• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder Theory)

Aspek yang mendasari teori pemangku kepentingan adalah perlunya perusahaan untuk mengelola hubungan dengan seluruh pihak yang berkepentingan, yaitu kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan perusahaan (Donaldson dan Preston, 1995). Kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada dukungan yang diberikan oleh seluruh pemangku kepentingan; tergantung pada bagaimana perusahaan mengelola hubungan dengan pelanggan, karyawan, pemasok, masyarakat, komunitas, pemodal, dan lain-lain (Freeman dan Phillips, 2002).

Menuru Awotundun (2011) dalam Syarty (2015) teori pemangku kepentingan menyatakan bahwa perusahaan melayani tujuan publik yang lebih luas untuk menciptakan nilai bagi masyarakat dan berfokus pada berbagai kelompok atau individu yang secara langsung dipengaruhi oleh kegiatan perusahaan. Terdapat beberapa alasan yang mendorong perusahaan perlu memperhatikan kepentingan stakeholders, yaitu:

1. Isu lingkungan melibatkan kepentingan berbagai kelompok dalam masyarakat yang dapat mengganggu kualitas hidup;

2. Produk-produk yang diperdagangkan harus bersahabat dengan lingkungan;

3. Para investor dalam menanamkan modalnya cenderung untuk memilih perusahaan yang memiliki dan mengembangkan kebijakan dan program lingkungan;

4. LSM dan pencinta lingkungan semakin vokal dalam mengkritik perusahaan-perusahaan yang kurang peduli terhadap lingkungan.

C. Teori Legitimasi (Legitimacy Theory)

Teori legitimasi menyatakan bahwa organisasi tidak hanya memperhatikan kepentingan investor, tetapi juga secara umum harus memperhatikan kepentingan publik (Deegan dan Rankin, 1997). Teori legitimasi pun menyatakan bahwa perusahaan tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial; perusahaan memiliki kontrak sosial dengan lingkungan di sekitarnya (Holder-webb et.al, 2009). O’Donovan (2002) menjelaskan agar organisasi dapat melanjutkan kegiatan operasinya, mereka harus bertindak sesuai dengan norma sosial yang diterima oleh masyarakat di sekitarnya.

Menurut Deegan et.al (2002), teori legitimasi meyakini suatu gagasan bahwa terdapat ”kontrak sosial” antara organisasi dengan lingkungan, dimana organisasi tersebut beroperasi. Hal ini juga sejalan dengan teori legitimasi yang menyatakan bahwa perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan kegiatannya berdasarkan nilai-nilai keadilan dan bagaimana perusahaan menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan (Tilt, 1994).

D. Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance/ CG)

Tujuan utama pelaksanaan mekanisme tata kelola perusahaan adalah peningkatan kinerja perusahaan melalui pemantauan kinerja manajemen dan adanya akuntabilitas manajemen terhadap pemangku kepentingan lain, berdasarkan aturan yang berlaku (Kaihatu, 2006). Menurut OECD (2004) tata kelola perusahaan merupakan suatu sistem yang bertujuan untuk mengendalikan dan mengarahkan perusahaan supaya dapat mendistribusikan hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat dengan perusahaan sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder).

Pedoman Nasional GCG menyebutkan asas tata kelola perusahaan yang harus diperhatikan oleh perusahaan untuk mencapai kesinambungan usaha (sustainability) perusahaan dengan memperhatikan pemangku kepentingan. Asas tata kelola perusahaan tersebut yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan (KNKG, 2006).

Menurut OJK (2014) komite audit dapat didefinisikan sebagai komite yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada Dewan Komisaris untuk membantu Dewan Komisaris dalam memantau dan memastikan efektifitas sistem pengendalian internal dan pelaksanaan tugas auditor internal dan auditor independen/eksternal. Komite audit dituntut untuk bertindak secara independen karena komite audit merupakan pihak yang menjembatani antara auditor eksternal dan perusahaan dan juga menjembatani antara fungsi

pengawasan dewan komisaris dengan auditor internal. Komite audit perusahaan minimal terdiri dari tiga orang di mana sekurang-kurangnya satu orang berasal dari anggota komisaris independen dan dua orang lainnya berasal dari luar perusahaan publik.

