KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK
2.1 Kajian Pustaka .1 Teori Kesantunan
2.1.3 Teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS)
LFS merupakan satu pradigma dalam kajian fungsional bahasa yang pendekatan, kajian, dan aplikasinya berdasarkan prinsip semiotika. Bahasa dikatakan sebagai semiotika sosial (Halliday, 2004:214). Dengan kata lain, tatabahasa fungsional sistemik adalah tatabahasa yang teori atau prinsip semiotika menjadi dasar utama dalam pengkajian penelitian ini.
Konsep fungsional dalam LFS memiliki tiga pengertian yang saling berhubungan. Pertama, pengertian fungsional menurut LFS adalah bahasa terstruktur berdasarkan fungsi yang akan dimainkan oleh bahasa dalam kehidupan manusia atau tujuan yang akan dicapai dalam pemakaian bahasa. Pengertian ini disebut fungsional berdasarkan tujuan pemakaian bahasa.
Dengan kata lain, secara spesifik dikatakan bahwa bahasa atau teks terstruktur berdasarkan tujuan pemakaian atau penggunaan bahasa. Bahasa yang digunakan untuk suatu fungsi atau tujuan disebut teks (text). Dengan pengertian pertama ini, teks yang digunakan untuk menceritakan peristiwa (narasi) terstruktur berbeda dengan teks yang digunakan untuk melaporkan satu peristiwa. Dengan pengertian yang pertama ini kecenderungan tatabahasa dalam teks. Perbedaan ini terjadi karena fungsi dan tujuan dalam masing-masing teks berbeda.
Dengan kata lain, penutur atau pemakai bahasa memiliki tujuan yang berbeda dengan teks yang lain. Perbedaan teks direalisasikan oleh perbedaan tatabahasa (lexicogramar) secara kualitatif dan kuantitatif. Yang dimaksud dengan perbedaan kualitatif adalah dalam dua teks yang berbeda tujuannya pemunculan suatu aspek tatabahasa itu tidak muncul atau tidak ada sama sekali. Perbedaan kualitatif menunjukkan bahwa tingkat kemungkinan, probabilitas, keseringan atau kekerapan pemunculan suatu aspek tatabahasa lebih tinggi dalam dalam suatu teks daripada teks yang satu lagi.
Jadi dengan pandangan semiotika, pemunculan satu aspek tatabahasa atau probabilitas pemunculan satu aspek tatabahasa adalah penanda ‘arti’ atau makna yang terdapat di dalam teks itu. Dengan pengertian fungsional yang pertama ini teks diinterpretasikan sebagai ditentukan oleh konteks sosial, yakni segala unsur yang terjadi di luar teks. Dengan kata lain, struktur teks ditentukan oleh unsur yang ada di luar teks, yakni tujuan pemakaian bahasa sebagai unsur konteks sosial.
Pengertian fungsional yang kedua adalah metafungsi bahasa, yakni fungsi bahasa dalam pemakaian bahasa. Berkaitan dengan pengertian fungsional pertama, LFS merumuskan bahwa dalam kehidupan manusia bahasa memiliki tiga kategori fungsi yaitu, (a) memaparkan atau memerikan pengalaman yang diistilahkan sebagai fungsi ideasional (ideational function), (b) mempertukarkan pengalaman yang diistilahkan sebagai fungsi antarpesona (interpersonal function), dan (c) merangkaikan pengalaman yang diistilahkan sebagai fungsi tekstual (textual function). Selanjutnya fungsi ideasional terbagi ke dalam dua subbagian , yakni fungsi eksperiensial (experiential function), yakni fungsi bahasa untuk menggambarkan pengalaman dan fungsi logis (logical function), yakni fungsi bahasa untuk menghubungkan pengalaman.
Implikasi dari metafungsi bahasa ini adalah tatabahasa dipandang merupakan teori tentang pengalaman, yakni teori tentang bagaimana bahasa digunakan menggambarkan pengalaman, menghubungkan pengalaman, mempertukarkan pengalaman, dan merangkai pengalaman. Dengan mengikuti prinsip semiotika, masing-masing fungsi bahasa itu direalisasikan oleh struktur bahasa atau tatabahasa yang berbeda sifatnya dan tidak saling berhubungan.
