• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deteriorasi dan perbaikan sifat pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Deteriorasi dan perbaikan sifat pdf"

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

DETERIORASI DAN

PERBAIKAN SIFAT KAYU

MUSRIZAL MUIN

ASTUTI ARIF

SYAHIDAH

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

  i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... iii

BAB I KETAHANAN ALAMI KAYU ... 1

A. Pengertian Ketahanan Alami Kayu ... 1

B. Bahan Diskusi ... 5

D. Bahan Bacaan Pengayaan ... 6

E. Latihan/ Soal-Soal ... 6

BAB II FAKTOR ABIOTIK PERUSAK KAYU ... 7

A. Faktor Fisik ... 8

B. Faktor Kimia ... 18

C. Faktor Mekanis ... 20

D. Tugas/ Bahan Diskusi ... 21

E. Latihan/ Soal-Soal ... 21

F. Bahan Bacaan Pengayaan ... 21

BAB III FAKTOR PERUSAK BIOTIK ... 54

A. Organisme Pendegradasi Kayu ... 54

B. Jamur Penghuni Kayu ... 59

C. Serangga Perusak Kayu ... 69

D. Binatang laut ... 97

E. Bahan Diskusi ... 106

F. Bahan Bacaan Pengayaan ... 106

(3)

  ii

BAB IV MENDETEKSI DETERIORASI KAYU ... 108

A. Metode Konvensional ... 109

B. Metode Alternatif ... 113

C. Bahan Tugas ... 114

D. Bahan Bacaan Pengayaan ... 114

E. Latihan/ Soal-Soal ... 114

BAB V TUJUAN DAN MANFAAT PERBAIKAN SIFAT KAYU... 115

A. Bahan Diskusi ... 121

B. Bahan Bacaan Pengayaan ... 122

C. Latihan/ Soal-Soal ... 122

BAB VI PERBAIKAN SIFAT KEKUATAN KAYU ... 123

A. Metode-Metode Perbaikan Sifat Kekuatan Kayu ... 125

B. Bahan Tugas ... 133

C. Latihan/ Soal-Soal ... 133

BAB VII PERBAIKAN SIFAT KEAWETAN KAYU ... 134

A. Teknik-Teknik Perbaikan Sifat Keawetan Kayu ... 135

B. Bahan Diskusi ... 141

C. Bahan Bacaan Pengayaan ... 141

D. Latihan/ Soal-Soal ... 143

(4)

  iii KATA PENGANTAR

Puji syukur disampikan ke hadirat Allah SWT atas berkah dan hidayah-Nya sehingga buku ajar mata kuliah Deteriorasi dan Perbaikan Sifat Kayu ini dapat diselesaikan. Buku ini disusun oleh Tim Pengajar untuk menjadi salah satu sumber belajar bagi mahasiswa di Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Sebagai sumber belajar, buku ini disusun dengan menggunakan rumusan bab per bab dengan tujuan khusus masing-masing. Buku ini memuat aspek-aspek Ketahanan Alami Kayu, Faktor Perusak Kayu, Teknik dan Peranan Perbaikan Sifat Kayu serta Bagaimana Mendeteksi Deteriorasi Kayu.

Walaupun buku ini hanya menyangkut aspek-aspek umum dari Deteriorasi dan Perbaikan Sifat Kayu, penulis berharap buku ajar ini dapat menjadi buku pegangan mahasiswa Program Sarjana dalam menempuh studi dan mengembangkan pengetahuan di Fakultas Kehutanan. Beberapa bahan pengayaan didalam buku ini juga diharapkan dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan deteriorasi dan perbaikan sifat kayu atau dalam mengembangkan ilmu secara spesifik. Dengan selesainya buku ajar ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Pimpinan Fakultas atas bantuan dana yang disediakan.

Penulis

(5)

BAB I

KETAHANAN ALAMI KAYU

Tujuan Umum : Bab ini secara umum bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang: (1) pengertian ketahanan alami kayu, (2) variasi ketahanan alami kayu, dan (3) hubungan ketahanan alami kayu dengan tujuan penggunaannya.

Tujuan Khusus : Bab ini secara khusus memberikan kemampuan kepada mahasiswa untuk dapat menjelaskan dan mengemukakan contoh tentang bagaimana sifat-sifat dasar kayu mempengaruhi ketahanan kayu (kekuatan dan keawetan).

A. Pengertian Ketahanan Alami Kayu

Kayu yang dikenal sebagai produk alami karena dihasilkan dari proses pertumbuhan pohon pada dasarnya adalah bahan polimer yang tersusun atas berbagai tipe sel dan jenis bahan kimia yang satu sama lain saling berhubungan. Dengan demikian, kayu memiliki sifat anatomi, fisik, kimia, dan mekanis yang juga khas secara alami sehingga akan bervariasi antar jenis, antar pohon dalam satu jenis, dan antar bagian dalam satu pohon. Perbedaan sifat-sifat tersebut tentu saja berimplikasi pada perbedaan ketahanan alami dari kayu. Olehnya itu, mudah dimengerti bahwa setiap faktor perusak kayu akan memiliki dampak atau mengakibatkan deteriorasi dengan tingkat yang berbeda pada setiap potong kayu. Adanya serangan organisme perusak kayu pada suatu struktur bangunan tidak berarti bahwa seluruh kayu yang ada dalam struktur tersebut akan diserang secara merata. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan ketahanan dari setiap potong kayu yang menyusun struktur tersebut. Meskipun demikian, adanya serangan tersebut dapat mempengaruhi ketahanan struktur secara keseluruhan sehingga apapun tipe dan bentuk gangguan dari faktor perusak yang muncul seharusnya dihindari sedini mungkin.

(6)

organisme perusak kayu. Meskipun demikian, ketahanan kayu juga dapat diartikan secara umum sebagai daya tahan kayu terhadap faktor-faktor perusak, baik faktor biotik maupun faktor abiotik. Untuk memahami pengertian ini diperlukan pengetahuan tentang bagaimana hubungan antara kayu sebagai produk alam dengan faktor-faktor perusak dalam suatu kondisi penggunaan kayu.

Kayu sebagai produk alam harus dipahami sebagai biopolimer yang tersusun atas sel-sel, mengandung persenyawaan kimia berupa selulosa, hemiselulosa, lignin, dan bahan ekstraktif. Pembentukan biopolimer tersebut juga membutuhkan waktu bertahun-tahun dengan keterlibatan tempat dan lingkungan tumbuh. Olehnya itu mudah dimengerti bahwa kayu dapat terurai kembali menjadi komponen-komponen pembentuknya.

Kayu merupakan bahan organik yang melimpah di bumi. Pohon membentuk kayu melalui proses fotosintesis dan jamur beserta agen perusak lainnya merusak kayu melalui proses respirasi yang berperan dalam siklus biosintesis dan biodekomposisi. Hubungan tersebut digambarkan oleh reaksi sederhana berikut yang merupakan bagian dominan dalam siklus karbon:

fotosintesis oleh pohon dan tanaman lain

6n CO2 + 5n H2O + 677.000 n kalori (C6H10O5) n + 6n O2 ... (1)

respirasi oleh jamur

dan organisme perusak lainnya

(7)

Ada dua tipe utama sel kayu yang terbentuk dari pembelahan kambium, yaitu sel serat (fiber) yang berdinding tebal yang membuat kayu kuat dan sel parenkim (parenchyma) berdinding tipis yang menyimpan cadangan makanan. Serat kayu akan mati beberapa hari atau minggu setelah terbentuk dan kehilangan isi sitoplasmanya dan berubah fungsi menjadi pengangkut air. Sel serat dewasa seluruhnya terdiri atas polimer dinding sel yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin. Oleh karena itu, sel serat kayu dapat didegradasi hanya oleh organisme yang mempunyai kemampuan mendekomposisi bahan struktural berpolimer tinggi. Sebaliknya, sel parenkim tetap hidup selama beberapa tahun dan hanya kehilangan kandungan sitoplasmanya bila kayu gubal dirubah menjadi kayu teras. Gula, pati, asam amino, dan protein dalam sel parenkim membuat kayu gubal sangat rentan (susceptible) terserang oleh sejumlah besar jamur dan bakteri yang dapat menggunakan bahan cadangan makanan tetapi tidak menyerang polimer dinding sel yang kompleks.

Kayu teras dari spesies tertentu memiliki ketahanan (resistant) sedang sampai tinggi terhadap dekomposisi oleh organisme yang dapat mendegradasi dinding sel. Daya tahan tersebut disebabkan oleh fenol, terpena, alkaloid, dan substansi lain yang menumpuk dalam kayu teras dan merupakan racun bagi jamur perusak kayu, bakteri, serangga dan marine borer. Karena substansi beracun tersebut tidak terdapat dalam kayu gubal, kayu gubal mati pada semua spesies sangat mudah mengalami dekompoisi biologis. Pada kayu gubal pohon yang masih hidup pada dasarnya tahan terhadap pelapukan karena aktifnya mekanisme pertahanan, sebaliknya kayu teras lebih mudah terserang dari kayu gubal yang masih hidup. Meskipun sejumlah besar jamur dan beberapa jenis serangga dapat menyebabkan dekomposisi jaringan kayu teras mati, jarang ada organisme yang melakukan dekomposisi produk kayu setelah pohon ditebang, teutama setelah dikeringkan.

(8)

sebagai bahan makanan atau tempat perlindungan. Sedangkan lingkungan abiotik mampu mempengaruhi ketahanan kayu karena adanya interaksi fisik, mekanis maupun kimia yang dapat merombak/ merubah komposisi kimia dan bentuk kayu.

Beberapa studi menitikberatkan ketahanan kayu lebih pada daya tahannya terhadap organisme perusak sehingga banyak pustaka yang selalu menggandengkan pengertian ketahanan kayu dengan organisme perusak. Hal ini mudah dimengerti karena daya tahan kayu terhadap serangan organisme perusak (keawetan) dapat mempengaruhi kekuatan kayu secara nyata pada saat serangan tersebut merombak atau mengurangi unsur penyusun kayu, yang biasa diistilahkan dengan kehilangan berat (weight loss). Sebaliknya, daya tahan kayu terhadap beban yang diberikan (kekuatan) relatif tidak berhubungan dengan keawetan kayu. Namun demikian, selain serangan organisme perusak, ada faktor-faktor abiotik yang juga mampu merombak atau mengurai unsur-unsur penyusun kayu dan mempengaruhi umur pakai kayu (keawetan) serta kekuatannya. Hanya saja faktor abiotik ini relatif membutuhkan waktu yang lama untuk melihat dampaknya secara nyata dibanding dengan faktor biotik.

