• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

2.2 Teori Poskolonialisme

Secara etimologis poskolonialisme berasal dari kata „post‟ dan kolonial, sedangkan kata kolonial berasal dari bahasa Romawi, colonia, yang berarti tanah pertanian atau pemukiman. Jadi secara etimologis kolonial tidak mengandung arti penjajahan, penguasaan, pendudukan, dan konotasi eksplotasi lainnya. Konotasi negatif kolonial timbul sesudah terjadi interaksi yang tidak seimbang antara penduduk pribumi yang dikuasai dengan penduduk pendatang sebagai penguasa (Ratna 2008: 205).

Dikaitkan dengan teori posmodernisme, studi poskolonialisme merupakan teori yang masih baru. Menurut Shelley Walia (2001: 6; Said 2003: 58-59; Ratna 2008: 206) proyek poskolonialisme pertama kali dikemukakan oleh Frantz Fanon di dalam bukunya yang berjudul Black Skin, White Masks and the Wretched of the Earth (1967). Fanon adalah seorang psikiater yang mengembangkan analisis mengenai dampak psikologis dan sosiologis yang ditimbulkan oleh kolonisasi. Fanon menyimpulkan bahwa melalui dikotomi kolonial, penjajah-terjajah, wacana orientalisme telah menimbulkan alienasi dan marginalisasi psikologis yang sangat hebat.

Menurut Eipstein (Yuzar, 2013),alienasi berdasarkan pandangan psikologis adalah keterasingan yang disebabkan perasaan tidak terpengaruh oleh orang lainyang dirasakan oleh individu dalam situasi tertentu. Hal itu disebabkan adanya

perasaan manusia atas ketidakmampuan dan ketidakberdayaan.Sedangkan marginalisasi psikologis adalah hal yang berkaitan dengan atau yang terletak pada batasan kesadaran. Marginalisasi psikologis menciptakan perbedaan gender bahkan ketidakadilan gender. Salah satu contoh dalam ketidakadilan gender adalah kekerasan terhadap perempuan, kekerasan adalah suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan pada perempuan sering terjadi karena adanya budaya dominasi laki-laki terhadap perempuan.

Tokoh-tokoh teori poskolonialisme, yaitu Edward W. Said, Gayatri Chakravorty Spivak, dan Homi K. Bhabha. Secara teoretis poskolonialisme dipicu oleh dan sekaligus memanfaatkan sejumlah konsep posmodernisme. Makna dasar

„post‟ (cf. Linda Hutcheon 2004: 284) dalam poskolonialisme dan posmodernisme

memiliki arti yang sama, yaitu sesudah. Perbedaannya, di dalam posmodernisme makna modernisme seolah-olah tetap dipertahankan tetapi diberikan makna baru yang sudah didekonstruksi. Dengan kata lain, posmodernisme merombak makna modernisme dan menyempurnakannya(Ratna 2008: 206).

Munculnya posmodernisme merupakan akibat dari ketidakmampuan modernisme dalam menanggulangi kepuasan masyarakat, yaitu berbagai kebutuhan yang berkaitan dengan masalah sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan pada umumnya. Posmodernisme adalah kontinuitas modernismedalam bentuk yang lebih signifikan, sebaliknya poskolonialime adalah akibat dari era sesudah kolonialisme(Ratna 2010: 246).

Dekonstruksi merupakan pembongkaran dan penyempurnaan arti semula dengan tujuan akhir, yaitu penyusunan kembali ke dalam tatanan dan tataran yang

lebih signifikan, sesuai dengan hakikat objek, sehingga aspek-aspek yang dianalisis dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Gramsci (2000: 173) berpendapat bahwa pembongkaran harus diikuti oleh pembangunan kembali, sekaligus menggantikannya dengan cara-cara yang baru, sehingga memperoleh temuan-temuan yang baru. Secara praktis dan nyata, temuan-temuan baru yang dimaksudkan, yaitu sebagai hasil pemahaman teori-teori postrukturalisme adalah gejala-gejala kultural yang selama ini termaginalisasikan, seperti perempuan, novel picisan, kawasan kumuh, pedagang kaki lima, usaha kecil, pejalan kaki, dan kelompok-kelompok minoritas lainnya (Ratna2010:258). Di dalam poskolonialismebentuk-bentuk kolonial dan berbagai akibat yang ditinggalkan harus dihilangkan. Persamaan posmodernisme dan poskolonialismeterletak dalam kedudukannya sebagai teori, karena sebagai teori keduanya bertujuan untuk menolak oposisi biner (Ratna 2010: 233-234).

