BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
KAJIAN PUSTAKA
2.1.4 Teori Motivasi
Teori motivasi dapat dibedakan atas dua bagian, yaitu :
I. Teori Kepuasan
Teori kepuasan motivasi menentukan apa yang memotivasi orang dalam pekerjaan. Ahli teori kepuasan berfokus pada identifikasi kebutuhan dan dorongan pada diri seseorang dan bagaimana kebutuhan dan dorongan tersebut diprioritaskan. Mereka menitikberatkan jenis insentif dan tujuan yang berusaha dicapai oleh seseorang untuk dipuaskan dan dilakukan dengan baik. Teori kepuasan mengacu pada statis, karena teori tersebut berhubungan hanya pada satu atau beberapa hal dalam suatu waktu tertentu, baik masa lalu maupun sekarang. Oleh karena itu, teori ini tidak memprediksikan motivasi atau perilaku kerja, tetapi memahami apa yang memotivasi orang dalam bekerja. Hal yang memotivasi semangat bekerja seseorang adalah untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan materil maupun non materil yang diperoleh dari hasil pekerjaan, yakni tinggi atau rendah tingkat kebutuhan dan kepuasan yang ingin dicapai seseorang mencerminkan semangat kerja orang tersebut. Teori motivasi dapat dibedakan menjadi (Winardi, 2011: 11) :
1. Teori Hierarki Kebutuhan (Abraham H.Maslow)
Abraham H. Maslow pada tahun 1943. Teori ini diilhami oleh Human Science Theory dari Elton Mayo (1880-1949) yang menyatakan bahwa kebutuhan dan kepuasan itu bersifat jamak yaitu kebutuhan biologis dan psikologis berupa materil dan non materil.
Abraham H. Maslow mengemukakan sejumlah proposisi penting tentang perilaku pegawai sebagai berikut:
1. Pegawai adalah makhluk yang serba berkeinginan (man is a wanting being). Ia senantiasa menginginkan sesuatu dan ia senantiasa menginginkan lebih banyak. Apa yang diinginkan, tergantung pada apa yang sudah dimiliki.
2. Sebuah kebutuhan yang dipenuhi, bukanlah sebuah motivator perilaku. Hanya kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi, memotivasi perilaku.
3. Kebutuhan manusia diatur dalam suatu seri tingkatan suatu hierarki menurut pentingnya masing-masing kebutuhan. Segera setelah kebutuhan-kebutuhan pada tingkatan lebih rendah, kurang lebih terpenuhi, maka muncul kebutuhan-kebutuhan pada tingkat berikut yang lebih tinggi, yang menuntut pemuasan. Tingkatan kebutuhan pegawai tersebut adalah sebagai berikut :
a. Kebutuhan-kebutuhan Fisiologikal
Pada tingkatan terendah pada hierarki yang ada, dan pada titik awal teori motivasi, terdapat kebutuhan-kebutuhan fisiologikal. Kebutuhan-kebutuhan inilah yang perlu dipenuhi untuk mempertahankan hidup.
Kebutuhan-kebutuhan fisiologikal memiliki sejumlah karakteristik sebagai berikut:
2. Dalam banyak kasus mereka dapat diidentifikasi dengan sebuah lokasi khusus di dalam tubuh (misalnya perasaan lapar luar biasa, dapat dikaitkan dengan perut).
3. Pada sebuah kultur bercukupan (an affluent culture), kebutuhan-kebutuhan demikian bukan merupakan motivator-motivator tipikal, melainkan motivator-motivator yang tidak biasa.
4. Akhirnya dapat dikatakan bahwa mereka harus dipenuhi secara berulang-ulang dalam periode waktu yang relatif singkat, agar tetap terpenuhi.
Apabila kebutuhan-kebutuhan fisiologikal tidak terpenuhi, maka mereka akan lebih terasa dibandingkan dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Maka boleh dikatakan bahwa seseorang individu, yang tidak memiliki apa-apa dalam kehidupan, mungkin sekali akan termotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan fisiologikal.
b. Kebutuhan akan keamanan
Kebutuhan akan keamanan dinyatakan dalam wujud akan keinginan akan proteksi terhadap bahaya fiskal, keinginan untuk mendapatkan kepastian ekonomi, prefensi terhadap hal-hal yang dikenal, dan menjauhi hal-hal yang tidak dikenal, dan keinginan atau dambaan orang akan dunia yang teratur, serta yang dapat diprediksi.
Kebutuhan-kebutuhan akan keamanan, juga mencakup keinginan unuk mengatahui batas-batas perilaku yang diperkenankan. Maksudnya adalah keinginan akan kebebasan di dalam batas-batas tertentu daripada kebebasan yang tidak ada batasnya. Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan lengkap tentang
batas-batas perilaku yang diterima bagi dirinya sendiri dapat mempunyai perasaan yang sangat terancam.