(9)

merombak komponen utama pembentuk kayu seperti lignin dan selulosa, serta menurunkan kekuatan kayu.

Ketahanan alami kayu yang bervariasi menunjukkan adanya faktor-faktor bawaan yang mempengaruhinya. Faktor-faktor ini perlu diketahui sebagai bahan referensi dalam memperkirakan atau menentukan kelas ketahanan kayu, baik kekuatan maupun keawetannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan alami kayu secara umum adalah seluruh sifat-sifat dasarnya yang meliputi struktur anatomi, sifat fisis, dan unsur kimia penyusunnya. Faktor-faktor ini juga memiliki hubungan yang kuat satu sama lain.

B. Bahan Diskusi

Pada bagian ini, mahasiswa secara sendiri-sendiri atau kelompok diminta untuk mendiskusikan dan menyampaikan pendapat tentang bagaimana sifat-sifat dasar kayu mempengaruhi ketahanan kayu (kekuatan dan keawetan). Secara umum, diskusi dijalankan dengan menggunakan skema pertanyaan berikut.

Struktur Anatomi Sifat Fisis Komponen Kimia

? ? ? ? ? ?

Kekuatan ? ? ? ? ? ?

Keawetan ? ? ? ? ? ?

Diskusi dalam kelas dilaksanakan dengan mekanisme sebagai berikut:

1. Peserta mata kuliah dibagi atas tiga kelompok, yaitu: (1) Anatomi; (2) Fisis; dan (3) Kimia.

2. Setiap kelompok memilih ketua kelompok yang akan memimpin diskusi internal kelompoknya untuk mengidentifikasi sifat-sifat dasar, sesuai kelompoknya, yang dapat mempengaruhi kekuatan dan keawetan kayu.

(10)

4. Ketua kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya di depan kelas untuk ditanggapi oleh kelompok lainnya.

C. Bahan Bacaan Pengayaan

D. Latihan/ Soal-Soal

1. Jelaskan hubungan antara sifat anatomi kayu dengan kekuatan dan keawetannya, berikan salah satu contoh kasus !

2. Jelaskan hubungan antara sifat kimia kayu dengan kekuatan dan keawetannya, berikan salah satu contoh kasus !

(11)

BAB II

FAKTOR ABIOTIK PERUSAK KAYU

Tujuan Umum : Bab ini secara umum bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang faktor abiotik perusak kayu, kondisi dan tingkat serangan, serta

penanganannya secara awal.

Tujuan Khusus : Bab ini secara khusus memberikan kemampuan kepada mahasiswa untuk dapat menganalisis potensi kerusakan kayu akibat faktor abiotik.

Deteriorasi kayu akibat faktor abiotik dapat dilihat pada unsur kayu bangunan yang

mengalami perubahan warna setelah digunakan dalam jangka waktu tertentu. Kerusakan

ini akan semakin besar jika kayu tersebut tidak diberikan perlakuan/perlindungan

sebagaimana mestinya, terlebih lagi jika digunakan pada kondisi yang terekspos terhadap

lingkungan luar. Banyak faktor yang menyebabkan kondisi tersebut dapat terjadi.

Umumnya, hal tersebut disebabkan oleh pengaruh cuaca (weathering), dimana kayu akan

mengalami oksidasi dan fotodegradasi oleh sinar ultraviolet dari matahari.

Selain akibat cuaca, faktor lain yang juga dapat menyebabkan deteriorasi adalah api

dimana seringkali terjadi suatu bangunan mengalami kebakaran yang akibatnya akan

menghabiskan konstruksi tersebut. Faktor lain adalah adanya zat kimia yang mengenai

kayu terutama pada peralatan penampungan bahan kimia maupun meja-meja

laboratorium yang terbuat dari kayu. Keberadaan faktor-faktor ini sangat penting untuk

dipahami agar dapat diupayakan suatu tindakan pencegahan deteriorasi kayu akibat

faktor abiotik tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa faktor abiotik ialah faktor

yang disebabkan oleh unsur pengaruh alam dan keadaan alam itu sendiri, yang terdiri

atas:

1. Faktor fisik, ialah keadaan atau sifat alam yang mampu merusak komponen kayu sehingga umur pakainya menjadi pendek. Yang termasuk faktor fisik antara lain: suhu

dan kelembaban udara, panas matahari, api, udara dan air. Semua yang termasuk

faktor fisik itu mempercepat kerusakan kayu bila terjadi penyimpangan. Misalnya bila

(12)

2. Faktor mekanik, terdiri atas proses kerja alam atau akibat tindakan manusia. Yang termasuk faktor mekanik antara lain: pukulan, gesekan, tarikan, tekanan dan lain

sebagainya. Faktor mekanik berhubungan erat sekali dengan tujuan pemakaian.

3. Faktor kimia, juga mempunyai pengaruh besar terhadap umur pakai kayu. Faktor ini bekerja mempengaruhi unsur kimia yang membentuk komponen seperti selulosa,

lignin dan hemiselulosa. Unsur kimia perusak kayu antara lain: pengaruh garam,

pengaruh asam dan basa.

Secara khusus, pada bab ini akan dibahas faktor perusak kayu yang berasal dari

unsur-unsur alam (faktor abiotik) yaitu faktor fisik (air, cuaca/weathering, panas/thermal

decomposition), faktor kimia (chemical decomposition) dan faktor mekanis (mechanical

wear).

A. Faktor Fisik

A.1. Air

Air sebagai salah satu kebutuhan dalam pertumbuhan pohon akan mengisi dinding

sel dan rongga sel kayu. Seperti diketahui bahwa air pada sel dapat berupa air terikat, air

bebas dan uap air. Air terikat (bound water) adalah air yang terdapat pada dinding sel,

sedangkan air bebas (free water) dan uap air adalah air yang terdapat pada rongga sel.

Air bebas akan mempengaruhi berat kayu sedangkan air terikat akan mempengaruhi berat

dan dimensi kayu. Dengan demikian, kadar air kayu sangat mempengaruhi sifat-sifat

kayu seperti stabilitas dimensi, sifat mekanik dan ketahanan terhadap kerusakan.

Telah diketahui bahwa kayu merupakan bahan yang bersifat higroskopis, karena

polimer dinding selnya mengandung gugus hidroksil yang reaktif. Pada lingkungan yang

mengandung uap air, kayu kering akan menyerap uap air sampai kadar air kesetimbangan

dengan lingkungan. Begitu juga kayu yang jenuh air ketika ditempatkan ditempat yang

kelembaban relatifnya lebih rendah akan kehilangan uap air sampai kadar air

kesetimbangan dengan lingkungan. Dimensi kayu akan berubah sejalan dengan

perubahan kadar air dalam dinding sel, karena di dalam dinding sel terdapat gugus OH

(13)

Kembang susut kayu yang paling besar berturut-turut adalah pada bidang tangensial,

radial dan aksial. Stabilitas dimensi kayu adalah kemampuan kayu itu untuk menahan

perubahan dimensi karena perubahan kondisi kadar air.

Ada beberapa cara untuk mengurangi perubahan dimensi kayu yang disebabkan

oleh air yaitu:

1. Menghalangi penyerapan uap air dengan pelapisan produk, berupa pelapisan

dengan cat dan resin sintetis. Cara ini merupakan cara yang umum tapi tidak

efektif, karena hanya akan memperlambat laju difusi dan tidak mampu

menghalangi gerakan uap air secara sempurna.

2. Menghalangi perubahan dimensi dengan penahanan yang membuat gerakan

menjadi sukar atau tidak mungkin. Masalah pada cara ini adalah terjadinya

tekanan-tekanan internal apabila kayu berusaha mengembang tetapi dihalangi,

sehingga dapat mengakibatkan gangguan bentuk atau cacat kayu.

3. Memperlakukan kayu dengan bahan yang menggantikan semua atau sebagian air

terikat di dalam dinding sel. Dilakukan pada kayu yang masih segar dan bahan

perlakuan tetap tinggal dalam dinding sel ketika kayu tersebut dikeringkan.

Bahan yang pertama digunakan adalah resin fenol formaldehid (PF) melalui

proses impregnasi. Bahan lainnya adalah polietilen glikol (PEG), berupa seperti

lilin yang dilarutkan dengan air.

4. Menghasilkan kayu untuk menghasilkan saling ikatan silang antara gugus

hidroksil dalam dinding sel kayu. Ikatan silang dapat mengurangi higroskopisitas

kayu dengan mengurangi tempat ikatan untuk air di dalam dinding sel.

5. Pengisian dengan monomer-monomer plastik seperti metil metakrilat dan stiren

akrilonitril. Monomer tersebut dapat dipolimerisasikan dengan radiasi atau

pemanasan dengan katalisator yang sesuai.

Sebagai contoh, suatu penelitian modifikasi kimia pada kayu karet dengan styrene

yang dikombinasikan dengan crosslinker Glycidyl Methacrylate (GMA) menunjukkan

(14)

volume, anti-shrink efficiency dan mengurangi penyerapan air. Ketahanan kimia sampel

yang diberi perlakuan juga lebih tinggi dibandingkan sampel tanpa perlakuan.

A.2. Pencuacaan (Weathering)

Weathering adalah proses yang terjadi pada permukaan kayu dan melibatkan

cahaya yang menyebabkan kerusakan lignin sehingga terurai dan dapat larut dalam air.

Apabila hal tersebut terjadi, lignin akan tercuci dari permukaan kayu dan meninggalkan

permukaan yang kaya komponen selulosa. Ada beberapa pendapat bahwa degradasi

lignin kemungkinan berasosiasi dengan kerusakan karbohidrat dalam proses weathering.

Faktor kunci yang menyebabkan weathering kayu adalah cahaya UV dan air, meskipun

terdapat juga indikasi keterlibatan cahaya tampak. Selain itu juga terdapat peran radikal

bebas dalam proses oksidatif yang terjadi selama weathering, dan beberapa polutan di

udara seperti sulfur dioksida dan nitrogen dioksida memperburuk proses weathering kayu.