Teori poskolonialisme adalah teori yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala kultural seperti sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan lain sebagainya yang terjadi di negara-negara bekas koloni Eropa. Gejala-gejala kultural tersebut terdapat di dalam berbagai teks studi mengenai dunia Timur, yang ditulis oleh para orientalis. Gejala-gejala kultural selain terdapat di dalam teks studi, tetapi juga terdapat di dalam karya sastra. Sebagai contoh gejala-gejala kultural pada karya sastra adalah gejala-gejala kultural di dalam dunia kesusastraan Indonesia, seperti Manusia Bebas (Suwarsih Djojopuspito, 1975), Siti Nurbaya ( Marah Rusli, 1922), Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana, 1937), Belenggu (Armijn Pane, 1940), Ateis (Achdiat Karta Mihardja, 1949),

Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer, 1981), Burung-burung Manyar (Y.B. Mangunwijaya, 1981), dan Para Priyayi (Umar Kayam, 1992). Selain dalam kesustraan Indonesia gejala-gejala kultural semacam itu juga ada dalam kesustraan francophone, sepertiPortrait du colonisé (Albert Memmi, 1957), L‟Amour, La Fantasia (Assia Djebar, 1985), L‟Enfant de Sable (Tahar Ben Jelloun, 1986), dan La Nuit Sacrée (Tahar Be Jelloun, 1987).

Visi poskolonialisme tidak ada kaitannya dengan masalah-masalah sosial politis secara praktis. Visi poskolonialisme menulusuri pola-pola pemikiran kelompok orientalis dalam rangka membangun superioritas Barat, dengan konsekuensi logis terjadinya inferioritas Timur. Sasaran visi poskolonialisme adalah subjek kolektif intelektual Barat dan kelompok oriental menurut pemahaman Edward Said (Ratna 2008: 206-207).

Teori poskolonialisme lahir setelah negara-negara yang terjajah merdeka. Teori poskolonialisme terdapat di dalam karya sastra nasional pada negara-negara yang pernah mengalami kekuasaan imperial, seperti di negara Afrika, Australia, Bangladesh, Kanada, Karibia, India, Malta, Selandia Baru, Pakistan, Singapura, Kepulauan Pasifik Selatan, Sri Lanka, Malaysia, dan Indonesia. Sastra Amerika dimasukkan sebagai contoh poskolonialisme sebab abad ke-18 telah mengembangkan konsep sastra nasional Amerika yang dibedakan dengan sastra Inggris. Oleh karena itu, poskolonialisme sangat relevan untuk menyebutkan kritik lintas budaya sekaligus wacana yang ditimbulkannya. Tema-tema yang dikaji dalam poskolonialismemeliputi seluruh aspek kebudayaan sekaligus dengan

bentuk praktik di lapangan. Keberagaman permasalahan yang ada dipersatukan oleh tema yang sama, yaitu kolonialisme (Ratna 2008: 207).

Teori poskolonialisme sebagai teori kritis mencoba mengungkapkan akibat- akibat negatif yang ditimbulkan oleh kolonialisme, yaitu kemunduran mentalitas. Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kolonialisme tidak hanya berhenti setelah masa kolonialis berakhir, namun terus berlangsung hingga saat ini. Said mengatakan bahwa pengalaman kolonisasi selama dua setengah abad lebih dianggap bersifat global dan universal sehingga memiliki dampak secara langsung, baik bagi wilayah yang dijajah maupun bagi penjajah itu sendiri. Menurut Loomba (2003: 9) sifat global dan universal diakibatkan karena orang- orang yang pernah terjajah kemudian menyebar di berbagai belahan dunia(Ratna 2010: 235).

