• Tidak ada hasil yang ditemukan

satu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "satu"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

SULTHONUL AWLIYA‟ SYEIKH ABDUL QADIR AL-JAILANI AL-BAGHDADI Monday, November 8, 2010 12:47:56 PM

raja seluruh wali

SULTHONUL AWLIYA‟ SYEIKH ABDUL QADIR AL-JAILANI AL-BAGHDADI

Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani adalah salah seorang Sufi agung “Al-Ghautsul A‟zham” yaitu Waliullah Agung yang senantiasa mendengar rintihan orang-orang yang memohon pertolongan dan memberikan bantuan kepada mereka yang memerlukan pertolongannya. Selain itu, ia juga disebut “Al-Quthbul-A‟zham” yang berarti poros, puncak keruhanian, pemerintah keruhanian di dunia (dizamannya), sumber hikmah, penggores ilmu, contoh Mukmin dan Muslim sejati, pewaris kesempurnaan Nabi Muhammad SAW, Insan Kamil, dan peletak dasar Tharekat Qadiriyah

(tharekat yang tersebar luas di seluruh dunia dengan jutaan pengikut hingga sekarang). Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani dilahirkan pada tahun 470 Hijrah (1077 Masehi) di daerah yang bernama Al-Jil di Parsi (sekarang Iran). Beliau berpulang kerahmatullah pada tahun 561 Hijrah (1168 Masehi) pada saat berusia 91 tahun. Sufi besar ini disemayamkan di kawasan Madrasah Bab ad-Daraja di Baghdad. Makam ini menjadi tempat yang paling populer dikunjungi oleh para Sufi dan umat Islam dari seluruh penjuru dunia.

Silsilah (nasab) beliau adalah Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani atau Abu Muhammad Abdul Qadir à Abi Shalih Musa à Abdillah al Jiily à Yahya az Zahid à Muhammad à Daud à Musa à Abdullah al Mahdli à Hasan al Mutsanna à Hasan à Ali bin Abi Thalib – semoga Allah meridhoi mereka semua. Sedangkan Ali bin Abi Thalib ra. yang merupakan khalifah keempat adalah menantu Rasulullah SAW yaitu suami dari Siti Fatimah binti Muhammad SAW.

Abul Hasan An-Nadawi, dalam kitabnya “Rijalul Fikri wal da‟wah wal Islam” (Tokoh-tokoh

Intelektual Da‟wah dan Islam) mengisahkan tentang Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani sebagai berikut :

“Majelis beliau (Abdul Qadir) dihadiri oleh tujuh puluh ribu orang. Di tangannya lebih dari lima ribu orang Yahudi dan Nasrani masuk Islam, dan lebih dari seratus orang yang sesat bertaubat. Beliau buka pintu bai‟at dan taubat di bawah bimbingannya. Maka masuklah ke dalam

bimbingannya orang-orang yang jumlahnya hanya diketahui oleh Allah, sehingga keadaan umat semakin membaik dan keislaman mereka pun semakin mendalam.

Syeikh Abdul Qadir terus menerus mendidik, membimbing dan mengontrol perkembangan masyarakat. Sehingga mereka menyadari tanggung jawab yang mereka pikul setelah mereka berbai‟at, bertaubat dan memperbaharui keimanan. Kemudian Syeikh Abdul Qadir memberikan ijazah kepada murid-muridnya yang cerdas, istiqomah, dan punya kemampuan untuk

mentarbiyah. Murid-murid beliau kemudian menyebar ke seluruh pelosok bumi. Mengajak umat manusia ke jalan Allah, mentarbiyah jiwa mereka dan memberantas syirik, bid‟ah, nifaq dan berbagai bentuk kejahiliahan lainnya. Maka tersebarlah da‟wah Islamiyah dan berdirilah markas-markas keimanan, madrasah-madrasah kebaikan, barak-barak jihad, dan

perkumpulan-perkumpulan ukhuwah Islamiyah di seluruh penjuru dunia Islam …

(2)

langkahnya dalam da‟wah dan perbaikan jiwa manusia; mempunyai peran yang sangat besar dalam menjaga semangat Islam, pelita iman, da‟wah, dan jihad, serta kemampuan menolak syahwat dan cinta kekuasaan.

Mereka pun memiliki andil sangat besar dalam menyebarkan Islam ke negeri-negeri yang tak bisa dicapai oleh pasukan Islam atau tak bisa ditundukkan secara militer. Atas andil mereka Islam menyebar di Afrika hitam, Indonesia, kepulauan lautan Hindia, Cina, India dan negeri-negeri lain.”

Penulis terkenal Syakib Arselan rahimahullah dalam bukunya „Hadirul „Alam Islami‟ (Dunia Islam Masa Kini) dalam sub judul “Nahdlotul Islam fil-Afriqiya Wa Asbabuha” (Kebangkitan Islam di Afrika) menulis sebagai berikut :

“Syeikh Abdul Qadir Jaelani yang tinggal di daerah Jaelani merupakan seorang mursyid agung yang tumbuh brilian. Beliau mempunyai pengikut yang tak terbilang jumlahnya, thoriqah (bimbingan) nya sampai ke Asbania (Spanyol). Ketika pemerintahan Arab (Islam) lenyap dari Spanyol, madrasah Qodiriyah pindah ke Fas. Berkat cahaya yang terpancar dari madrasah ini, berbagai bentuk bid‟ah yang ada pada orang-orang Barbar berhasil dilenyapkan. Untuk

selanjutnya mereka berpegang teguh pada ajaran Ahli Sunnah Wal Jama‟ah.”

Dibawah ini kami mengutip beberapa wejangan yang sangat berharga dari Sulthonul Awliya‟ Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani di dalam kitab Rahasia Sufi (Sirr Asrar fi ma Yahtaju Ilaihi al-Abrar) yang diterjemahkan oleh Abdul Majid Hj. Khatib tentang : Ilmu, Taqwa kepada Allah, Pembersihan Diri, Shalat, Zakat, Puasa, Ibadah Haji dan Mencapai derajat insan kamil. Semoga sangat besar sekali manfaatnya untuk kita lebih meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah yang tentunya dapat memberikan motivasi dan kontribusi pada kita dalam rangka meraih kejayaan dan keselamatan serta kebahagiaan hidup di dunia wal akhirat.

A. T E N T A N G I L M U (Mengenai ilmu („ilm) ini Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani) Monday, November 8, 2010 12:51:42 PM

A. T E N T A N G I L M U (Mengenai ilmu („ilm) i

Mengenai ilmu („ilm) ini Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani membagi ke dalam empat bagian diantaranya :

1. Ilmu Syari‟at, yang berkenaan dengan hukum agama yakni ilmu yang berisi perintah dan larangan Allah.

2. Ilmu Hikmatut-Tasyri‟, yang berkenaan dengan hikmah di balik hukum atau syari‟at agama. 3. Ilmu Hakikat, yang berkenaan dengan ruh atau hakikat yang tersembunyi.

4. Ilmu Ma‟rifah, yaitu ilmu yang berkenaan dengan pengenalan terhadap Zat bagi segala zat atau Hakikat dari segala hakikat.

Insan atau manusia yang sempurna hendaknya wajib mengetahui peringkat-peringkat ilmu tersebut. Bila mereka belum mengenalnya hendaknya mereka harus mencari jalan untuk mempelajari ilmu itu.

Al-Qur‟an dengan segala tafsir, penjelasan, interpretasi, dan perumpamaan-perumpamaannya, mengandung semua bagian ilmu tersebut. Tafsir Qur‟an pun menjelaskan maksud ayat-ayat Al-Qur‟an itu bagi orang awam. Selain itu, terdapat pula penafsiran lain yang dibuat dengan

berbagai perumpamaan, yakni penjelasan makna batin ayat-ayat tersebut. Penjelasan seperti ini biasanya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu atau orang-orang pilihan. Konkretnya,

penafsiran semacam itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang dalam tingkatan ruhani tertentu memiliki keyakinan atau keimanan yang kuat dan teguh pemahamannya serta memiliki

kemantapan ilmu sehingga membolehkan mereka membuat penilaian dan pertimbangan tentang sesuatu yang hakiki.

Tingkat keruhanian mereka ibarat sebatang pohon, urat akarnya teguh terbenam di dalam tanah, sedangkan pangkalnya membujur di bumi dan pucuknya menjulang ke langit ke tujuh. Tidak ada

(3)

keraguan dalam hati mereka tentang Allah. Ibarat kalimat Laa Ilaha Illallah yang akarnya dibumi ketujuh dan pucuknya menerawang ke langit yang ketujuh pula, bahkan lebih tinggi dari itu. Inilah satu perumpamaan tentang keruhanian orang-orang pilihan Allah. Hanya Allah yang tahu tentang Keesaan yang mereka hayati, atau Tawhid yang tumbuh mengerucut di dalam hati mereka.

“Dialah yang menurunkan al-Kitab (Alqur‟an) kepada kamu. Diantara isinya terdapat ayat-ayat mahkamat yang merupakan pokok-pokok isi Alqur'an, sedangkan yang lain berupa ayat-ayat mutasyabihat. Bagi orang-orang yang dalam hatinya lebih condong kepada kesesatan, maka sebenarnya mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari ta‟wilnya (yang keliru), padahal tidak ada yang mengerti ta‟wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat. Semuanya itu dari sisi Tuhan kami. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Q.S. Ali Imran : 7)

Seorang penafsir Alqur'an pernah berkata tentang ayat tersebut : “Jika pintu ayat ini terbuka maka semua pintu ilmu rahasia yang ada dalam batin akan terbuka pula.”

1. Hamba Allah yang Sejati

Monday, November 8, 2010 12:54:01 PM 1. Hamba Allah yang Sejati

Hamba Allah yang sejati haruslah melaksanakan segala sesuatu apa yang diperintahkan Allah dan meninggalkan segala apa yang dilarangan-Nya. Hendaknya ia berusaha untuk menundukkan hawa nafsunya yang berupa amarah dan serakah. Hawa nafsu yang berlawanan dengan perintah agama itu ada dalam khayalan dan fikiran yang berlawanan dengan yang hakikat. Segala perbuatan yang dibenarkan oleh agama, itulah yang suka ditentangnya. Dan segala perbuatan yang bertentangan dengan agama, dengan senang hati dilakukannya. Itulah peranan hawa nafsu dalam diri manusia. Dalam tingkat thariqah, ego atau nafsu itu mendorong seseorang untuk mengikuti ajaran-ajaran agama yang palsu dan seolah-olah para pengamal thariqah itu telah berjalan di atas ajaran yang benar, yakni ajaran dari Allah. Padahal seringkali jalan thariqah yang dianggapnya benar itu sebenarnya salah dan bathil, karena penuh dengan kekeliruan, berbenturan dengan tuntutan syari‟at dan petunjuk Islam yang hakiki.