Keberadaan komite audit meningkatkan mekanisme pengawasan terhadap kualitas informasi keuangan, sehingga dapat mengurangi biaya agensi (Said et.al, 2009). Ho dan Wong (2001) menyimpulkan bahwa keberadaan komite audit berpengaruh terhadap luas pengungkapan sukarela perusahaan. Dengan demikian, jumlah komite audit yang besar dapat meningkatkan kualitas pengawasan, sehingga pengungkapan CSR semakin luas. Penelitian yang dilakukan Handajani et.al (2009) membuktikan bahwa komite audit berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR. Dengan demikian, ukuran komite audit yang semakin besar dapat meningkatkan pengawasan terhadap manajemen, sehingga pengungkapan informasi CSR semakin luas.

E. Pertanggungjawaban Lingkungan

Carroll (1999) mendefinisikan pertanggungjawaban sosial perusahaan sebagai aktivitas multidimensi perusahaan yang mencakup perilaku sosial, politik, lingkungan, ekonomi, dan etika. Campbell (2007) mempertimbangkan pertanggungjawaban sosial perusahaan sebagai bentuk pertanggungjawaban perusahaan terhadap pemangku kepentingan yang

berbeda-beda, seperti konsumen, pemasok, pemerintah, karyawan, pemegang saham, maupun komunitas. Tidak jauh berbeda, Malik (2014) mendefinisikan pertanggungjawaban sosial perusahaan sebagai beberapa inisiatif sukarela perusahaan terhadap pemangku kepentingan yang berbeda-beda, seperti konsumen, pemasok, pembuat peraturan (pemerintah), karyawan, pemegang saham, dan komunitas. Dalam definisi-definisi tersebut, tampak bahwa pertanggungjawaban lingkungan merupakan bagian dari pertanggungjawaban sosial perusahaan.

Publik mulai tertarik dengan aktivitas non keuangan perusahaan dan tidak lagi hanya mempertimbangkan kinerja keuangan, sehingga perhatian manajer dan akademisi pada aktivitas pertanggungjawaban sosial dan lingkungan perusahaan meningkat beberapa tahun terakhir (Holder-webb et.al, 2009). Peningkatan perhatian akan dampak lingkungan juga

diungkapkan oleh Adams dan Frost (2004). Berdasar pada teori legitimasi, perusahaan memiliki kontrak sosial dimana perusahaan harus berperilaku sesuai dengan norma yang ada di masyarakat sekitarnya agar memperoleh dukungan (legitimasi) dan dapat terus beroperasi. Pertanggungjawaban lingkungan merupakan perwujudan dari kontrak sosial tersebut.

Kriteria penilaian pertanggungjawaban lingkungan menggunakan GRI guidelines karena guidelines inilah yang secara umum dikenal sebagai guidelines pelaporan aktivitas sosial dan lingkungan perusahaan (Choi, 2003). Di dalam guidelines, terdapat 91 items checklist. Penelitian ini hanya menggunakan 34 items checklist, yaitu items yang masuk dalam kategori

lingkungan (EN1 – EN34). Indeks pertanggungjawaban lingkungan setiap perusahaan dihitung dengan menjumlahkan keseluruhan nilai yang diperoleh setiap perusahaan.

∑ Keterangan:

EI = Environment Index

Ʃ Xj = Total nilai pertanggungjawaban lingkungan perusahaan j nj = Total nilai pertanggungjawaban lingkungan berdasarkan

GRI G4

F. Nilai Perusahaan

Nilai perusahaan secara umum didefinisikan sebagai pengukuran ekonomi yang merefleksikan nilai dari keseluruhan bisnis yang dialokasikan kepada pemegang saham dan kreditor (Malik, 2014). Nilai perusahaan yang tinggi dapat meningkatkan kemakmuran pemegang saham sehingga pemegang saham akan menginvestasikan modalnya di perusahaan tersebut.

Beberapa konsep nilai yang menjelaskan nilai suatu perusahaan (Haruman, 2008 dalam Ainy, 2015):

1. Nilai nominal, yaitu nilai yang tercantum secara formal dalam anggaran dasar perseroan, disebutkan secara eksplisit dalam neraca perusahaan, dan juga ditulis jelas dalam surat saham kolektif.

