• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsolidasi jaringan

DINAMIKA SOSIAL, POLITIK DAN SEJARAH PEMUDA PANCASILA KABUPATEN LABUHAN BATU

1.7. Kerangka Teor

1.7.4. Teori Bos Lokal (Local Bossism)

Berbeda dengan Migdal, Sidel melihat bahwa fenomena yang disebutnya sebagai Bosisme merefleksikan strong state dibandingkan strong society. Bosisme, kemudian secara konseptual adalah istilah yang muncul dari pendapat bantahan Sidel atas konsep “local strongmen” yang dikemukakan Joel Migdal. Analisa Migdal didasarkan pada studi empiris yang ditemukan pada negara postcolonial pada dekade 1970, temuan Migdal menunjukkan bahwa dalam Weak State ternyata terkandung strong society yang didominasi oleh elit tradisional dan local strongmen.30 Sidel melihat bahwa bosisme menunjukkan peran elit lokal sebagai predatory brokerpolitik yang memiliki kontrol monopolistik terhadap kekuatan koersif dan sumber daya ekonomi dalam wilayah teritorial mereka.Bosisme beroperasi dalam bayanganrezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman.31

Berkembangnya bosisme lokal tersebut di sisi lain menunjukkan ketiadaan salah satu nilai-nilai demokrasi yang hendak dicapai dengan penerapan kebijakan desentralisasi, yaitu kesetaraan politik. Konsep ini menyangkut tiga macam hubungan yaitu antar pemerintah, antara negara dan masyarakat dan antara

30

Lihat John T. Sidel, Philippine Politics in Town, District, and Province: Bossism in Cavite and Cebu. The Journal of Asian Studies, Vol. 56, No. 4 (Nov., 1997); John T. Sidel. 2005. “Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand dan Indonesia, Menuju Kerangka Analisis Baru Tentang

Orang Kuat Lokal” dalam John Harris, Kristian Stokke, Olle Tornquist. Politisasi Demokrasi : Politik Lokal Baru. Jakarta: Demos

31

masyarakat dan masyarakat. .Hubungan anta rpemerintah meliputi kesetaraan antar level pemerintahan, baik secara vertical maupun horizontal, dalam kewenangan mengatur dan mengurus.32

Sidel mengkaji fenomena orang kuat lokal di tiga negara, Filipina, Thailand dan Indonesia ingin menunjukkan bahwa pola kekuasaan orang kuat lokal di Dunia ke Tiga bukanlah merupakan bentuk atau cermin dari kekuatan dan ketahanan dari “hubungan patron-klien” dan “elit pemilik tanah”, tetapi lebih pada mewakili keganjilan struktur kelembagaan negara. Selain itu, Sidel ingin menunjukkan bahwa keberadaan para bos lokal tidak lah merintangi pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang dikatakan Migdal, hal ini seperti yang terjadi di Filipina.Gagasan Sidel ini ditunjukkan dengan kemajuan yang dialami sejumlah provinsi seperti Cavite dan Cebu yang berhasil memajukan perekonomian lokal dengan cara menarik pemodal asing berbasis Manila untuk menanamkan modal sejak pemulihan pemilihan umum demokrasi sesudah 1986.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah akan semakin kuat jika ada kesetaraan antara kewenangan dengan sumber keuangan yang dimiliki, kejelasan kewenangan antar berbagai tingkat pemerintahan, dan sebagainya. Hubungan antar negara dan masyarakat merupakan refleksi dari daya tawar masyarakat terhadap berbagai keputusan yang diambil lembaga pemerintahan.

33

32

R. Siti Zuhro, dkk. 2009. Op. Cit. hal. 5.

33

John T. Sidel. 1999. Op. Cit. hal. 5-6.

pengamatannya tidak terlepas dari langkah-langkah besar yang dilakukan oleh para bos lokal untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di tingkat lokal.