Realisasi makna atau fungsi antarpersona terjadi pada tingkat, strata, atau level semantik. Sebagai realisasi aksi pada strata tatabahasa, modus terdiri atas modus deklaratif, interogatif, dan imperatif. Aksi ‘pernyataan’, ‘pertanyaan’, dan ‘perintah’ masing-masing direalisasikan oleh modus deklaratif, interogatif, dan imperatif, sedangkan ‘tawaran’ tidak memiliki modus yang lazim (unmarked) sebagai realisasinya. Dengan demikian, ‘tawaran’ dalam konteks sosial tentu
dapat direalisasikan oleh satu dari ketiga modus deklaratif, interogatif, dan imperatif. Realisasi aksi pada strata semantik dan tatabahasa bukanlah hubungan ‘satu ke satu’ (biunique relation); artinya secara semantik ‘pernyataan’ tidak selamanya direalisasikan oleh hanya modus deklaratif ‘pernyataan’ oleh hanya interogatif , dan ‘perintah’ oleh hanya imperatif. Hubungan aksi dalam kedua strata itu bersifat probabilitas yang memberikan dua pengertian, yaitu pertama, satu aksi ditingkat semantik dapat direalisasikan satu modus dan kedua, satu modus dapat merupakan realisasi lebih dari satu aksi.
Sebagai contoh, aksi ‘perintah’ dapat direalisasikan oleh modus imperatif, interogatif, dan deklaratif.
Tabel 2.1. Realisasi fungsi ujar dalam modus imperatif, interogatif, dan deklaratif Semantik Tatabahasa
(Modus)
Klausa ‘Perintah’
(agar memilih partai golkar) ‘Perintah’ (menggunakan hak pilih) Imperatif Interogatif Deklaratif Imperatif Interogatif Deklaratif
Ayo mendengar suara golkar, suara rakyat!
Apakah suara golkar, suara rakyat? Suara golkar, suara rakyat.
Pergilah ke TPS suaramu menentukan nasib bangsa!
Siapa yang mau menggunakan hak pilihnya?
Sebagai warga negara yang baik gunakan hak pilihmu pada pemilu ini.
Hubungan realisasi fungsi ujaran dalam modus pada tabel di atas merupakan realisasi ‘perintah’ di dalam tiga modus dan klausa dalam modus merupakan realisasi banyak arti. Semantik ‘perintah’ agar memilih partai golkar direalisasikan pada modus imperatif, interogatif, dan deklaratif. Klausa dalam modus dapat direalisasikan banyak arti, yakni Ayo mendengar suara golkar, suara
rakyat! Apakah suara golkar, suara rakyat? Suara golkar, suara rakyat. Semantik ‘perintah’ menggunakan hak pilih direalisasikan pada modus imperatif, interogatif, dan deklaratif.
Klausa dalam modus dapat direalisasikan banyak arti, yakni Pergilah ke TPS suaramu menentukan nasib bangsa! Siapa yang mau menggunakan hak pilihnya? Sebagai warga negara yang baik gunakan hak pilihmu pada pemilu ini.
Pengertian fungsional ketiga berkaitan dengan fungsi unit bahasa dalam unit yang lebih besar. Dalam LFS dikatakan bahwa setiap unit bahasa bersifat fungsional terhadap unit yang lebih besar, yang di dalam unit itu menjadi unsur. Ada empat unit bahasa dalam LFS, yakni klausa, grup atau frase, grup atau frase fungsional dalam klausa dan klausa menjadi unsur fungsional dalam klausa kompleks. Hubungan antarperingkat tatabahasa ini adalah hubungan konstituen dengan pengertian bahwa unit tatabahasa yang lebih tinggi peringkatnya dibangun dari unit yang berada di bawahnya.
LFS sebagai bagian dari pendekatan linguistik fungsional melihat bahasa sebagai fenomena sosial hanya dapat dipahami dalam konteks sosial. Dalam LFS, kajian difokuskan pada teks. Dengan kata lain, unit kajian tertumpu pada teks. Teks adalah unit arti atau wujud sebagai hasil intraksi dalam konteks sosial.
