• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Teori-teori yang Mendukung

Penelitian yang dilakukan berkaitan dengan siswa Sekolah Dasar itu penting menggunakan teori perkembangan anak. Pada teori perkembangan yang diambil fokus pada teori perkembangan kognitif menurut Piaget dan Vygotsky.

2.1.1.1 Teori Perkembangan

Pada dasarnya setiap manusia pasti mengalami suatu perubahan dalam hidupnya. Salah satunya adalah melalui perkembangan. Perkembangan adalah pola perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional yang dimulai sejak pembuahan dan selama rentang hidup. Rentang hidup merupakan selama kehidupan manusia itu berlangsung. Pola perkembangan pada anak merupakan suatu hal yang kompleks karena merupakan produk dari proses biologis, kognitif, dan sosioemosional. Proses biologis menghasilkan perubahan pada tubuh yang mendasari perkembangan otak, tinggi, berat, keterampilan motorik, dan hormonal pubertas. Proses sosioemosional melibatkan perubahan dalam hubungan anak dengan orang lain, perubahan emosional dan kepribadian. Sedangkan proses kognitif melibatkan perubahan dalam pemikiran, kecerdasan, dan bahasa anak (Santrock, 2014: 32). Teori perkembangan kognisi merupakan perubahan bertahap dan teratur yang menyebabkan proses mental menjadi lebih rumit dan canggih. Selanjutnya ada anggapan bahwa anak-anak bertumbuh melalui beberapa tahap perkembangan dan yang dapat diprediksi dan tidak berbeda (Slavin, 2008: 41).

10 Jean Piaget (1896-1980) dan Lev Semyonovich Vygotsky (1896-1934) adalah tokoh yang membahas mengenai teori perkembangan anak. Dipilih kedua tokoh tersebut karena keduanya beraliran kontruktivisme. Kontruktivisme artinya proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif perdasarkan pengalaman. Pada teori Piaget menekankan pada perkembangan kognitif anak yang mendahulukan development dari learning. Sedangkan Vygotsky menekankan pada perkembangn kognitif anak dipengaruhi oleh sosialnya. Teori Vygotsky mengatakan bahwa learning bisa mendahului development. Berikut ini akan dibahas lebih lanjut mengenai kedua teori menurut Piaget dan Vygotsky. 1. Teori Perkembangan Kognitif Piaget

Jean Piaget lahir di Neuchatel pada tahun 1896, Swiss dan ayahnya adalah seorang sejarawan spesialis sejarah abad pertengahan. Ketertarikan Piaget kepada alam sudah terlihat sejak kecil, ia gemar mengamati burung, ikan, dan hewan lainnya. Hal itu yang menyebabkan ketertarikannya pada biologi. Pada usia 10 tahun, Piaget sudah menerbitkan artikel tentang burung albino dalam majalah ilmu pengetahuan alam. Piaget menyelesaikan pendidikan sarjana bidang biologi di Universitas Neuchatel pada tahun 1916. Setelah itu ia mendapatkan gelar doktor filsafat dan memutuskan untuk mendalami psikologi. Berangkat dari berbagai pengalamannya Piaget berpendapat bahwa cara berpikir anak berbeda dengan orang dewasa. Hal tersebut yang mendorong Piaget melakukan penelitian pada kedua anaknya (Slavin, 2011: 42).

Berawal dari pengalamannya Piaget menyatakan teori perkembangan kognisi merupakan perkembangan kognisi anak melalui empat tahap yang jelas. Terjadinya suatu perkembangan Piaget percaya bahwa semua anak dilahirkan dengan kecenderungan bawaan untuk berinteraksi dengan lingkungannya dan untuk memahaminya. Seorang anak yang masih muda memperlihatkan pola perilaku atau pemikiran yang disebut skema. Skema digunakan anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa dalam berhadapan dengan objek di dunia. Beberapa istilah yang digunakan Piaget dari teorinya yaitu adaptasi, asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Adaptasi adalah proses menyesuaikan skema sebagai tanggapan atas lingkungan melalui asimilasi dan

11 akomodasi. Asimilasi sendiri adalah proses memahami objek atau peristiwa baru berdasar skema yang telah ada. Sedangkan akomodasi proses pengubahan skema yang telah ada berdasarkan informasi baru atau pengalaman baru dalam kata lain menyesuaikan dengan situasi baru. Selanjutnya ekuilibrasi adalah proses memulihkan keseimbangan antara pemahaman sekarang dan pengalaman baru (Slavin, 2011: 43).