Fenomena ini menunjukkan langkah lebih maju dibandingkan Filipina saat berada di bawah rezim otoriter yang menjadikan sistem pemerintahan yang jauh lebih terpusat dan otonom dari pengaruh masyarakat, yang akhirnya Filipina mengalami kemunduran dramatis pada akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980- an. Lebih lanjut, Sidel melihat bahwa para bos lokal yang memperoleh kekuasaan dan kekayaan bukanlah dari kepemilikan tanah pribadi tetapi dari sumber-sumber negara dan perdagangan, dan banyak dari mereka golongan politikus dan “elite bertanah” itu yang mengumpulkan pundi-pundi kekayaan termasuk pemilikan tanah besar justru didapatkan setelah mereka memasuki atau menduduki jabatan, dan bukan sebelumnya.

Sidel mengartikan fenomena bos lokal (local bossism) di Filipina dengan mengilustrasikan metafora tindakan kriminalitas yang digunakan untuk menganalisa logika kekuasaan dan relasinya dengan kesejahteraan aktor predatoris berusaha untuk memperkuat posisinya dalam aktivitas rent seeking atau pun akumulasi modal primitif. Para bos lokal bergantung pada sumber daya Negara, dibawah pengaruh dinamika ekonomi politik yang ada pada rezim otoritarian, dengan cara pembangunan berkala. Penggunaan kekerasan koersif

merupakan strategi yang sering digunakan para bos lokal di Filipina untuk bertahan.34

John Sidel juga memperingatkan bahwa “orang-orang kuat lokal” (local strongmen) yang justru menguasai lembaga-lembaga demokrasi seperti partai politik, parlemen dan pemilihan umum ketika terjadi desentralisasi dan demokratisasi pasca pemerintahan otoritarianisme, dapat muncul dan berkembang di Thailland dan Indonesia. “Orang kuat lokal” dihambat kemunculannya di Indonesia selama Orde Baru dan dihambat juga ketika sistem pemilihan tidak langsung. Namun apabila dilakukan perubahan sistem pemilihan menjadi pemilihan langsung maka “orang kuat lokal”dapat munculdan berkembang di Indonesia.35

Kemudian dalam perkembangannya, para bos lokal menjadi tumbuh subur dan tidak lagi bersandar pada kepemilikan tanah besar atau hubungan patron-klien sebagai penyangga kekuasaan mereka.36

34

Lihat dalam John T. Sidel. 1999.Bossisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia: menuju kerangka analisis baru tentang “Orang Kuat Lokal”dalam John Harriss, Kristian Stroke, dan Olle Tornquist (Edj), Arya Wisasa, dkk. 2005. Politisasi Demokrasi: Politik Lokal Baru (Terj). Jakarta: Demos. hal. 71.

35

John T. Sidel. 2005. “Bossism and Democracy in the Philippines, Thailand and Indonesia :

Towards An Alternative Framework for The Study “Local Strongmen”, dalam John Harris, Kristian Stokke dan Olle Tornquist (eds), Politicising Democracy, The New Local Politics of Democratization, New York : Palgrave Macmillan. hal 53-57

36

John T. Sidel. 1999. OpCit. hal. 12

Akan tetapi, para bos lokal itu melakukan kontrol terhadap pejabat terpilih untuk mendapatkan akses dan monopoli atas pengaturan sumber dan hak-hak istimewa negara.Sehingga acap

kali untuk melanggengkan kekuasaannya para bos lokal melakukan kolusi dan perselingkuhan dengan para birokrat dan penegak hukum guna menjaga dan menutupi tindakan mereka yang keluar jalur perundang-undangan. Bahkan dalam pemilihan umum, mereka acap kali melakukan pembelian suara pemilih, kekerasan, intimidasi dan kecurangan dalam penghitungan suara dengan bekerja sama dengan mesin-mesin lokal demi melangengkan jabatan yang telah mereka miliki sebelumnya.

