• Tidak ada hasil yang ditemukan

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa bank yang sehat adalah bank yang dapat menjalankan fungsi -fungsinya dengan baik. Dengan kata lai n, bank yang sehat adalah bank yang dapat menjaga dan memelihara kepercayaan masyarakat, dapat menjalankan fungsi intermediasi, dapat membantu kelancaran lalu lintas pembayaran serta dapat digunakan oleh pemerintah dalam melaksanakan berbagai kebijakannya, terutama kebijakan moneter. Dengan menjalankan fungsi -fungsi tersebut, bank diharapkan dapat memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat serta bermanfaat bagi perekonomian secara keseluruhan.

Menurut Dendawijaya (2005), bank harus mempunyai modal yan g cukup, menjaga kualitas asetnya dengan baik, dikelola dengan baik dan dioperasikan berdasarkan prinsip kehati -hatian, menghasilkan keuntungan yang cukup untuk

mempertahankan kelangsungan usahanya, serta memelihara likuiditasnya sehingga dapat memenuhi ke wajibannya setiap saat. Selain itu, bank juga harus senantiasa memenuhi berbagai ketentuan dan aturan yang telah ditetapkan, yang pada dasarnya berupa berbagai ketentuan yang mengacu pada prinsip -prinsip kehati-hatian di bidang perbankan.

Menurut Bank Indonesia (2004) kesehatan bank merupakan hasil penilaian kualitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu bank melalui penilai an faktor permodalan, kualitas aset, manajemen, rentabilitas, likuiditas, dan sensitivitas terhada p resiko pasar yang biasa disingkat CAMEL (Capital, Assets Quality, Ma nagement, Earning dan Liquidity). Tujuan penilaian dari masing-masing komponen tersebut, antara lain:

1. Capital (permodalan), penilaian tehadap faktor permodalan ini dilakukan mengingat kecukupan modal sangat diperlukan guna kelangs ungan operasional bank sehari-hari. Modal tersebut digunakan sebagai penyangga apabila sedang mengalami kerugian.

2. Asset (aktiva), penilaian tehadap faktor ini dilakukan karena kualitas aset merupakan salah satu aspek terpenting yang mempengaruhi pasar pendapatan bunga. Pengelolaan aset yang baik meliputi tata cara pemberian kredit yang dapat dipercaya dan penerapan pengendalian kredit.

3. Management (manajemen). Penilaian terhadap faktor manajemen ini dilakukan untuk melihat bagaimana peran Direksi dan Komisaris dalam menetapkan kebijakan manajemen resiko, mengawasi pelaksanaannya, kualitas sistem informasi manajemen, sistem pengawasan internal, strategi

jangka pendek, menengah , juga panjang, serta masalah kepemimpinan termasuk upaya penyediaan kader pemimpin. Penilaian manajemen cenderung bersifat subjektif dan kualitatif dan perlu dicarikan kesepakatan untuk mengurangi terjadinya beda pandang antara pemeriksa dan objek yang diperiksa.

4. Earnings (rentabilitas), penilaian terhadap faktor rentabilitas ini dilakukan untuk mengukur kemampuan bank untuk menetapkan harga yang mampu untuk membayar seluruh biaya. Laba memungkinkan bank tumbuh. Selain besar laba yang dihasilkan, kualitas dan sumber laba juga menjadi objek penelitian. Laba yang dihasilkan secara stabil dan tumbuh secara konsisten memberi nilai tambah.

5. Liquidity (likuiditas), penilaian terhadap faktor likuiditas ini dilakukan mengingat aktiva bank kebanyakan bersifat tidak li kuid dengan sumber dana dengan jangka waktu lebih pendek. Oleh sebab itu likuiditas digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam memenuhi kewajibannya terutama jangka pendek dan jangka panjang. Menurut Simorangkir (2004), likuiditas merupakan kemampuan bank untuk melunasi kewajiban -kewajiban yang segera dapat ditarik. Sedangkan solvabilitas adalah kemampuan bank untuk membayar semua utangnya kepada pihak ketiga.

6. Sensitivity to market risk (sensitivitas terhadap resiko pasar ), penilaian terhadap faktor sensitivitas terhadap resiko pasar ini d ilakukan untuk melihat bagaimana pergerakan faktor pasar dalam hal ini suku bunga dan nilai tukar yang akan memperngaruhi perolehan Net Interest Margin (NIM) dan nilai

modal ekonomis, dimana penilaian ini bukan hanya sekedar berdasarkan data yang lalu tapi juga memperhatikan kondisi yang akan datang.

