BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tindak Tutur
Tindak tutur merupakan telaah bagaimana seseorang dengan menggunakan tuturan sekaligus melakukan tindakan atau ucapan kepada orang lain. Jadi tindak tutur merupakan bagian kajian pragmatik, pragmatik merupakan bagian dari performansi linguistik. Pengetahuan mengenai dunia adalah bagian dari konteks, pada pragmatik dikaji bagaimana cara pemakai bahasa menerapkan pengetahuan dunia untuk menginterpretasikan ucapan-ucapan.
Tindak tutur merupakan salah satu bidang kajian penting pragmatik bahasa. Pengertian pragmatik yang paling bergayut dengan pokok batasan tulisan ini ialah defenisi pragmatika yang diberikan oleh D. Crystal (1985:240), yaitu pragmatik sebagai pengkajian bahasa dari sisi pengguna bahasa, khususnya tentang pilihan-pilihan yang dibuat, kendala-kendala yang ditemukan pada penggunaan bahasa dalam interaksi sosial dan pengaruh penggunaan bahasa itu terhadap peserta lainnya dalam tindak komunikasi. Dengan kata lainnya pragmatik ialah pengkajian tindak komunikatif di dalam kontek sosiokultural tindak itu. Dalam pengertian ini tindak komunikatif tidak hanya meliputi tindak tutur seperti memohon, memberi salam, dan sebagainya, tetapi juga mencakup peran serta di dalam percakapan, keterlibatan di dalam beberapa jenis wacana, dan menjaga kesinambungan interaksi di dalam peristiwa bahasa yang kompleks.
Tindak tutur ialah melakukan tindak tertentu melalui kata, misalnya memohon sesuatu, menolak (tawaran, permohonan), berterima kasih, memberi salam, memuji, minta maaf dan mengeluh. Bentuk lahiriah tindak tutur yang sama tidak saja dapat berbeda, tetapi daya atau kekuatan tindak tutur mungkin pula berbeda. Selain itu, dalam kebudayaan tertentu menolak (tawaran, permohonan) dapat dilakukan secara langsung, sementara dalam kebudayaan lainnya dilakukan harus dengan basa-basi tertentu sebelum penolakan diucapkan atau bahkan tanpa diucapkan sama sekali. Akibatnya adalah dalam beberapa kasus tertentu kemungkinan terjadinya salah tafsir apakah seseorang penutur telah melakukan penolakan atau tidak sedangkan kemungkinan lainnya ialah terjadinya kesalahpahaman terhadap maksud ucapan penutur.
Dalam melakukan sesuatu tindak tutur, selain menyatakan maksud dan keinginannya, penutur juga secara alami bertujuan untuk menciptakan dan menjaga hubungan sosial tertentu antara diri penutur dengan petutur. Penutur mempertimbangkan berbagai kendala dalam menyampaikan maksudnya secara tepat dan sesuai dari segi kedekatan atau jarak antara penutur dan petutur, situasi bahasa dan sebagainya. Siasat bahasa (komunikasi) yang digunakan untuk menciptakan dan menjaga hubungan sosial ini sering disebut siasat kesantunan. Kesantunan pada dasarnya hanya digunakan pada dua fungsi, yaitu fungsi konpetitif yang meliputi tindak tutur seperti meminta, memerintah, menuntut dan fungsi konvivial yang meliputi menawarkan, mengundang, memberi salam, berterima kasih, memberi selamat. Fungsi pertama berorientasi pada petutur sedangkan yang kedua pada
penutur sehingga menurut G. Leech (1983) tujuan konpetitif pada dasarnya bersifat keras (kasar) dan tujuan konvivial sebaliknya bersifat halus. Fungsi konpetitif lebih mengancam muka penutur bila dibandingkan dengan fungsi konvivial.
Lakoff (1972,1973b) mengembangkan teori kesantunan yang meramalkan bahwa penambahan kebebasan pada pihak petutur untuk menolak suatu permohonan akan berkorelasi dengan penambahan kesantunan. Dengan kata lainnya, maka makin tinggi kesantunan atau kesantunan bertambah bersamaan dengan berkurangnya pembebanan pada pihak petutur.
Leech (1983) mengatakan bahwa kesantunan merupakan siasat yang digunakan untuk menjaga dan mengembangkan hubungan. Menurut Brown & Levinson (1978,1987) kesantunan ialah menjaga muka petutur. Semua peserta tutur dalam suatu interaksi percakapan berkeinginan menjaga dua jenis muka, yaitu muka positif dan muka negativ. Muka positif adalah merupakan citra positif yang dimiliki orang terhadap dirinya sendiri dan hasrat untuk mendapatkan persetujuan, sementara muka negatif ialah tuntutan dasar terhadap wilayah, bagian pribadi, dan hak-hak untuk tidak diganggu.
Pengertian muka menurut Brown & Levinson membedakan kesantunan positif dan kesantunan negatif. Siasat kesantunan positif dan negatif keduanya digunakan untuk menambahkan keakraban dan mengurangi pemaksaan. Keduanya berinteraksi dengan cara yang rumit sesuai dengan sifat tindak tutur dan status penutur dan petutur. Siasat kesantunan positif mencakup: memperhatikan keinginan penutur, menggunakan pemarkah kelompok dalam, bersifat optimis, mengusahakan
persetujuan, menunjukkan kesamaan latar, dan menawarkan atau menjanjikan. Sementara itu siasat kesantunan negativ mencakup: bersifat tidak langsung, bertanya atau kalimat berpagar, bersifat pesimis, meminimalkan pemaksaan, memberi hormat dan meminta maaf.
