chemistry of Solid Wood. Advances in Chemistry Series 207. American Chemical Society. Washington. p:455-488. (6) Schniewind, A.P. 1978. Concise Encyclopedia of Wood and Wood-based

Materials. Pergamon Press and the MIT Press. Oxford-Cambridge, Massachusetts. USA.

(7) Takahashi, M. 1996. Biological Properties of Chemically Modified Wood. In: Hon, S. (ed), Chemical Modification of Lignocellulosic Materials. Marcell Dekker Inc. New York. p:331-359.

2) Journal

(1) Nakayama, F.S. 2005. Guayule Future Development. Industrial Crops and Products 22: 3-13.

(2) Nakayama, F.S.. S.H. Vinyard, P. Chow, D.S. Bajwa, J.A. Youngquist, J.H. Muehl, and A.M. Krzysik. 2001. Guayule as a Wood Preservative. Industrial Crops and Products 14: 105-111.

(3) Schultz, T.P. and D.D. Nicholas. 2002. Development of Environmentally- Benign Wood Preservatives Based on the Combination of Organic Biocides with Antioxidants and Metal Chelators. Phytochemistry 61: 555-560.

(4) Morard, M., C. Vaca-Garcia, M. Stevens, J. Van Acker, O. Pignolet, and E. Borredon. 2007. Durability Improvement of Wood by Treatment with Methyl Alkenoate Succinic Anhydrides (M-ASA) of Vegetable Origin. International Biodeterioration and Biodegradation 59: 103-110.

(5) Muin, M. dan K. Tsunoda. 2003. Termiticidal Performance of Wood-based Composites Treated with Silafluofen Using Supercritical Carbon Dioxide. Holzforschung 57, 585-592.

(6) Muin, M. dan K. Tsunoda. 2004. Biological Resistance of Wood-based Composites Treated with an IPBC-silafluofen Formulation Using Supercritical Carbon Dioxide. Journal of Wood Science (in press).

(7) Morrell, J.J. 2002. Wood-based Building Components: What Have We Learned?. International Biodeterioration and Biodegradation 49: 253-258. (8) Nemli, G., E.D. Gezer, S.Yildiz, A. Temiz, and A. Aydin. 2006. Evaluation of

the Mechanical, Physical Propeties and Decay Resistance of Particleboard Made from Particles Impregnated with Pinus brutia Bark Extractives. Bioresource Technology 97: 2059-2064.

(9) Lionetto, F. And M. Frigione. 2009. Mechanical and Natural Durability Properties of Wood Treated with a Novel Organic Preservative/Consolidant Product. Material and Design 30: 3303-3307.

(10) Arif, A., Y.S. Hadi., S. Yusuf, and H. Adijuwana. 1998. Ketahanan Kayu Asetilisasi dan Kayu Furfurilasi terhadap Serangan Coptotermes gestroi Wasmann. The Fourth Pasific Rim Bio-Based Composite Symposium (Poster), Bogor. Indonesia

D. Latihan/ Soal-Soal

Agar kompetensi yang diharapkan dapat dicapai di akhir masa pembelajaran, mahasiswa diharapkan mengerjakan latihan/soal-soal yang tercantum dalam bahan ajar ini, sebagai berikut:

(1) Apa yang anda pahami tentang sifat keawetan kayu? serta kepentingannya untuk dipelajari.

(2) Uraikan hubungan antara setiap teknik yang telah diuraikan dengan sifat keawetan kayu.

(3) Uraikan pendapat anda, teknik mana yang paling mudah, ekonomis, efektif dan aman digunakan dalam memperpanjang masa pakai kayu.

DAFTAR PUSTAKA

Arif A. 2002. Handout Pengawetan Kayu. Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makassar.