Selama berabad-abad negara-negara terjajah tidak memiliki kebebasan dalam mengemukakan pendapatnya. Setelah mereka merdeka barulah mereka mengeluarkan ide untuk memajukan negaranya masing-masing dengan teori-teori yang relevan. Teori poskolonialisme sebagai multidisiplin dan studi kultural melibatkan tiga pengertian, yaitu:

a) Berakhirnya abad imperium kolonial di seluruh dunia.

b) Segala tulisan yang berkaitan dengan pengalaman-pengalaman kolonial. c) Teori-teori yang digunakan untuk menganalisis masalah-masalah

pascakolonialisme (Ratna 2008: 208).

Teori poskolonialisme muncul karena ketidakmampuan teori Eropa sentries, teori universal mengenai bahasa dan ilmu pengetahuan yang lain dalam mengakaji

keberagaman tradisi kebudayaan poskolonialisme. Keberhasilan Eropa dalam menguasai negara-negara jajahannya tidak hanya diakibatkan oleh kekuatan fisik, wacana. Para intelektual Barat menciptakan ilmu pengetahuan orientalisme. Mereka mengkaji berbagai aspek Timur dan mereka dapat mengetahui kekuatan sekaligus kelemahan Timur, sehingga Barat dapat menguasai Timur dengan mudah. Objektivitas dalam pengetahuan orientalisme adalah pikiran dunia Barat, karena definisi dan analisis teks-teks oriental mengalami berat sebelah dan tidak sepenuhnya mengandung objektivitas yang tepat. Salah satu contoh dalam karya sastra adalah drama-drama Shakespeare yang banyak melukiskan tentang keterbelakangan bangsa Timur yang sekaligus membentuk citra bahwa kebudayaan Barat lebih tinggi dibandingkan kebudayaan bangsa Timur (Ratna 2008: 209).

Teori poskolonialisme merupakan akumulasi teori dan kritik yang digunakan untuk menilai kembali aspek-aspek kebudayaan dan warisan kebudayaan yang ditinggalkan oleh kolonial. Teori poskolonialisme adalah teori untuk mendekonstruksi narasi kolonial. Teori poskolonialisme dimanfaatkan untuk menganalisis kekayaan kultural yang menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di negara-negara pascakolonial. Menurut Aschroft, dkk (2003: 28) teks kolonial tidak hanya ditulis oleh intelektual kolonial, tetapi juga oleh penulis pribumi dengan cara memasukkan ideologi kolonial di dalamnya.

Visi tradisional menganggap bahwa karya sastra tidak bisa digunakan sebagai tolok ukur untuk mengetahui perubahan masyarakat tertentu dan bagaimana sistem ideologi masyarakat tertentu bekerja. Visi kontemporer

menjelaskan bahwa sebagai hakikat kreativitas imajinatif ternyata karya sastra berhasil untuk melukiskan gejala-gejala perubahan dan ideologi masyarakat tertentu, khususnya dalam kaitannya dengan objek poskolonialisme. Ada empat alasan mengapa karya sastra dianggap tepat untuk dianalisis melalui teori-teori poskolonialisme.

1. Sebagai gejala kultural sastra menampilkan sistem komunikasi antara pengirim dan penerima, sebagai mediator antara masa lampau dengan masa sekarang.

2. Karya sastra menampilkan berbagai problematika kehidupan, emosionalitas dan intelektualitas, fiksi dan fakta, karya sastra adalah masyarakat itu sendiri. 3. Karya sastra tidak terikat oleh ruang dan waktu, kontemporaritas adalah

manifestasinya yang paling signifikan.

4. Berbagai masalah yang dimaksudkan dilukiskan secara simbolis, terselubung, sehingga tujuan-tujuan yang sesungguhnya tidak tampak. Di sinilah ideologi oriental ditanamkan dan analisis dekonstruksi poskolonialisme dilakukan (Ratna 2008: 212-213).

Salah seorang tokoh teori poskolonialisme adalah Edward W. Said (Walia 2003: 4) yang lahir di Palestina dan kemudian mengembangkan karirnya di Amerika Serikat. Said mengembangkan orientalisme dengan masalah pokok yang dianalisis adalah ketidakseimbangan Barat dalam melihat Timur. Orientalisme dianggap sebagai narasi terbesar, bentuk khusus imperialisme yang masih ada sampai saat ini. Para orientalis tidak sama bahkan bertentangan dengan para posmodernisme. Para posmodernisme berjuang demi masyarakat secara universal

dan multikultural, sedangkan para orientalis meskipun menulis tentang bangsa Timur tetapi mereka berjuang demi kepentingan Barat. Orientalis memiliki kedudukan dan nilai yang sama dengan era poskolonialisme, bukan dengan teori poskolonialisme. Said berbicara tentang teori poskolonialisme dengan mengambil objek oriental, termasuk kelompok posmodernisme dan bukan orientalis (Ratna2010: 240).