Figura 2.3. Realisasi metafungsi dalam semiotika pemakaian bahasa
Dalam pengodean semiotika bahasa berdasarkan gambar di atas merupakan pengodean berlapis. Ideologi direalisasikan oleh budaya; realisasi ideologi dalam budaya menjadi satu kesatuan dan direalisasikan oleh situasi; realisasi ideologi dalam budaya yang telah direalisasikan dan menyatu dalam situasi direalisasikan oleh semantik; realisasi ideologi dalam budaya dalam situasi yang telah menyatu dan direalisasikan semantik selanjutnya direalisasikan oleh leksikogramar diekspresikan dalam fonologi, grafologi, atau isyarat.
Dari uraian-uraian pendapat para ahli mengenai semiotika bahasa, peneliti menyimpulkan semiotika merupakan ilmu tanda yang diekspresikan sesuai dengan keadaan dan situasi konteks dalam bentuk fonologi, grafologi, dan isyarat. 2.2 Kajian yang Relevan
Pada tahapan ini, peneliti membahas kajian-kajian terdahulu mengenai kesantunan yang telah dilakukan peneliti-peneliti bahasa sebelumnya. Penelitian kesantunan yang dibahas berkaitan dengan kajian pendekatan pragmatik yang berhubungan dengan kajian pustaka, konsep, dan metode.
a. Hasil penelitian yang relevan
Hasil penelitian yang dilakukan Elvita Yenni (2010) adalah berjudul“Kesantunan Berbahasa dalam Acara Debat Kontroversi Surat Keputusan Bersama Ahmadiyah di TV One.” Penelitian ini memakai teori kesantunan bahasa yang dikemukan Brown dan Levinson. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan teknik pengolahan data dengan menggunakan teknik observasi, dokumentasi, dan wawancara. Hasil penelitian ini mengenai strategi kesantunan positif dan negatif adalah meminimalkan jarak lebih dominan menciptakan strategi jarak dan segi budaya menselarakan budaya Eropa sementara jarak berakar pada budaya Asia termasuk Indonesia. Namun secara alamiah terdapat juga berbagai macam tuturan yang cendrung merupakan tindakan yang tidak menyenangkan yang berarti tindakan yang mengancam muka. Untuk mengurangi ancaman itulah kita didalam berkomunikasi perlu menggunakan sopan santun. Karena ada dua sisi muka yang terancam yaitu, muka negatif dan muka positif. Kesantunan ini dapat ditafsirkan sebagai upaya untuk menghindari konflik antara penutur dan lawan tuturnya di dalam proses berkomunikasi. Kontribusi penelitian Yenni terhadap penelitian ini adalah adanya keterkaitan permasalahan terhadap kesantunan bahasa dalam tindak tutur dan metode dalam teknik pengumpulan data sama dengan penelitian ini yaitu teknik observasi, dokumentasi, dan wawancara.
Hasil penelitian yang dilakukan Yenny Puspita Saragih (2013) adalah berjudul “Kearifan Lokal Kesantunan Berbahasa pada Masyarakat Pasisi Barus.” Penelitian ini menggunakan pendekatan kajian antropolinguistik dan pragmatik.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kesantunan bahasa yang dikemukakan Brown dan Levinson. Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data dengan menggunakan teknik sadap dan wawancara.
Hasil analisis data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kesantunan berbahasa masyarakat Pesisi Barus direalisasikan ke dalam lima bentuk tindak tutur, yaitu menolak, meminta, memerintah, melarang, dan menawarkan. Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian yang dilakukan peneliti merupakan kesamaan data bentuk tindak tutur dalam bentuk fungsi ujar.
Hasil penelitianyang dilakukan Sri Minda Murni (2008) adalah berjudul “Kesantunan Linguistik dalam Ranah Sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara.”Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan model rancangan etnografi komunikasi dan memakai kajian pragmatik untuk menganalisis masalah kesantunan berbahasa.
Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data dengan menggunakan teknik observasi, dokumentasi, dan wawancara yang digunakan di dalam rapat dewan dapat memisahkan politic behavior dari polite behavior. Dari data ditemukan bahwa kesantunan linguistik di dalam tindak tutur meminta penjelasan dilakukan dengan cara mendeklarasikan keadaan ‘tidak tahu’ dan ‘tidak dapat informasi’ yang secara pragmatik bermakna meminta penjelasan.
Di dalam tindak tutur memberikan pendapat, penggunaan modus interogatif secara pragmatik bermakna mengemukakan pendapat tidak setuju
secara tidak langsung. Realisasi politic behavior di rapat dewan menggunakan ujaran-ujaran yang mengikat secara sosial dan ujaran-ujaran yang bersifat formulaik. Contoh penggunaan pronomina yang mempertahankan ingroup terpisah dari outgroup (pronomina ‘kami’ digunakan untuk menggantikan pronomina ‘saya’), penggunaan pemarkah kesantunan secara formulaik (‘tolong’ dan ‘mohon’). Realisasi polite behavior dirapat dewan memberi upaya lebih dalam memenuhi aspek pengawasan, menggunakan ujaran tidak langsung, menggabungkan in-group dan out-group (pronomina), seolah- olah memberi pilihan, melemahkan ujaran. Kontribusi penelitian Minda dengan penelitian ini adalah sebagai bahan sumber bagi peneliti untuk membedakan kesantunan linguistik dalam ranah sidang dewan perwakilan rakyat daerah Provinsi Sumatera Utara dengan kesantunan bahasa berkampanye caleg.
Hasil penelitian yang dilakukan I Wayan Simpen (2008) adalah berjudul “Kesantunan Berbahasa Pada Penutur Bahasa Kambera di Sumba Timur.” Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data, penganalisisan data, dan penyajian hasil analisis.
Hasil analisis penelitian menggambarkan bahwa kesantunan berbahasa pada penutur bahasa Kambera menggambarkan ideologi yang dijadikan dasar kesantunan berbahasa. Adapun kesantunan berbahasa dipengaruhi faktor status, usia, jenis kelamin, budaya, stratifikasi sosial serta hubungan kekerabatan. Keverbalan bahasa digunakan untuk kesantunan berbentuk kata, gabungan kata, dan kalimat.
Kesimpulan penelitian ini, penutur bahasa Kambera masih memerankan ideologi yang mereka sebut Hopu li li witi-Hopu li la kunda ‘akhir dari segala pembicaraan akhir dari segala pintalan. Penelitian Simpe memberi kontribusi terhadap penelitian yang telah dilakukan ini dalam hal kesantunan bahasa terhadap penutur dan petutur mengandung kesantunan pada data-data bahasa yang didapat.
Hasil penelitian yang dilakukan Saleh (2009) adalah berjudul“Representasi Kesantunan Berbahasa Mahasiswa dalam Wacana Akademik: Kajian Etnografi Komunikasi di Kampus Universitas Negeri Makasar.”Penelitian ini menggunakan ancangan teori etnografi komunikasi, teori tindak tutur, dan teori kesantunan berbahasa.Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data dilakukan melalui teknik perekaman, observasi, wawancara, dan transkripsi.
Analisis data dilakukan melalui empat prosedur utama, yakni: pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penyimpulan/verifikasi. Hasil analisis penelitian adalah mendeskripsikan dan mengeksplanasi kesantunan berbahasa mahasiswa melalui: (1) wujud kesantunan berbahasa mahasiswa dalam wacana akademik, (2) fungsi kesantunan berbahasa mahasiswa dalam wacana akademik, dan (3) strategi kesantunan berbahasa mahasiswa dalam wacana akademik.
Wujud kesantunan berbahasa mahasiswa dalam wacana akademik secara deskriptif direpresentasikan melalui dua wujud yaitu penggunaan bahasa dan penggunaan tuturan. Pertama, penggunaan bahasa, meliputi: (1) penamaan diri,
(2) penggunaan kata ganti, (3) penggunaan gelar, (4) penggunaan respon mengiyakan, dan (5) penggunaan diksi informal. Kedua, penggunaan tuturan, meliputi: (a) tuturan dengan modus deklaratif; (b) tuturan dengan modus imperatif; dan (c) tuturan dengan modus interogatif.