Adanya fakta weathering pada kayu mengakibatkan dibutuhkannya proteksi permukaan

seperti cat atau lapisan penutup lainnya dalam berbagai aplikasi.

Faktor perusak kayu yang disebabkan oleh cuaca (weathering) terutama berupa

fotodegradasi oleh sinar ultra violet (UV) dan oksidasi. Fakta-fakta yang terkait dengan

pencuacaan dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. kerusakan fotokimia komponen dinding sel kayu oleh gelombang pendek dan

gelombang panjang UV,

2. reaksi oksidasi dari produk dekomposisi komponen dinding sel,

3. pencucian produk dekomposisi yang mudah larut, dan

4. kerusakan mekanik elemen permukaan yang terkait dengan pengembangan dan

penyusutan kayu akibat pembasahan (wetting) dan pengeringan (drying).

Permukaan kayu yang diekspos terhadap cuaca akan terdekomposisi, dimana di

antara komponen utama kayu, lignin mempunyai absorpsi sinar UV terbesar

dibandingkan dengan komponen kayu lainnya. Dengan demikian lignin juga merupakan

komponen pertama yang akan terdekomposisi oleh radiasi UV. Radiasi UV

(15)

berangsur-angsur akan menjadi lebih terang karena ligninnya terdekomposisi sehingga akan mudah

tercuci oleh air hujan dan yang tertinggal adalah komponen selulosa dan proses ini akan

berulang terus-menerus yang pada akhirnya akan membuat kayu menjadi rusak.

Evans et al. (1992) dalam Plackett et. al (1996) meneliti tingkat delignifikasi

permukaan radiata pine (Pinus radiata D. Don) menggunakan finir yang diekspos pada

kondisi cuaca alami dan menunjukkan kehilangan lignin secara substansial setelah 3 hari

dipaparkan. Kehilangan berat sampel yang terjadi ternyata karena rusaknya lignin akibat

pencucian oleh air hujan. Penelitian yang dilakukan oleh Norrstrom (1969) dalam

Plackett et. al (1996) menunjukkan bahwa degradasi kayu yang disebabkan oleh UV 80 –

90% terjadi pada lignin, 5 – 20% pada karbohidrat, dan hanya 2% pada ekstraktif.

Berdasarkan Scanning electron microscopy (SEM) dan transmission electron microscopy

(TEM) ternyata bahwa lignin pada sudut dinding sel dan lamella tengah lebih dahulu

terdegradasi pada tahap awal penyinaran UV pada percobaan laboratorium. Degradasi

dinding sel secara massif tidak terjadi saat permukaan kayu diekspos pada cahaya UV

selama lebih dari 10 hari.

Hon dan Chang (1984) dalam Plackett et. al (1996) menunjukkan bahwa kandungan

lignin pada permukaan southern yellow pine turun dari 28% menjadi 14,5 % pada

pemaparan dengan cahaya UV. Dikatakan juga bahwa absorpsi cahaya UV oleh lignin

dapat menghasilkan transfer energi dan berkontribusi terhadap pemecahan sellulosa.

Hemisellulosa memiliki karakteristik absorpsi UV yang hampir identik dengan selulosa

(Hon, 1981) dan dapat menghasilkan degradasi produk yang lebih larut dalam air

dibandingkan dengan sellulosa pada derajat polimerisasi yang sama.

Di antara semua faktor lingkungan yang dapat menyebabkan degradasi pada kayu,

sinar UV dari cahaya matahari merupakan penyebab kerusakan terbesar. Dari komponen

utama kayu, lignin berkontribusi 80-95% terhadap koefisien penyerapan UV oleh kayu,

sementara karbohidrat 5-12% dan ekstraktif 2% (Kuo dan Hu, 1991 dalam Pastore et al.

2004). Lignin merupakan komponen pertama yang didekomposisi oleh radiasi UV (Hon

dan Feist, 1986 dalam Pastore et al. 2004) melalui mekanisme kompleks oleh radikal

bebas (Moore dan Owen, 2000 dalam Pastore et al. 2004). Selanjutnya Pastore et al.

(16)

terhadap weathering. Pertama akan menjadi gelap, kemudian kuning atau coklat dan

akhirnya warna perak keabua-abuan akan dominan. Penelitian oleh Kalnins (1966)

mengindikasikan bahwa ekstraktif dalam Douglas fir adalah antioxidan dan karena itu

ekstraktif kemungkinan memberikan efek perlindungan terhadap fotodegradasi kayu.

Miniutti (1964) dalam Plackett et. al (1996) menggunakan SEM untuk

menunjukkan bahwa perubahan utama yang terjadi pada kayu yang disinari UV adalah

rusaknya noktah pada pinggir dinding sel radial dan pembentukan microcheck sepanjang

sudut fibril dalam dinding sel tangensial. Dalam studi yang sama, SEM juga digunakan

untuk menjelaskan degradasi awal lignin pada sudut sel dan dalam lamella tengah selama

tahap awal penyinaran UV. Groves dan Banana (1986) menggunakan SEM untuk

meneliti weathering alami Pinus radiata dan menemukan bahwa deteriorasi

mikrostruktur kayu terjadi setelah 4 bulan dipaparkan. Degradasi permukaan dan

pengikisan permukaan kayu terjadi setelah 6 bulan dipaparkan.

Feist (1982) dalam Plackett et. al (1996) menyimpulkan bahwa aspek signifikan

weathering kayu pada aplikasi struktural menimbulkan pengaruh estetik seperti

perubahan warna, kekasaran, retak permukaan, timbulnya kotoran, dan pertumbuhan

lumut/jamur. Perubahan tersebut dapat terjadi sangat cepat, tapi sering juga hanya sedikit

perubahan nyata lebih lanjut selama beberapa tahun dengan ketiadaan perusak. Hon

(1983) dalam Plackett et. al (1996) mereview reaksi weathering dan proteksi permukaan

kayu dan menyatakan bahwa pada umumnya cuaca menyebabkan terjadinya diskolorisasi

(17)

Gambar 1. Perubahan warna akibat pencuacaan di luar ruangan western red cedar, redwood, southern yellow pine, dan Douglas fir di USA

Penelitian di New Zealand yang melakukan pemaparan Pinus radiata dan western

red cedar (Thuja plicata) memberikan hasil yang sama (Gambar 2).

Gambar 2. Perubahan warna akibat pencuacaan di luar ruangan radiata pine dan western red cedar di New Zealand

Bila kayu tidak dilindungi dengan pelapisan (coating) dan terpapar ke atmosfer dan

matahari, disintegrasi fisik dan kimia secara perlahan akan terjadi pada permukaan kayu.

Permukaan kayu segar mulai berubah warna setelah beberapa minggu terpapar di luar

(18)

perlahan menjadi coklat. Setelah beberapa tahun terpapar di luar ruangan, permukaan

kayu perlahan-lahan akan berwarna abu-abu.

Pada awalnya, warna kayu berubah menjadi coklat sebagai hasil dekomposisi

fotokimia lignin dan zat ekstraktif membentuk radikal bebas yang menimbulkan

dekomposisi lanjut karbohidrat struktural dan oksidasi sebagian fenolik. Permukaan

yang tercuci lalu mengeluarkan produk dekomposisi yang mudah terlarut, memaparkan

karbohidrat struktural yang lebih tahan terhadap penyinaran (photoresistant) yang juga

didegradasi secara fotokimia dan dioksidasi oleh produk dekomposisi dan agen atmosfer.

Xilan didekomposisi dan lebih mudah tercuci dibandingkan dengan selulosa atau

hemiselulosa kaya glukan. Residu selulosa dan permukaan yang ditumbuhi oleh jamur

berpigmen seperti Aureobasidium pullulans membentuk warna abu-abu. Laju pencuacaan

akan berkurang bila lapisan luar (outer shell) yang mengalami pencuacaan telah

terbentuk dan melindungi permukaan kayu dari kerusakan fotokimia lebih lanjut. Namun

pembasahan dan pengeringan yang berkesinambungan dari permukaan yang tercuacakan

menimbulkan keretakan permukaan, kerusakan mekanik terlokalisasi dan pengelupasan

kulit secara perlahan dari permukaan. Variasi laju pencuacaan dapat disebabkan oleh

perbedaan geografis, lokasi, metode pengujian dan spesies kayu. Pencuacaan

diperkirakan menghilangkan permukaan kayu 6 -7 mm per abad di zona temparate

(Browne, 1960; Kuhne et al., 1972) dalam Arif (2002) dan 1 mm per abad untuk kayu

yang terpapar di kutub utara.

Coating atau film yang mengabsorpsi atau merefleksikan sinar UV dan mengurangi

perubahan kadar air permukaan merupakan metode pencegahan pencuacaan konvensional

pada kayu yang terpapar di luar ruangan. Perlakuan dengan penolak air (water repellent

treatment) juga mengurangi fluktuasi kadar air pada pemakaian kayu di luar ruangan.

Perlakuan kayu dengan bahan kimia seperti Cr2O3 mengurangi pencuacaan dan

dilaporkan dua kali lipat masa pakai dari lateks dan cat berbasis minyak (Feist dan Ellis,

1978) dalam Arif (2002).