Dalam orientalisme masyarakat yang terjajah digambarkan sebagai inferior, irasional, dapat dikontrol, dan dapat dimanipulasi oleh pihak yang dominan. Dalam karya sastra, orientalisme ditunjukkan melalui Rudyard Kipling, E.M. Forster, Joseph Conrad, Jane Austen, Charles Dickens, Thomas Hardy, Henry James, William Shakespeare. Said (Sardar dan Loon 1997: 109) mendefinisikan orientalisme, sebagai berikut:

1. Tradisi klasik yang mempelajari suatu kawasan dengan menggunakan cara- cara yang ada di kawasan tersebut.

2. Gaya berpikir yang didasarkan atas perbedaaan ontologis antara Timur dan Barat. Ontologi adalah ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis.

3. Selalu mengesampingkan Timur.

4. Institusi korporasi yang berhubungan dengan Timur, gaya Barat untuk mendominasi Timur.

Orientalisme melahirkan aliran kritis yang disebut poskolonialisme, wacana penindasan yang terbentuk sesudah imperium kolonial. Poskolonialisme memiliki ruang lingkup penelitian yang sangat luas dan beragam. Sebagai studi kultural,

poskolonialisme merupakan wilayah kajian multidisplin. Aschroft, dkk. (2003: 1- 2) membedakan model penelitian poskolonialisme atas empat ciri, yaitu:

a) Model nasional atau regional, berbagai gambaran yang berbeda mengenai kebudayaan nasional dan regional, timbulnya kesadaran nasional memicu munculnya wacana poskolonialisme.

b) Model berbasis ras, mengidentifikasi sastra nasional, seperti karya sastra diaspora kulit putih, kulit hitam, atau gabungan keduanya.

c) Model perbandingan, menganalisis dua karya sastra poskolonialisme atau lebih, menjelaskan ciri-ciri linguistik, sejarah, dan kebudayaan tertentu yang melintasi dua kesusastraan poskolonialisme.

d) Model perbandingan yang lebih luas, menonjolkan hibriditas dan sinkretis. Saussure menyatakan kreolisasi, hibriditas, dan diaspora menunjukkan bahwa bahasa dan kebudayaan bukan semata-mata model teoretis. Bahasa dan kebudayaan adalah sebuah praktik yang isinya adalah perilaku manusia. Dihubungkan dengan globalisasi, banyak orang berpikiran bahwa barang-barang berdampak di seluruh dunia. Global dan lokal bersifat relatif, global dan lokal saling membangun sebagai glokalisasi(Ratna 2010: 242).

Sejajar dengan pendapat Hayden White (1987: 53, 58, 91-91), melalui teori poskolonialisme, Said memberikan arti yang baru terhadap sejarah. Menurut Said, sejarah tidak berbeda dengan artefak literer dan sejarah bersifat interteks. Pada dasarnya sejarah adalah fiksi, komposisi persuasif melalui penggunaan bahasa, dengan kata lain sejarah adalah konstruksi narasi. Sejarah merupakan rekonstruksi yang dengan sendirinya disesuaikan dengan dominasi kelompok-kelompok yang

berkepentingan, oleh karena itu tidak ada sejarah yang benar-benar objektif. Kelompok kolonialis adalah sejarawan itu sendiri yang menyusun sejarah demi kepentingan Barat dalam rangka merintis jalan yang lebih mudah untuk mengeksploitasi negara-negara yang dikuasainya (Ratna 2008: 110-111).