Strategi kesantunan berbahasa mahasiswa dalam wacana akademik direpresentasikan secara deskriptif melalui tiga kategori strategi. Pertama, strategi kesantunan positif diuraikan melalui: strategi penghormatan, memberi penghargaan, memenuhi keinginan mitra tutur, meminta pertimbangan, bertanya, melipatgandakan simpati, memberi perhatian, mencari persetujuan, dan merendahkan diri.
Kedua,strategi kesantunan negatif, diuraikan melalui strategi menghindari perselisihan, bertanya balik, membiarkan mitra tutur, bersikap pesimis, impersonalitas atau jarak, bersikap patuh, menghindari berasumsi, dan meminta maaf. Ketiga,strategi off-record, diuraikankan melalui strategi bertutur samar-samar, strategi memberi isyarat, bertanya retoris, dan menghindari pemaksaan. Kontribusi penelitian Saleh terhadapa penelitian yang dilakukan ini dalam hal kesantunan berbahasa. Selain itu, metode penelitian Simpen juga memberi kontribusi terhadap penelitian dalam teknik pengumpulan data-data bahasa yang didapat.
Hasil penelitian Ridwan Hanafiah (2011) yang berjudul “Pemilihan Bahasa dan Sikap Bahasa dalam Komunikasi Politik Oleh Partai Politik Lokal di Pemerintahan Aceh.”Penelitian ini memakai teori sosiolinguistik dalam membahas suatu bahasa yang dipilih oleh pengurus partai politik lokal dalam
komunikasi politik, sikap bahasa pengurus patai politik lokal dalam komunikasi politik, dan hubungan pemilihan bahasa dan sikap komunikasi politik oleh partai lokal di pemerintahan Aceh.
Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode kuantitatif dan kualitatif dengan teknik pengumpulan data observasi, wawancara, dokumentasi, angket, dan teknik SPSS untuk mendapatkan persentase pemilihan dan sikap bahasa secara signifikan. Hasil penelitian meliputi bahasa politik di Pemerintahan Aceh dengan persentase 47,36%, sedangkan yang menggunakan bahasa Aceh dan Bahasa Indonesia 52,63%. Dari hasil persentase tersebut parta lokal memenangkan hasil pemilu 2009 di Aceh. Kontribusi penelitian Hanafiah terhadap penelitian yang dilakukan ini adalah adanya persamaan objek penelitian yaitu partai politik yang direalisasikan dalam pemilihan bahasa dalam berkomunikasi.
b. Kajian yang relevan dikutip dari jurnal
Dalam Jurnal LOGAT volume 1 yang berjudul “Perangkat Tindak Tutur dan Siasat Kesantunan Berbahasa (Data Bahasa Mandailing)”, Namsyah Hot Hasibuan (2005) mengklasifikasikan tindak tutur data bahasa Mandailing berdasarkan sistematisasi Searle yang mengelompokkannya ke dalam lima jenis tindak tutur utama, yaitu tindak tutur representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif yang dinyatakan bahwa masyarakat Mandailing pada prinsip kesantunan diperoleh melalui pembelajaran agama dan norma adat setempat baik formal maupun tidak formal. Penelitian Namsyah Hot Hasibuan memberi
kontribusi terhadap penelitian yang telah dilakukan ini mengenai kesantunan dan tindak tutur.
Dalam Jurnal PELLBA 18 yang berjudul “Implikator dan Kesantunan Berbahasa: Beberapa Tilikan dari Sandiwara Ludruk”, Asim Gunarwan (2007) mencoba menunjukkan bahwa teori pragmatik tepatnya teori kesantunan dapat dipakai untuk menganalisis bahasa di dalam praktik penggunaannya. Bahasan beliau dalam tulisan tersebut didasarkan pada teori Brown dan Levinson. Beliau menganalisis ujaran-ujaran dalam lakon ludruk Jawa dengan memilih dialog-dialog yang potensial mengandung kesantunan baik yang positif maupun yang negatif. Kontribusi penelitian Asim Gunarwan dalam penelitian yang dilakukan ini adalah pemilihan tuturan dalam konteks kesantunan bahasa.