(19)

A.3. Faktor Panas (Thermal Decomposition)

Lignoselulosa terbakar karena polimer dinding sel mengalami reaksi pirolisis

dengan meningkatnya suhu yang menguapkan zat-zat volatil dan gas-gas yang mudah

terbakar. Polimer selulosa dan hemiselulosa lebih dahulu terdegradasi oleh panas

sebelum lignin. Komponen lignin berperan terhadap pembentukan arang dan lapisan

arang ini melindungi komposit dari degradasi panas. Hubungan antara panas dengan

kerusakan kayu yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 3 berikut :

Gambar 3. Hubungan antara panas dengan kerusakan kayu yang terjadi

Dekomposisi kayu karena panas, seperti banyak senyawa karbon, mudah terjadi

pada suhu tinggi. Pada awalnya, perubahan perlahan mulai sekitar suhu 100oC. Terdapat perubahan warna, kehilangan kekuatan yang serius, pengurangan sifat higroskopisitas,

kehilangan berat, dan evolusi gas seperti CO, CO2, CH2 dan uap air. Perubahan tersebut

tergantung waktu dan meningkat cepat pada suhu yang lebih tinggi. Pembakaran

(20)

Proses pada Suhu Rendah (<200oC)

Pengaruh suhu rendah pada kayu sangat penting karena kehilangan kekuatan yang

nyata terjadi pada kisaran suhu ini. Dekomposisi panas kayu mulai pada suhu 100oC. Kayu berubah coklat, permukaan menjadi rapuh (brittle), dan perlahan terjadi kehilangan

berat dan kehilangan kekuatan. Pengaruh suhu ini dapat diamati pada balok yang

diletakkan pada oven (104oC) selama beberapa minggu atau papan gergajian yang dikeringkan secara berlebih di kilang pengering (kiln dry). Warna kecoklatan dan

permukaan brashness dari kayu, mirip tahap awal dari beberapa pelapuk coklat (brown

rot). Keseragaman pewarnaan dan tidak adanya struktur jamur memudahkan

memisahkan kerusakan akibat panas dengan pelapukan tahap awal.

MacLean (1951) dalam Arif (2002) menetapkan kehilangan berat kayu terkait

dengan variasi suhu dan periode keterpaparan, rata-rata dari 11 spesies komersil, sebagai

berikut :

Periode Keterpaparan Suhu (oC) Kehilangan Berat (%)

1 tahun 93 2,7

470 hari 121 26,8

400 jam 149 14,8

102 jam 167 21,4

Kekuatan cepat berkurang oleh pemaparan pada suhu tinggi (Gambar 3). Tidak ada

asap atau penyalaan kayu dihasilkan bila kayu dipaparkan pada suhu di bawah 200oC. Gas-gas utama yang dilepaskan adalah CO2 dan uap air.

Proses pada Suhu Tinggi (>200oC)

Pirolisis (pemanasan tanpa adanya O2) dikenal selama proses distilasi kayu (

wood-distillation process) dimana dihasilkan gas-gas yang mudah terbakar yaitu CH4 dan CO.

Juga banyak senyawa dilepaskan seperti asam asetat, metanol, asam format, furfural,

(21)

menyumbang karakteristik bau dari asap kayu. Produk akhir yang tersisa adalah arang /

karbon (charcoal) yang telah banyak dimanfaatkan oleh banyak industri.

Pada pembakaran, kayu akan cepat terdekomposisi pada suhu di atas 200oC dengan adanya O2 dan melepaskan gas-gas yang mudah terbakar seperti CH4 dan CO. Pada suhu

sekitar 275oC, suhu nyala dan panas yang dilepaskan mempercepat pembakaran dan proses dekomposisi.

Urutan pemutusan komponen dinding sel dengan bertambahnya suhu adalah

hemiselulosa, selulosa dan lignin. Hemiselulosa kurang stabil terhadap panas dan

mengalami dekomposisi pada kisaran suhu 225-325oC. Lignin terdekomposisi pada kisaran suhu 250-500oC, sedangkan selulosa pada suhu lebih tinggi dan terbatas pada kisaran 325-375oC (Shafizadeh dan Chin, 1977) dalam Arif (2002). Kayu yang terkarbonisasi pada tahap akhir dekomposisi secara tekstural mirip brown rot dan

menarik untuk dicatat bahwa lignin juga merupakan komponen kayu terakhir yang

dikonsumsi sempurna pada beberapa pelapukan jamur.

A.4. Fire Retardant

Daya tahan bakar kayu dapat ditingkatkan misalnya dengan membuat kayu itu

menjadi anti api (fire proof), antara lain sebagai berikut :

1. Menutup kayu itu dengan bahan lapisan yang tidak mudah terbakar yang

berfungsi melindungi lapisan kayu di bawahnya terhadap api, misalnya asbes

atau pelat logam

2. Menutup kayu itu dengan bahan-bahan kimia yang bersifat mencegah

terbakarnya kayu, misalnya jenis cat tahan api, persenyawaan garam antara lain

amonium dan boor zuur

3. Mengimpregnir kayu itu dengan macam-macam bahan kimia yang bersifat

mengurangi terbakarnya kayu. Ada juga bahan-bahan lain yang menghasilkan

(22)

4. Bahan kimia penahan yang efektif adalah ammonium fosfat, ammonium sulfat,

boraks, dan seng klorida. Bahan tersebut telah diteliti secara empirik namun

mekanisme perlindungannya kurang dipahami.

B. Faktor Kimia

Sebagai bahan struktural, kayu memperlihatkan ketahanan terhadap serangan

kebanyakan bahan kimia. Untuk alasan ini, kayu sering digunakan untuk pembuatan tong

penyimpan, tangki, tangki pendingin, atau struktur dimana berhubungan dengan bahan

kimia kaustik yang menyebabkan terjadinya kondensasi, aerosol atau percikan. Sebagai

contoh, bukti deteriorasi kayu yang dilaporkan pada beberapa pabrik pulp kraft akibat

kayu terpapar dalam waktu lama terhadap asam lemah dan basa lemah pada suhu dan

kelembaban tinggi (Barton, 1982) dalam Arif (2002). Karena kayu merupakan bahan

baku kimia utama untuk industri kertas dan turunan selulosa, banyak informasi telah

dihasilkan pada reaksi kayu dan komponennya terhadap banyak bahan kimia. Informasi

ini membentuk dasar bagi proses industri dalam kisaran yang luas. Informasi pada topik

tersebut tersedia dalam buku kimia kayu, kimia selulosa dan pembuatan kertas.

Smith (1980) dalam Arif (2002) menyusun daftar spesies kayu yang

direkomendasikan untuk penggunaan pada lingkungan yang bersifat korosif seperti

kontainer untuk asam, terpapar ke asap asam atau kontainer untuk cairan korosif ringan.

Kayu konifer pada umumnya lebih tahan terhadap serangan bahan kimia korosif daripada

kebanyakan kayu daun lebar. Kriteria untuk kayu tahan bahan kimiawi adalah spesies

yang kaya α–selulosa dan lignin serta rendah xilan.

Asam terutama mendegradasi karbohidrat kayu, dan ketahanan lignin yang tinggi

terhadap asam kuat merupakan dasar untuk penentuan analisis lignin melalui pelarutan

karbohidrat kayu dengan 72% H2SO4. Residu yang tidak larut dari hasil penyaringan

didefinisikan sebagai lignin Klason. Asam menghidrolisis ikatan β (1-4) glikosida selulosa dan hemiselulosa menghasilkan pengurangan kekuatan tarik (tensile strenght)

(23)

brash. Mekanisme depolimerisasi dan reduksi awal beberapa sifat kekuatan analog

dengan degradasi brown rot.

Alkali menyerang kayu lebih hebat pada kondisi waktu-suhu dan konsentrasi yang

setara dengan asam. Alkali melarutkan hemiselulosa dan mengubah lignin menjadi

bentuk kompleks lignin-alkali yang mudah larut. Selulosa pada dasarnya tidak berubah.

Kebanyakan proses pulping kayu mengupayakan tipe reaksi alkali ini.

Pada konsentrasi tinggi, bahan kimia alkali kuat menyebabkan kayu menjadi serat

dan tercuci seperti halnya kayu yang terserang jamur pelapuk putih (white rot). Kayu

mengembang dan terjadi pengurangan kekuatan yang tajam.

Wangaard (1966) dalam Arif (2002) menggambarkan perbedaan antara pengaruh

asam kuat dan basa kuat pada berbagai konsentrasi dan suhu terhadap kekuatan kayu

konifer dan kayu daun lebar (Tabel 1)

Tabel 1. Pengaruh asam kuat dan basa kuat pada berbagai konsentrasi dan suhu terhadap

kekuatan kayu konifer dan kayu daun lebar

Jenis

Kayu

MOR (sebagai % kontrol)

2% HCl 10% HCl 2% NaOH 10% NaOH

20oC 50oC 20oC 50oC 20oC 50oC 20oC 50oC

Douglas fir 91 85 76 57 56 40 39 28

White oak 70 51 39 30 26 22 20 15

Sumber : Wangaard, 1966

Erikson dan Reese (1940) memperlihatkan bahwa kayu yang terpapar pada alkohol,

aseton dan benzene menurunkan pengembangan (swelling) dan meningkatkan kehilangan

kekuatan yang dinyatakan dengan berat molekul dan kompleksitas struktur dari senyawa

organik tersebut. Perlakuan kayu dengan ammonia secara temporal menyebabkan

banyaknya reduksi pada ketahanan bengkok (bending resistance) dan memungkinkan

kayu menjadi bengkok pada sudut tajam menjadi berbagai sudut tanpa patah.

Perlakuan kayu dengan sejumlah garam dilaporkan meningkatkan ketahanan rusak

(24)

menurunkan kekuatan (Ross, 1956). Perlakuan kayu dengan garam jenis pengawet

seperti garam oksida atau garam asam dari copper, kromium, dan arsenit (CCA), tidak

menampakkan pengaruh serius terhadap kekuatan (Thompson, 1982) kecuali bila kayu

kemudian dikeringkan pada suhu tinggi (Barnes dan Winandy, 1986).

Kontak yang lama antara kayu dengan besi menyebabkan embrittlement dan

hilangnya kekuatan tarik (Baker, 1974). Terdapat laporan bahwa dekomposisi kayu dari

besi menurunkan sifat daya pegang paku, dimana paku pada awalnya dipasangkan ke

dalam kayu gergajian segar. Penggunaan paku tergalvanisasi (dilapisi seng) atau kayu

gergajian kering akan meminimalkan masalah ini. Karena besi beroksidasi (berkarat)

membentuk besi hidroksida yang mengkatalisis reaksi oksidasi dan depolimerisasi

selulosa menjadi oksiselulosa.