Dalam tingkat hikmah atau hakikat, masalah yang dihadapi lebih berat lagi, karena ego dan keinginan yang ada dalam diri seseorang selalu mendorong hasrat untuk mendakwa mereka sebagai Waliyullah. Bahkan, ada pula yang mau mengaku dirinya sebagai “tuhan”. Inilah dosa yang paling besar. Allah berfirman : “Terangkanlah kepada-Ku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya ?” (Q.S. Al-Furqan: 43)

Peringkat-peringkat tersebut sangat berbeda dengan peringkat ma‟rifah. Peringkat ini tidak pernah dapat dijamah oleh nafsu dan iblis. Bahkan malaikatpun tidak mampu mencapainya. Apa dan siapa pun selain Allah bila dapat sampai ke dalamnya, niscaya ia akan hangus. Malaikat Jibril pernah berkata kepada Nabi Muhammad SAW, “Jika selangkah saja aku masuk ke situ, maka hanguslah aku.”

Hamba Allah yang sebenarnya ialah hamba yang bebas dari gangguan ego dan nafsu setan, karena dirinya dilindungi oleh perisai keikhlasan dan kesucian hati dalam berma‟rifah kepada Allah SWT. Seorang alim berkata, “Jika sang hamba itu mentaati Allah dengan sepenuh hati dan perasaan, niscaya Allah akan mengaruniakan ma‟rifah untuknya. Bahagialah ia memandang rahasia-rahasia Tuhan di balik Alam Malakut. Namun, bila kemudian ia berbalik hati, ingkar kepada syarat-syaratnya, karunia itu akan dicabut-Nya kembali. Hatinya yang penuh dengan cahaya ma‟rifah akan kembali suram, gelap gulita seperti semula. Karena itulah, orang yang hatinya telah

dipenuhi cahaya ma‟rifah sangat khawatir bila cahaya itu akan dicabut seperti keadaannya yang dulu karena suatu kesalahan yang dibuatnya. Iblis laknatullah selalu menanti peluang untuk masuk dalam diri manusia. Apabila manusia lalai, mereka akan membelitnya dengan belalainya dan dijerumuskannya manusia ke lembah kehinaan sehingga semua amalan yang pernah

(4)

Firman Allah : “Iblis menjawab, “Demi kekuasaan-Mu, aku bersungguh-sungguh akan

menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis (yaitu orang yang ikhlas) di antara mereka.” (Q.S. Shaad: 82 – 83).

Lihatlah, betapa Iblis laknatullah sendiri mengaku di hadapan Allah SWT, bahwa ia tidak mampu menggoda orang yang mengikhlaskan dirinya hanya kepada Allah, sebagaimana bunyi ayat

tersebut di atas.

Manusia tidak akan sampai ke peringkat tertinggi itu selagi ia belum suci, karena nafsu-nafsu dunia tidak akan melepaskannya hingga Zat Yang Maha Esa itu terlahir padanya. Inilah yang disebut dengan keihklasan.

Zat itu hendaknya dikenali dengan sempurna. Kejahilan akan hilang dari diri manusia bila ia menerima ilmunya secara langsung dari Allah. Ilmu yang semacam ini tidak dapat dicapai dengan cara belajar, karena ilmu itu adalah karunia dari Allah yang diberikan khusus kepada hamba pilihan (Waliyullah) tanpa perantara atau wasilah.

Apabila Allah SWT menjadi gurunya maka Dia akan memberikan berbagai sumber ilham ke dalam diri mereka, segala rahasia-rahasia yang halus akan dilontarkan Allah ke dalam hati mereka. Maka menjelmalah ia seperti Nabi Khidir atau hamba-hamba shaleh yang lain, yang selalu menerima sumber ilmu dari Yang Pemilik ilmu itu.

Keadaan semacam inilah yang disebut telah mencapai tingkat makrifah. Mereka telah mengenali Tuhan Penciptanya, dan senantiasa mengabdi kepada Tuhan yang sudah dikenali-Nya.

Orang yang mencapai peringkat ini akan melihat Ruh al-Quds (Ruh Suci) dan kekasih Allah, yaitu Nabi Muhammad SAW. Ia boleh berbincang-bincang dengan kekasih Allah tentang segala perkara dari awal hingga akhir, dan Nabi-Nabi lainnya memberinya tanda atau isyarat yang baik tentang janji bahwa ia akan berkumpul bersama kekasih Allah itu. Hal ini tidak mengherankan karena mereka yang telah mencapai peringkat ini, semua keinginannya akan terpenuhi dengan kehendak Allah. Firman Allah : “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang yang saleh. Dan mereka itulah teman yang paling baik.” (Q.S. An-Nisaa‟: 69)

2. Peringkat Khusus bagi Orang-orang Terpilih Monday, November 8, 2010 12:56:01 PM

2. Peringkat Khusus bagi Orang-orang Terpilih

Barangsiapa yang tidak memperoleh ilmu di peringkat yang khusus, maka mereka tidak akan paham bagaimana orang yang di peringkat itu diizinkan melihat Ruh al-Quds, Nabi Muhammad SAW, dan „berbincang-bincang dengan Nabi Muhammad‟. Mereka melihat dan berbincang-bincang tidak dengan mata dan mulut yang zahir, karena mata dan mulut yang zahir ini tidak mungkin mampu berbuat demikian. Perkara ini adalah perkara ruhaniah, perkara gaib, perkara yang berhubungan dengan ruh suci dan yang disucikan dengan zikrullah dan riyadah (latihan) para Awliya‟ Allah.

Barangsiapa yang tidak mendapat ilmu ini, maka tidak akan menjadi orang yang bijaksana dan arif, walaupun ia membaca sejuta kitab. Mungkin ganjaran yang diperoleh oleh mereka yang alim dalam ilmu zahir ialah surga di tempat dimana yang tampak adalah penzahiran sifat-sifat

Ketuhanan dalam bentuk Nur (cahaya). Walau begitu tinggi dan sempurnanya ilmu zahir

seseorang, ilmu itu tidak akan membantunya memasuki Majelis Ketuhanan atau Hazirah al-Quds, yaitu sebuah tempat „bersama‟ Allah. Mereka perlu terbang ke Hazirah al-Quds.

Hamba Allah yang benar-benar berniat terbang ke peringkat itu sebenarnya memerlukan dua „sayap‟, yaitu ilmu zahir dan ilmu batin (ilmu syariat dan ilmu hakikat). Kedua „sayap‟ ini mereka kepakkan tanpa henti dalam perjalanannya. Mereka terbang tanpa peduli terhadap hal-hal yang menggoda mereka selama dalam perjalanan. Tujuan akhir yang mereka tuju adalah Allah. Allah perlu dikenal dengan perkenalan yang penuh dengan kesungguhan.

(5)

Allah berfirman dalam sebuah Hadis Qudsi, “Wahai hamba-Ku! Jika kamu ingin memasuki Majelis-Ku, maka janganlah kamu tumpukan perhatianmu kepada dunia ini, kepada alam Malaikat, atau alam yang lebih tinggi dari itupun !”

Tegasnya, orang yang berma‟rifah kepada Allah, cukuplah ma‟rifah ditujukan semata-mata kepada Allah, tidak kepada selain Dia .

Dunia nyata ini dalam pandangan orang-orang yang berilmu adalah penggoda atau penipu, musuh atau setan. Di peringkat Alam Malaikat pun ditemui penggoda atau musuh bagi ahli ruhani, dan di peringkat sifat-sifat Allah muncul pula penggoda dan musuh bagi ahli hakikat. Barangsiapa yang tergoda dan dapat terkalahkan oleh penggoda-penggoda atau musuh-musuh itu, niscaya ia tidak akan mendapat nikmat „bersama‟ atau „bersatu‟ dengan Allah. Barangsiapa tergoda oleh rayuan penggoda dan dikalahkan oleh musuh, pasti langkahnya akan terhenti hanya sampai di situ dan tidak akan dapat maju lebih tinggi dan lebih jauh lagi dalam perjalanan menuju tujuan akhir, yaitu Zat Yang Maha Tinggi. Meskipun tujuannya ingin „bersatu‟ dengan Zat itu namun ia tidak akan pernah sampai. Perjalanannya akan terhenti sampai di tempat itu. Mereka yang seperti ini adalah orang-orang yang terbang hanya dengan satu sayap, sedangkan sayapnya yang sebelah telah patah.

Orang-orang yang tidak menyimpang dari tuntunan jalan Allah dan tidak tergoda oleh penggoda dan musuh dalam perjalanannya menuju Allah, niscaya akan menerima hadiah dari Allah SWT yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam pikiran. Di tempat itulah surga „bersama Allah‟ berada. Di surga itu tidak ada intan permata, tidak ada bidadari, tidak ada mahligai, dan sebagainya. Di tempat itulah ia mengenal dirinya dan tidak menginginkan sesuatu yang bukan diperuntukkan baginya.

Sayyidina Ali pernah berkata, “Mudah-mudahan Allah SWT mencurahkan rahmat kepada siapa yang mengenal dirinya yang tidak melanggar batas, yang menjaga lidahnya, dan yang tidak menyia-nyiakan hidupnya di dunia ini.”

Dunia ini bukan negeri yang kekal dan mengharuskan manusia menumpukan segala perhatian kepadanya. Dunia adalah tempat ujian, tempat menanam kebajikan, sedangkan akhirat adalah tempat menuai hasilnya.

3. Pancaran Ruh Suci Ruh al-Quds Monday, November 8, 2010 12:58:03 PM 3. Pancaran Ruh Suci Ruh al-Quds

Orang yang berma‟rifah kepada Allah menyadari bahwa „anak ruh‟ atau „anak hati‟ (yakni pancaran Ruh Suci atau Ruh al-Quds) yang zahir di dalam hati adalah makna kemanusiaan atau insan yang sebenarnya. Itulah insan hakiki. Karena itu, manusia hendaknya mendidik „anak hati‟ itu agar tumbuh dan berkembang sehingga bersinar cerah terang benderang. Dengan sinar itu mereka dapat menyadari hakikat Keesaan Tuhan (tauhid) sehingga terhapuslah dalam diri mereka sifat menyekutukan Tuhan (syirik). Sadarlah mereka tentang apa yang dikatakan oleh alam ruhani dan tersingkirlah segala ingatannya tentang alam kebendaan. Kini masuklah kesadaran itu ke dalam rahasia yang didalamnya tidak ada ingatan lain, selain Zat Allah Yang Maha Esa.

Pada hakikatnya itulah tempat atau alam tanpa batas yang tidak mengenal awal dan akhir. Anak ruh (anah hati) terbang menjelajah di alam maha luas dan melihat pemandangan yang belum pernah dilihat sebelumnya, yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.

Tempat itulah tempat tinggal bagi mereka yang meninggalkan ghairullah (selain Allah). Ingatan mereka hanya terpusat pada kehendak mendapat karunia berupa kemampuan melihat dengan mata Ketuhanan, yaitu mata Keesaan dan Tauhid sebagaimana yang diberitakan oleh beberapa Hadis Qudsi.