(Sumber:http://m-edukasi.blogspot.co.id/2014/09/teori-konstruktivisme-jean-piaget.html)

Gambar 2.1 Proses Asimilasi, Akomodasi dan Ekuilibrasi

Adapun tahap-tahap perkembangan kognitif menurut Piaget yaitu tahap sensorimotor, tahap praoperasional, tahap operasional konkret, dan tahap operasional formal. Berikut ini adalah tahap-tahap perkembangan kognitif menurut Piaget.

a. Tahap Sensorimotor (usia 0-2 tahun)

Tahap paling awal adalah sensorimotor karena di usia ini anak akan mengeksplorasi dirinya dengan menggunakan kemampuan indera dan motoriknya. Setiap anak mempunyai keampuan indera maupun motorik yang berbeda, tetapi Piaget yakin setiap anak pasti mempunyai perilaku bawaan gerak reflek (reflex). Perilaku tersebut yang menjadi landasan pembentukan skema pertama bayi tersebut. Skema merupakan tahapan di mana anak memiliki struktur tindakan. Selain itu dijelaskan pada skema selanjutnya bahwa anak akan menggunakan gerak reflek untuk menghasilkan pola perilaku yang lebih menarik dan intensional. Pada tahap

12 akhir sensori motor anak-anak telah beranjak dari pendekatan pemecahan masalah yang sebelumnya bersifat uji coba ke pendekatan yang lebih terencana. Tanda periode sensori motor lainnya ialah perkembangan pemahaman tentang keajekan objek (object permanence). Dalam hal ini anak harus belajar bahwa objek adalah stabil secara fisik dan tetap ada sekalipun objek itu tidak ada dihadapan fisik anak tersebut.

b. Tahap Pra Operasional (usia 2-7 tahun)

Tahap pra operasional adalah tahap di mana anak memiliki kemampuan kogntif dan motorik. Pada tahap pra operasional ini anak mimiliki sifat yang dominan yang egosetris. Di tahap ini pula anak dapat fokus pada beberapa karakteristik seseorang maupun pada suatu benda. Anak akan memperoleh informasi dari pengalaman anak bukan pembicaraan orang lain. Di sini anak hanya akan melihat dan memahami sesuatu dari sudut pandangnya sendiri. Anak dapat dan mampu menjelaskan suatu hal dengan menggunakan simbol. Selain itu, pada tahap ini juga dicirikan dengan pemikiran intuisif yang kurang logis (Suparno, 2011: 49).

c. Tahap Operasional Konkret (usia 7-11 tahun)

Tahap operasional konkret merupakan tahap ke tiga perkembangan kognitif siswa menurut Piaget. Pada tahap ini anak mengganti penalaran intuisif ke dalam situasi konkret artinya sesuai dengan keadaan dunia nyata. Dengan kata lain dunia belajar anak masih terbatas dengan benda-benda yang dapat dilihat dan disentuh secara nyata. Meskipun demikian, pada tahap ini anak masih kesulitan dalam memecahkan permasalahan yang bersifat abstrak (Suparno 2011: 69).

d. Tahap Operasional Formal (usia 11 tahun ke atas)

Operasional formal ini merupakan tahap keempat dari perkembangan kognitif dari Piaget. Pada tahap ini anak sudah mulai mampu berpikir secara abstrak dan mulai bekerja secara sistematis. Anak sudah mulai memikirkan berbagai kemungkinan dan memastikan kombinasi dari setiap kemungkinan sebelum bertindak. Pada tahap ini

13 pemecahan masalah tidak lagi dibatasi oleh keegoisentrisan tetapi lebih ke ideal dan logis.

Jadi, dapat diketahui bahwa teori perkembangan Piaget bergantung pada perkembangan baru diiringi dengan belajar. Artinya jika seseorang tumbuh dan berkembang maka perkembangan pada kognitifnya juga akan mengiringi sesuai dengan usianya masing-masing. Dimulai dari tahap sensorimotor (0-2 tahun), dilanjutkan dengan tahap pra operasional (2-7 tahun), lalu tahap operasional konkret (7-11 tahun) dan terakhir tahap operasional formal (> 11 tahun). Dapat sangat terlihat dari teori bahwa anak SD khususnya kelas V masih berada pada tahap perkembangan yaitu tahap operasional konkret pada teori perkembangan Piaget.