2. Nilai pasar, sering disebut kurs, adalah harga yang terjadi dari proses tawar menawar di pasar saham. Nilai ini hanya bisa ditentukan jika saham perusahaan dijual di pasar saham.

3. Nilai intrinsik, merupakan nilai yang mengacu pada perkiraan nilai riil suatu perusahaan. Nilai perusahaan dalam konsep nilai intrinsik ini bukan sekedar harga dari sekumpulan asset, melainkan nilai perusahaan sebagai entitas bisnis yang memiliki kemampuan menghasilkan keuntungan di kemudian hari.

4. Nilai buku adalah nilai perusahaan yang dihitung dengan dasar konsep akuntansi.

5. Nilai likuidasi, adalah nilai jual seluruh asset perusahaan setelah dikurangi semua kewajiban yang harus dipenuhi. Nilai sisa itu merupakan bagian para pemegang saham. Nilai likuidasi bisa dihitung berdasarkan neraca performa yang disiapkan ketika suatu perusahaan akan likuidasi.

Tobin’s Q merupakan ukuran yang tidak hanya memberikan gambaran dari aspek fundamental saja, namun juga menggunakan pendekatan ukuran sejauh mana pasar menilai perusahaan dari berbagai aspek termasuk penilaian aspek investasi (Ainy, 2015).

Fahmi (2011) mengatakan jika rasio tobin’s Q di atas satu (>1), menunjukkan bahwa investasi dalam aktiva menghasilkan laba yang memberikan nilai yang lebih tinggi daripada pengeluaran investasi. Jika rasio tobin’s Q di bawah satu (<1), investasi dalam aktiva tidak menarik.

Keterangan:

MVE = harga saham x jumlah saham beredar DEBT = total hutang perusahaan

TA = total aktiva

G. Hubungan Antara Tata Kelola Perusahaan dengan Pengungkapan Pertanggungjawaban Lingkungan

Suatu mekanisme tata kelola perusahaan yang dilakukan perusahaan baik langsung maupun tidak langsung mempengaruhi aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan termasuk aktivitas pertanggungjawaban yang dilakukan oleh perusahaan. Hal tersebut didukung oleh Kathy Rao dkk. (2012) yang menyatakan bahwa tata kelola yang efektif akan lebih cenderung memberikan informasi (mengungkapkan), baik informasi yang bersifat sukarela (voluntary) maupun yang wajib (mandatory). Selain itu, Bokpin dan Isshaq (2009) juga menyatakan bahwa semakin transparan pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan maka indikasi kualitas tata kelola perusahaan semakin baik pula.

Menurut Herwidayatmo (2000) dalam Ainy (2015) praktik tata kelola di negara berkembang yang lemah, salah satunya disebabkan karena lemahnya praktik pengawasan oleh auditor. Hal ini terbukti dengan diaturnya keberadaan komite audit independen dalam pelaksanaan tata kelola perusahaan serta persyaratan yang harus dipenuhi ketika perusahaan go public (Committee, 2000; KNKG, 2006).

Camfferman dan Cooke (2002) dan Haposoro (2012) membuktikan semakin tinggi komposisi komite audit independen dapat mengurangi permasalahan keagenan sehingga dapat meningkatkan kontrol internal

termasuk mempengaruhi keputusan perusahaan melakukan pertanggungjawaban lingkungan. Komite audit memiliki peranan penting dalam melakukan review proses dan kontrol internal perusahaan sehingga menghasilkan pelaporan yang berkualitas (Said et.al, 2009).

Ho dan Wong (2001) menyimpulkan bahwa keberadaan komite audit berpengaruh terhadap luas pengungkapan sukarela perusahaan.

Dengan demikian, jumlah komite audit yang besar dapat meningkatkan kualitas pengawasan, sehingga pengungkapan CSR semakin luas.

Penelitian yang dilakukan Handajani et.al (2009) membuktikan bahwa komite audit berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR. Dengan demikian, jumlah komite audit yang semakin banyak dapat meningkatkan pengawasan terhadap manajemen, sehingga pengungkapan informasi CSR semakin luas. Salah satu bagian dari pengungkapan CSR adalah pengungkapan lingkungan.