Secara faktual sebagian besar penjajah adalah laki-laki, sedangkan secara imajinatif fiksional tanah orient diasosiasikan sebagai perempuan sensual. Argument Said (Walia 2003: 40-41) lebih dekat dengan Gramsci, asumsi-asumsi orientalis dalam kaitannya dengan peranan ide, sebagaimana dikemukakan oleh Marxis ortodoks. Dalam kaitannya dengan dikotomi infrastruktur material dan superstruktur ideologis, implikasi hegemoni ekonomi tidak seluas hegemoni ideologi. Said menunjukkan akibat lebih jauh hegemoni ideologi, yaitu melalui diciptakannya citra mengenai bangsa Timur sebagai bangsa yang terbelakang, pasif, sensual, kanibal, bahkan bar-bar. Menurut Loomba (2003: 62-63; 124) sejak terbitnya Orientalisme telah lahir sejumlah kajian dalam kaitannya dengan teks- teks kultural kolonial, disamping karya seni dan sastra juga termasuk atlas, film, pola-pola pakaian, iklan, praktik medis, museum, lembaga pendidikan, dan sebagainya (Ratna 2008: 113).

Banyak masalah yang dapat dikemukakan dengan memanfaatkan teori poskolonialisme. Atas dasar pandangan bahwa teori merupakan „alat‟ untuk berpikir dengan memanfatkan teori-teori yang baru, maka masalah juga akan menampilkan dimensi yang baru. Teori poskolonialisme tidak harus dipahami secara mandiri dan terpisah dari teori yang lain. Teori poskolonialisme pada dasarnya juga mengimplikasikan teori feminis, bagaimana Barat memandang

perempuan bangsa Timur. Dengan kata lain, Barat mengatakan bahwa perempuan Timur mengalami ketertindasan ganda, baik dari laki-laki pribumi maupun non- pribumi.

Dalam kaitannya dengan teori poskolonialisme, yang diperlukan oleh bangsa Timur adalah sikap dan perilaku akademis dalam menghadapi sistem ideologi seperti yang terdapat di dalam teks kolonial. Said (Walia 2003 : 75-76) mempertahankan hakikat pengarang dengan latar belakang sosialnya sebagai asal- usul teks. Menurutnya, asal-usul teks membantu untk menunjukkan di mana wacana ideologi ditanamkan dan ke mana tujuannya. Dikaitkan dengan tujuannya, maka wacana orientalis adalah wacana yang mewakili sisitem ideologi Barat dalam kaitannya untuk menanamkan hegemoni terhadap bangsa Timur. Wacana poskolonialisme adalah wacana yang mewakili sistem ideologi Timur untuk menanamkan pemahaman ulang sekaligus memberikan citra diri yang baru terhadap bangsa Timur mengenai hegemoni Barat tersebut. Berakhirnya penjajahan bukan berarti kekuasaan Barat juga berakhir dengan sendirinya (Ratna 2008: 114-115).

2.2.1 Hegemoni

Hegemoni sering dikacaukan dengan ideologi. Hegemoni, dari akar kata hegeisthai (Yunani), yang artinya memimpin, kepemimpinan, kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang lain. Dalam hegemoni terkandung ideologi, tetapi belum tentu sebaliknya. Secara leksikografis ideologi berasal dari akar kata idea + logia/logos (Yunani). Menurut Jorge Larrain (1996: 7) istilah ideologi mula-mula

digunakan oleh Antoine Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 dan mengalami perkembangan pesat pada abad ke-19.

Hegemoni dikembangkan oleh filsuf Marxis Italia Antonio Gramsci (1891-1937). Konsep hegemoi dikembangkan atas dasar dekonstruksinya terhadap konsep-konsep Marxis ortodoks. Menurut Chantal Mouffe (Tonny Bennet, dkk. ed., 1983: 220), istilah hegemoni dipergunakan pertama kali tahun 1926 dalam tulisannya yang berjudul Notes on the Southern Question. Menurut Roger Simon (2000: 20), istilah hegemoni sudah digunakan oleh Plekhanov dan para pengikut Marxis pada umumnya pada tahun 1880-an(Ratna 2010: 175-176).

Titik awal konsep Gramsci tentang hegemoni adalah, bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni adalah suatu organisasi konsensus (Simon 2004: 19-20).