Pragmatik berhubungan erat dengan tindak tutur karena pragmatik menelaah makna dalam kaitan dengan situasi tuturan (Leech,1983:19). Dalam menelaah tindak tutur, konteks amat penting, telaah umum mengenai bagaimana caranya konteks mempengaruhi cara kita menafsirkan kalimat disebut pragmatik (Tarigan,1986:34).
Melalui pragmatik makna-makna yang secara semantik ganjil, dapat berterima karena pertimbangan secara pragmatik atau lebih khusus lagi karena konteks.
2.2 Pragmatik
Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh manusia yang menempatkannya berbeda dengan mahluk lainnya.
Menurut Leech (1983:ix), secara praktis, pragmatik adalah studi mengenai makna ujaran dalam situasi-situasi tertentu. Selanjutnya Tarigan (1986:32) menyatakan bahwa pragmatik menelaah ucapan-ucapan khusus dalam situasi-situasi khusus dan terutama sekali memusatkan perhatian pada aneka ragam cara yang merupakan wadah aneka konteks sosial performansi bahasa yang dapat mempengaruhi tafsiran atau interpretasi.
Sementara Levinson dalam Tarigan (1986:33) memberikan batasan pragmatik sebagai telaah mengenai relasi antara bahasa dan konteks yang merupakan dasar bagi
suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa. Jadi merupakan telaah mengenai kemampuan pemakai bahasa menghubungkan serta melerasikan kalimat-kalimat dan konteks-konteks secara tepat.
Menurut Cruse (2000:16) pragmatik dapat dianggap berurusan dengan aspek-aspek informasi (dalam pengertian yang paling luas) yang disampaikan melalui bahasa yang (a) tidak dikodekan oleh konvensi yang diterima secara umum dalam bentuk-bentuk linguistik yang digunakan, namun yang (b) juga muncul secara alamiah dari dan tergantung pada makna-makna yang dikodekan secara konvensional dengan konteks tempat penggunaan bentuk-bentuk tersebut [penekanan ditambahkan].
Parker (1986:11) mengemukakan bahwa: “Pragmatics is distinct from grammar, which is the study the internal structure of language. Pragmatics is the study of how language is used to communicate”
Tidak dapat dipungkiri bahwa pragmatik seperti semantik adalah cabang ilmu bahasa yang menelaah makna-makna satuan lingual. Adapun yang menjadi kajian pragmatik tentang makna berbeda dengan semantik. Pragmatik adalah mengkaji makna secara eksternal sedangkan semantik mengkaji secara internal .
Konteks merupakan hal yang penting dalam kajian bahasa. Schiffrin (1994:365) mengemukakan bahwa “speech act theory and pragmatic both view contexs in term of knowledge: what speakers and hearers can ben assumed to know (e.g about social institution, about other’s wants and and needs, about the nature of
human nationality) and how that knowledge guide the use of language and the interpretation of utterance”.
Pragmatik dan teori tindak tutur memandang konteks sebagai pengetahuan bersama antara pembicara dan pendengar, dan pengetahuan tersebut mengarah pada interpretasi suatu tuturan. Pengetahuan atau konteks tertentu yang menyebabkan manusia dapat mengidentifikasi jenis-jenis tindak tutur yang berbeda.
Pragmatik bahasa berarti mengkaji: 1. Makna penutur bahasa
2. Makna yang lebih sekedar apa yang diucapkan oleh penutur 3. Makna kontekstual
4. Pengaruh makna pada penutur, dan kendala-kendala dalam menyampaikan makna dengan cara yang tepat dan sesuai
Pengaruh pragmatika di dalam teori dan konsep pemerolehan bahasa diantaranya menekankan aspek fungsional bahasa. Secara fungsional jenis-jenis ujaran terdiri dari deklaratif (mengubah keadaan alami melalui kata), representatif (menyatakan sesuatu yang diyakini), ekspresif (menyatakan perasaan tertentu), direktif (membuat orang lain melakukan sesuatu), dan komisif (bertanggung jawab akan melakukan sesuatu). Sementara itu, secara formal jenis-jenis kalimat mencakup bentuk-bentuk deklaratif, imperatif, interogatif, dan interjeksi, sehingga penutur dihadapkan dengan pilihan-pilihan formal bahasa untuk menyampaikan fungsi-fungsi bahasa.
Parera (1990:120) mengemukakan tiga ciri yang harus dipenuhi untuk terciptanya suatu konteks, yaitu 1) setting, 2) kegiatan dan 3) hubungan (relasi). Interaksi ketiganya membentuk konteks.
1. Setting meliputi : a. unsur-unsur material yang ada di sekitar peristiwa interaksi berbahasa, b. tempat, c. waktu.
2. Kegiatan : semua tingkah laku yang terjadi dalam interaksi, seperti berbahasa itu sendiri, juga termasuk kesan, perasaan, tanggapan dan persepsi penutur dan petutur.
3. Hubungan (relasi) meliputi hubungan antara penutur dan petutur yang ditentukan oleh (a) jenis kelamin (b) umur, (c) kedudukan; status, peran, prestise (d) hubungan keluarga, (e) hubungan kedinasan. Setting, kegiatan dan hubungan ditentukan secara kultural.