Amin Y. dan Wahyu D. 2006. Pengaruh Suhu dan Tekanan Uap Air terhadap Fiksasi Kayu Kompresi dengan menggunakan Close System Compression. J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol. 4(2). jurnalmapeki.biomaterial-

lipi.org/jurnal/04022006/04022006-19-24.pdf. [7 Juni 2009]

BATAN. 2006. Teknologi Polimerisasi Radiasi untuk Peningkatan Mutu Kayu. Pusat Diseminasi Iptek Nuklir.

www.warintek.ristek.go.id/nuklir/polimerisasi_kayu.pdf. [7 Juni 2009]

Bodig J. And B.A. Jayne. 1993. Mechanics of Wood and Wood Composites. Krieger Publishing Company. Florida.

Chang HT, Chang ST. 2002. Moisture Excluding Efficiency and Dimensional Stability of Wood Improved by Acylation. Bioresource Tech. (85) 201 – 204. Deka, M & CN Saikia. 2000. Chemical modification of wood with thermosetting

resins: effect on dimensional stability and strength property. Regional Research Laboratory, Council of Scientific and Industrial Research, Jorhat-India. [4 November 2007].

Devi RR., T.K. Maji, A.N. Banerjee. 2003. Studies on Dimensional Stability and Thermal Properties of Rubber Wood Chemically Modified with Styrene and Glycidyl Methacrylate. Bioresour. Technol. 88(185).

Djoko G., R. Hilmato, A. Tusi. 2007. Rekayasa Pemadatan dan Pengawetan Kayu Non Komersial Menggunakan Limbah Oli Bekas untuk Bangunan Pertanian. Laporan Penelitian Proyek Pengkajian dan Penelitian Ilmu Pengetahuan Terapan. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Dirjen Dikti, Depdiknas. Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Lampung.

Haygreen, JG & JL Bowyer. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu: Suatu Pengantar. Terjemahan SA Hadikusumo. Ed: S Prawirohatmodjo. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Hill CAS. 2006. Wood Modification: Chemical, Thermal and Other Processes. John Wiley & Sons, Ltd. England.

Kalnins M.A. 1966. Surface Characteristics of Wood as They Affect Durability of Finishes. US Forest Serv. Res. Pap. FPL 57.

Plackett DV., Elisabeth AD., Adya P. Singh. 1996. Weathering of Chemically Modified Wood, in Chemical Modification of Lignocellulosic Materials. David N. -S. Hon. (Edt). Marcel Dekker, Inc. New York.

Pastore, TCM., Kelly O.S., Joel C.R. 2004. A Spectroscopy Study on Effect of Ultraviolet Irradiation of Four Tropical Hardwoods. Bioresource Tech 93(37-42).

Rommel, E. 2001. Pengaruh Tekanan Steam pada Peningkatan Karaktersitik dan Kualitas Kayu Glugu. Perpustakaan Perguruan Tinggi Kesatuan Bogor.

digilib.stiekesatuan.ac.id/gdl.php?mod...op...jiptumm...kayu (22 Juni 2009).

Rowell, RM. 1996. Physical and Mechanical Properties of Chemically Modified Wood. In Chemical Modification of Lignocellulosic Materials. Hon DNS (Edt). Marcel Dekker, Inc. New York.

Sulistyawati I, N. Nugroho, S. Surjokusumo, Y.S. Hadi. 2008. Kekuatan Lentur Glued Laminated (Glulam) Kayu Vertikal dan Horizontal dengan Metode ”Transformed Cross Section” . J. Tropical Wood Science and Technology Vol. 6 (2).  jurnalmapeki.biomaterial-lipi.org/jurnal/06022008/06022008-49-55.pdf. [7 Juni 2009]  

Tsoumis, G. 1991. Science and Technology of Wood: Structure, Properties, Utilization. Van Nostrand Reinhold. New York.

Zabel RA. and Morrell JJ. 1992. Wood Microbiology: Decay and Its Prevention. Academic Press, Inc. New York.

Dalam dokumen Deteriorasi dan perbaikan sifat pdf (Halaman 136-146)

Dokumen terkait