H. Hubungan Antara Tata Kelola Perusahaan dengan Nilai perusahaan Teori keagenan menjelaskan konflik kepentingan yang terjadi antara pemilik perusahaan (principal) dan manajemen (agent) yang dapat menimbulkan asimetri informasi (Jensen dan Meckling, 1976). Teori ini didefinisikan sebagai kontrak dimana satu atau lebih orang (pemegang saham atau pemilik) menunjuk seorang lainnya (agen atau manajemen) untuk melakukan beberapa pekerjaan atas nama pemilik, termasuk pendelegasian wewenang dalam pengambilan keputusan. Manajemen

diharapkan oleh pemilik untuk dapat mengoptimalkan sumber daya yang ada secara maksimal. Tujuan utama dari teori keagenan adalah untuk menjelaskan bagaimana pihak-pihak yang melakukan hubungan kontrak dapat merancang kontrak yang tujuannya untuk meminimalisir biaya akibat adanya informasi yang tidak simetris .

Menurut OECD (2004) tata kelola perusahaan merupakan suatu sistem yang bertujuan untuk mengendalikan dan mengarahkan perusahaan supaya dapat mendistribusikan hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat dengan perusahaan sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder). Dalam konteks perusahaan, istilah tata kelola perusahaan disamakan dengan kewajiban manajemen kepada perusahaan untuk memenuhi semua kewajiban yang dibebankan kepadanya. Pelaksanaan tata kelola perusahaan yang efektif memberikan jaminan bahwa kegiatan bisnis perusahaan tersebut dilaksanakan hanya demi kepentingan perusahaan.

Shleifer dan Vishny (1997) menjelaskan bahwa mekanisme tata kelola merupakan media untuk mengurangi biaya keagenan yang muncul akibat konflik kepentingan antar para pemangku kepentingan. Mekanisme yang dilakukan salah satunya adalah dengan meningkatkan pengawasan yang dilakukan komite audit, dimana semakin banyak jumlah komite audit pengawasan yang dilakukan akan semakin ketat.

Komite audit independen dapat berfungsi sebagai pengawas kinerja agen, pengamat sistem pengendalian internal, dan penguji atas kredibilitas

informasi akuntansi yang disediakan oleh agen (manajer) (Siallagan dan Machfoedz, 2006). Keseluruhan fungsi tersebut bertujuan memberikan kualitas audit yang tinggi sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan.

Pengawasan dan pengendalian yang dilakukan komite audit tersebut dilakukan untuk mencegah perilaku moral hazard dari manajer, yang nantinya dapat berdampak pada nilai perusahaan. Pengujian informasi akuntansi bertujuan untuk memberikan informasi yang dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan. Informasi tersebut adalah salah satu informasi yang dibutuhkan investor untuk mengambil keputusan dalam menanamkan saham dalam perusahaan.

Menurut Widyastuti (2006) dalam Yustina (2015) nilai perusahaan dapat dilihat dari harga sahamnya. Harga saham terbentuk atas permintaan dan penawaran investor, sehingga harga saham tersebut dapat dijadikan gambaran nilai perusahaan. Pada saat kondisi permintaan lebih banyak daripada penawaran maka harga saham cenderung naik, demikian sebaliknya pada saat penawaran lebih besar daripada permintaan maka harga saham cenderung akan turun.

McMullen dan Raghunandan (1996) dalam penelitiannya menyatakan bahwa investor, analis, dan regulator menganggap komite audit berkontribusi dalam meningkatkan nilai perusahaan melalui peningkatan kualitas pelaporan keuangan. Kualitas pelaporan keuangan yang baik (transparan dan akuntabilitas) yang dihasilkan oleh komite audit akan meningkatkan kepercayaan pemegang saham kepada

perusahaan, sehingga hal ini menjadi salah satu faktor meningkatnya nilai perusahaan. Hal ini yang mendorong pemegang saham untuk mempertahankan sahamnya, bahkan menambah jumlah saham pada perusahaan tersebut.