2. Teori Perkembangan Sosiohistoris Vygotsky

Vygotsky merupakan seorang sosio historis yang berasal dari Rusia. Sejak kecil ia sangat gemar membaca mengenai sejarah, karya sastra dan puisi. Ia lahir dari ayah seorang eksekutif bank dan ibu seorang guru (Wertsch, dalam Crain, 2007: 334-335).

Vygotsky berpendapat bahwa anak tidak hanya berkembang secara kognitifnya saja, melainkan juga pada sosialnya. Ada empat ide pokok yang menjadi landasan teori Vygotsky. Anak akan membangun pengetahuannya sendiri, maksudnya ia akan aktif dalam perkembangannya sehari-hari. Pembelajaran bisa berpengaruh pada perkembangan anak. Selain itu bahasa merupakan salah satu hal yang berperan penting dalam perkembangan, karena bahasa merupakan sarana yang memungkinkan pikiran anak tubuh dan memperluas ide-ide (Salkind, 2009: 374-375).

Vygotsky berpendapat bahwa ada dua tingkatan perkembangan penting yang alamiah pada manusia yaitu Zone of Actual Development (tingkat perkembangan aktual) yaitu batas bawah dan Zone of Potential Delevopment

(tingkat perkembangan potensial) yang merupakan batas atas. Tingkat perkembangan aktual (batas atas) merupakan tingkatan yang dapat dicapai seorang individu secara independen, sedangkan tingkat perkembangan potensial (batas atas) merupakan tingkatan yang dapat dicapai individu dengan bantuan guru atau kolaborasi dengan teman sebaya.

14 Jarak antara Zone of Actual Development dengan Zone of Potential Development adalah Zone of Proximal Development (ZPD). Zone of Proximal Development atau biasa dikenal dengan Zona Perkembangan Proximal ini merupakan tempat di mana anak dan guru beraksi dan ketika tiba waktunya untuk meningkatkan kognitif anak. Oleh karena itu, untuk mencapai hasil yang optimal dibutuhkan suatu perancah (scaffolding). Perancah (scaffolding)

adalah bantuan sementara yang diberikan kepada anak oleh orang dewasa untuk melompat dari Zone of Actual Development menuju ke Zone of Potential Development. Hal itu dapat dicapai seseorang ketika berinteraksi dengan guru maupun teman sebaya yang lebih kompeten (Vygotsky, dalam Mooney. 2013: 102).

(Sumber:https://vygotskyetec512.weebly.com/zone-of-proximal-development.html)

Gambar 2.2 Desain ZPD menurut Vygotsky.

Jadi, dalam setiap perkembangan anak secara normal pasti akan melewati beberapa tahapan yang disampaikan oleh Piaget dan Vygotsky. Anak kelas V Sekolah Dasar rata-rata berada pada usia 10-11 tahun, yang artinya berada pada tahap operasional konkret di mana anak akan mudah belajar dengan hal-hal yang nyata. Suatu penerapan model pembelajaran yang nyata dirasa sesuai untuk menunjang kegiatan belajar anak usia ini.

15 2.1.1.2 Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) merupakan salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan paham konstruktivisme. Secara filosofis, belajar menurut teori konstruktivisme adalah membangun pengetahuan sedikit demi sedikit, yang kemudian hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep-konsep atau kaidah yang siap untuk diambil atau diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata (Fathurrohman, 2015: 44). Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang mengutamakan kerja sama di antara siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Ahli lain menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus terlibat aktif dan menjadi pusat kegiatan pembelajaran di kelas. Guru dapat memfasilitasi proses ini dengan mengajar menggunakan cara-cara yang membuat sebuah informasi menjadi bermakna dan relevan bagi siswa. Oleh karena itu, guru harus memberi kesempatan kepada siswa untuk menentukan atau mengaplikasikan ide-ide mereka sendiri, di samping mengajarkan siswa untuk menyadari dan sadar akan strategi belajar mereka sendiri (Slavin, 2009: 9).

Dengan kata lain, pembelajaran kooperatif adalah bentuk pembelajaran yang menggunakan pendekatan melalui kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dan memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar. Pada belajar kooperatif, siswa tidak hanya mampu dalam memperoleh materi, tetapi juga mampu memberi dampak afektif seperti kepedulian sesama teman dan lapang dada. Sebab, di dalam pembelajaran kooperatif melatih para siswa untuk mendengarkan pendapat orang lain. Tugas kelompok akan dapat memacu siswa untuk bekerja secara bersama-sama dan saling membantu satu sama lain dalam mengintegrasikan pengetahuan-pengetahuan baru dengan pengetahuan yang dimilikinya (Slavin, 2009: 9).