C. Faktor Mekanis

Faktor mekanis (mechanical wear) dari kayu merupakan sumber minor deteriorasi

kayu dan melibatkan gaya-gaya yang merobek dan melepaskan bagian kecil permukaan

kayu. Penting hanya pada sedikit kasus penggunaan kayu khusus dimana terjadi gesekan

dan sobekan permukaan yang hebat, seperti anak tangga, menara pendingin, lantai pabrik

sekitar mesin berat, dan kontak paku dan plat pada bantalan kereta api. Partikel pasir

yang diterbangkan angin dapat menyebabkan kerusakan mekanis terhadap tiang, tunggak

dan kayu yang tidak dicat di daerah gurun dan sepanjang pantai. Contoh lain kerusakan

mekanis sering terlihat pada galangan kapal muat atau panggung/peron. Muatan yang

berat dengan sudut tajam menyebabkan abrasi dan keretakan pada permukaan kayu, yang

sepanjang waktu mengembangkan tekstur berserat mirip yang terdapat pada tahap akhir

pelapukan oleh jamur. Metode pencegahan mencakup pemilihan kayu dengan kekerasan

permukaan tinggi, susunan serat sisi/pinggir kayu pada bagian yang mengalami gesekan

kuat dan perlindungan zona kerusakan tinggi dengan plat logam atau penggunaan polimer

(25)

D. Tugas/ Bahan Diskusi

Semua peserta mata kuliah ditugaskan untuk membuat sebuah paper mengenai

biodeteriorasi kayu yang diakibatkan oleh salah satu faktor abiotik sebagaimana yang

telah dipaparkan di atas menggunakan berbagai sumber pustaka terbaru !

E. Latihan Soal

Menurut Anda, faktor perusak mana yang paling sulit dicegah di antara faktor-faktor

perusak abiotik tersebut di atas ?

1. Faktor mana yang menimbulkan kerugian paling besar ?

2. Upaya apa yang paling praktis dilakukan untuk mencegah kerusakan kayu akibat

faktor abiotik !

F. Bahan Bacaan Pengayaan

Tinjauan Hasil-hasil Penelitian Faktor-faktor Alam yang Mempengaruhi Sifat Fisik dan Mekanik Kayu Indonesia

Wahyu Dwianto1 dan Sri Nugroho Marsoem2

1. UPT Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

2. Fakultas Kehutanan, Universitas Gajah Mada

Abstract

This review deals with several topics concerning natural factors affecting physical and

mechanical properties of wood, i.e. (1) wood species; (2) age and location of growing; (3)

position of wood sample in the stem; (4) diameter; (5) humidity, moisture content, and

temperature; (5) weathering and fungi; (6) forest fired; that have been done by

researchers who are members of Indonesian Wood Research Society. The purposes of

this review are (1) to evaluate the research results that have been done, (2) to promote the

applicable and feasible utilization of research results to the users, (3) to provide

information concerning previous researches that might be useful for further researches.

More than 60 wood species have been reported in this review. Besides the major and

(26)

(Ceiba pentandra Gaertn.), Merkubung (Macaranga sp.), Cengkeh (Eugenia aromatica

L.), Afrika (Maesopsis eminii), Kisereh (Cinnamomum porrectum (Roxb) Kosterm),

Kibawang (Melia excelsa Jack.), Pulai Konggo (Alstonia kongoensis Engl.), Sengon Buto

(Enterolobium cyclocarpum Griserb.), Salamander (Grevillea robusta A.Cunn.), Kilemo

(Litsea cubeba Pers.), Tahongai (Kleinhovia hospita Linn.), Sukun (Arthocarpus altilis),

Arang (Diospyros borneensis), Berumbung (Adina minutifolia), Tisuk/Waru (Hibiscus

macrophyllus), Urograndis (Eucalyptus urograndis), Kelapa (Cocos nucifera L.), Kelapa

Sawit (Eleais guineensiis Jacq.), Laban (Vitex Pubescens Vahl.), Rambai (Baccaurea

motleyana Muell.), Ki Sampang (Evodia latifolia DC.), Nangka (Artocarpus integra

Merr.), Kalapi (Kalappia celebica), Gofasa (Vitex coffasus), Ketileng (Vitex glabrata),

Cemara (Gymnostoma sp.), and Lamtoro (Leucaena glauca (Willd) Benth). have also

been observed. The researches were generally done in relation to the utilization prospect

of lesser known species, crops estate species, fast growing species, timber estate species,

rural forest species, commercial species, for contruction/structural materials, handy-craft,

musical instruments, or out-door exposures.

Wood properties were interaction between specific gravity or density, moisture content,

shrinkage and mechanical properties of wood. However, the values of those physical and

mechanical properties in the papers could not directly compared to each other, because

there were various testing standard and strength classification used. And unfortunately,

researches on acoustic, thermal, electrical, creep, relaxation, and fatigue behaviour of

Indonesian wood species were very rare or almost none.

Key words: lesser known species, physical and mechanical properties, testing standard and strength classification.

Pendahuluan

Makalah ini menguraikan hasil-hasil

penelitian sifat fisik dan mekanik

jenis-jenis kayu Indonesia yang telah dilakukan

oleh para peneliti anggota Masyarakat

Peneliti Kayu Indonesia (Mapeki). Seluruh

makalah yang akan dibahas telah

dipresentasikan di Seminar Nasional

Mapeki ke I s/d VIII (1998 ~ 2005).

(27)

(1) mengevaluasi hasil-hasil penelitian

yang telah dilakukan; (2) mempromosikan

hasil penelitian yang bersifat aplikatif

sehingga diharapkan dapat dimanfaatkan

oleh pihak pengguna; (3) agar penelitian

yang telah dilakukan menjadi acuan bagi

penelitian selanjutnya.

Lebih kurang 60 makalah yang

berhubungan dengan penelitian sifat fisik

dan mekanik kayu telah diterbitkan di

Prosiding Seminar Nasional Mapeki.

Tinjauan hasil-hasil penelitian pada

makalah ini didasarkan pada faktor-faktor

alam yang mempengaruhi sifat fisik dan

mekanik kayu. Faktor-faktor tersebut

dapat dikelompokkan menjadi (1) jenis

kayu; (2) umur dan tempat tumbuh; (3)

letak dalam batang; (4) diameter; (5)

kelembaban, kadar air dan suhu; (6) cuaca

dan jamur; serta (7) kebakaran hutan.

Jenis Kayu

Penelitian sifat fisik dan mekanik yang

telah dilakukan sehubungan dengan

prospek pemanfaatan jenis-jenis kayu

kurang dikenal (lesser known species),

kayu dari tanaman perkebunan (crops

estate species), kayu cepat tumbuh (

fast-growing species), kayu Hutan Tanaman

Industri/HTI (timber estate species), kayu

dari areal agro-forestry, kayu

andalan/unggulan setempat (JAS), kayu

dari hutan rakyat (rural forest species),

kayu perdagangan (commercial species),

kayu langka/ terancam punah, dan kayu

alternatif untuk bahan bangunan

konstruksi/struktural, kayu perkakas/

pertukangan, mebel, kerajinan/ ukiran, alat

musik, atau penggunaan di luar ruangan.

Jenis Kayu Kurang Dikenal

Menurut Badan Inventarisasi dan Tata

Guna Hutan, Departemen Kehutanan, di

Indonesia terdapat 3124 jenis kayu yang

terdiri dari kayu komersial, non komersial,

tak dikenal, maupun jenis kayu budidaya

(Anonim 1986). Jenis kayu non komersial

maupun tak dikenal biasanya memiliki

berat jenis (BJ) rendah, tidak kuat dan

tidak awet, sehingga membatasi

penggunaannya. Sebagai contoh kayu

Balsa dengan BJ 0.15 ~ 0.28 termasuk

kelas kuat dan kelas awet V (Anonim

1979). Prayitno (1998) melaporkan

struktur anatomi, sifat-sifat fisik, mekanik,

penyebaran dan kegunaan kayu Balsa

(Ochroma spp.), Randu (Ceiba pentandra

Gaertn.), Kemiri (Aleurites moluccana

Willd.), dan Merkubung (Macaranga sp.).

Sifat fisik dan mekanik yang diteliti

meliputi BJ, kadar air (KA),

(28)

kekerasan, keteguhan lentur (MOE),

keteguhan patah (MOR), keteguhan tekan

sejajar dan tegak lurus serat, serta tarik

tegak lurus serat.

Widiati (2002) meneliti kayu Tahongai

(Kleinhovia hospita Linn.) dan

melaporkan bahwa kayu ini mempunyai

rasio penyusutan arah tangensial dan

radial (T/R rasio) sebesar 1.47, sedangkan

berdasarkan BJ-nya maka termasuk kelas

kuat III. Sifat mekanik kayu ini termasuk

kelas kuat II untuk keteguhan tekan sejajar

serat; kelas kuat IV untuk nilai MOE; dan

kelas kuat II untuk nilai MORnya.

Berdasarkan sifat-sifat tersebut maka kayu

ini dapat dimanfaatkan untuk bahan baku

kayu lapis, mebel dan konstruksi ringan.

Jenis Kayu dari Tanaman Perkebunan

Salah satu upaya untuk mengatasi

menurunnya bahan baku kayu adalah

dengan memanfaatkan jenis kayu yang

berasal dari tanaman perkebunan.

Beberapa jenis kayu perkebunan yang

telah dimanfaatkan adalah kayu Karet

(Hevea brasiliensis Muel. Arg.), kayu

Kelapa (Cocos nucifera L.) dan kayu

Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.).

Rachman dan Malik (1999) meneliti BJ,

kekerasan dan sifat permesinan kayu

Cengkeh (Eugenia aromatica L.) berumur

20 tahun (diameter 10 ~ 30 cm) yang

berasal dari kebun rakyat dan petak

percobaan Institut Pertanian Bogor di

Sukamantri. BJ rata-rata kayu Cengkeh

adalah 0.79 (0.74 ~ 0.84), sedangkan

kekerasan rata-rata adalah 575.25 (473.75

~ 698.70) kg/cm2. Berdasarkan hasil tersebut maka kayu Cengkeh termasuk

kelas kuat II; sekelas dengan kayu Jati

yang memiliki BJ 0.70, bahkan lebih keras

dari kayu Jati yang memiliki kekerasan

440 kg/cm2.

Jenis Kayu Cepat Tumbuh, Kayu HTI dan Kayu dari Areal Agro-forestry

Dimasa depan, kayu-kayu cepat

tumbuh akan menggantikan kayu-kayu

dari hutan alam; oleh karena itu sangat

diperlukan data-data karakterisasinya.