I. Hubungan Antara Pengungkapan Pertanggungjawaban Lingkungan dengan Nilai perusahaan

Teori pemangku kepentingan menjelaskan bahwa pertanggungjawaban lingkungan yang dilakukan perusahaan merupakan usaha perusahaan memberikan manfaat bagi pemangku kepentingan secara keseluruhan (Freeman dan Phillips, 2002). Dalam teori legitimasi juga menjelaskan bahwa agar perusahaan dapat terus beroperasi, mereka harus memperoleh dukungan dari lingkungan sekitar. Untuk memperoleh dukungan dari lingkungan sekitar, perusahaan harus bertindak sesuai dengan norma yang berlaku sehingga dapat dinilai baik. Holder-webb dkk., (2009) menyatakan bahwa hal tersebut menunjukkan bahwa perusahaan memiliki kontrak sosial dengan lingkungan sekitar.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Freeman dan Phillips (2002) dan Holder-webb et.al (2009) dapat disimpulkan bahwa aktivitas pertanggungjawaban lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan merupakan bentuk pertanggungjawaban perusahaan atas kontrak sosial dengan masyarakat lingkungan sekitar dimana perusahaan tersebut beroperasi. Hal tersebut dapat menjadi sinyal positif yang diberikan

perusahaan kepada masyarakat sehingga akhirnya dapat berdampak pada nilai perusahaan. Salah satu pertimbangan perusahaan melakukan pertanggungjawaban lingkungan atau tidak adalah implikasi aktivitas tersebut bagi perusahaan, apakah manfaat yang diperoleh akan sebanding dengan usaha (biaya) yang dikeluarkan. Dampak pertanggungjawaban sosial dan lingkungan pada nilai perusahaan telah diuji di beberapa penelitian.

Secara umum nilai perusahaan diketahui sebagai pengukuran ekonomi yang mencerminkan nilai bisnis secara keseluruhan yang dialokasikan kepada pemegang saham dan pemegang surat hutang perusahaan (Malik, 2014). Clarkson et.al (2008), Jo dan Harjoto (2011, 2012), Mishra dan Suar (2010), Wan Ahamed et.al (2014) menemukan perusahaan yang melakukan pertanggungjawaban sosial dan lingkungan memiliki nilai perusahaan yang lebih baik. Hal tersebut disebabkan karena pertanggungjawaban lingkungan saat ini menjadi salah satu pusat perhatian bagi pemegang saham untuk pengambilan keputusan terkait saham yang dimiliki. Semakin tinggi tingkat pengungkapan lingkungan, maka semakin tinggi tingkat kepercayaan pemegang saham terhadap keberlangsungan hidup perusahaan. Hal ini yang mendorong pemegang saham untuk mempertahankan sahamnya, bahkan menambah jumlah saham pada perusahaan tersebut. Nilai perusahaan dapat dilihat dari harga saham, semakin banyak pemegang saham yang tertarik menanamkan

sahamnya pada perusahaan maka harga saham cenderung naik sehingga menyebabkan meningkatnya nilai perusahaan.

J. Penelitian Terdahulu

1. Penelitian Mengenai Hubungan Antara Tata Kelola Perusahaan dengan Pengungkapan Pertanggungjawaban Lingkungan.

Penelitian Said et.al, (2009) telah membuktikan bahwa komite audit memiliki peranan dalam meningkatkan kualitas tata kelola perusahaan.

Penelitian Ainy (2015) membuktikan bahwa tata kelola perusahaan mempengaruhi keputusan perusahaan melakukan aktivitas yang bersifat sukarela, yaitu pertanggungjawaban lingkungan.

Penelitian yang dilakukan oleh Camfferman dan Cooke (2002) dan Haposoro (2012) membuktikan adanya hubungan positif antara kualitas audit dan kualitas pengungkapan informasi. Komite audit memiliki peranan penting dalam mereview proses dan kontrol internal perusahaan sehingga menghasilkan pelaporan yang berkualitas (Said dkk., 2009).

Menurut Rao et.al, (2012) menjelaskan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara pelaporan lingkungan dengan proporsi direksi independen.

Syarty (2015) menjelaskan keberadaan komite audit di Indonesia dapat meningkatkan kualitas pengungkapan salah satunya pengungkapan lingkungan.

