• Tidak ada hasil yang ditemukan

TENTANG MENCAPAI DERAJAT "INSAN KAMIL”

Dalam dokumen satu (Halaman 31-34)

Friday, November 12, 2010 8:12:56 AM

H. TENTANG MENCAPAI DERAJAT "INSAN KAMIL”

Pada bagian ini, kita akan membicarakan tentang peningkatan dan pembersihan diri untuk mencapai derajat Insan Kamil atau Manusia Sempurna, yaitu orang yang telah memisahkan dan melepaskan dirinya dari hal-hal keduniaan.

Tujuan pembersihan ini ada dua :

1. Untuk mencapai sifat-sifat Allah, yakni bersifat dengan sifat-sifat-Nya yang mulia. 2. Untuk mencapai Zat Allah, yakni mengenal-Nya me lalui hakikat dan ma‟rifah.

Pembersihan diri untuk mencapai sifat Allah memerlukan suatu ajaran yang dapat menunjukkan proses pembersihan cermin hati, yakni dengan cara membaca (dzikir atau wirid) Asma‟ Allah (nama-nama Allah).

Dzikir adalah kunci untuk membuka pintu hati. Dan apabila pintu hati telah terbuka, muncullah dari dalamnya pikiran-pikiran yang arif untuk membuka mata hati. Ketika mata hati telah terbuka, maka tampaklah sifat-sifat Allah melalui mata hati itu. Kemudian mata hati akan melihat refleksi (bayangan) kasih sayang, kelembutan, keindahan, dan kebaikan Allah, dalam cermin hati yang bersih dan berkilauan. Tanpa dzikir, pintu hati manusia akan terus tertutup dan dipenuhi debu-debu dunia. Selain itu, dengan diabaikannya dzikir, manusia tidak akan pernah lepas dari hasratnya untuk mengejar keinginan dan kecintaan terhadap dunia.

Seorang Mu‟min melihat dengan Nurullah. Mu‟min juga merupakan cermin bagi mu'min yang lain. Orang yang berilmu membuat bayangan, tetapi orang yang arif mengkilaukan cermin hati yang di dalamnya terdapat bayangan hakikat. Dan apabila mata hati itu bersih berkilauan dan suci, muncullah dalam cermin itu berbagai rahasia Allah yang berupa hakikat yang dicurahkan kepada hati yang bersih berkilauan dan suci itu.

Apabila cermin hati itu sempurna karena selalu dibersihkan dengan zikrullah hingga berkilauan, pemilik hati itu akan sampai kepada sifat-sifat Ketuhanan dan mengenal sifat-sifat itu. Hal ini hanya mungkin terjadi bila cermin hati kita telah bersih berkilau.

1. Ikhtisar Dzikir yang Sempurna Friday, November 12, 2010 8:13:33 AM 1. Ikhtisar Dzikir yang Sempurna

Ketika semua telah lenyap, yakni fana‟ di Hadhirat Allah SWT, yang tertinggal hanya Ruh Suci (Ruh al-Quds). Ia melihat dengan Nur Allah, ia melihat Allah, ia melihat untuk Allah. Tidak ada bayangan dan tidak ada yang menyerupai Allah, sebagaimana firman-Nya :

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. Asy-Syura: 11)

Satu yang tertinggal dan mutlak, yakni Nur Suci. Suatu karunia yang tinggi yang diberikan kepada orang yang utama. Tidak ada lagi yang ingin diketahuinya setelah tingkat ini. Inilah peringkat fana‟ (lenyap dan musnah). Tingkat puncak yang dapat dicapai oleh manusia ketika berada di alam fana‟ ini, tidak ada lagi, kecuali Allah. Hanya Allah tempat bertanya, dan hanya Allah pula yang memberikan jawaban. Maka di peringkat itu seseorang sangat dekat dengan Allah hingga tidak ada siapa dan apapun yang menjadi celah di antara dia dengan Allah.

Itulah keadaan ketika seseorang menjadi „kosong‟, tanpa diri, kecuali Zat Allah yang wujud. Itulah pula keadaan „bersatu‟ dan „berpadu‟ dengan Allah, karena hati seorang Mu'min adalah rahasia Tuhan.

Hal serupa juga diberikan secara khusus sebagai karunia kepada orang-orang yang khusus pula, orang-orang yang mencari-Nya hingga bertemu dengan-Nya, orang yang telah berma‟rifah kepada Tuhan Penciptanya, yang telah mengenali Tuhannya, dan kemudian Tuhan pun mengenalinya, yang telah mencintai dan merindukan Tuhan Penciptanya, kemudian Tuhan Pencipta pun mencintai dan merindukannya. Ucapan-ucapannya sangat sulit dituangkan ke dalam bentuk tulisan karena terlalu sulit dan tidak dapat diuraikan. Peristiwa atau keadaan ini bukanlah omong kosong. Karena itu, setiap orang dapat menginterpretasikannya dengan sesuka hati. Orang yang belum mengetahui hal ini, artinya mereka masih jahil. Dan orang yang jahil tidak boleh membuat interpretasi keraguan dan kekeliruan, yang akhirnya membawa keadaan tindakan saling

menuduh, sesat dan menyesatkan.