Dasar-dasar konsep hegemoni diletakkan oleh Lenin dengan menyempurnakan upaya yang telah dikerjakan para pendiri gerakan buruh Rusia. Bagi Lenin, hegemoni merupakan strategi untuk revolusi, suatu strategi yang harus dijalankan oleh kelas pekerja dan anggota-anggotanya untuk memperoleh dukungan dari mayoritas. Gramsci menambahkan dimensi baru pada masalah ini dengan memperluas pengertiannya sehingga hegemoni juga mencakup peran kelas kapitalis beserta anggotanya, baik dalam merebut kekuasaan negara maupun dalam mempertahankan kekuasaan yang sudah diperoleh. Hegemoni merupakan

hubungan antara kelas dengan kekuatan sosial lain. Kelas hegemonik atau kelompok kelas hegemonik adalah kelas yang mendapatkan persetujuan dari kekuatan dan kelas sosial lain dengan cara menciptakan dan mempertahankan sistem aliansi melalui perjuanagan politik dan ideologis (Simon 2004: 20-22).

Dalam buku Kekuasaan, Politik, dan Kebudayaan: Wawancara dengan Edward W. Said, Said mengatakan bahwa Gramsci adalah orang yang sangat jelas mempengaruhinya tentang geografi. Hal itu merupakan satu-satunya hal terpenting yang diambilnya dari Gramsci, bukan oleh gagasan tentang hegemoni dan gagasan tentang intelektual-intelektual organik, melainkan bahwa gagasan segala sesuatu, termasuk civil society pada awalnya, tetapi seluruh dunia diorganisasi berdasarkan geografi. Gramsci berpikir dalam pengertian geografi dan Prison Notebooks adalah sebuah sejarah modernitas, tetapi catatan-catatan Gramsci benar-benar mencoba menempatan segala sesuatu seperti sebuah peta militer. Dengan kata lain, Saidmengatakan bahwa selalu saja ada pertarungan untuk memperebutkan wilayah kekuasaan (2003: 279).

Said menerbitkan bukunya yang berjudul Orientalisme (1978) yang kemudian dijelaskan dalam bentuk tanya jawab dalam bukunya yang berjudul Power and Culture (2001). Dalam buku pertama Said (1994: 1, 15, 125) mendefinisikan orientalisme sebagai suatu cara, metode, bahkan sebagai ilmu, dengan sendirinya dilakukan secara sistematis dan diciptakan secara sengaja, untuk memahami dunia Timur atas dasar pemahaman Barat. Dikaitkan dengan konsep hegemoni Gramscian, orientalisme memberikan ketahanan dan kekuatan, semacam hegemoni yang diperoleh secara cuma-cuma melalui bangsa yang

dikuasainya. Budaya Eropa memperoleh kekuatan, identitas dengan menyatakan superioritas di mata dunia Timur (Ratna 2010: 27 & 33).

Teori hegemoni bertujuan untuk merevisi kelemahan konsep-konsep Marxisme, seperti perkembangan politik yang dianggap sebagai akibat langsung dari perkembangan ekonomi. Menurut Sardar dan Loon (1997: 54-55), studi kultural Inggris mengadopsi konsep Marxis melalui dua ciri, yaitu: a) asumsi bahwa masyarakat kapitalis terbagi secara tidak seimbang atas kelas, gender, dan etnis, dan b) gagasan materialis tentang sejarah. Sesuai dengan paradigmanya, studi kultural di satu pihak menempatkan kebudayaan sebagai titik pusat pembicaraan dalam memperjuangkan kepentingan kelompok, dan di pihak lain kebudayaan memberikan bentuk historis pada struktur sosial tersebut. Tokoh- tokoh studi kultural Inggris, seperti Raymond Williams dan Stuart Hall pada dasarnya juga mengadopsi konsep-konsep Marxis. Pemikiran terpenting Marx dalam kaitannya dengan kebudayaan adalah ideologi, dengan bentuk yang umum, yaitu kehidupan manusia tidak ditentukan oleh kesadaran individual, tetapi oleh kesadaran sosial (Ratna 2010: 176-177).