2. Penelitian Mengenai Hubungan Antara Tata Kelola Perusahaan dengan Nilai Perusaahaan.

Sebagian besar penelitian menemukan perusahaan yang melakukan pertanggungjawaban sosial dan lingkungan memiliki kinerja yang lebih baik (Al-Tuwaijri et.al, 2004; Clarkson et.al, 2008;

Jo dan Harjoto, 2011, 2012; Mishra dan Suar, 2010; Wan Ahamed et.al, 2014). Suatu meta-analysis terkait hubungan tersebut telah

dilakukan oleh Moser dan Martin (2012) dan menghasilkan kesimpulan hubungan positif antara pertanggungjawaban sosial dan lingkungan dan kinerja perusahaan.

3. Penelitian Mengenai Pengungkapan Pertanggungjawaban Lingkungan dengan Nilai Perusahaan.

Penelitian yang dilakukan oleh Gibson dan Garry (2007) menyimpulkan bahwa semakin banyak perusahaan yang mengungkapkan informasi lingkungan, dan volume relatif dari informasi tersebut dalam laporan keuangan tahunan akan meningkatkan kualitas dan kategori disemua informasi lingkungan

dalam laporan keuangan tahunan sehingga para investor menerima informasi yang benar.

McMullen dan Raghunandan (1996) menyatakan bahwa investor, analis, dan regulator menganggap komite audit berkontribusi dalam meningkatkan nilai perusahaan melalui peningkatan kualitas pelaporan keuangan.

Penelitian Jo dan Harjoto (2011) membuktikan bahwa perusahaan yang terlibat dengan aktivitas CSR memiliki nilai perusahaan yang tinggi karena CSR dapat mengurangi konflik perusahaan dengan para stakeholders.

Al-Tuwaijri et.al (2004) menjelaskan bahwa perusahaan yang melakukan pertanggungjawaban lingkungan dan mengungkapkannya secara luas memiliki kinerja yang lebih baik.

Moser dan Martin (2012) menjelaskan bahwa terdapat hubungan positif antara pertanggungjawaban sosial dan lingkungan dan nilai perusahaan.

K. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran dibawah ini menggambarkan hubungan tata kelola perusahaan, nilai perusahaan, pengungkapan pertanggungjawaban lingkungan, dimana semua variabel memiliki hubungan.

Gambar 2.1

Gambaran Kerangka Pemikiran Pengungkapan

Pertanggungjawaban Lingkungan

Nilai Perusahaan (Q) Tata Kelola

Perusahaan (CG)

26 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian asosiatif. Penelitian asosiatif merupakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel atau lebih dengan tujuan untuk membuat prediksi mengenai asosiasi variabel yang diteliti (William). Penelitian asosiatif dalam penelitian ini menggunakan perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2012-2014. Data yang digunakan adalah data sekunder yang meliputi tata kelola perusahaan, pengungkapan pertanggungjawaban lingkungan, dan nilai perusahaan pada perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2012-2014.

B. Populasi Sasaran

Populasi sasaran pada penelitian ini menggunakan perusahaan pertambangan yang secara konsisten mengeluarkan laporan tahunan dan terdaftar di BEI tahun 2012-2014. Alasan pemilihan sampel adalah karena industri tersebut merupakan industri sensitif lingkungan. Kriteria populasi sasaran yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Sampel tercatat sebagai emiten di BEI periode 2012- 2014.

2. Tersedia seluruh variabel yang diperlukan dalam pelaporan perusahaan sampel.

C. Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif yang diperoleh dari database BEI dan laporan tahunan. Pengumpulan data sekunder dilaksanakan dengan melakukan studi literatur atau studi kepustakaan dengan mempelajari, meneliti, mengkaji serta menelaah buku, jurnal, literatur, dan laporan tahunan perusahaan sampel dengan tujuan untuk mendapatkan landasan teoritis dalam melakukan analisis sekaligus merupakan pedoman dalam studi dan penelitian lapangan.

D. Definisi Variabel Penelitian

Penelitian ini menggunakan tiga variabel yaitu, tata kelola perusahaan (jumlah komite audit), pengungkapan pertanggungjawaban lingkungan, dan nilai perusahaan. Definisi dari ketiga variabel penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Tata Kelola Perusahaan (CG)

Menurut OECD (2004) tata kelola perusahaan merupakan suatu sistem yang bertujuan untuk mengendalikan dan mengarahkan perusahaan supaya dapat mendistribusikan hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat dengan perusahaan sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder). Tata kelola perusahaan dalam penelitian ini menggunakan proksi jumlah komite audit.