Sebagian besar pegawai tergantung pada organisasi tempat ia bekerja sehubungan dengan ketenteraman, supervisi, keputusan-keputusan yang berkaitan dengan pekerjaannya dan peluang kerja yang berkesinambungan.
c. Kebutuhan-kebutuhan sosial
Kebutuhan fisiologikal manusia dan kebutuhan akan keamanan pegawai relatif terpenuhi, maka kebutuhan-kebutuhan sosial yang merupakan kebutuhan pada tingkatan berikutnya menjadi motivator penting bagi perilaku. Seorang pegawai ingin tergolong pada kelompok-kelompok tertentu. Pegawai ingin berasosiasi dengan pihak lain, ingin diterima oleh rekan-rekannya, ingin berbagi dan menerima sikap berkawan, dan afeksi.
d. Kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan
Kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan (egoistik) terdiri dari
penghargaan diri dan penghargaan dari pihak lain. Kebutuhan akan penghargaan diri, prestasi, kompetensi, pengetahuan, penghargaan diri, dan kebebasan serta idepedensi (ketidaktergantungan). Kelompok kedua, kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan dari pihak lain mencakup kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan reputasi seseorang pegawai, atau penghargaan dari pihak lain, kebutuhan akan status, pengakuan, apresiasi terhadap dirinya, dan respek yang diberikan oleh pihak lain.
Keinginan atau hasrat kompetitif untuk menonjol atau melampui prestasi orang-orang lain yang merupakan sifat universal manusia. Kebutuhan pokok akan penghargaan ini, apabila dimanfaatkan secara tepat dapat menyebabkan timbulnya
kinerja keorganisasian yang luar biasa. Tidak seperti kebutuhan-kebutuhan tingkatan lebih rendah, kebutuhan akan penghargaan jarang sekali terpenuhi secara sempurna.
e. Kebutuhan untuk merealisasikan diri (aktualisasi)
Kebutuhan-kebutuhan ini berupa kebutuhan-kebutuhan individu untuk merealisasi potensi yang ada pada diri pegawai untuk mencapai pengembangan diri secara berkelanjutan dan menjadi kreatif. Bentuk khusus kebutuhan ini berbeda pada setiap pegawai (Winardi, 2001: 14-16).
2. Teori Kebutuhan Berprestasi (David McClelland)
McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need for Acievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. McClelland merumuskan kebutuhan akan prestasi tersebut sebagai keinginan melaksanakan sesuatu tugas atau pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi, atau mengorganisasi obyek-obyek fisik, manusia, atau ide-ide melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan seindependen mungkin, sesuai kondisi yang berlaku. Mengatasi kendala-kendala, mencapai standar tinggi, dan mencapai performa puncak untuk diri sendiri. Mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain. Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil.
Menurut McClelland karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu :
a. Sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat.
b. Menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti kemujuran.
c. Menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah (Winardi, 2001: 17-18). 3. Teori ERG (Clyton Alderfer)
Teori Alderfer dikenal dengan akronim “ERG” . Akronim “ERG” dalam teori Alderfer merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah yaitu : E = Existence (kebutuhan akan eksistensi), R = Relatedness (kebutuhan untuk berhubungan dengan pihak lain, dan G = Growth (kebutuhan akan pertumbuhan).
1. Secara konseptual terdapat persamaan antara teori atau model yang dikembangkan oleh Maslow dan Alderfer. Karena existence dapat dikatakan identik dengan hierarki pertama dan kedua dalam teori Maslow. Relatedness senada dengan hierarki kebutuhan ketiga dan keempat menurut konsep Maslow. Growth mengandung makna sama dengan self actualization menurut Maslow.
2. Teori Alderfer menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan pemuasannya secara serentak. Teori Alderfer menunjukkan bahwa: a. Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula
keinginan untuk memuaskannya.
b. Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang lebih tinggi semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan.
c. Sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk memuaskan kebutuhan yang lebih mendasar.
Pandangan ini didasarkan kepada sifat pragmatisme oleh manusia. Artinya, karena menyadari keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri pada kondisi obyektif yang dihadapinya dengan antara lain memusatkan perhatiannya kepada hal-hal yang mungkin dicapainya (Winardi, 2001: 19-20).
4. Teori Dua Faktor (Frederick Herzberg)
Herzberg dikenal dengan teori dua faktor yaitu faktor motivasional dan faktor hygiene atau pemeliharaan. Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan faktor hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang.
Menurut Herzberg, yang tergolong sebagai faktor motivasional antara lain ialah pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan dalam karier dan pengakuan orang lain. Sedangkan faktor-faktor hygiene atau pemeliharaan mencakup antara lain status seseorang dalam organisasi, hubungan seorang individu dengan atasannya, hubungan seseorang dengan rekan-rekan sekerjanya, teknik penyeliaan yang diterapkan oleh para penyelia, kebijakan organisasi, sistem administrasi dalam organisasi, kondisi kerja dan sistem imbalan yang berlaku.
Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik atau yang bersifat ekstrinsik (Winardi, 2001: 21).