Pada dasarnya, pembelajaran kooperatif diartikan sebagai suatu sikap atau perilaku kerja sama dalam bekerja atau membantu antar sesama dalam struktur kerja sama yang teratur dalam kelompok. Keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh keterlibatan setiap anggota kelompok itu sendiri. Pembelajaran kooperatif ini

16 lebih dari sekedar belajar kelompok karena pembelajaran ini harus ada struktur dorongan dan tugas yang bersifat kooperatif sehingga memungkinkan terjadinya interaksi secara terbuka dan hubungan-hubungan yang bersifat interdependensi yang efektif di antara anggota kelompok. Oleh karena itu, dari sini dapat dikatakan bahwa model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai hasil belajar akademik dan juga kompetensi sosial peserta didik (Rusman, 2011: 209).

Jadi, model pembelajaran kooperatif dirancang untuk memanfaatkan fenomena kerja sama atau gotong royong dalam pembelajaran yang menekankan terbentuknya hubungan antara siswa yang satu dengan siswa yang lainnya. Terbentuknya sikap dan perilaku yang demokratis serta tumbuhnya produktivitas kegiatan belajar siswa. Oleh sebab itu, pembelajaran kooperatif dapat digunakan untuk melatih kompetensi sikap, sosial, dan kepekaan terhadap orang lain, serta juga kolaborasi dengan orang lain. Beberapa unsur dasar pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut (Ibrahim dalam Fathurrohman, 2015: 52).

1. Siswa dalam kelompoknya harus beranggapan bahwa mereka “sehidup

sepenanggungan bersama”.

2. Siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya seperti milik mereka sendiri.

3. Siswa haruslah melihat bahwa semua anggota di dalam kelompoknya memiliki tujuan yang sama.

4. Siswa haruslah membagi tugas dan tanggung jawab yang sama di antara anggota dan kelompoknya.

Sementara itu, ada beberapa ciri-ciri dari model pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut (Ibrahim dalam Fathurrohman, 2015: 52).

1. Siswa dalam kelompok secara kooperatif menyelesaikan materi belajar sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai.

2. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda, baik tingkat kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta memerhatikan kesetaraan gender.

3. Penghargaan lebih menekankan kelompok daripada masing-masing individu. Dalam pembelajaran, dikembangkan diskusi dan komunikasi dengan tujuan agar

17 siswa saling berbagi kemamapuan, saling belajar berpikir kritis, saling menyampaikan pendapat, saling memberi kesempatan menyalurkan kemampuan, saling membantu belajar, saling menilai kemampuan, dan peranan diri sendiri maupun teman lain.

Tujuan dari pembelajaran adalah menciptakan situasi ketika keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya. Hal ini berbeda dengan tujuan pembelajaran konvensional yang menerapkan sistem kompetisi, di mana keberhasilan individu diorientasikan pada kegagalan orang lain. Oleh kerena itu, strategi pembelajaran kooperatif ini dikembangkan untuk mencapai tiga tujuan pembelajaran penting. Ketiga tujuan pembelajaran tersebut adalah sebagai berikut (Faturrohman, 2015: 48).

1. Hasil Belajar Akademik

Meskipun pembelajaran kooperatif ini mencakup tujuan sosial serta memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya, beberapa penelitian dari tokoh pembelajaran kooperatif (Johnson & Johnson, Slavin, Kagan dan sebaginya) membuktikan bahwa model ini lebih unggul dalam membatu peserta didik dalam memahami konsep-konsep yang sulit dan dapat meningkatkan nilai (prestasi) peserta didik pada belajar akademik. Pembelajaran kooperatif juga memberikan keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja sama menyelesaikan tugas-tugas akademik.

2. Penerimaan terhadap Perbedaan Individu

Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kempuan, dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi peserta didik dari berbagai atar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas akademik dan melalui penghargaan kooperatif siswa akan belajar menghargai satu sama lain.

3. Pengembangan Keterampilan Sosial

Tujuan ketiga adalah mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial penting dimiliki oleh siswa sebagai bekal untuk hidup dalam lingkungan sosialnya.

18 Selanjutnya, pembelajaran kooperatif juga memiliki unsur-unsur yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Berikut adalah beberapaunsur dari pembelajaran kooperatif (Lie, dalam Fathurrohman, 2015: 49).