Dalam kaitannya dengan ideologi, sebagai sistem ide, Agger (2003: 248- 249) menganggap bahwa tradisi Marxis, sejak Marx, Lucas, Goldmann, Gramsci, dan Frankfurt berpengaruh terhadap kelahiran studi kultural. Menurut Sardar dan Loon (1997: 46), pada dasarnya Marxisme masuk ke studi kultural berdasarkan tiga pokok pikiran Althusser, yaitu: a) ideologi, hukum, agama, pendidikan, dan keluarga sama pentingnya dengan ekonomi; b) kebudayaan tidak secara keseluruhan terikat, atau sebaliknya berdiri sendiri terhadap kondisi ekonomi; dan

c) ideologi tidak mengkonstruksi kesadaran palsu sebagaimana disebutkan oleh Marxisme tradisional. Marxisme masuk melalui ide-ide Gramscian dengan konsep hegemoni yang diistilahkan sebagai pengikat masyarakat tanpa menggunakan kekuatan. Kebudayaan tidaklah dilihat sebagai reduksi kapitalisme ekonomi sehingga kebudayaan seolah-olah sebagai refleksi, melainkan kebudayaan sebagai fenomena yang lebih independen (Ratna 2010: 178).

Dalam kaitannya dengan poskolonialisme, Said menolak sejarah yang linear. Secara harfiah linear merupakan garis lurus. Sejarah yang linear adalah perjalanan sejarah yang mengikuti sebuah garis lurus. Sejarah hanya dilihat melalui tiga fase perkembangan, yaitu masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang, dengan kata lain sejarah hanya dilihat pada satu sisi saja.Intelektual Orientalisme harus membangun kesadaran sejarah pinggiran, model sejarah baru bagi kelompok tertindas. Di dalam hubungan ini, Said mendasarkan teorinya atas paradigma Gramscian dan Foucauldian mengenai strategi kekuasaan.

Contoh yang peneliti ambil dalam sejarah orientalisme adalah kependudukan Napoleon, seorang kaisar Perancis di Mesir. Menurut Napoleon, Mesir adalah suatu proyek yang benar-benar realistis (Said 2010: 120). Selain itu, Mesir merupakan titik fokus dalam hubungan antara Afrika dan Asia, antara Eropa dan Timur, antara kenangan-kenangan dan aktualitas (Said 2010: 126).Dalam menjalankan misi-misi kolonialnya di Mesir, Napoleon mengandalkan karya Comte de Volney seorang peziarah Perancis dan pengarang Voyage en Egypte et en Syrie (1787). Napoleon mengambil manfaat dari karya Volney, yaitu mengenai tingkat-tingkat kesulitan yang diurut berdasarkan

rintangan-rintangan paling mudah hingga paling sulit yang harus dihadapi oleh setiap kekuatan ekspedisi Perancis di Timur. Volney, demikian kata Napoleon, beranggapan bahwa ada tiga hambatan bagi hegemoni Perancis di Timur dan Perancis harus melancarkan tiga peperangan untuk melewati hambatan tersebut, yaitu melawan Inggris, melawan kerajaan Usmani, dan yang tersulit adalah melawan kaum Muslim (Said 2010: 121).

Orientalisme modern bersumber dari unsur-unsur sekuler budaya Eropa abad ke-18. Menurut orientalis modern, orientalis modern adalah seorang pahlawan yang sedang menyelamatkan Timur dari kesuraman, alienasi, dan keterasingan. Eskpansi, konfrontasi sejarah, simpati, dan klasifikasi merupakan empat unsur orientalisme modern (Said 2010: 183).

Berdasarkan pandangan Gramscian, Said mengadopsi teori hegemoni yang didominasi oleh praktik otoritatif. Keotoriteran ini menempatkan ideologi harus dipahami sebagai ide yang mendukung kekuasaan kelompok sosial tertentu. Sebaliknya, dari Foucauldian, Said mengadopsi pandangan bahwa pengetahuan ternyata difungsikan sebagai alat kolonialisme untuk mempertahankan kekuasaan yang dipenuhi kepentingan politik ideologis serta prinsip pemahaman sejarah bergerak mundur untuk kembali ke masa kini dalam rangka mempertahankan kontinuitas.

Menurut Said (2010: 311-312) Timur yang tampak dalam orientalisme merupakan sejenis sistem representasi yang dirangkai oleh seluruh perangkat kekuatan yang membawa Timur itu sendiri ke dalam keilmuan Barat, kesadaran

Dokumen terkait