Apabila mereka dapat melihat keindahan dan kebesaran Allah, maka fana‟-lah mereka dari ghairullah. Jika kita melihat matahari, hal-hal yang lain tidak akan tampak, tak terkecuali diri kita sendiri. Apabila keindahan dan kebesaran Allah terzahirkan, apa lagi yang mungkin

(6)

Itulah rahasia manusia, rahasia insan. Ia lahir melalui pencampuran ilmu manusia tentang agama dengan kesadaran manusia tentang hakikat, seperti bayi yang lahir dari percampuran dua titik air. Firman Allah :“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setitik mani yang

bercampur, yang hendak Kami uji. Karena itu, Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (Q.S. Al-Insan: 2)

Seluruh isi dunia ini pada hakikatnya hanyalah setetes air jika dibandingkan dengan lautan alam ruhani. Hanya dengan mamahami kekuasaan dan cahaya ruhani ini, rahasia Ketuhanan dan hakikat yang sebenarnya akan melimpah ke alam nyata tanpa huruf dan tanpa suara. Dengan kata lain, setelah hati dan jiwa kita direvolusikan dengan ilmu ruhani dan Ketuhanan, maka muncullah kesadaran kita tentang hakikat segala sesuatu dan rahasia Ketuhanan.

4. Pancaran Ilham dari Hazirah al-Quds Monday, November 8, 2010 12:59:00 PM 4. Pancaran Ilham dari Hazirah al-Quds

Orang-orang Sufi dikenal juga dengan Ahlullah (orang kesayangan Allah), orang yang selalu menjadi saluran iradah Allah. Karena hati mereka telah bersih suci dan bercahaya cemerlang, terbukalah pintu dan jendela hati itu untuk menerima Nur dari rahasia-rahasia halus yang memancar dari Majelis Ketuhanan (Hazirah al-Quds). Di situlah tersimpan segala rahasia

Ketuhanan sebagai perbendaharaan ilmu ladunni dan ilham. Kebun hati itu juga menjadi lembah bermuaranya semua ketentuan Allah, yakni takdir-Nya. Apabila Sirr mengelilingi kawasan takdir itu, terlahirlah dari berkas cahaya dan berbagai ilmu dan rahasia.

Seorang Sufi yang telah berpangkat Wali, pada umumnya memiliki bermacam-macam

pengetahuan yang sulit ditelusuri melalui ilham komputer kebatinannya. Dengan kehendak Allah SWT, ia dapat mengatakan hal-hal yang pelik dan terkadang ajaib. Perkara-perkara yang ghaib itu tidak dapat dijangkau oleh kecerdasan fikiran manusia biasa. Seringkali ia menyampaikan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi melalui isyarat-isyarat yang jelas, dan kadangkala dengan isyarat yang sulit diterima oleh akal manusia.

Sebagai contoh, simaklah kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa „alaihima as-salam. Semua yang dilakukan oleh Nabi Khidir adalah hal-hal yang luar biasa peliknya, namun semua merupakan takdir yang diilhamkan kepadanya. Ilmu ini dinamakan ilmu ladunni, ilmu yang terus mengalir dari Majelis Ketuhanan yang tidak perlu dipelajari, bahkan tidak ada jalan untuk mempelajari. Ilmu itu adalah karunia yang datang kepada hamba-hamba pilihan-Nya.

Ada kalanya ilham-ilham yang ringan datang melalui cahaya yang menembus jendela hati

seseorang apabila hati mereka suci dan sedang giat bekerja dengan berzikir dan mengingat Allah. Sebenarnya, bila hati seluruh manusia tidak terselubung daki-daki dunia yang menutup jendela hati itu, niscaya semua manusia pun akan menerima ilham yang halus ini dan menerima ilmu ladunni yang dikaruniakan Allah kepada para hamba-Nya.

Di antara ilham-ilham yang biasa itu terdapat ilham dalam diri sendiri. Tanda yang paling

nampak untuk mengenal ilham ini adalah tatkala manusia akan makan, yang kemudian terdengar suara kecil dari dalam diri mereka. Kita tentu dapat merasakannya. Dan apabila kita mendengar suara hati yang meminta makan, misalnya, sebaiknya kita segera melaksanakan keinginannya, yakni makanlah. Allah telah berfirman di dalam Alqur'an :

“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketaqwaan.” (Q.S. Asy-Syams: 8) Jadi, kedua ilham itu kerap dilalaikan oleh batin manusia. Maka disinilah peran akal untuk menunjukkan hati ke tempat seharusnya ia menambatkan terajunya ; apakah ke arah kefasikan yang diilhamkan atau ke arah ketaqwaan. Tuhan telah memberikan solusi agar dipilih oleh manusia, dan memberi penjelasan untuk setiap nasib yang dipilihnya supaya manusia tidak

menuntut bila nasibnya menjadi buruk karena ilham itu. Allah kemudian melanjutkan firman-Nya itu :

“Sungguh beruntung orang yang mensucikan (jiwa)nya itu, dan rugilah (hampalah) orang yang mengotorkannya.” (Q.S. Asy-Syams: 9-10)

(7)

Orang yang membersihkan jiwanya adalah orang yang kelak beruntung di hari pertemuan dengan Tuhan, karena dia telah menerima dengan baik keterangan Tuhannya yang memang seringkali benar terjadi, jika dia membersihkan dirinya dengan memperbanyak amalan shaleh, dan memalingkan dirinya dari segala hal yang dapat membahayakan dirinya, serta menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan jahat dan sia-sia. Karena Dia juga memberitahukan bahwa orang yang mengotori jiwanya dengan perbuatan-perbuatan dosa dan maksiat serta melakukan pekerjaan yang sia-sia, niscaya dia akan merugi di hari akhirat kelak. Kerugian itu datang karena dia telah kembali menemui Tuhannya dengan tangan kosong tanpa pahala. Malah yang dipikulnya adalah dosa dan maksiat yang akan membinasakan dirinya sendiri.

Tegasnya, kita tidak akan mampu mengamalkan kedua ayat diatas, selagi kita berada di luar gerbang Tuhan. Orang yang akan memasuki gerbang ini mestilah terlebih dahulu mensucikan dirinya sehingga dia dapat diterima menjadi ahli-Nya.

Adapun orang yang masih kotor dengan daki-daki dunia, mungkin mengira ia dapat mendengar suara bathinnya itu, dan ia dapat benar dan salah dalam dakwaannya itu. Belum tentu gerbang yang dimasukinya itu adalah gerbang Allah. Sebab syaitan pun membuat gerbang juga, dan berdaya upaya mengajak manusia untuk memasuki gerbangnya.

Jelasnya, orang itu harus dapat membedakan antara kedua bisikan itu, yaitu bisikan bathin Ketuhanan dan bisikan ilham dari setan. Ilham dari Tuhan adalah ilham yang sejak awal telah bersih, dan bukan ilham yang seakan-akan (berpura-pura) bersih. Ilham dari setan adalah ilham nafsu yang kotor dan penuh tipu daya, wallahu-a‟alam.

B. TENTANG TAQWA KEPADA ALLAH Monday, November 8, 2010 1:00:53 PM B. TENTANG TAQWA KEPADA ALLAH

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Q.S. Ali Imran: 102)

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri

memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Hasyir: 18)

Dari dua ayat tersebut di atas, jelaslah bahwa taqwa adalah sebaik-baik bekal di akhirat. Orang yang berjalan menuju Allah SWT, sangat perlu memiliki ketaqwaan dalam dirinya. Tanpa

ketaqwaan itu, ia akan mendapatkan kesulitan dalam perjalanannya menuju kepada Allah SWT. Ia akan lebih mudah binasa daripada selamat dalam perlindungan Allah SWT. Karena itu, Allah SWT telah mengingatkan kepada seluruh hamba-Nya agar membekali diri dengan iman dan taqwa kepada-Nya karena keimanan dan ketaqwaan itu merupakan satu-satunya jaminan keselamatan dalam perjalanan menuju ke akhirat.

Menurut pendapat para Salik (orang yang berjalan menuju Allah), taqwa bukan saja diperlukan sebagai bekal akhirat, bahkan taqwa mesti disimpan di dalam hati agar mudah bagi mereka untuk mengumpulkan sifat-sifat baik dalam dirinya dan menolak sifat-sifat buruk yang menggoda mereka. Taqwa ibarat sebuah penyaring yang dapat menepis semua tingkah laku si Salik (orang yang berjalan menuju Allah). Dengan taqwa mereka dapat menghimpun semua perbuatan baik-baik yang mendatangkan manfaat bagi diri mereka. Intinya, semua perbuatan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya dapat diselipkan dalam kantung mereka. Selain itu, ia dapat menjauhkan diri dari segala macam perbuatan yang mendatangkan bahaya pada agamanya.

Karena itu, mereka menjauhkan diri dari perbincangan-perbincangan yang tidak perlu (omong kosong), atau menyantap makanan atau minuman yang tidak perlu, atau mengharapkan atau mencita-citakan harta dan pangkat yang tidak perlu, atau melakukan perkara yang mubah (diperbolehkan), meskipun dalam syariat dianggap zahir. Perbuatan-perbuatan itu dapat menjauhkan mereka dari dosa.

(8)

menuju Allah) dan ahli Sufi karena mereka khawatir semua itu akan memalingkan mereka dari penyerahan diri kepada Allah, atau dapat menarik minat mereka dari ingatan selain Allah. Bukankah yang demikian itu akan menjauhkan mereka dari kedekatannya dengan Tuhan Penciptanya Yang Maha Mengetahui segala yang tampak maupun yang tersembunyi darinya ? Perbuatan-perbuatan itu benar-benar akan merugikan para Salik (orang yang berjalan menuju Allah) yang sedang melakukan perjalanan menuju Allah SWT dan mempertipis kemungkinan untuk mencapai ma‟rifah Tuhan yang mesti dicari dan dikenali-Nya.

Bagaimana mungkin mencapai hakikat taqwa apabila hati masih belum beranjak dari Zahrah al-Hayah ad-Dunya ( keindahan hidup dunia). Hati demikian masih tertumpu pada hasrat untuk menumpuk harta dunia sebanyak mungkin dan mengecap kenikmatannya. Dalam pikiran orang-orang yang terjerat Zahrah al-Hayah ad-Dunya, pangkat dan sanjungan dari manusia merupakan suatu kenikmatan yang harus dicari. Mereka yang hidupnya dipenuhi hasrat untuk mengejar kenikmatan dunia ini niscaya akan berpaling dari penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah. Ingatannya kepada dunia akan melemahkan derajat kepatuhannya sebagai hamba Allah. Karena itu, Allah SWT telah mewasiatkan para hamba-Nya yang terdahulu dan yang kemudian dengan sebuah firman penting di dalam Alqur'an :

“Dan Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang telah diberikan Kitab sebelum kamu dan kepada kamu yang hidup sesudahnya untuk bertaqwa (patuh) kepada Allah.” (an-Nisaa‟: 131) Apabila di sana terdapat sesuatu yang lebih utama daripada taqwa, niscaya Allah SWT telah mengingatkannya kepada hamba-Nya. Namun, yang diingatkan oleh Allah sendiri adalah taqwa yang memberikan banyak manfaat dan pahala yang besar. Allah menginginkan mereka

mendapatkan manfaat dan pahala itu. Karena itu, kemudian diwasiatkan-Nya taqwa kepada hamba-Nya yang terdahulu dan yang hidup kemudian.