Bagi orang yang belum mengenal keadaan fana‟ ini, sebaiknya menjauhkan diri darinya. Dan orang yang masih berendam di tepi pantai yang dangkal, jangan mencoba-coba menduga lautan yang dalam, karena kelak yang ditemuinya bukan hidayah, melainkan kesesatan.

Ini bukan medan permainan untuk menguji nasib. Siapa suka boleh berbicara mengikuti nafsunya, atau menurut akalnya yang sempit. Ini adalah ahwal hakiki yang menghendaki ma‟rifah yang hakiki pula.

Akan tetapi, bagi orang yng benar-benar sudah mengenal yang haq dan yang batil, dia tidak akan berhenti. Apa yang dicarinya selama ini telah ditemukannya. Dia telah mengenal dirinya, dan kini dia telah mengenal Tuhannya. Dirinya adalah hamba. Sebagai seorang hamba, dia tidak memiliki apa-apa, karena Zat Ketuhanan itulah Tuannya yang memiliki segala kekuasaan-Nya. Inilah keadaan ketika manusia melepaskan dirinya dari segala perkara, dari segala sesuatu selain Allah, mengosongkan diri dari segala sesuatu, kecuali Allah. Maka, ketika itulah Allah akan memberi pakaian kepada manusia berupa sifat-sifat Ketuhanan, dan tenggelamlah ia di dalam sifat-sifat Ketuhanan itu sehingga semua gerak-geriknya tidak terlepas dari sifat-sifat Tuhan yang Maha Besar lagi Maha Agung.

Semua itu adalah kesadaran ruhani yang sangat dalam artinya, hasil dari mengenang dan memusatkan renungan hati pada maksud dan pengertian batin Asma‟ Allah tersebut. 2. Pintu Istana Raja

Friday, November 12, 2010 8:14:11 AM 2. Pintu Istana Raja

Pada umumnya pintu-pintu istana Raja tertutup rapi, tidak sembarang orang dapat

memasukinya. Orang yang boleh masuk hanyalah mereka yang sudah dikenal oleh Raja atau orang yang memiliki keperluan penting dengan Raja. Dan tidak semua orang yang memiliki keperluan penting dengan Raja akan dibukakan pintu oleh Raja. Ia harus membawa keperluan khusus yang sudah diketahui oleh Raja, dan Raja memang ingin mendengar langsung darinya. Itulah yang dilakukan Raja di dunia, yang bila engkau berurusan kepadanya maka engkau

berurusan dengan dunia.

Tetapi jika engkau akan berurusan kepada Raja dari segala Raja, niscaya pintu akan selalu terbuka untukmu. Namun, terdapat beberapa syarat untuk bisa memasukinya, yaitu bila engkau telah berpaling dari pintu-pintu lain di dunia ini, dan kini engkau menuju kepada pintu Raja dari segala Raja itu dengan membelakangi semua pintu, selain pintu-Nya.

Kelak akan terbukalah sebuah pintu rahasia dari hatimu, yaitu pintu Sirr yang batin, yang sejak dahulu tertutup, dan saat ini terbuka tanpa upaya darimu. Kini masuklah engkau dan bersenang-senanglah di dalam taman kebahagiaannya, karena tiada taman yang lebih indah dari taman itu. Taman yang tidak sembarang orang yang dapat memasukinya. Engkau akan menikmati keadaan dan hakikat yang telah engkau cari dengan susah payah. Apabila engkau telah mengenal jalan ke sana, engkau tidak akan berbelok ke jalan yang lain. Engkau tidak ingin melupakan jalan itu. Bagaimana mungkin engkau akan melupakannya, sedangkan di dalamnya engkau mengecap segala kenikmatan yang belum pernah engkau kecap.

Orang Mu'min harus membuang semua jalan yang telah diikutinya sebelum bertemu dengan jalan yang penuh kenikmatan itu. Jalan yang dulu dilaluinya adalah jalan palsu, karena kenikmatannya hanya sementara. Ia mesti meniti jalan yang mampu membawanya kepada kenikmatan yang hakiki. Ia mesti menghadapkan wajahnya kepada Tuhan yang menciptakan semua kenikmatan itu, yaitu kenikmatan sementara di dunia dan kenikmatan yang hakiki yang ada di sisi-Nya. Tegasnya, ia mesti menuju ke jalan Allah, jalan setiap orang yang diberikan iman oleh Allah untuk mencari dari mana sumber iman itu datang. Bukankah iman merupakan suatu karunia yang utama, yang khusus diberikan kepada orang yang diutamakan Tuhan ? Maka sewajarnyalah ia berusaha keras mencari dan mengenal Tuhan yang telah memberinya iman. Dengan mengenal Tuhan, imannya kelak akan berkembang dan hidup subur, tidak akan digoncang badai dan topan, dan didekati oleh malapetaka serta bencana alam yang akan merusak pohon imannya yang hidup subur itu, karena pohon itu akan dijaga dan dipelihara oleh yang memberinya karena ia telah mengenal siapa pemberinya itu.