Firmanti et al. (2000) meneliti sifat

kekuatan kayu Akasia (Acacia mangium

Willd.), kayu Afrika (Maesopsis eminii),

Tusam (Pinus merkusii Jungh. et de Vr.)

dan Gmelina (Gmelina arborea) contoh

uji skala penuh (6 cm x 12 cm x 300 cm).

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa

BJ kayu-kayu tersebut berkisar antara 0.35

~ 0.70; MOR antara 15 ~ 90 MPa; dan

MOE antara 3.5 ~ 21 GPa. Dengan

rentang sifat kekuatan yang tinggi, maka

jenis-jenis kayu cepat tumbuh tersebut

(29)

bangunan struktural.

Sutapa mengadakan

penelitian-penelitian mengenai kualitas batang dan

sifat fisik kayu Mindi (Melia azedarach

L.) dari areal agro-forestry tradisional di

Cankringan, Yogyakarta. Penelitian ini

dilakukan terhadap pohon Mindi dengan

umur rata 18 tahun dan diameter

rata-rata 34.4 cm. Hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa jumlah rata-rata mata

kayu pada batang bagian bawah sampai

ketinggian 3 m sebanyak 0.36/m,

sedangkan pada batang bagian tengah dari

ketinggian 3 ~ 6 m sebanyak 0.96/m.

Ukuran diameter mata kayu tersebut

antara 18 ~ 40 mm. Perbedaan KA antara

kayu gubal dan kayu teras dari pohon yang

baru ditebang sebesar 15.8%. Perbedaan

KA yang relatif kecil ini memperkecil

kemungkinan terjadinya retak akibat

pengeringan (Sutapa 2002). Rata-rata BJ

kayu ini adalah 0.53 dengan perbedaan

nyata antara bagian dalam (0.52) dan

bagian luar batang (0.55). Besarnya

penyusutan tangensial (T) = 7.5%, dan

penyusutan radial (R) = 4.5%, sehingga

didapatkan T/R rasio sebesar 1.7 (Sutapa

2004).

Kholik dan Prabawa (2004) meneliti

mengenai sifat dan kualitas kayu Sukun

(Arthocarpus altilis) berumur 21 tahun di

lahan agro-forestry Loa Kulu, Kabupaten

Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Pengujian sifat fisik dan mekaniknya

dilakukan berdasarkan standar DIN

(Deutsche Institut Fuer Normung) pada

bagian pangkal, tengah, ujung batang,

serta bagian cabang. Hasil pengujiannya

menunjukkan bahwa rata-rata kerapatan

kering tanur = 0.31 gr/cm3; T/R rasio batang = 1.82; T/R rasio cabang = 1.97;

MOE = 50.05 ton/cm2; MOR = 318.28 kg/cm2; keteguhan tekan sejajar serat = 95.86 kg/cm2; keteguhan geser = 6.27 kg/cm2; kekerasan samping = 91.09 kg/cm2; kekerasan ujung = 205.98 kg/cm2; dan keteguhan pukul = 18.95 x 10-3 J/mm2. Berdasarkan klasifikasi berat kayu

(Soenardi 2001), dengan kerapatan kering

udara 0.31 gr/cm3 maka kayu Sukun termasuk jenis kayu ringan (< 0.36 gr/cm3). Stabilitas dimensi kayu ini tergolong

rendah. Martawijaya (1990) menyebutkan

bahwa dengan rasio penyusutan yang

besar akan cenderung lebih mudah pecah

atau berubah bentuk yang mengakibatkan

cacat. Menurut klasifikasi kelas kekuatan

kayu yang didasarkan atas hubungan nilai

kerapatan kering udara, MOR dan

keteguhan tekan sejajar serat (Anonim

1976), maka kayu Sukun termasuk kelas

(30)

sebagai bahan bangunan konstruksi.

Jenis Kayu Andalan Setempat

Dalam upaya memberdayakan jenis-jenis kayu di daerah Jawa Barat sebagai

Jenis kayu Andalan Setempat (JAS),

Abdurachman dan Hadjib (2001)

melakukan penelitian mengenai sifat fisik

dan mekanik kayu Kisereh (Cinnamomum

porrectum (Roxb) Kosterm.) BJ = 0.627;

Surian atau Suren (Toona sureni Merr.) BJ

= 0.465; Kibawang (Melia excelsa Jack.)

BJ = 0.492; Pulai Konggo (Alstonia

kongoensis Engl.) BJ = 0.412; Tusam

(Pinus merkusii Jungh. et de Vr.) BJ =

0.734; Sengon Buto (Enterolobium

cyclocarpum Griserb.) BJ = 0.486; Kapur

(Dyobalanops aromatica Burck.) BJ =

0.788; Salamander (Grevillea robusta

A.Cunn.) BJ = 0.614; Mahoni (Swietenia

macrophylla King.) BJ = 0.577; dan

Kilemo (Litsea cubeba Pers.) BJ = 0.460.

Sifat fisik dan mekanik yang diuji meliputi

KA, penyusutan, keteguhan pada batas

proporsi, MOE, MOR, keteguhan tekan

dan geser sejajar dan tegak lurus serat,

keteguhan pukul, kekerasan, serta

keteguhan tarik tegak lurus serat,

berdasarkan standar ASTM (American

Society for Testing Materials) D 143-94.

Dari jenis-jenis kayu yang diteliti, Kisereh,

Kibawang, Pulai Konggo, Kapur,

Salamander, dan Kilemo mempunyai

kestabilan dimensi rendah (T/R rasio > 2),

sedangkan kayu lainnya mempunyai

kestabilan dimensi tinggi. Sebagai bahan

baku konstruksi, selain dilihat berdasarkan

kelas kuatnya, perlu juga dipertimbangkan

rasio kekuatan terhadap berat kayunya

(strength to weight ratio), karena semakin

tinggi rasio tersebut maka semakin sesuai

untuk bahan baku konstruksi. Berdasarkan

nilai BJ, MOR, dan keteguhan tekan

sejajar seratnya maka kayu Kisereh,

Tusam, Salamander, dan Kapur termasuk

dalam kelas kuat II, sedangkan lainnya

kelas kuat III. Jenis-jenis kayu dengan

kelas kuat II dan mempunyai rasio

kekuatan terhadap berat yang cukup tinggi

dapat dimanfaatkan untuk bahan baku

konstruksi.

Jenis Kayu Perdagangan

Kholik dan Gunawan (2004)

melaporkan sifat dan kegunaan 6 jenis

kayu Kalimantan Timur. Jenis-jenis kayu

yang digunakan adalah kayu Sungkai

(Peronema canescens Jack.), Pulai

(Alstonia scholaris R. Br.), Terap

(Artocarpus elasticus), kayu Arang

(Diospyros borneensis), Balau

(Dipterocarpus verrucosus) dan Bintangur

(31)

kayu diambil dari pohon dengan diameter

minimal 20 cm (dbh), tinggi bebas cabang

minimal 5 m dan bebas cacat. Pengujian

sifat fisik dan mekaniknya berdasarkan

standar DIN 52182, 52184, 52185 dan

52186. Berdasarkan klasifikasi berat kayu

(Soenardi 2001), kayu Pulai termasuk

jenis kayu ringan (kerapatan kering udara

< 0.36 gr/cm3); kayu Sungkai, Terap, Arang dan Bintangur termasuk jenis kayu

sedang (kerapatan kering udara antara

0.36 ~ 0.56 gr/cm3); kayu Balau termasuk jenis kayu berat (kerapatan kering udara >

0.56 gr/cm3). Dibandingkan dengan jenis-jenis kayu yang diteliti lainnya, kayu

Balau memiliki kestabilan dimensi paling

tinggi (T/R rasio = 1.19). Berdasarkan

hasil pengujian sifat mekaniknya (MOE,

MOR dan keteguhan tekan sejajar serat)

dan klasifikasi menurut Anonim (1979)

maka kayu Balau termasuk kelas kuat II,

dapat digunakan sebagai bahan konstruksi

dan pertukangan; kayu Terap, Arang dan

Bintangur, termasuk kelas kuat III, masih

dapat digunakan sebagai bahan konstruksi

dan pertukangan namun terbatas pada

beban yang lebih ringan; kayu Sungkai

dan Pulai termasuk kelas kuat IV, dapat

digunakan sebagai komponen mebel.

Hadjib dan Sarwono (2004) meneliti

mengenai sifat akustik kayu. Salah satu

jenis kayu yang digunakan untuk alat

musik kolintang adalah Berumbung

(Adina minutifolia). Kayu ini berasal dari

hutan alam dan jumlahnya semakin

berkurang, sehingga perlu ditemukan jenis

kayu lain yang memiliki sifat akustik yang

sama dengan kayu tersebut. Sebagai bahan

baku untuk alat musik, sifat akustik yang

dibutuhkan adalah damping factor (tan δ),

specific dynamic Young’s modulus (E/ρ), kerapatan (ρ), kestabilan dimensi dan sifat mekanik yang tinggi. Selain Berumbung,

jenis kayu yang digunakan pada penelitian

ini adalah Merawan (Hopea mengarawan

Mig.) dan Tisuk/Waru (Hibiscus

macrophyllus). E/ρ dan tan δ dideteksi dengan metode free-free flexual vibration.

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa

kayu Berumbung mempunyai nilai ρ tinggi (0.85), E/ρ sedang (19.81 GPa) dan tan δ rendah (0.00684). Nilai ρ dan tan δ kayu Merawan dan Tisuk lebih rendah

dari kayu Berumbung, sehingga tidak

dapat menggantikan kayu Berumbung

sebagai bahan baku alat musik kolintang.

Kayu Merawan dapat digunakan sebagai

soundboards gitar dan piano karena

mempunyai nilai ρ sedang (0.57), E/ρ tinggi (29.43 GPa) dan tan δ sangat rendah (0.00413). Sedangkan kayu Tisuk

(32)

rendah (0.00666) dapat digunakan sebagai

plat gitar bagian atas.

Fernandes et al. (2004) melaporkan

perambatan panas 4 jenis kayu

perdagangan Indonesia. Nilai

konduktivitas termal kayu merupakan

faktor penting pada proses perekatan yang

menggunakan kempa panas.