1. Derajat Taqwa dan Tingkatan-tingkatannya Monday, November 8, 2010 1:15:16 PM

1. Derajat Taqwa dan Tingkatan-tingkatannya Taqwa memiliki beberapa derajat, diantaranya : a) Taqwa dari dosa syirik atau menyekutukan Allah

Taqwa dari dosa syirik adalah taqwa untuk menyembah kepada Allah semata dan tidak

menyekutukannya dengan sesuatu selain Allah walau dengan isyarat sekalipun. Apabila suatu amalan ditujukan kepada selain Allah maka tercemarlah amalan itu karena Allah tidak akan menerima amalan yang dibuat bukan untuk mendapat keridhaan Allah. Padahal amalan yang ikhlas adalah amalan yang ditujukan hanya kepada Allah semata. Amalan yang tidak disertai dengan keikhlasan sama artinya dengan amalan yang dibuat untuk memamerkan diri atau riya‟, sedangkan riya‟ merupakan perbuatan yang dicela oleh Allah dan merupakan perbuatan syirik khofi.

b . Taqwa dari dosa-dosa besar

Taqwa ini merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan orang-orang yang beriman kepada Allah. Bukan hanya untuk para Salik, yakni orang-orang yang mengarahkan segenap hati dan pikirannya ke jalan Allah, taqwa dari dosa besar ini juga diperuntukkan bagi orang-orang yang mengakui keberadaan Allah dan menyembah kepada-Nya. Keta‟atan kepada perintah Allah adalah bukti utama bagi mereka yang beriman. Bagaimana mungkin seseorang dapat mengakui beriman kepada Allah, sementara ia juga melakukan larangan-larangan-Nya ? Dan ia masih juga bersenang-senang melakukan larangan itu. Bukankah itu sama halnya dengan mempermainkan Tuhan ? Karena itu dikatakan bila kematian datang menjemput seseorang yang tengah melakukan dosa besar maka cahaya keimanan akan tercabut dari hatinya sehingga bahaya besar akan jatuh kepadanya. Coba bayangkan bagaimana keadaan seorang mukmin yang tengah menghadapi kematian, sedangkan keimanan berada di luar hatinya !

Allah SWT tidak ingin hamba-Nya mudah terdorong oleh hawa nafsu yang menyebabkan mereka dengan mudah pula melakukan dosa besar. Karena itu, Allah menjatuhkan hukuman yang berat

(9)

kepada pelaku dosa-dosa besar ini, misalnya dengan memberi hukuman potong tangan bagi para pencuri, memberlakukan hukum rajam atau mencambuk sebanyak 100 kali bagi pezina yang belum pernah menikah, memberlakukan hukum cambuk sebanyak 80 kali bagi peminum arak, dan sebagainya. Hukuman berat ini diberikan bukan karena Islam senang melihat manusia teraniaya, tetapi untuk mencegah bahaya yang akan menimpa umatnya akibat dari perbuatan-perbuatan yang sangat tercela itu.

Selain itu, perbuatan dosa besar bertentangan dengan konsep iman yang telah diakui oleh orang-orang yang mengakui dirinya Islam. Jika mereka tetap melakukan dosa tersebut, secara tidak langsung ia telah menanam bibit kufur di dalam dirinya, karena perbuatan dosa besar selalu dibuat oleh orang-orang kafir secara sewenang-wenang tanpa ada hukum yang mencegahnya dan mereka tidak pernah melakukan pelarangan untuk semua perbuatannya. Tegasnya, dengan dosa kufur saja, seseorang dapat menerima laknat Tuhan. Karena itu, ia akan dihukum dengan balasan neraka untuk selama-lamanya apabila dosa-dosa lainnya terkumpul di dalam dosa kufur itu. c. Taqwa dari dosa-dosa kecil

Dosa kecil yang dilihat dari segi hukum memiliki takaran dosa lebih ringan daripada dosa besar, namun pada hakikatnya adalah dosa yang dalam pandangan Islam harus dijauhi. Karena itu, dosa ini pun harus segera dikikis dan dibersihkan dari dalam diri seseorang dengan cara bertaubat yang sesungguh-sungguhnya. Selain bertaubat, seseorang yang berdosa dapat menghapus dosa itu dengan melakukan berbagai macam ibadah dengan harapan semoga Allah mengampuninya.

Namun, hukum di atas berbeda dengan pandangan para Salik tentang penyucian hati. Tugas utama para Salik adalah menyucikan diri dari segala daki-daki dunia yang dianggap mengotori jiwanya. Karena itu, tindakan melanggar perintah Allah, walau sekecil apapun tetap merupakan dosa bagi mereka. Perbuatan dosa adalah pantangan utama mereka karena berbuat dosa sama halnya dengan berbuat sesuatu yang tidak diridhai Allah. Perbuatan ini tentu tidak pantas oleh mereka yang menyediakan dirinya untuk menuju ke pintu Ilahi.

Biasanya bila seseorang pernah berbuat dosa dan lolos dari hukuman maka akan sering terbit godaan dalam hatinya untuk mengulanginya kembali. Nafsu tidak henti-hentinya menggoda diri seseorang. Bila nafsu itu terpenuhi maka ia akan selalu menuntut meraih keuntungan yang lebih dari itu, dan tidak akan tinggal diam sehingga mendapat apa yang dituntutnya itu. Dan hal ini bertentangan dengan konsep seorang Salik yang mencari kesucian diri dalam perjalanannya menuju ke gerbang Ilahi.

d. Taqwa dari yang Makruh dan Mubah.

Sesuatu yang makruh tetap dibenci oleh syariat Islam, meskipun tidak ada hukuman yang ditimpakan kepada pelakunya. Namun perkataan „benci‟ dalam syariat itu sudah cukup untuk menjadikannya sebagai hukuman yang berat bagi orang yang berpikiran jernih. Jika kita dibenci orang, apa lagi hukuman yang lebih berat selain itu ? Terlebih lagi, bila yang membenci itu

adalah agama yang kita anut sendiri. Padahal dalam agama itu terkandung perintah dan larangan Allah yang sepatutnya kita junjung tinggi. Sungguh malang bila kita menyia-nyiakannya. Apakah setelah mengetahui semua itu kita masih dapat membanggakan diri sebagai seorang yang patuh terhadap perintah Tuhan ?

Dalam hal mubah ini, ketaqwaan seseorang dapat diukur dengan wara‟. Bila seseorang memiliki wara‟ yang kuat dalam memperhatikan larangan agama maka kuatlah keinginannya untuk meninggalkan mubah yang tidak perlu. Setiap orang dapat mengukur apa yang sesuai menurut dirinya. Wara‟ tidak memiliki batasan yang tetap.

Meskipun hukuman dari perkara yang mubah adalah boleh dilakukan, tetapi batasan boleh itupun bila dilakukan berlebihan akan menarik seseorang kepada perkara yang dilarang agama.

Bukankah bila kita melakukan perkara yang mubah secara berlebihan dapat menarik kita kepada hal yang makruh, dan yang makruh itu dapat menarik kita kepada hukum perbuatan yang lebih tercela yaitu haram.

Berbuat sesuatu secara berlebihan sama halnya dengan mubazir, sedang sikap mubazir itu sendiri dilarang oleh Tuhan. Orang yang melakukannya diibaratkan seperti sekawanan setan. Setan

(10)

adalah makhluk yang kufur kepada Tuhannya. Allah melaknatnya kekal hingga di hari kiamat. Wajarkah kita berteman dengan setan dan mengikuti petunjuknya, setelah Allah mengingatkan kita bahwa setan adalah musuh yang jahat terhadap bani Adam ?

Namun alhamdulillah, tidak ada suatu jiwa pun yang tidak didampingi pengawal yang diutus oleh Allah SWT untuk menjaganya agar setan tidak mampu mencengkramnya. Ini dapat terjadi apabila hamba-Nya itu dapat menunjukkan „ubudiyyahnya atau penghambaannya secara mutlak kepada uluhiyyah Tuhannya. Dan karena itu, setan tidak akan terus mengganggunya. Tetapi harus diingat bahwa setan tak pernah putus-putusnya mengintai manusia untuk mencari peluang untuk

menjerumuskan mereka. Karena itu, sudah semestinya manusia berhati-hati dan menjaga diri agar tidak menjadi mangsa setan.

2. Taqwa dalam Kacamata para Salik (orang yang berjalan menuju Allah) Monday, November 8, 2010 1:16:19 PM

2. Taqwa dalam Kacamata para Salik (orang yang ber

Bagi para Salik, taqwa adalah semacam obat yang tanpa kehadirannya mereka tidak akan pernah sampai kepada apa yang mereka cari. Orang yang bertaqwa adalah orang yang tidak lepas dari perbuatan mensucikan diri, orang yang selalu berusaha membenamkan dirinya dalam semua hal yang diridhoi Allah serta menjauhkan diri dari semua perbuatan yang dimurkai Allah. Jelaslah disini bahwa taqwa merupakan syarat utama bagi orang yang mengaku dirinya sebagai seorang Salik.

Karena manusia hidup di dunia, niscaya ia harus terlibat dengan masalah-masalah keduniaan. Dalam urusan keduniaan itu kerap kali hawa nafsu menjadi raja bagi dirinya. Dialah yang memerintah dan melarang manusia berbuat sesuatu. Apabila hawa nafsu itu dibebaskan untuk bertindak menurut kehendaknya dan merajalela, niscaya manusia akan terdorong pada jurang kebinasaan, karena semua kehendak hawa nafsu akan membawa manusia pada kecelakaan. Karena itu, hawa nafsu harus dikekang dan dikendalikan agar ia tidak membawa manusia ke jurang kebinasaan. Taqwalah yang menjadi penawarnya, yang dapat diibaratkan sebagai obat. Orang yang sakit memerlukan obat, dan harus menelannya selama penyakit masih bersarang di badannya. Seperti halnya obat, ia selalu terasa pahit, bertentangan dengan selera manusia. Sepahit apapun obat, orang yang sakit harus menelannya jika ia menginginkan kesembuhan dari penyakit yang menyerangnya. Jika penyakit diabaikan tanpa diperangi dengan obat maka

penyakit itu akan semakin berat menyerang tubuh manusia. Penyembuhannyapun memerlukan waktu yang panjang karena penyakit terlanjur kronis. Demikianlah perumpamaan pengendalian hawa nafsu manusia.

3. Dunia adalah Penjara orang-orang beriman Monday, November 8, 2010 1:18:17 PM

3. Dunia adalah Penjara orang-orang beriman

Nabi Besar Muhammad SAW pernah bersabda : “Dunia ini adalah penjara bagi orang mu‟min!” Sabda di atas mengingatkan bahwa kita jangan sampai mengharapkan kebahagiaan yang mutlak selama hidup di dunia ini, karena dunia adalah penjara bagi seorang mu‟min. Bila kita memiliki iman yang teguh, seharusnya kita bersabar dalam menempuh segala kesulitan ketika berada di dalam penjara dunia karena setelah alam dunia terlewati, kita akan menemui kehidupan yang hakiki, kehidupan yang kekal, kehidupan yang penuh dengan segala kenikmatan dan kesenangan. Itulah yang disebut sebagai kebahagiaan sejati.