II. Teori Proses
Teori proses dapat dibedakan atas empat bagian, yaitu : 1. Teori Keadilan (Equity Theory)
S. Adams dalam teori ini mengemukakan bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan kesenjangan antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dengan imbalan yang diterima. Artinya, apabila seorang pegawai mempunyai persepsi bahwa imbalan yang diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat terjadi, yaitu :
1. Seorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar.
2. Mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Dalam menumbuhkan persepsi tertentu, seorang pegawai biasanya menggunakan empat hal sebagai pembanding, yaitu :
1. Harapannya tentang jumlah imbalan yang dianggapnya layak diterima berdasarkan kualifikasi pribadi, seperti pendidikan, keterampilan, sifat pekerjaan dan pengalamannya.
2. Imbalan yang diterima oleh orang lain dalam organisasi yang kualifikasi dan sifat pekerjaannnya relatif sama dengan yang bersangkutan sendiri;
3. Imbalan yang diterima oleh pegawai lain di organisasi lain di kawasan yang sama serta melakukan kegiatan sejenis.
4. Peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan jenis imbalan yang merupakan hak para pegawai.
Pemeliharaan hubungan dengan pegawai dalam kaitan ini berarti bahwa para pejabat dan petugas di bagian kepegawaian harus selalu waspada jangan
sampai persepsi ketidakadilan timbul, apalagi meluas di kalangan para pegawai. Apabila sampai terjadi maka akan timbul berbagai dampak negatif bagi organisasi, seperti ketidakpuasan, tingkat kemangkiran yang tinggi, sering terjadinya kecelakaan dalam penyelesaian tugas, seringnya para pegawai berbuat kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan masing-masing, pemogokan atau bahkan perpindahan pegawai ke organisasi lain (Winardi, 2010: 23).
2. Teori penetapan tujuan (Goal Setting Theory)
Edwin Locke mengemukakan bahwa dalam penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme motivasional yakni :
a. Tujuan-tujuan mengarahkan perhatian b. Tujuan-tujuan mengatur upaya
c. Tujuan-tujuan meningkatkan persistensi
d. Tujuan-tujuan menunjang strategi-strategi dan rencana-rencana kegiatan.
Teori ini juga mengungkapkan hal-hal sebagai berikut :
a. Kuat lemahnya tingkah laku manusia ditentukan oleh sifat tujuan yang hendak dicapai.
b. Kecenderungan manusia untuk berjuang lebih keras mencapai suatu tujuan, apabila tujuan itu jelas, dipahami dan bermanfaat.
c. Makin kabur atau makin sulit dipahami suatu tujuan, akan makin besar keengganan untuk bertingkah laku (Dharma, 2010: 36).
3. Teori Harapan (Expectacy Theory)
Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul Work And Motivation mengtengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai Teori Harapan. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang
dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkan. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya.
Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.
Teori ini bagi kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber daya manusia mempunyai daya tarik tersendiri karena penekanan tentang pentingnya bagian kepegawaian membantu para pegawai dalam menentukan hal-hal yang diinginkan serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk mewujudkan keinginan. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan bahwa para pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang diinginkan, apalagi cara untuk memperoleh (Dharma, 2010: 36-37).
4. Teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku (Reinforcement Theory)
Teori ini dikemukakan oleh B.F. Skinner yang didasarkan atas hukum pengaruh. Tingkah laku dengan konsekuensi positif cenderung untuk diulang, sementara tingkah laku dengan konsekuensi negatif cenderung untuk tidak diulang. Rangsangan yang didapat akan mengakibatkan atau memotivasi timbulnya respon dari seseorang yang selanjutnya akan menghasilkan suatu konsekuensi yang akan berpengaruh pada tindakan selanjutnya. Konsekuensi yang terjadi secara berkesinambungan akan menjadi suatu rangsangan yang perlu untuk
direspon kembali dan menghasilkan konsekuensi lagi. Demikian seterusnya sehingga motivasi mereka akan tetap terjaga untuk menghasilkan hal-hal yang positif
Contoh yang sangat sederhana ialah seorang juru tik yang mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik dalam waktu singkat. Juru tik tersebut mendapat pujian dari atasannya. Pujian tersebut berakibat pada kenaikan gaji yang dipercepat. Karena juru tik tersebut menyenangi konsekuensi perilakunya itu, ia lalu terdorong bukan hanya bekerja lebih tekun dan lebih teliti, akan tetapi bahkan berusaha meningkatkan keterampilannya, misalnya dengan belajar menggunakan komputer sehingga kemampuannya semakin bertambah, yang pada gilirannya diharapkan mempunyai konsekuensi positif lagi di kemudian hari.
Contoh sebaliknya ialah seorang pegawai yang datang terlambat berulangkali mendapat teguran dari atasannya, mungkin disertai ancaman akan dikenakan sanksi indisipliner. Teguran dan kemungkinan dikenakan sanksi sebagai konsekuensi negatif perilaku pegawai tersebut berakibat pada modifikasi perilakunya, yaitu datang tepat pada waktunya di tempat tugas.
Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan gaya yang manusiawi pula (Winardi, 2001: 24-25).