Konduktivitas termal adalah bilangan

yang disetarakan dengan besarnya panas

yang mengalir pada suatu balok dengan

panjang 1 m dan selisih suhu 1ºC (Siau

1995). Jenis kayu yang digunakan adalah

kayu (Tectona grandis L.f.), Sengon

(Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen),

Meranti (Shorea spp.), dan Keruing

(Dipterocarpus cornutus Dyer.). Hasil

penelitian menunjukkan bahwa setiap

jenis kayu memiliki nilai konduktivitas

termal yang berbeda nyata pada taraf uji

1%.

Jenis Kayu Langka dan Terancam Punah

Pohon Gadog/Gintung (Bischofia

javanica Blume) atau dengan nama

perdagangan Bishop wood merupakan

salah satu jenis pohon di Jawa Barat yang

mulai langka. Sehingga diperlukan suatu

kajian penelitian mengenai penyebaran

serta pengujian sifat-sifat kayunya.

Suwandhi et al. (2004) mengadakan

penelitian mengenai morfologis dan

silvikultur, data dan pola penyebaran,

tingkat kerapatan, tingkat asosiasinya

dengan jenis-jenis pohon lain dan habitat

pohon ini di hutan alam Gunung

Tampomas dan Gunung Kareumbi Masigit,

serta hutan rakyat di beberapa wilayah

Kab. Sumedang. Contoh uji kayu untuk

karakterisasi diperoleh dari Kec. Sukasari,

berumur 30 tahun dengan diameter 33 cm

dan tinggi 20 m. Nilai kerapatan kering

udaranya berkisar antara 0.41 ~ 1.13

gr/cm3 dengan rata-rata 0.56 gr/cm3.

Pada tahun 2004, kayu Ramin

(Gonystylus bancanus Kurz.) telah

disetujui untuk masuk dalam Konvensi

Perdagangan Internasional Species Flora

dan Fauna (CITES) appendix II yang

mengatur dan mengawasi perdagangan

jenis-jenis kayu yang akan terancam

punah. Kayu Ramin mempunyai BJ 0.63

(0.48 ~ 0.84), berwarna putih

kekuning-kuningan atau kuning gading dengan arah

serat lurus, tekstur halus dan merata, serta

permukaan kayu mengkilat dan licin.

Untuk memenuhi kebutuhan beberapa

industri kayu yang selama ini

menggunakan bahan baku kayu Ramin,

maka perlu dicari jenis kayu alternatif

sebagai pengganti Ramin dari jenis-jenis

kayu yang kurang dikenal. Rulliaty (2005)

(33)

kayu pengganti Ramin. Pengamatan

dilakukan terhadap jenis-jenis kayu

koleksi yang terdapat di Laboratorium

Anatomi Kayu, Pusat Penelitian dan

Pengembangan Hasil Hutan, Bogor yang

memiliki kesamaan, terutama dalam hal

warna, BJ, arah serat dan tekstur kayu.

Berdasarkan hasil pengamatan, terdapat 25

jenis kayu yang memiliki kesamaan

dengan kayu Ramin.

Jenis Kayu Alternatif

Damar Mata Kucing (Shorea javanica

K. et V.) merupakan pohon penghasil resin

damar. Sarwono (2004) melakukan

penelitian mengenai kayu ini dengan

tujuan untuk menganalisis alternatif

pemanfaatan paska produksi getahnya

dengan mengamati sifat fisik dan mekanik

kayu hasil tebangan. Pengujian sifat fisik

dan mekaniknya berdasarkan standar

ASTM D 143-94. Hasil pengujian sifat

fisik dan mekaniknya dapat dilihat pada

Tabel 1.

Umur dan Tempat Tumbuh

Penelitian-penelitian mengenai faktor

umur dan tempat tumbuh terhadap sifat

fisik dan mekanik telah dilakukan

terhadap jenis-jenis kayu kurang dikenal,

yaitu Urograndis (Eucalyptus urograndis);

kayu cepat tumbuh dan kayu HTI, yaitu

Mindi (Melia azedarach L.), Akasia

(Acacia mangium Willd.) dan Gmelina

(Gmelina arborea); serta kayu

perdagangan, yaitu Jati (Tectona grandis

L.f).

Table 1. Physical and mechanical properties of Damar Mata Kucing (Shorea javanica K. et V.) wood.

Physical and Mechanical Properties Average Radial Tangential

Density (gr/cm3) 0.78

Air-dry moisture content (%) 9.23

Shrinkage (%) 4.074 8.149

Stress at proportional limit (kg/cm2) 367.07

Stress at rupture limit (kg/cm2) 520.38

MOE (kg/cm2) 96010

Impact bending (kgm/dm3) 16.71 17.75

Compression parallel to grain (kg/cm2) 336.34

Compression perpendicular to grain (kg/cm2) 63.60

Edge hardness (kg) 521.66

Surface hardness (kg) 320

Shear strength (kg/cm2) 106.91 96.94

Tears strength (kg/cm2) 53.30 46.68

(34)

Jenis Kayu Kurang Dikenal

Penelitian sifat fisik dan mekanik

jenis kayu Urograndis (Eucalyptus

urograndis) dilakukan terhadap tanaman

berumur 2 dan 3 tahun (Hadjib 2000).

Hasil pengujiannya dirangkum pada Tabel

2. Dari hasil pengamatan, belum terdapat

perbedaan yang nyata pada BJ

berdasarkan jarak empulur ke arah kulit

dan dari pangkal ke ujung batang bebas

cabang. Menurut klasifikasi kekuatan kayu

Indonesia, kayu tersebut tergolong kelas

kuat III sehingga dapat digunakan untuk

bahan baku mebel atau konstruksi ringan.

Wulandari et al. (2002) meneliti

variabilitas sifat fisik dan mekanik kayu

Urograndis dari beberapa klon. Kayu

Urograndis merupakan hasil persilangan

antara E. urophylla S.T. Blake dan E.

grandis W. Hill ex Maiden. Kayu yang

digunakan pada penelitian ini terdiri dari 4

klon, yaitu klon 1837; 382.01 No.15; 1841

No.1; dan 1841 No.20 berasal dari

Kalimantan Timur dan berusia 3 tahun 6

bulan. Pengujian sifat fisik dan

mekaniknya berdasarkan ASTM D143-94

contoh uji bebas cacat. Berdasarkan

klasifikasi Den Berger (1923), kayu

Urograndis dari 4 klon tersebut termasuk

kelas kuat III-IV. Klon 1837 memiliki

nilai keteguhan tekan sejajar serat,

keteguhan geser sejajar serat (R dan T),

kekerasan sisi, nilai MOE dan MOR yang

lebih tinggi dibandingkan dengan klon

lainnya; sehingga dapat dipertimbangkan

untuk dikembangkan sebagai salah satu

tanaman pada HTI.

Jenis Kayu Cepat Tumbuh dan Kayu HTI

Kayu Mindi (Melia azedarach L.)

merupakan jenis kayu cepat tumbuh

dengan riap sekitar 20 m3/ha/tahun dan mulai dikembangkan sebagai salah satu

jenis kayu HTI. Penelitian yang dilakukan

oleh Kasmudjo dan Sunarto (1999)

bertujuan membandingkan sifat-sifat kayu

Mindi pada umur 12 dan 18 tahun.

Pengujian sifat fisik dan mekaniknya

dilakukan berdasarkan standar ASTM D

143-94. Hasil pengujiannya dapat dilihat

pada Tabel 3. BJ dan sifat mekanik yang

diuji meningkat dengan bertambahnya

umur pohon, sedangkan KA dan

penyusutan tidak berbeda nyata. Dengan

T/R rasio yang sedang, kayu ini cenderung

mudah retak dan pecah pada proses

pengeringan awal. Dari sifat mekanik

yang menengah, kayu ini kurang memadai

untuk penggunaan yang memerlukan

prioritas kekuatan.

Gunawan et al. (2001a) telah

(35)

sifat kayu HTI berdasarkan umur dan

lokasi tanaman terhadap kayu Akasia

(Acacia mangium Willd.) dan Gmelina

(Gmelina arborea) dengan umur 2, 3, 4, 5,

dan 6 tahun yang tumbuh di areal HPHTI

PT Sumalindo Lestari Jaya di Sebulu dan

Menamang. Pengujian sifat fisik dan

mekaniknya menggunakan standar DIN,

meliputi kerapatan, penyusutan, MOE,

MOR, keteguhan geser, keteguhan tekan

sejajar serat dan kekerasan. Dari uji

statistik menunjukkan bahwa sifat kayu

Akasia yang berbeda nyata pada tingkat

kepercayaan 5% terhadap umur tanaman

adalah penyusutan T, MOR dan kekerasan

bidang R; sedangkan terhadap lokasi

tempat tumbuh adalah penyusutan T,

MOR dan keteguhan tekan sejajar serat.

Penyusutan T dan MOR kayu Akasia yang

ditanam di Sebulu lebih rendah

dibandingkan dengan di Menamang.

Untuk kayu Gmelina, hampir seluruh sifat

kayu yang diamati berbeda nyata pada

tingkat kepercayaan 5% terhadap umur

tanaman dan lokasi tempat tumbuh,

kecuali penyusutan T dan MOE.

Kerapatan, MOR dan keteguhan geser

arah radial kayu Gmelina yang tumbuh di

Sebulu lebih tinggi dibandingkan dengan

di Menamang pada umur 2 tahun,

sedangkan pada umur 6 tahun kerapatan,

MOR dan keteguhan tekan sejajar seratnya

menjadi lebih rendah, tetapi keteguhan

geser dan kekerasannya lebih tinggi.

Table 2. Physical and mechanical properties of 2 and 3 years-old Urograndis (Eucalyptus urograndis) wood.

Physical and Mechanical Properties 2 years-old 3 years-old

Specific gravity 0.451 ~ 0.612 0.521 ~ 0.700

MOR in wet (kg/cm2) 454.10 ~ 713.50 502.54 ~ 872.78

MOR in dry (kg/cm2) 548.16 ~ 953.28 702.15 ~ 1074.07

Source: Hadjib (2000)

Table 3. Physical and mechanical properties of 12 and 18 years-old Mindi (Melia azedarach L.) wood.