Dalam Jurnal Masyarakat Linguistik Indonesi Tahun ke-25 Nomor 1 yang berjudul “Kesantunan Berbahasa dalam Mengungkapkan Perintah”, Supriatin (2007). Jurnal ini menggunakan teori yang dikemukakan oleh Brown and Levinson. Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan tujuan mendeskripsikan kesantunan berbahasa dalam mengungkapkan perintah. Hasil penelitian mengungkapkan kesantunan berbahasa perintah terhadap lawan tutur dalam ranah penggunaan bahasa berdasarkan pada peraturan dan struktur bahasa dan ranah kesantunan berdasarkan prinsip komunikasi itu sendiri, peraturan, dan struktur termasuk dalam bidang yang lebih ekslusif dari interaksi sosial. Dalam bertindak tutur harus menafsirkan sebagai penghubung kesantunan bahasa perintah. Kontribusi penelitian Supriatin dengan
penelitan ini adalah menunjukkan kesamaan teori dalam mengkaji kesantunan bahasa dalam bentuk modus perintah.
Dalam Jurnal Masyarakat Linguistik Indonesi Tahun ke-26 Nomor 2 yang berjudul “Kesantunan Positif Komunikasi Dokter-Pasien dalam Program Konsultasi Seks”, Pramujiono (2008). Penelitian ini memakai teori kesantunan yang dikemukakan oleh Brown dan Levinson serta mempergunakan metode deskriptif kualitatif dalam mengolah data penelitiannya. Hasil analisis penelitian ini ditemukan strategi komunikasi dokter dan pasien pada program yaitu memberi perhatian dan empati, menggunakan gurauan, pemendekan kata, meminta alasan atau memberikan pertanyaan, dan meminta persetujuan dengan pengulangan ujaran. Kontribusi penelitian Pramujiono terhadap penelitian yang dilakukan ini adalah sama-sama membicarakan konteks kesantunan bahasa dan metode penelitian dengan menggunakan kualitatif deskriptif.
Dalam Jurnal Masyarakat Linguistik Indonesi Tahun ke-26 Nomor 2 yang berjudul“Strategi Kesantunan Bahasa pada Anak-Anak Usia Prasekolah: Mengucapkan Keinginan”, Kushartanti (2008). Penelitian ini memakai teori pragmatik dengan memakai metode kualitatif dalam mengolah data penelitian. Hasil penelitian menunjukkan kesantunan sopan santu bahasa anak-anak dari perkembangan pragmatik yang dipengaruhi pola asuh latar belakang sosial budaya guru yang memberi pengetahuan dan pengaruh kebiasaan di rumah. Kontribusi penelitian Kushartanti terhadap penelitian ini dalam ranah konteks kesantunan berbahasa.
Dalam Jurnal Masyarakat Linguistik Indonesi Tahun ke-31 Nomor 1 yang berjudul“Representasi Kekuasaan dalam Tuturan Elit Politik Pascareformasi: Pilihan Kata dan Bentuk Gramatikal”, Johar Amir (2013). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan pendekatan analisis wacana kritis. Dalam pengumpulan data penelitian ini digunakan metode simak dengan tekniknya. Data dalam penelitian ini adalah meliputi elit politik yang terlibat dalam pemerintahan dan legislatif.
Hasil penelitian ini merupakan representasi kekuasaan dalam tuturan elit politik pascareformasi ditemukan bahwa refresentasi kekuasaan tercermin dalam pilihan kata dalam modus deklaratif, interogatif, imperatif, tawaran dan kelompok kata yang digunakan elit politik dikaitkan dengan pelaksanaan pemerintah dalam hal terkait dengan kekuasaan. Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian yang dilakukan peneliti adalah persamaan objek penelitian dalam modus deklaratif, interogatif, imperatif, tawaran dalam teks wacana.