Dalam perjalanannya menuju Allah, Tuhan yang mencipta dan memberinya iman itu, ia harus menanggung berbagai ujian untuk membuktikan bahwa ia sungguh-sungguh ingin mencari dan mengenal-Nya dengan hakikat pengenalan. Orang yang sudah bulat niatnya untuk mencapai sesuatu, tidak boleh mundur karena ada sesuatu yang menghalanginya. Malah dia mesti bersikap teguh hati dan pantang mematahkan cita-citanya kepada apa yang ditujuinya. Bukankah dia sedang mencari dan menuju ke tempat yang akan memberinya kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki, yang tiada taranya ? Apakah ia akan mematahkan cita-citanya itu ? Bahkan dia akan terus menuju sehingga dia mencapai hakikat yang dicarinya, walaupun dirintangi seribu satu bencana dan malapetaka.

Karena itu, dia harus menerima dengan rela hati segala apa yang ditakdirkan oleh Allah baginya, serta menyerahkan sepenuhnya kepada takdir-Nya, agar dia diterima oleh Allah dan berhasil menempuh semua ujian-Nya. Dengan menanggung semua ujian itu barulah dapat dikatakan bahwa dia benar-benar dan sungguh-sungguh ingin berada di sisi Allah. Hanya dengan cara begitu barulah pintu Tuhannya dibukakan untuknya, sesuai dengan bunyi firman Allah :

“ Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (Q.S. At-Thalaaq: 2)

Ujian ini pasti bertujuan untuk melihat siapa yang menyimpan niat yang benar, dan dapat keluar dari ujian itu dengan kemenangan untuk mencapai cita-citanya.

Firman-Nya lagi :

“Dan Kami coba mereka dengan (ni`mat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).”( Q.S. Al-A‟raaf: 168)

Tegasnya, hati anak Adam itu senantiasa mengembara ke jalan yang baik dan ke jalan yang buruk, selalu menempuh jalan yang mulia dan jalan yang hina, jalan kekayaan dan jalan kemiskinan, dan seterusnya, sehingga dia mengakui bahwa semua itu adalah dari Allah, dan ditetapkan oleh Allah. Dia harus bersyukur atas apa yang ditakdirkan Tuhannya, atas yang baik

atau yang buruk, karena Dia lebih tahu apa yang mesti ditakdirkan. Maka apabila yang ditakdirkan itu „baik‟, dia bersyukur sambil berterima kasih, bahwa dia telah diberikan yang „baik‟ itu. Dan jika yang ditakdirkan itu „buruk‟ dia harus bersyukur juga sambil bersabar,

mudah-mudahan dengan takdir yang buruk itu akan muncul berbagai macam kebaikan yang tidak terduga datangnya. Kemudian dia tidak lupa memohon kepada Allah, agar yang buruk itu

diangkat dan digantikan dengan yang baik. Dia harus sering bersabar dalam keadaan ini, karena apa yang dicita-citakannya itu mungkin terlambat datangnya atau mungkin tidak datang sama sekali. Malah seharusnya dia menyakinkan dirinya bahwa semua takdir Tuhan selalu baik, meskipun dia sulit menerimanya.

Begitulah sikap „Insan Kamil‟, bila dia menginginkan agar pintu Tuhan dibuka untuknya. Dia telah mengakui bersyukur dan bersabar, sambil menerima takdir apa saja yang ditetapkan oleh Allah. Dan kini dia masih menunggu di pintu Tuhan yang mentakdirkan semua itu. Itulah taufik yang utama, yang diberikan kepada orang yang paling istimewa. Maka apabila pintu Raja dari segala Raja itu dibuka untuknya, di sana dia akan melihat apa yang tidak pernah dilihatnya, dia

mendengar apa yang tidak pernah didengarnya, dan mengalami apa yang tidak pernah

dialaminya, atau yang tidak pernah terlintas di dalam hatinya. Semua tindakan baik dan buruk berakhir di sini. Tidak ada lagi yang dikira „baik‟ dan tidak ada lagi yang dikira „buruk‟. Tidak ada waktu lagi. Dan kini yang ada hanya waktu untuk bermesra-mesraan dengan Tuhan Penciptanya, duduk bersama-sama dan berbincang-bincang dengan Tuhan yang dirindukannya.

Dia lupa dengan segala macam kenikmatan, karena terlalu asyik dengan Tuhan yang memberi nikmat. Dia tidak ingat lagi kepada segala macam bahaya dan bencana, karena dia sedang sibuk dengan Tuhan yang memberi bahaya dan bencana itu. Dia dekat dengan siapa yang dicarinya. Hati dan pikirannya kini sedang tertumpu kepada karunia-karunia khusus yang akan diberikan Tuhannya, sehingga jika dia menginginkan sesuatu maka terjadilah apa yang diinginkannya itu dengan sendirinya, wallahu-a‟lam.

TAHAPAN-TAHAPAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH SWT

Dalam dokumen satu (Halaman 31-34)