1. Saling ketergantungan positif (positive interdependence)

Ketergantungan positif bukan berarti peserta didik bergantung secara menyeluruh kepada peserta didik lain. Apabila mereka mengandalkan teman lain tanpa dirinya memberi atau menjadi tempat bergantung bagi sesamanya, seperti itu tidak bisa dianggap positif. Oleh karena itu, seharusnya guru dapat menciptakan suasana yang mendorong siswa saling membutuhkan. Saling ketergantungan tersebut dapat dicapai melalui ketergantungan tujuan, tugas, bahan atau sumber belajar, peran, dan hadiah.

2. Akuntabilitas individual (individual accountability)

Pembelajaran kooperatif menuntut adanya akuntabilitas individual yang mengukur penguasaan bahan belajar tiap anggota kelompok, dan diberi umpan balik tentang prestasi belajar anggota dalam kelompok sehingga mereka saling mengetahui rekan yang memerlukan bantuan. Pada pembelajaran kooperatif siswa harus bertanggung jawab terhadap tugas yang diberikan kepada masing-masing anggota kelompok.

3. Interaksi promatif (promotive interaction)

Interaksi promatif menuntut semua anggota dalam kelompok belajar dapat saling tatap muka, sehingga mereka dapat berbicara tidak hanya dengan guru, tetapi juga dengan teman. Interaksi ini memungkinkan peserta didik menjadi sumber belajar bagi sesama teman dan dianggap lebih mudah.

4. Keterampilan interpersonal dan kelompok kecil (interpersonal and small group skill)

Pada unsur ini dibekali degan beberapa keterampilan yaitu kepemimpinan (leadership), membuat keputusan (decision making), membangun kepercayaan (trust building), kemampuan berkomunikasi dan keterampilan manajemen konflik. Selain itu, keterampilan interpersonal lain seperti tenggang rasa, sikap sopan kepada teman, mengkritik ide, berani mempertahankan pikiran logis, tidak mendominasi yang lain, mandiri, dan

19 berbagai sifat lain yang bermanfaat dalam menjalin hubungan antar pribadi tidak hanya diucapkanmelainkan secara sengaja diajarkan.

5. Proses kelompok (group processing)

Proses ini terjadi ketika setiap anggota kelompok mengevaluasi sejauh mana mereka berinteraksi secara efektif untuk mencapai tujuan bersama. Kelompok juga perlu membahas perilaku anggota yang kooperatif dan tidak kooperatif serta membuat keputusan perilaku mana yang harus diubah atau dipertahankan. Pemrosesan kelompok ini bisa berlangsung dalam kelompok.

Manfaat pembelajaran kooperatif selain untuk meningkatkan keterampilan kognitif dan afektif siswa, pembelajaran kooperatif juga memberikan manfaat-manfaat lain sebagai berikut (Sadker 1997, dalam Huda, 2012: 66).

1. Siswa yang diajarkan dengan dan dalam struktur-struktur kooperatif akan memperoleh hasil pembelajaran yang lebih tinggi.

2. Siswa yang berpartisipasi dalam pembelajaran kooperatif akan memiliki sikap harga diri yang lebih tinggi dan motivasi yang lebih besar untuk belajar.

3. Dengan pembelajaran kooperatif, siswa menjadi lebih peduli pada teman-temannya, dan di antara mereka akan terbangun rasa ketergantungan positif untuk proses belajar mereka nanti.

4. Pembelajaran kooperatif meningkatkan rasa penerimaan siswa terhadap teman-temannya yang berasal dari latar belakang ras dan etnik yang berbeda-beda.

Salah satu ahli lain Johnson berpendapat bahwa dengan pembelajaran kooperatif akan memberikan manfaat. Berikut ini adalah manfaat pembelajaran kooperatif menurut Johnson (Huda, 2012: 66-67).

1. Hasil pembelajaran lebih tinggi. Hasil ini meliputi produktivitas belajar yang semakin meningkat, daya ingat yang lebih lama, motivasi yang lebih besar, motivasi berprestasi yang semakin tinggi, kedisiplinan yang lebih stabil, dan berpikir dengan lebih kritis.

2. Relasi antar siswa yang lebih positif. Relasi ini meliputi keterampilan bekerja sama yang semakin baik, kepedulian pada orang yang semakin meningkat, dukungan sosial dan akademik yang semakin besar, dan sikap toleran akan perbedaan.