Dari apa yang digagas oleh Sidel di atas, dapat dipahami bahwa kemunculan dan semakin menguatnya bos-bos lokal dalam menguasai sumber daya pada dasarnya adalah dikarenakan lemahnya negara dalam memfungsikan perannya. Selian itu, ingin menunjukkan kalau bos-bos lokal langgeng mempertahankan eksistensinya dalam jabatan-jabatan publik bukan karena kepemilikan tanah yang besar yang dimiliki sebelumnya, tetapi keberhasilan mereka dalam menjalin hubungan yang mirip jaringan kepada para birokrat atau pemerintah yang berkuasa.Kehadiran orang kuat lokal (bosisme) dalam jabatan- jabatan publik di Indonesia mulai marak setelah runtuhnya rezim otoriter Orde Baru pada tahun 1998. Hal ini dikarenakan Rezim Orde Baru yang sangat sentralistik dan menerapkan cengkramannya hingga ke tingkat desa dengan menggunakan organisasi militer untuk mengontrol tatanan sosial, tidak memungkinkan para bos lokal untuk muncul dipermukaan pada masa sebelumnya. Runtuhnya rezim otoriter dan beralih pada rezim reformasi menghantarkan orang- orang lokal yang dulunya mendapatkan manfaat dari sistem yang dibangun Orde

baru, seperti para pengusaha, preman dan lainnya mulai mengokohkan kekuasaan barunya atas tatanan sosial yang ada untuk mendapatkan alokasi sumber daya ekonomis dan sumber daya politik.

Dalam kasus bosisme di Indonesia, Sidel melihat bahwa penggunaan kekerasan dan pembelian suara dalam pemilu juga terjadi sebagaimana di Filipina dan Thailand untuk mendapatkan kekuasaan dan melanggengkan kekuasaan Selain itu, kebanyakan bos-bos lokal guna melanggengkan kekuasaan maupun tetap terjaga atau aman sumber daya ekonomi lokal yang mereka kuasai, juga membangun hubungan erat dengan klik-klik.37

Dalam penelitian Vedi R. Hadiz di Sumatera Utara, para elit menganggap lembaga-lembaga demokrasi yang digerakkan dengan politik uang dan kekerasan bisa sama menguntungkannya dengan perlindungan rezim otoritarian yang bersifat menyeluruh. Bahkan deretan kepentingan yang sekarang memerebutkan kekuasaan di tingkat lokal tampak lebih bervariasi dibandingkan pada masa Soeharto. Di dalamnya termasuk para pialang dan bandar politik ambisius, birokrat negara yang lihai dan masih bersifat predatoris, kelompok-kelompok bisnis baru yang berambisi tinggi serta beraneka ragam gangster politik, kaum

pensiunan perwiraangkatan bersenjata dan kepolisian.

37

Klik-klik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kelompok kecil orang tanpa struktur formal yg mempunyai pandangan atau kepentingan bersama: kalau bukan -- nya, tidak akan dilayani dengan cepat;kelompok yg mengoordinasi dan mengendalikan keputusan sampai di luar bidang kebijaksanaan

kriminal dan barisan keamanan sipil. Mayoritas dari kelompok-kelompok ini dibesarkan oleh rezim Orde Baru sebagai operator dan pelaksana lapangannya.38

38

Vedi R. Hadiz. 2005.Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto. Jakarta : Penerbit Pustaka LP3ES Indonesia. Hal. 239-244.

Dalam konteks penelitian ini, teori yang digunakan adalah teori yang dikemukakan oleh John T. Sidel. Teori sidel yang membahas bos lokal membantu merumuskan kerangka berfikir ketika ikut seratanya salah satu kader Pemuda Pancasila pada saat pemilihan kepala daerah. Penelitian ini akan mengungkap asumsi bahwa fenomena munculnya bosisme Di Labuhan Batu bukan karena lemahnya Negara, tetapi terkait apa yang di ungkapkan Sidel. Teori sidel akan menganalisi peran Pemuda Pancasila di Labuhan Batu pada saat pemilihan Bupati-Wakil Bupati pada tahun 2015.

1. 8. Metode Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Alasan menggunakan metode ini untuk memudahkan peneliti, karena mewancarai langsung informan agar mendapat hasil yang akuntabel dalam memahami makna mengenai penelitian ini. Proses penelitian ini beupaya mengajukan pertanyaan- pertanyaan, mengumpulkan data yang spesifik dari para patisipan yaitu di daerah kabupaten Labuhan Batu.