Physical and Mechanical Properties 12 years-old 18 years-old

Specific gravity 0.47 0.55

Air-dry moisture content (%) 13.8 12.8

T/R ratio 1.59 1.58

Compression parallel to grain (kg/cm2) 312.3 326.8

Compression perpendicular to grain (kg/cm2) 76.5 88.0

Hardness (kg/cm2) 337.2 369.1

(36)

Jenis Kayu Perdagangan

Daur kayu Jati (Tectona grandis L.f)

yang ditanam Perum Perhutani

berdasarkan kriteria silvikultur dan sifat

kayu (fisik, mekanik, kimia, pengerjaan)

yang bertujuan menghasilkan kayu

perkakas, ditetapkan antara 60 ~ 80 tahun.

Namun berdasarkan pertimbangan

finansial, daur yang sesuai berkisar antara

40 ~ 60 tahun. Penerapan daur yang lebih

pendek perlu melihat pengaruhnya

terhadap sifat-sifat kayu. Menurut Bhat

(1991) kerapatan dan kekuatan kayu Jati

yang berumur lebih muda tidak selalu

lebih rendah dari yang berumur lebih tua.

Sulistyo dan Marsoem (1999) meneliti

mengenai pengaruh umur terhadap sifat

fisik dan mekanik kayu Jati. Bahan

penelitian ini berasal dari hutan tanaman

bonita IV di KPH Madiun, BKPH Dungus,

Perum perhutani Unit II Jawa Timur;

dengan kelas umur (KU) VIII (tahun

tanam 1917), KU VI (tahun tanam 1942)

dan KU IV (tahun tanam 1958).

Pengambilan contoh uji kayu dilakukan

secara aksial (vertikal), yaitu pangkal,

tengah dan ujung batang; dan secara radial

(horizontal), yaitu dekat hati/empulur,

tengah dan dekat kulit; berdasarkan

standar BS (British Standard) 373 (1957).

Hasil pengukuran pada arah vertikal

menunjukkan bahwa KA rata-rata bagian

pangkal lebih tinggi; sedangkan pada arah

horizontal tidak ada kecenderungan

tertentu untuk ketiga KU tersebut. KA

rata-rata keseluruhan menunjukkan bahwa

semakin tinggi KU maka KA-nya semakin

rendah (KU IV = 94.79%; KU VI =

82.45%; KU VIII = 44.90%).

Kemungkinan faktor-faktor yang

mempengaruhi variasi perbedaan KA

adalah: (1) KU VIII telah mengalami

teresan selama 2 tahun; (2) kandungan

ekstraktif kayu Jati KU VI lebih tinggi

daripada KU IV (Ismariana 1993); (3)

kandungan ekstraktif pada kayu teras lebih

tinggi (Panshin dan de Zeeuw 1980); (4)

BJ kayu cenderung semakin besar ke arah

kulit dan menyebabkan kandungan kadar

airnya semakin rendah (Wangaard 1950;

Koch 1972). Pada penelitian ini tidak

terlihat perbedaan BJ yang disebabkan

oleh KU. BJ KU IV = 0.675; KU VI =

0.556; dan KU VIII = 0.604. Tetapi nilai

MOE dan MOR menurun dengan semakin

tingginya KU. Meningkatnya BJ ke arah

pangkal-kulit menyebabkan meningkatnya

nilai MOR pada arah yang sama. Tetapi

penyusutan arah R dan T semakin rendah

ke arah kulit dan semakin tingginya KU.

Pandit (2000) melakukan pengamatan

(37)

untuk mengetahui rasio kayu teras dan

gubal, rasio kayu juvenil dan kayu dewasa,

serta mutu tekstur kayu Jati dari berbagai

kelas umur. Hasil pengamatannya

menunjukkan bahwa persentase kayu teras

dari KU I ke KU V rata-rata meningkat

secara nyata. Persentase kayu juvenil dari

sekitar 88.05% pada KU I turun menjadi

sekitar 22.24% pada KU IV. Mutu tekstur

pada KU yang rendah lebih kasar

dibandingkan dengan KU yang lebih

tinggi.

Letak dalam Batang

Penelitian-penelitian mengenai

pengaruh letak dalam batang terhadap sifat

fisik dan mekanik telah dilakukan terhadap

jenis-jenis kayu kurang dikenal, yaitu kayu

Laban (Vitex Pubescens Vahl.) dan kayu

Rambai (Baccaurea motleyana Muell);

kayu dari tanaman perkebunan, yaitu kayu

Kelapa Sawit (Eleais guineensiis Jacq) dan

kayu Kelapa (Cocos nucifera L.); kayu

cepat tumbuh dan kayu HTI, yaitu kayu

Gmelina (Gmelina arborea); serta kayu

andalan setempat, yaitu kayu Surian

(Toona sureni Merr.).

Jenis Kayu Kurang Dikenal

Widiati dan Susanto (2005)

melaporkan sifat fisik dan mekanik kayu

Laban (Vitex Pubescens Vahl.)

berdasarkan letak ketinggian dalam batang.

Sifat fisik dan mekanik yang diteliti

adalah KA, kerapatan, perubahan dimensi,

keteguhan tekan sejajar serat, keteguhan

pukul, MOE, MOR, keteguhan geser

sejajar serat dan kekerasan dengan

menggunakan standar DIN. Hasil

pengujian sifat-sifat fisik dan mekanik

kayu ini dapat dilihat pada Tabel 4. Dari

hasil pengujian tersebut kayu Laban

termasuk kelas kuat I dan dapat

dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi.

Penelitian mengenai sifat fisik dan

mekanik kayu Rambai (Baccaurea

motleyana Muell) berdasarkan letak

ketinggian dalam batang dilakukan oleh

Torambung dan Dayadi (2005). Contoh uji

diambil dari pohon berdiameter antara 38

~ 44 cm dan tinggi bebas cabang antara

3.2 ~ 4.0 m. Sifat fisik dan mekanik yang

diteliti adalah KA (DIN 52183-77),

kerapatan (DIN 52182-76), perubahan

dimensi, keteguhan tekan sejajar serat

(DIN 52185-76), keteguhan pukul (DIN

52189-48), keteguhan lentur statis (MOE

dan MOR, DIN 52186-78), keteguhan

geser sejajar serat (DIN 52187-79) dan

kekerasan. Hasil pengujian sifat fisik dan

mekaniknya dapat dilihat pada Tabel 5.

(38)

mekanik kayu tersebut menurun dari

bagian pangkal menuju ujung batang.

Berdasarkan nilai-nilai sifat mekaniknya,

kayu Rambai termasuk ke dalam kelas

kuat II-III.

Table 4. Physical and mechanical properties of Laban (Vitex Pubescens Vahl.) wood based on the bottom and upper parts of stem.

Physical and Mechanical Properties

Bottom Upper Average

Green moisture content (%) 89.72 82.23 86.03

Air-dry moisture content (%) 12.89 12.55 12.70

Air-dry density (gr/cm3) 0.939 0.898 0.916

Oven-dry density (gr/cm3) 0.893 0.850 0.872

Compression parallel to grain (N/mm2)

85.17 80.70 82.99

Impact bending (N/mm2) 0.095 0.087 0.091

MOE (N/mm2) 15529.02 14074.16 14803.18

MOR (N/mm2) 124.79 115.96 120.39

Radial shear strength (N/mm2) 15.30 14.19 14.70

Tangential shear strength (N/mm2)

15.66 14.51 15.03

Radial Tangential Longitudinal

Swelling (%) 5.68 9.41 0.20

Shrinkage (%) 5.37 8.59 0.20

Hardness (N) 7990.74 9033.33 10079.63

Source: Widiati and Susanto (2005)

Table 5. Physical and mechanical properties of Rambai (Baccaurea motleyana Muell) wood based on the bottom, middle and upper parts of stem.

Physical and Mechanical Properties

Bottom Middle Upper Average

Air-dry moisture content (%) 12.83 12.45 12.43 12.57

Oven-dry density (gr/cm3) 0.601 0.592 0.587 0.593

Compression parallel to grain (N/mm2)

53.79 51.89 49.38 51.69

Impact bending (J/mm2) 0.0790 0.0707 0.0681 0.0726

MOE (N/mm2) 10071.96 9337.61 9141.30 9516.96

MOR (N/mm2) 89.00 85.19 81.28 85.16

Shear strength parallel to grain (N/mm2)

12.45 11.70 11.29 11.81

Gambar

Gambar 1.  Perubahan warna akibat pencuacaan di luar ruangan western red cedar, redwood, southern yellow pine, dan Douglas fir di USA
Gambar 3. Hubungan antara panas dengan kerusakan kayu yang terjadi
Tabel 1.  Pengaruh asam kuat dan basa kuat pada berbagai konsentrasi dan suhu terhadap
Table 1. Physical and mechanical properties of Damar Mata Kucing (Shorea javanica K. et V.) wood
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keawetan alami dari kayu mangium ( Acacia mangium Willd.) berdasarkan umur pohon serta posisi

Pengeringan perahu kuno Indramayu dilakukan secara alami, dari hasil observasi lapangan menunjukkan terjadi pengkerutan pada papan kayu ke arah tangensial (bidang gergajian

Dari Gambar 9 diketahui bahwa rata-rata MOE kayu Jati unggul lebih rendah dibandingkan dengan nilai yang sama pada kayu Jati konvensional 8 tahun, baik di bagian pangkal,

E mpat ekstrak kulit kayu dengan POV rendah &lt; 100 μ g/m (Tabel 2) berpotensi sebagai antioksidan alami yang tinggi karena memiliki ketiga senyawa antioksidan

Sebagai gambaran selama kurun waktu 3 tahun meningkat, dapat dilihat dari jumlah pegawai yang sakit tahun 2006 sebanyak 25 orang, tahun 2007 sebanyak 30 orang dan

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Penjarangan dan Pelebaran Jarak Naungan terhadap Keawetan Alami dan Sudut Mikrofibril Kayu Meranti Merah

Hal ini menunjukan bahwa kayu meranti merah dari hutan alam dan bagian kayu teras masing-masing memiliki keawetan alami yang tinggi dibandingkan kayu dari hutan tanaman

Berdasarkan hasil klasifikasi keawetan 57 jenis kayu terhadap organisme perusak kayu atas dasar persentase kerusakan menunjukkan bahwa sebanyak 4 jenis termasuk sangat awet kelas I, 16