20 3. Kesehatan psikologis yang lebih baik. Kesehatan ini meliputi penyesuaian psikologis, perkembangan sosial, kekuatan ego, kompetensi sosial, harga diri, identitas diri, dan kemampuan menghadapi kesulitan dan tekanan

Dari beberapa pendapat yang sudah dikemukakan oleh para ahli maka dapat dikerucutkan beberapa manfaat dari pembelajaran kooperatif. Secara garis besar manfaat pembelajaran kooperatif antara lain dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam berbagai unsur, baik secara pengetahuan dan keterampilan misalnya bekerja sama dan berpikir kritis. Bukan hanya itu dengan pembelajaran kooperatif juga dapat meningkatkan kesehatan psikologis menjadi lebih baik. Jadi, pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang baik untuk diterapkan di Sekolah Dasar.

Model pembelajaran kooperatif sendiri terdiri dari beberapa tipe. Tipe model pembelajaran kooperatif dibagi menjadi tiga kategori yaitu: 1) metode-metode Student Teams Learning meliputi metode Student Team-Achievement

(STAD), Teams Games-Tournament (TGT), dan Jigsaw II (JIG II). 2) Metode-metode Supported Cooperative Learning meliputi metode Learning Together (LT) – Circle of Learning (CL), Jigsaw (JIG), Jigsaw III (JIG III), Cooperative Learning Structures (CLS), Group Investigation (GI), Complex Instruction (CI), Team Accelerated Instruction (TAI), Cooperative Integrated Reading and Composition

(CIRC), Structured Dyadic Methods (SDM). 3) Metode-metode informal meliputi metode Spontaneous Group Discussion (SGD), Numbered Heads Together (NHT),

Team Product (TP), Cooperative Review (CR), Think-Pair-Share (TPS), dan

Discussion Group (DG) – Group Project (GP), dan sebagainya (Huda, 2012: 114-133).

2.1.1.3 Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS)

Think Pair and Share (TPS), adalah salah satu model dari pembelajaran kooperatif yang mulanya dikembangkan oleh Frank Lyman, dkk dari Universitas Maryland pada tahun 1985. Pendekatan ini merupakan cara yang efektif untuk mengubah pola diskusi di dalam kelas, yaitu dengan diskusi di dalam kelompok.

21 untuk memberikan siswa banyak waktu untuk berpikir, menjawab, dan saling membantu satu sama lain (Trianto, 2010: 81).

Suatu model pembelajaran yang baik, pastilah mempunyai manfaat di dalamnya. Think Pair Share (TPS) mempunyai beberapa manfaat sebagai berikut (Hartina, 2008: 12).

1. Siswa akan terlatih menerapkan konsep karena bertukar pendapat dan pemikiran dengan temannya untuk mendapatkan kesepakatan dalam memecahkan masalah.

2. Siswa dapat meningkatkan keberaniannya untuk berpendapat karena siswa diberi kesempatan untuk mencari pendapatnya sendiri sebelum mendiskusikannya dengan teman.

3. Siswa lebih aktif dalam pembelajaran karena menyelesaikan tugasnya dalam kelompok, sehingga pembelajaran tidak hanya berpusat pada guru.

4. Siswa mendapatkan kesempatan untuk mempresentasikan hasil diskusinya dengan seluruh kelas sehingga seluruh kelas mendapatkan informasi yang beragam dari kegiatan yang telah dilakukan.

Langkah-langkah yang dapat dilakukan pada Think Pair and Share adalah sebagai berikut (Huda, 2013: 132).

1. Tahap 1: Thinking (berpikir), guru mengajukan pertanyaan atau isu yang berhubungan dengan pelajaran kemudian siswa diminta untuk memikirkan pertanyaan atau isu tersebut secara mandiri untuk beberapa saat.

2. Tahap 2: Pairing, guru meminta siswa untuk berpasangan dengan siswa yang lain untuk mendiskusikan apa yang telah dipikirkannya pada tahap pertama. Interaksi pada tahap ini diharapkan dapat saling berbagi jawaban jika telah diajukan suatu pertanyaan atau ide, jika suatu persoalan khusus telah teridentifikasi. Biasanya guru memberi waktu 4-5 menit untuk berpasangan. 3. Tahap 3: Sharing, guru meminta kepada pasangan siswa untuk berbagi dengan

seluruh kelas tentang apa yang telah mereka bicarakan. Ini efektif dilakukan dengan cara bergiliran pasangan demi pasangan dan dilanjutkan sampai sekitar seperempat pasangan dari seluruh jumlah pasangan telah mendapat kesempatan

Dokumen terkait