Dalam setengah bagian riwayat di atas terdapat penambahan kata “Dan surga bagi orang kafir!” Artinya, segala kenikmatan yang dirasakan oleh orang kafir itu, hanyalah kebahagiaan yang diberikan Allah untuk kehidupan dunia yang sementara ini. Bila ia kembali ke kampung akhirat, siksalah yang akan ditemuinya, dan siksa itu akan kekal abadi, tidak pernah berakhir.

Para Salik (orang yang berjalan menuju Allah) telah menangkap maksud dari sabda ini. Mereka menganggap kesulitan hidup yang sementara di dunia ini lebih ringan daripada kesulitan yang akan dirasakan di akhirat kelak walau hanya sekedip mata. Kesulitan di akhirat tidak ada bandingnya dengan kenikmatan yang dirasakan di dunia. Karena itu, mereka mampu bersusah-susah di dunia untuk mencapai kenikmatan puncak di akhirat nantinya.

(11)

4. Istiqamah sebagai jalan keluar Monday, November 8, 2010 1:20:11 PM 4. Istiqamah sebagai jalan keluar

Untuk mencari jalan keluar dari penjara dunia, manusia harus terus beristiqamah, yakni meluruskan diri dengan bergantung kepada pohon taqwa agar petunjuk Allah SWT dapat memimpin mereka ketika menjalani hidup di dunia. Biarlah rezeki yang bercampur noda-noda dunia, rezeki itu berupa kenikmatan yang berbaur dengan kesusahan maupun nikmat yang diiringi kemewahan, namun yang terpenting adalah rezeki itu berasal dari segala yang diridhai Allah. Ikhlaskanlah semua yang diperoleh itu menjadi kehendak Allah SWT, asalkan mereka terlindung dari jalan yang salah agar Allah selalu memberikan keridhaan-Nya kepada mereka. Allah telah berfirman :

“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya akan ditunjukkan padanya jalan keluar dari kesusahan, dan diberikan-Nya rezeki yang tanpa diduga-duga. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya keperluannya akan dicukupi oleh Allah.” (Q.S. At-Thalaq: 2-3)

Menurut pandangan para Salik (orang yang berjalan menuju Allah), „jalan keluar‟ dan „rezeki‟ yang dicukupi Allah itu adalah terbebasnya keinginan mereka dari pandangan tentang dunia dan segala keindahannya yang bersifat sementara itu. Kemudian Allah akan menarik mereka masuk ke dalam „Gerbang Allah‟ untuk mengecap segala kenikmatan ruhani yang disediakan Allah ketika di dunia dan kelak di akhirat. Selain itu, Allah akan menambahnya dengan puncak kenikmatan hakiki yang telah dijanjikan-Nya kepada siapa pun yang meniti jalan ini.

Dalam menempuh jalan suluk ini, kegembiraan terbayang pada wajah si Salik (orang yang

berjalan menuju Allah). Padahal banyak kesusahan yang ditanggungnya dalam perjalanannya itu, namun disimpan di dalam hati. Tetapi, apabila ma‟rifah telah bersemayam di dalam hatinya, sementara ia baru pertama kali berkenalan dengan alam yang baru ditempuhnya, keadaannya berubah dari yang sebelumnya. Yang terbayang pada wajahnya dulu adalah wajah orang yang susah karena mengenangkan keadaan manusia disekelilingnya yang terus lupa dan lalai. Namun kini ia merasakan kegembiraan di dalam hatinya, tenang di dalam pikirannya karena telah diberi petunjuk oleh Allah sehingga ia terbebas dari keadaan alpa dan lalai itu. Semoga kita dapat memahami ini baik-baik, wallahu-a‟lam.

5. Terbukanya Pintu yang Diketuk Tuesday, November 9, 2010 11:26:10 AM 5. Terbukanya Pintu yang Diketuk

Keadaan „susah‟ dan „senang‟ dalam kacamata para Salik (orang yang berjalan menuju Allah) adalah sama, yaitu berupa „ujian‟. Bahkan ujian dalam masa „senang‟ menurut mereka lebih berat daripada ujian pada masa „susah‟.

Manusia yang hatinya senang sebenarnya tengah menanggung tanggung jawab yang berat, yang kerap kali dilupakannya. Kesenangan itu sering kali dianggap sebagai hasil jerih-payahnya sendiri. Bila ia tidak bersyukur kepada Allah yang telah melimpahkan kesenangan kepadanya, maka sebenarnya ia berada dalam bahaya yang besar. Sebenarnya, rasa syukur kepada Allah dapat disalurkan dalam bentuk memberikan kesenangan pada orang lain yang sedang kesusahan, misalnya dengan memberikan sedekah dalam bentuk uang, membrikan makanan kepada fakir miskin, memberikan kebutuhan sandang berupa pakaian kepada yang membutuhkannya, dan lain sebagainya. Apabila ia bersyukur dengan apa yang ditunjukkan oleh agama, niscaya hartanya akan diberkati Allah dan kenikmatan yang telah diperolehnya akan terus mengalir dalam bentuk rezeki yang melimpah.

Bagi mereka yang mengalami kesusahan, Allah memberikan ujian berupa kesabaran, karena semua kesulitan adalah kehendak Allah. Bila Allah menginginkan mereka menjadi kaya, dalam sekedip mata Allah akan mengubah hidup mereka menjadi kaya. Tetapi di balik takdir-Nya yang berlawanan itu sebenarnya terkandung hikmah yang tak seorang pun dapat mengetahuinya, selain Allah. Maka hendaklah mereka menerima takdir itu dengan hati yang lapang.

Mereka yang ditimpa kesusahan seharusnya tidak boleh pasrah menerima ujian itu. Mereka harus banyak mengingat Allah lebih banyak dari mereka yang diberi kenikmatan oleh Allah. Mereka

(12)

akan selalu berdoa dan memohon kepada Allah. Mereka akan bertahan berdiri di pintu Tuhannya. Semua ini akan membimbingnya untuk memperoleh pahala berlipat ganda di akhirat.

Kadangkala permintaan mereka dikabulkan oleh Allah. Allah akan memberikan apa yang dimintanya untuk dunianya. Dalam hal ini, mereka telah mendapat faedah dunia dan akhirat. Pintu yang tertutup bila terus menerus diketuk dan dirayu oleh sang penghuni, akhirnya akan terbuka. Namun, untuk membuka pintu itu diperlukan kesabaran yang panjang.

Cara ini merupakan pendidikan Allah kepada hamba-Nya, agar selalu meminta pertolongan kepada-Nya, tidak kepada yang lain karena Dialah Yang Memberi dan Menahan. Bila ada sesuatu hendak diberikan Allah kepada hamba-Nya, tak ada seorangpun yang mampu menahannya, begitu pula sebaliknya. Pandangan ini biarlah selalu berkobar di dalam hati hamba-Nya. Janganlah mereka lupa diri apabila Allah telah memberi kenikmatan, tidak lagi menengadahkan tangan kepada-Nya, tidak lagi ingin mengetuk pintu-Nya. Hamba yang melupakan Allah di tengah kenikmatan yang telah diperolehnya adalah hamba yang tidak tahu berterima kasih atas nikmat yang telah diberikan kepadanya. Akhirnya, Allah akan murka kepadanya. Bila Allah telah murka maka rugilah ia, serugi-ruginya.

6. Jangan Menyembah Harta Kekayaan Tuesday, November 9, 2010 11:27:44 AM 6. Jangan Menyembah Harta Kekayaan

Ada orang yang menjadikan harta kekayaan dan keindahan dunia sebagai pusat perhatiannya. Uang merupakan sesuatu yang dipuji dan didambakan. Bila uang itu hilang sedikit saja darinya, seolah-olah dunia ini telah kiamat. Hatinya akan sedih dan wajahnya tampak sangat muram. Namun, bila ia meninggalkan shalat, tidak ada sedikitpun rasa sesal dalam hatinya. Demikian pula bila ia menghadapi kematian anak istrinya, atau salah seorang sanak keluarganya yang tercinta, maka sibuklah ia mengadu dan meratap ke sana ke mari.

Berbeda dengan para Salik (orang yang berjalan menuju Allah), bagi mereka mati dan hidup ada di dalam qada dan qadar Allah. Dialah yang menentukan semua itu di dalam Azal. Tiada yang akan berubah sesudah itu. Kalaupun mereka ingin mengadukan sesuatu, mengadulah mereka kepada yang berada di sampingnya, yaitu para malaikat yang mengiringinya. Setiap hal yang disampaikan kepada mereka, kelak akan mereka dapatkan jawabannya secara rahasia.

Harus diakui bahwa banyak orang yang mencari kenikmatan dunia dan memusatkan perhatiannya kepada sesuatu yang fana ini. Sangat sedikit orang yang bergerak mencari akhirat. Orang-orang yang mencari Allah dan ingin berdampingan dengan-Nya dapat dihitung dengan jari. Siang dan malam mereka bekerja dengan giat untuk dunia, dan akhirnya dunia akan menguasai mereka. Orang-orang semacam ini selalu berada dalam kerugian. Ia telah salah pilih.

Bila manusia telah tercengkeram dalam pengaruh dunia, tidak ada yang dapat melepaskan dirinya, melainkan ilmu dan agama. Karena itu, tuntutlah ilmu pengetahuan yang dapat

mengenalkan batas-batas yang halal dan haram, kemudian bertaqwalah kepada Allah dari semua urusan dunia.

Harta kekayaan yang dimiliki manusia bukanlah mutlak milik mereka. Harta kekayaan itu juga milik yang lainnya. Saudara-saudara kita juga berhak atas harta kita. Tetangga kita juga

mempunyai hak terhadap harta kita. Fakir miskin pun memiliki hak atas harta tersebut. Karena itu, berbagilah harta dengan mereka. Berilah mereka uang untuk menutup keperluan mereka, beri mereka makan apabila mereka lapar, beri mereka pakaian apabila mereka tidak

memilikinya. Pendek kata, bagilah harta yang telah Allah berikan kepada kita, semoga Allah memberkati apa yang menjadi milik kita itu.

Ingatlah, bahwa apa yang kamu sedekahkan itu, sebelum jatuh ke tangan si penerima, terlebih dahulu harta berada di tangan Allah yang menjadi Pemilik asalnya. Karena itu, berilah segala yang baik karena Allah adalah Baik, dan senang kepada yang baik.

Itulah tanda kesyukuranmu terhadap Allah atas nikmat yang diberikan-Nya. Dan barangsiapa yang bersyukur, niscaya Allah akan menambahkan nikmatnya. Tetapi waspadalah, jagnan sampai engkau kufur. Maka ingatlah bahwa sesungguhnya siksa Allah sangat besar sekali. Allah telah

(13)

berfirman :

“Bila kamu bersyukur, Aku akan menambah lagi nikmatmu, dan bila kamu kufur (tidak bersyukur), ingatlah bahwa siksa-Ku teramat berat!” (Q.S. Ibrahim: 7)

Kami memohon kepada-Mu, ya Allah, untuk memimpin kami ke jalan-Mu yang benar, menghargai segala nikmat yang Engkau berikan kepada kami, mendorong kami untuk menjalankan tugas yang perlu, memberikan hak yang wajib, dan bersyukur kepada-Mu atas semua nikmat yang telah Engkau berikan. Sesungguhnya Engkau Maha Pembalas dan Mahakaya. Amin !