2. Pengungkapan Pertanggungjawaban Lingkungan (EI)

Carroll (1999) mendefinisikan pertanggungjawaban sosial perusahaan sebagai aktivitas multidimensi perusahaan yang mencakup perilaku sosial, politik, lingkungan, ekonomi, dan etika.

3. Nilai Perusahaan (Q)

Nilai perusahaan secara umum didefinisikan sebagai pengukuran ekonomi yang merefleksikan nilai dari keseluruhan bisnis yang dialokasikan kepada pemegang saham dan kreditor (Malik, 2014).

E. Teknik Analisis Data

Langkah-langkah analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengumpulkan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif yang diperoleh dari database BEI dan laporan tahunan perusahaan tambang yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2012-2014. Mengumpulkan data untuk menghitung tata kelola perusahaan dengan menggunakan salah satu alat pengukuran tata kelola perusahaan yaitu jumlah komite audit tiap perusahaan.

Kemudian mengumpulkan data untuk menghitung pengungkapan pertanggungjawaban lingkungan menggunakan analisis laporan

pengungkapan pertanggungjawaban lingkungan yang terdapat pada laporan tahunan perusahaan dengan menggunakan 34 item penilaian berdasarkan GRI G4 guidelines. Terakhir, mengumpulkan data nilai perusahaan dengan mencari data harga samah, jumlah saham beredar, total hutang, dan total aktiva setiap perusahaan yang akan diukur menggunakan rumus Tobin’s Q.

2. Menghitung Tata kelola Perusahaan, Pengungkapan Pertanggungjawaban Lingkungan, dan Nilai Perusahaan

a. Menghitung Tata Kelola Perusahaan

Tata kelola perusahaan diukur menggunakan proksi jumlah keseluruhan komite audit yang dimiliki perusahaan.

b. Menghitung Pengungkapan Pertanggungjawaban Lingkungan Pertanggungjawaban lingkungan diukur dengan variabel dummy (dikotomi), yaitu dilakukan analisis konten mengenai

ada tidaknya informasi pertanggungjawaban lingkungan dalam laporan keuangan berdasar pada GRI G4 guidelines. GRI G4 Guidelines menjabarkan tentang isu-isu aktivitas sosial dan

lingkungan yang harus dilaporkan oleh perusahaan. Guidelines tersedia secara publik di website Global Reporting Initiative (http://www.globalreporting.org). Apabila item informasi dalam guideline tidak diungkapkan dalam laporan keuangan maka diberi skor 0, namun jika item informasi tersebut tersedia dalam laporan keuangan maka diberi skor 1.

Indeks pertanggungjawaban lingkungan setiap perusahaan dihitung dengan menjumlahkan keseluruhan nilai yang diperoleh setiap perusahaan.

∑ Keterangan:

EI = Environmet Index

Ʃ Xj = Total nilai pertanggungjawaban lingkungan perusahaan j nj= Total nilai pertanggungjawaban lingkungan berdasarkan

GRI G4

c. Menghitung Nilai Perusahaan

Penelitian ini mengukur nilai perusahaan menggunakan nilai Tobin’s Q. Pengukuran Tobin’s Q mengikuti penelitian sebelumnya (Chung dan Pruitt, 1994) yang disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Tobin’s Q menunjukkan estimasi pasar keuangan tentang nilai hasil pengembalian dari setiap dolar investasi incremental. Nilai rasio Tobin’s Q di atas satu menunjukkan bahwa investasi dalam asset menghasilkan laba

Penelitian ini mengukur nilai perusahaan menggunakan nilai Tobin’s Q. Pengukuran Tobin’s Q mengikuti penelitian sebelumnya (Chung dan Pruitt, 1994) yang disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Tobin’s Q menunjukkan estimasi pasar keuangan tentang nilai hasil pengembalian dari setiap dolar investasi incremental. Nilai rasio Tobin’s Q di atas satu menunjukkan bahwa investasi dalam asset menghasilkan laba

Dokumen terkait