C. TENTANG PEMBERSIHAN DIRI

Tuesday, November 9, 2010 12:30:08 PM C. TENTANG PEMBERSIHAN DIRI

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Q.S. Asy-Syams: 9-10)

Manusia yang hidup pasti memerlukan kebersihan diri. Manusia yang hidupnya kotor, tidak seorangpun yang ingin berkawan dengannya, atau menghampirinya, atau bermuamalah

dengannya. Tegasnya, ia dibenci orang dan senantiasa dipandang sebagai orang yang menjijikkan di mata orang banyak, sehingga ia merasa dirinya terpencil dari mereka. Karena itulah, apabila badannya kotor atau pakaiannya terkena kotoran, ia akan segera membersihkannya atau

menukarnya dengan yang lain. Demikian yang dianjurkan oleh syari‟at Islam supaya manusia senantiasa berada dalam keadaan bersih suci, baik secara lahir maupun batin. Tetapi yang selalu diutamakan dan menjadi perhatian manusia selama ini hanyalah yang tampak secara lahir, sedangkan yang ada di dalam batin sering kali dilalaikan dan dibiarkan tidak terurus. Karena itu, pembicaraan dalam bagian ini akan mencoba memberikan petunjuk ke arah tersebut.

Ada dua cara untuk membersihkan diri kita dari hal-hal yang dijauhi oleh agama : 1. Pembersihan diri yang zahir (jasmani) dengan menggunakan air mutlak (air suci yang mensucikan) sebagaimana yang diperintahkan oleh syariat Islam.

2. Pembersihan diri secara batin dan jiwa.

Kita hendaknya sadar akan adanya kotoran dalam jiwa atau batin kita. Kotoran itu adalah dosa dan kesalahan kita sendiri. Cara menyucikannya adalah dengan bertaubat sebenar-benarnya taubat (taubatan nasuha). Cara menyucikan batin kita ialah dengan masuk atau menempuh suatu jalan ruhani atau thariqah yang dibimbing oleh guru ruhani atau Mursyid.

Menurut hukum syariat, wudhu akan batal bila kita membuang air kecil atau membuang air besar, menyentuh kemaluan dengan telapak tangan atau jari, mabuk dan sebagainya. Setelah bersetubuh atau selepas haid dan nifas, diwajibkan pula kepada kita untuk mandi membersihkan hadas besar dari badan, yaitu dengan berwudhu dan mandi.

Mengenai wudhu, ada yang mengatakan bahwa Nabi SAW pernah berkata, “Setiap kali seseorang memperbarui wudhunya, maka Allah akan memperbarui imannya pula, dan cahaya imannya akan berkilau seperti semula dan menjadi semakin terang,” atau yang sama maksudnya dengan hal ini. Apa yang dikatakan Nabi SAW itu sudah jelas karena bukankah wudhu itu juga menggugurkan kesalahan-kesalahan kecil, yang dilakukan oleh manusia, baik disengaja atau sebaliknya. Karena itu pula beliau pernah menyatakan lebih lanjut bahwa pembersihan, yakni wudhu dan mandi dari hadas itu apabila dilakukan berulang kali akan menjadi cahaya di atas cahaya, wallahua‟lam. Karena itu, syariat Islam menganjurkan tajdid wal-wudu‟ atau senantiasa memperbarui wudhu ketika akan melaksanakan ibadah shalat ataupun sesudah membuang hadas kecil.

Dalam mimpinya Nabi SAW pernah mendengar bunyi terompah sahabatnya, Bilal (mu‟azzin beliau) di dalam surga. Kemudian beliau bertanya kepada Bilal, “Hai Bilal ! Apa yang engkau lakukan sehingga aku mendengar bunyi terompahmu di dalam surga ?”

Bilal menjawab, “Hai Rasulullah! Tidak ada yang aku lakukan, selain sering memperbarui wudhuku setiap kali aku berhadas, dan kemudian aku bershalat sunnah al-wudu‟ atau sunnah

(14)

wudu‟ selepas itu.”

Kini kita mengerti bahwa kebersihan diri amat penting bagi setiap muslim. Selain itu,

manfaatnya sungguh besar bagi orang yang melakukannya, yang seharusnya tidak boleh kita abaikan.

1. Membersihkan Ruh atau Jiwa

Tuesday, November 9, 2010 12:33:29 PM 1. Membersihkan Ruh atau Jiwa

Hakikat batin atau keadaan hati kita juga bisa tercemar, jika kita terus melalaikan diri kita dan tidak menjaga gerak-geriknya. Sebagaimana yang tampak pada fisik kita yang bisa saja menjadi kotor, demikian pula batin kita. Ia dapat dikotori oleh perangai dan perbuatan yang jahat, serta tindakan yang membahayakan diri sendiri dan orang lain. Semua tingkah laku yang buruk akan membahayakan batin kita, termasuk sifat-sifat negatif, seperti sombong, takabur, dengki, congkak, suka mengadu domba manusia, fitnah, marah, hasad, syirik, dan banyak lagi.

Ruh atau jiwa juga bisa kotor karena memakan makanan haram, lisan yang mengeluarkan kata-kata culas dan ungkapan-ungkapan yang menyakitkan hati, telinga yang suka mendengar fitnah dan mengumpat orang, tangan yang suka melakukan perbuatan buruk, kaki yang melangkah ke tempat maksiat atau mengikuti orang-orang yang zalim, kemaluan yang melakukan zina, dan sebagainya. Zina dalam hal ini berlaku umum, bukan hanya berlaku untuk kemaluan, tetapi dapat pula berlaku untuk mata, telinga, hidung, kaki dan tangan, dan lain sebagainya. Zina mata dilakukan dengan memandang yang terlarang, yakni yang haram, zina telinga dilakukan dengan mendengarkan hal-hal yang culas, zina hidung dilakukan dengan mencium, zina tangan dilakukan dengan memegang, dan zina kaki dilakukan dengan berjalan ke arah kemaksiatan.

2. Bila Kebersihan Batin Tercemar Tuesday, November 9, 2010 12:34:21 PM 2. Bila Kebersihan Batin Tercemar

Apabila kebersihan batin atau ruhani tercemar dan „wudhu keruhanian‟ batal, maka penyucian diri perlu (wudhu‟ atau mandi keruhanian) diperbarui dengan taubat, yaitu menyadari dosa yang telah dilakukan dengan penuh penyesalan hingga mengeluarkan air mata, dan dengan berazam dan bertekad tidak akan mengulangi kembali kesalahan atau dosa yang sama, serta memohon ampun dan berdoa kepada Allah agar terhindar dari dosa itu.

Masalah ini tampaknya mudah, namun pada hakikatnya tidak demikian, taubatan nasuha yang harus dilakukan manusia itu mempunyai beberapa persyaratan yang jika tidak terpenuhi, tidak akan diterima taubat seseorang itu. Penyesalan adalah salah satu syarat taubatan nasuha. Tegasnya, bertaubat dengan lisan semata tanpa diikuti oleh hati dan perasaan menyesal, tidak akan berfaedah sama sekali. Malah hal itu bisa membawa manusia pada celaka dan dosa yang lebih besar. Oleh karena itu, hendaknya kita berhati-hati dalam bertaubat.

Hati terlebih dahulu harus dibersihkan dari segala yang mengganggu. Pengganggu hati yang pertama adalah tuntutan dalam diri terhadap kebendaan dan keinginan hawa nafsu yang selalu mencemarkan hati. Apabila hati telah bersih, niscaya manusia akan mencari jalan menuju kepada Allah. Ketika itu hatinya akan dipenuhi dengan takut kepada Allah, taqwanya akan terlihat dari segala gerak-geriknya, karena ketakutannya itu telah menariknya dekat kepada Allah. Kini ia akan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik saja. Apabila hatinya teringat pada perbuatan yang jahat, tentu sifat takutnya akan menghalangi dan mengingatkannya tentang balasan Allah. Dalam keadaan seperti inilah taubatnya akan terkesan dan kemudian menjadi taubatan nasuha.

Mukmin itu harus meninggalkan tabiat yang terdahulu dan bergerak ke arah Tuhannya. Selagi dia mengikuti jalan yang biasa, yakni jalan tabiatnya yang dahulu, niscaya dia akan terjerumus ke dalam pengaruh-pengaruh negatif yang akan mencelakakan dirinya. Dia akan kembali berbuat dosa dan kesalahan yang sudah biasa dilakukannya, karena tabiat sudah melekat pada dirinya. Dosa yang terus-menerus dilakukan itu melanggar perintah syariat, dan perintah syariat juga merupakan perintah Allah.

(15)

memohon bantuan kepada Allah dengan jujur dan ikhlas agar Allah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya sehingga dia dapat meninggalkan dosa dan maksiat itu. Semua perasaannya seharusnya ditujukan hanya kepada Allah semata, tidak kepada yang selain Dia.

3. Kesucian Syarat Utama Diterimanya Shalat Tuesday, November 9, 2010 12:36:01 PM

3. Kesucian Syarat Utama Diterimanya Shalat

Shalat adalah menghadirkan diri di „hadapan‟ Allah. Bersuci dan berada dalam keadaan suci merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan sebelum melaksanakan ibadah shalat. Orang yang bijaksana mengetahui bahwa kebersihan secara zahir saja tidak cukup. Allah melihat jauh ke dalam hati (jiwa atau ruh) manusia. Dan hati perlu disucikan. Penyuciannya ialah dengan cara bertaubat. Hanya dalam keadaan suci, shalat yang kita lakukan akan diterima Allah.

Hukum ini adalah simbol yang digunakan oleh ahli tasawuf atau orang-orang Sufi. Apabila shalat itu dilakukan dengan hanya memenuhi syarat-syarat yang dikehendaki, maka dari segi hukum zahir, shalat itu sah dan benar. Tetapi dari segi hukum batin, shalat yang dilakukan itu masih menimbulkan tanda tanya lagi. Adakah shalat yang tidak disertai dengan kekhusyukan dan

merendahkan diri dapat diterima sebagai „shalat‟ ? Shalat yang dipenuhi dengan ingatan tentang sesuatu di luar shalat, misalnya khayalan yang mengganggu dan pikiran-pikiran tentang

keduniaan, apakah itu bisa disebut shalat ? Padahal Nabi SAW mengingatkan bahwa dalam shalat kita harus khusyuk, merendahkan diri di hadapan Allah, menenangkan pikiran, memfokuskan tujuan, dan sebagainya. Karena itu pula, ada sebagian ulama yang bersikap keras terhadap masalah ini dengan menghukumkan bahwa semua shalat yang tidak disertai kesadaran semua gerakan fisikal, tidak dapat dinamakan „shalat‟. Dan bila tidak dinamakan shalat, maka shalat tidak dapat disebut sebagai shalat yang sesungguhnya.

Semua ini muncul dari banyaknya dosa dalam diri orang itu, banyaknya kesalahan yang tidak dipedulikannya, yakni dosa belum dihapus dan dibersihkan dengan cara bertaubat. Karena itu, dirinya kotor, dan bila diumpamakan ia seperti seseorang yang menghadap raja dengan pakaian kotor. Bagaimanakah orang itu nanti ?

Ingatlah, bahwa hal ini amatlah penting, yang tidak boleh dilalaikan secara terus-menerus. Segeralah kembali kepada Allah dan menyucikan diri dengan memperbanyak taubat yang sebenar-benarnya.

Allah berfirman :

“Dan bertaubatlah (kembalilah) kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman sekalian, mudah-mudahan kamu akan beruntung !” (Q.S. An-Nur: 31)

Allah juga berfirman :

“Inilah yang dijanjikan kepadamu, yaitu bagi setiap hamba yang selalu kembali bertaubat (bertaubat sebenarnya kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturannya)”.(Q.S. Qaaf : 32)

Penyucian badan dengan berwudhu dan mandi adalah perintah menurut syariat dan hukum agama Islam. Penyucian itu berkaitan dengan waktu. Misalnya, orang yang sudah bersuci, tetapi tiba-tiba ia tertidur, maka batallah wudhunya. Karena itu, ia harus berwudhu kembali. Jelasnya, pembersihan zahir ini terikat oleh waktu, malam dan siang, dalam kehidupan di dunia yang nyata ini.

Contoh yang lain, orang yang merasakan badannya kotor atau pakaiannya terkena kotoran, maka wajarlah bila dia segera membersihkan badan dan pakaiannya itu. Dia tidak ingin tampak kotor di antara teman-temannya ataupun di antara orang-orang yang duduk bersama-samanya.

Kemudian dia segera menyucikan diri.

Tetapi penyucian batin atau ruhani tidak terikat oleh waktu. Penyucian ini berlangsung sepanjang hidup di dunia hingga akhirat. Bila selama ini manusia merasakan betapa beratnya membersihkan badan dan pakaian mereka, pembersihan diri secara ruhani justru lebih berat lagi,

(16)

karena kotoran batin lebih berbahaya daripada kotoran lahir. Kotoran lahir lebih bertumpu pada keadaan fisik atau jasmani manusia, sedangkan kotoran batin terfokus pada hubungan dengan Tuhan. Jika hati seseorang kotor, maka semua amalannya terhadap Tuhan akan terganggu dan tidak terkawal. Karena itu, wajar sekali bila dia harus memberikan perhatian khusus terhadap permasalahan ini agar dia selamat di dunia dan akhirat.

4. Pembersihan Diri Memerlukan Mujahadah terhadap Nafsu Tuesday, November 9, 2010 12:37:27 PM

4. Pembersihan Diri Memerlukan Mujahadah terhadap

Nafsu adalah pengeras utama terhadap jiwa dan hati. Jika kita terlalu mengikutkan

kehendaknya, akhirnya kita akan binasa, karena sekali saja nafsu dapat mengalahkan kita, maka ia akan terus menuntut setiap waktu sehingga kita tidak berdaya lagi.

Terlalu larut dalam hal-hal kenafsuan dan kebendaan dapat mengeraskan hati, melemahkan akal pikiran, menambah banyak tidur dan lalai, menimbulkan tabiat tamak dan serakah, serta

menarik manusia kepada angan-angan yang kosong. Tabiat-tabiat ini ibarat penyakit yang kronik, yang apabila menimpa jiwa, alamat kecelakaan akan menimpa diri kita. Kecelakaan itu tidak hanya menimpa kita di akhirat, tetapi juga di dunia.

Akan tetapi, apabila hati seseorang tenang dan tentram, hati itu akan dipenuhi dengan ilmu, di mana dengan ilmu itu ia akan mendapat Nur atau cahaya untuk menghapuskan segala maksiat dan dosa, sebagaimana dikatakan bahwa „Api neraka akan padam oleh cahaya orang Mu‟min, ketika si Mu‟min itu mendekati api neraka.‟

Demikianlah perumpamaannya, mudah-mudahan kita mengerti. Para murid Nabi Isa as pernah memohon kepadanya dengan berkata, “Tolonglah ajarkan kepada kami ilmu yang tertinggi manfaatnya !” Nabi Isa as menjawab, “Takutlah kepada Allah, terimalah qadha‟ dan taqdir-Nya dengan penuh ridha, dan cintailah Dia sepanjang masa.”

Itulah yang tertinggi martabatnya. Karena itu, balasannya juga sepadan, yaitu hidup kekal di dalam surga, wallahu-a‟lam.

D. TENTANG“SHALAT”

Tuesday, November 9, 2010 12:39:18 PM D. TENTANG“SHALAT”

“Dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (ya`ni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. Al-Mu‟minuun: 9-11)

Dari ayat tersebut di atas, lebih lanjut Imam Ghazali dalam kitabnya yang berjudul “Mencapai Kebahagiaan Hidup dengan Taqwa” menjelaskan bahwa orang yang berbahagia di kalangan kaum mu‟minin itu ialah orang yang benar-benar mengamalkan ibadah shalat dengan khusyu‟,

menepati waktu-waktu shalat, memahami makna dan hikmah shalat, mengindahkan syarat dan rukunnya serta memelihara thuma‟ninah dalam seluruh gerakan shalat. Kemudian yang

terpenting dari itu ialah buah daripada shalat itu. Apakah dengan mengerjakan shalat itu dapat merubah sifat kita yang kurang baik menjadi baik. Amal kita semakin mendekati kesempurnaan terhadap kehendak Islam atau Allah yang kita sembah itu. Bila demikian jelaslah bahwa shalat kita benar-benar shalat yang membawa kebahagiaan hidup.

Dan sebaliknya, bila seseorang sudah mengerjakan shalat tapi amal perbuatannya itu masih kurang baik alias telah menyimpang dari ajaran-ajaran Islam jelaslah disini bahwa orang tersebut belum bisa memahami akan hakekat shalat, dan sekaligus orang yang belum bisa mengambil madu yang terkandung di dalam mengerjakan shalat tersebut.

Shalat diwajibkan kepada setiap orang Islam yang baik (sadar) akal pikirannya dan cukup umur. Shalat dilakukan pada waktu-waktu yang telah ditentukan, yaitu lima kali dalam sehari semalam. Inilah perintah Allah SWT.

(17)

“Peliharalah segala shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu`.” (Q.S. Al-Baqarah: 238)

Secara zahir, shalat dilakukan dengan berdiri, membaca al-Fatihah, rukuk, sujud, duduk antara dua sujud, dan seterusnya. Gerakan dalam shalat ini melibatkan berbagai anggota badan. Inilah shalat secara jasmani atau fisik. Karena semua gerakan badan itu berlaku dalam shalat lima waktu, maka dalam ayat tadi disebut „salawati‟ (segala shalat), yang mengandung arti „plural‟ atau jamak, bukan „shalat‟, melainkan „salawati‟ (shalat-shalat). Itulah bagian pertama tentang shalat dalam ayat tersebut.

Bagian kedua dalam ayat tersebut ialah tentang shalat „wusthaa‟. Shalat ini maksudnya adalah shalat hati. Wusthaa dapat diartikan sebagai pertengahan atau tengah-tengah. Karena hati terletak di tengah yaitu, di tengah „diri‟, maka dikatakan shalat wusthaa itu sebagai shalat hati. Tujuan shalat ini ialah untuk mendapatkan kedamaian dan ketentraman hati. Hati terletak di tengah-tengah antara kiri dan kanan, antara depan dan belakang, antara atas dan bawah, dan antara baik dan jahat. Hati merupakan titik tengah, poin perimbangan, poin neraca atau

„median‟. Hati diibaratkan berada di antara dua jari Allah. Dan Allah membolak-balikkannya ke mana saja yang Ia kehendaki. Maksud dua jari Allah itu adalah dua sifat Allah, yaitu sifat „Yang Menghukum dan Mengazab‟ dan sifat „Yang Indah, Yang Kasih Sayang, Yang Lemah Lembut‟. Shalat dan ibadah yang sebenarnya ialah shalat dan ibadah hati. Bila hati lalai dan tidak khusyu‟ atau tidak konsentrasi dalam shalat maka shalat jasmaniah akan berantakan dan kocar-kacir. Apabila ini terjadi, kedamaian jasmani yang diharapkan datang melalui shalat jasmaniah itu tidak akan tercapai. Shalat jasmaniah hanya mampu dilakukan dengan hati yang khusyuk. Kalau hati tidak khusyuk, bagaimana mungkin dikatakan shalat. Bagaimana mungkin akan dapat

memahami apa yang diucapkan, padahal semua ucapan itu ditujukan kepada Tuhan, meskipun puji-pujian diperuntukkan kepada Allah maupun doa-doa untuk dirinya sendiri. Hal ini perlu diperhatikan dengan seksama agar shalat yang dilakukannya menjadi sempurna dan baik. 1. Shalat adalah Doa

Tuesday, November 9, 2010 12:42:34 PM 1. Shalat adalah Doa

Shalat adalah doa si hamba kepada Khaliq-nya, yakni Allah SWT. Shalat berarti juga pertemuan antara hamba dengan Tuhan. Tempat pertemuan itu ada di dalam hati. Jika hati tertutup, tidak mengindahkan dan tidak peduli, ataupun mati, maka shalat yang dilakukan tidak memberi manfaat kepada dirinya. Shalat yang tidak khusyuk itu tidak mendatangkan faedah kepada diri jasmani, karena hati adalah Zat untuk badan. Anggota badan lainnya yang bertindak dalam shalat itu bergantung kepadanya. Nabi SAW telah bersabda :

“Ingatlah bahwa dalam tubuh itu ada sekeping daging, apabila daging itu baik, baiklah seluruh tubuh itu. Dan apabila ia rusak, rusak pulalah semua tubuh itu. Daging itu adalah hati.”

Jelaslah, jika hati seseorang sedang sakit, yakni rusak, maka akan rusaklah seluruh anggota yang lain. Bagaimana mungkin dapat dikatakan bahwa shalat seseorang itu baik, jika hatinya tidak baik, yakni rusak ?

Shalat yang zahir dilakukan pada waktu-waktu tertentu, lima kali sehari-semalam. Tempat paling baik untuk melakukan shalat ialah di masjid, dan dilakukan dengan berjamaah, karena shalat berjamaah banyak manfaatnya. Allah memberikan pahala yang berlipat ganda untuk mereka yang mengerjakan shalat berjamaah. Selain itu, dia dapat berdoa bersama-sama, yang rahasianya sangat nyata bagi orang yang mengerti.

Tetapi banyak orang tidak memperhatikan masalah shalat berjamaah ini, padahal dia dapat melakukannya. Seolah-olah dia tidak mementingkan janji Allah yang akan memberikan pahalanya berlipat ganda; seolah-olah dia tidak mengutamakan anjuran Allah supaya berdo‟a dengan

berjamaah; seolah-olah dia tidak mengindahkan perintah syariat supaya selalu mendirikan shalat dengan berjamaah. Jika dia mengingkari perintah ini, berdosalah dia, karena itu sama artinya dengan seperti dia mengingkari perintah Tuhan. Orang yang jahil mungkin dimaafkan, tetapi hati-hatilah dari perintah shalat berjamaah ini ! Berilah perhatian kepadanya, moga-moga Allah merahmati kita !

(18)

2. Shalat dari Segi Ruhaniah

Tuesday, November 9, 2010 12:45:07 PM 2. Shalat dari Segi Ruhaniah

Shalat dari segi ruhaniah atau shalat dari kacamata ruhani tidak terbatas dan tidak dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Shalat secara ruhaniah tidak terikat oleh ruang dan waktu. Shalat ini selalu dilakukan terus menerus sejak di dunia hingga akhirat. Masjid untuk shalat secara ruhaniah terletak di dalam hati. Jamaahnya terdiri dari anggota-anggota batin atau daya-daya ruhaniah yang berzikir dan membaca Asma‟ullah (nama-nama Allah) dalam bahasa alam ruhaniah (alam batin). Imam dalam shalat ini adalah kemauan atau keinginan (niat) yang kuat dan

kiblatnya adalah Allah.

Shalat yang demikian itu hanya dapat dilakukan oleh hati yang ikhlas, hati yang tidak tidur dan tidak mati. Hati dan jiwa seperti itu kekal dan selalu beribadah atau shalat ketika sedang

tertidur atau terjaga. Ibadah hati dilakukan sepanjang hayat, dan sepanjang hayat untuk ibadah. Inilah ibadah orang yang sudah mencapai puncak ma‟rifah dengan Allah SWT, tempat penyucian tertinggi. Di tempat itu, ia ada tanpa dirinya, karena dirinya telah fana‟, telah hilang lenyap. Ingatannya yang teguh dan suci tercurah hanya kepada Allah. Ini berlaku sesudah semua shalat-shalatnya yang fardhu dan sunnah sudah sempurna dijalankannya. Jangan diartikan apabila mereka berada dalam keadaan seperti ini, mereka tidak perlu shalat lagi seperti orang lain. Malah kadang-kadang dalam shalat itulah mereka ber-fana‟ dalam munajatnya sehingga mengambil masa yang panjang.

Pada tingkatan itu tidak ada lagi bacaan di mulut, tidak ada lagi gerakan berdiri, rukuk, sujud, duduk antara dua sujud, dan sebagainya. Si hamba berbincang-bincang dengan Allah, sesuai dengan firman-Nya :

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (Q.S. Al-Fatihah: 5)

Firman Allah itu ditafsirkan sebagai tanda tingginya kesadaran “Insan Kamil”, yaitu mereka yang telah melalui beberapa tingkatan alam rasa dan pengalaman ruhani sehingga tenggelam dalam lautan Tauhid atau Keesaan Allah dan „berpadu‟ dengan-Nya. Nikmat yang mereka rasakan saat itu tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Hanya orang yang telah mengalaminya yang dapat mengartikan kenikmatan itu. Namun, mereka pun sering tutup mulut, tidak ingin membocorkan rahasia Ketuhanan yang disimpan di lubuk hatinya oleh Allah SWT.

Setelah ibadah shalat secara lahir dan batin berpadu, berharmoni dan berdekatan, maka sempurnalah shalat seorang hamba dan ganjarannya sangat besar. Hati dan ruh seperti yang digambarkan diatas, membawa seorang dekat dan masuk ke Hadhirat Allah SWT. Hatinya „berpadu‟ dengan Allah, dan jasmaninya atau keduniaannya mencapai tingkat tertinggi. Dalam alam nyata ia menjadi manusia atau hamba Allah yang wara‟ dan alim. Dalam alam ruhani ia jadi ahli Ma‟rifah yang telah sampai pada peringkat kesempurnaan mengenal Allah SWT.

Jika ibadah zahir tidak bersatu atau tidak sejiwa dengan ibadah batin, maka ibadah tersebut belum sempurna dan baik. Bila ibadah zahir yang dilakukan seseorang baik, ibadah itu

sebenarnya hanya mengalami kemajuan dalam kacamata dunia, yaitu dari segi pandangan manusia. Ganjaran dunia itu tidak akan membawa seseorang dekat dengan Allah dan „berpadu‟ dengan-Nya, wallahu-a‟lam.

3. Shalat adalah Perjalanan Menuju Allah Tuesday, November 9, 2010 12:46:52 PM 3. Shalat adalah Perjalanan Menuju Allah

Ketika kita mendirikan shalat berarti kita sedang menuju ke pintu Allah. Shalat diibaratkan sebagai suatu perjalanan ruhani, karena semua gerak-gerik kita di dalam shalat dikontrol oleh niat kita yang dilafalkan ketika memulai shalat. Karena itu, kita tidak boleh melakukan suatu gerakan atau ingatan lain selain apa yang kita ucapkan di dalam shalat itu. Itulah dasar shalat. Shalat harus dilakukan dengan khusyuk, tenang, dan menghadirkan hati dan pikiran. Akan tetapi, kebanyakan orang dalam melakukan shalat, hanya jasadnya saja yang berdiri tegak, rukuk, dan

(19)

bersujud, sedang hatinya lalai dan pikirannya bercabang-cabang. Apakah itu dapat disebut shalat ? Cobalah cari jawabannya sendiri !

Dengan mendirikan shalat, kita telah menempuh setengah perjalanan menuju Allah. Dan ditambah dengan puasa, maka kita telah sampai di pintu Allah. Apabila dilengkapi dengan sedekah, maka kita telah memasuki rumah-Nya.

Dalam perjalanan kita menuju Allah dengan shalat, puasa, sedekah, dan amalan lainnya, hendaknya kita memohon bantuan kepada Allah agar Dia mengaruniakan kesabaran dan

kekuatan, karena beribadah kepada Allah merupakan ujian yang berat, meskipun secara sepintas tampak mudah.

Mendirikan shalat juga berarti suatu menjalin hubungan atau silah dengan Allah. Orang yang menghadapkan wajahnya kepada Allah di dalam shalat, harus berkonsentrasi penuh kepada-Nya. Dia harus melepas seluruh ruh dan jiwanya dari gayrullah, yakni selain Allah. Dalam shalat

menghadap Allah, pikirannya tidak boleh terbagi-bagi kepada hal-hal lain selain Allah, yakni kepada makhluk dan kepada Khaliq. Dia harus menghilangkan segala pikiran tentang makhluk, yakni infisal, dan memusatkan pikirannya kepada Khaliq, yakni ittisal. Inilah shalat yang dilakukan oleh golongan ahlullah.

Adapun shalat yang dilakukan oleh orang-orang awam, dirumuskan oleh mereka sebagai surga di hati sebelah kanan dan neraka di sebelah kiri, sedangkan sirat (titian) berada di depan, dan Allah sedang memperhatikan semua gerak-gerik hati dan anggota badan. Bila kita merasakan hal itu, apakah mungkin kita menyia-nyiakan shalat dengan hati yang lalai dan pikiran yang menerawang ?!

Shalat seorang pecinta (Muhibb) ialah dengan melepaskan diri dan hatinya dari makhluk seraya bersatu dengan Khaliq. Itulah shalat yang sebenar-benarnya shalat.

E. T E N T A N G Z A K A T

Tuesday, November 9, 2010 12:49:56 PM E. T E N T A N G Z A K A T

Zakat terbagi menjadi dua jenis. Pertama , zakat yang di tentukan oleh syari‟at agama Islam. Kedua, zakat menurut pandangan ahli tariqah.

Zakat yang ditentukan oleh syari‟at ialah zakat yang dikeluarkan untuk harta kekayaan yang diperoleh secara halal di dunia, yang berasal dari kelebihan harta dalam keluarga, dan dibagikan kepada mereka yang memerlukan dan asnaf – asnaf zakat. Dan yang berhak menerimanya fakir miskin dan orang orang terlantar lainnya yang membutuhkan.

Zakat dari sudut pandang thariqat ialah sebagian dari harta ruhani yang diperoleh seseorang dan dibagikan kepada mereka yang memerlukannya, yaitu fakir miskin dalam bidang ruhani. Allah Swt berfirman :

“ Sesungguhnya zakat –zakat itu hanyalah untuk orang orang fakir, orang – orang miskin, pengurus – pengurus zakat, para mu‟allaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan hamba abdi (budak), orang – orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang – orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (at – Taubah : 60)

Apa saja yang diberikan dengan tujuan untuk berzakat, pada hakikatnya terlebih dahulu jatuh di “tangan” Allah Swt. Sebelum zakat itu sampai ke tangan penerimanya. Karena itu, sebenarnya zakat diperintahkan kepada kita agar kita membantu fakir miskin karena Allah sendiri adalah Maha Pemberi segala keperluan, termasuk para fakir miskin itu. Tetapi rahasia sebenarnya yang ada dibalik itu, ialah untuk menjadikan niat pemberi zakat itu diterima oleh Allah Swt.

1. Menghadiahkan Pahala untuk Orang Lain Tuesday, November 9, 2010 12:51:03 PM 1. Menghadiahkan Pahala untuk Orang Lain

Mereka yang dekat dengan Allah membagi-bagikan ganjaran ruhaninya, hasil ibadah dan amal salehnya dengan niat untuk menghadiahkan pahala amalan salehnya itu kepada orang–orang yang

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan Antara Tingkat Aksesibilitas dengan Volume Penjualan Biosolar Dari hasil pengamatan dilapangan diketahui bahwa pada bagian wilayah Kota Medan bagian Utara

3.4.2 Penyusunan menu adalah serangkaian kegiatan menyusun hidangan dalam variasi yang sesuai untuk manajemen penyelenggaraan makanan di institusi yang dilakukan

Wakil Bupati Kayong Utara dan Polres Kayong Utara yang diwakili Oleh Kabag Ops Polres Kayong Utara mengizinkan pemanfaatan / pengolahan limbah kayu yang terdapat di areal

Dari masalah di atas maka peneliti bersama dengan teman sejawat mencoba untuk menganalisis masalah yang ada dan hasil diskusi kami adalah sebagai berikut: Siswa kurang

dengan pandangan barat bahwa manusia sebagai pengusaha tunggal (tanpa kehadiran Tuhan) telah menjadikan manusia sewenang-wenang dalam memperlakukan alam sebagai

Liquidity is represented by the Cash Ratio (CR) and Loan to Deposit Ratio (LDR) Asset Quality represented by the Bad Debt Ratio (BD), the efficiency is represented by

GDP pendekatan penghasilan atau pendekatan biaya merupakan total penghasilan faktor (upah, bunga, uang sewa dan laba) yang merupakan biaya dalam menghasilkan produk-produk jadi

Pada saat yang sama, keadaan sakit berat juga bisa menjadi kesempatan emas bagi seseorang untuk berpikir ulang tentang banyak hal penting: tentang hidup, tentang