2.2.1 Giro Wajib Minimum (GWM)

Menurut Hasibuan (2008), likuiditas bank sangat penting karena besar Giro Wajib Minimum (GWM) bank telah ditetapkan Bank Indonesia selaku bank sentral. Manajemen GWM sangat penting, s ulit, dan kompleks pengaturannya karena pimpinan bank harus mematuhi k etetapan (yuridis) dan ekonomis. Hal tersebut membuat pimpinan bank tidak bebas menetapkan besarnya GWM bank yang dipimpinnya. Likuiditas (cash ratio) bank adalah kemampuan bank untuk membayar semua utang jangka pendeknya dengan alat -alat likuid yang dikuasainya. Yuridis artinya GWM bank harus sesuai dengan ketetapan -ketetapan yang ditentukan Bank Indonesia. Ekonomis artinya pimpinan bank harus mampu menghasilkan pendapatan yang optimal d engan mengefektifkan dana -dana bank, tanpa melanggar ketetapan cash ratiominimumnya. Bank diwajibkan memelihara sejumlah likuiditas dari total dana pihak ketiga yang dihimpun pada periode waktu tertentu (Simorangkir, 2004).

Fungsi-fungsi GWM adalah untuk memenuhi ketetapan Bank Indonesia , jaminan pembayaran pencairan tabungan masyarakat , mempertahankan agar bank tetap dapat mengikuti kliring , memperkuat daya tahan dalam menghadapi persaingan antar bank, menentukan tingkat kesehatan bank , merupakan salah satu alat kebijaksanaan moneter pemerintah untuk mengatur jumlah uang beredar , sebagai salah satu alat otoritas moneter dalam menstabilkan nilai tukar uang , serta

untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap bank. Bank Indonesia (2008) menetapkan bahwa pemenuhan GWM rupiah sebesar 7,5 % dari total dana pihak ketiga dalam bentuk rupiah. Sedangkan GWM valuta asing (valas) sebesar 1% dalam valuta asing.

2.2.2 Capital Adequacy Ratio(CAR)

Capital Adequacy Ratio (CAR) merupakan rasio keuangan yang memberikan indikasi apakah permodalan yang ada telah memadai (adequate) untuk menutup resiko kerugian atas aktiva produktif karena setiap kerugian akan mengurangi modal. Pengertian CAR adalah perbandingan antara modal sendiri bank dengan kebutuhan modal yang tersedia set elah dihitung pertumbuhan risiko (margin risk) dari akibat yang berisiko (Sinungan, 1993). CAR dihitung dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Mulyono (1999) yaitu :

CAR = x 100% ... (2.2) Rasio CAR menunjukkan kemampuan dari modal untuk menutup kemungkinan kerugian atas kredit yang diberikan beserta kerugian pada investasi surat-surat berharga. Ekuitas adalah modal yang terdiri dari modal disetor dan cadangan-cadangan yang dibentuk dari laba setelah pajak. Perhitungan ekuitas adalah dengan cara total aset dikurangi kewajiban yang harus dibayarkan oleh bank. Total pinjaman merupakan jumlah kredit yang diberikan bank kepada pihak ketiga dan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa setelah dikurangi penyisihan penghapusan. Menurut Nopirin (1992), aset merupakan total kewajiban yang harus dibayarkan oleh bank ditambah dengan modal bank itu

sendiri. Sekuritas adalah surat pengakuan utang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit, atau kewajiban dari penerbit dalam bentuk yang lazim di perdagangkan dalam pasar modal atau pasar uang (Taswan, 200 2).

2.2.3 Loan to Deposit Ratio(LDR)

Menurut Siamat (1993), Loan to Deposit Ratio (LDR) disebut juga rasio kredit terhadap total dana pihak ketiga yang dihimpun oleh bank. Kasmir (2003) juga menegaskan bahwa LDR merupakan rasio untuk mengukur komposisi jumlah kredit yang disalurkan dibandingkan dengan jumlah dana masyarakat dan modal sendiri yang digunakan . Penyaluran kredit merupakan kegiatan utama bank, oleh karena itu sumber pendapatan utama bank ber asal dari kegiatan ini. LDR dapat dihitung dengan cara (Siamat,1993) :

LDR = x 100% ... (2.3) Rasio ini menggambarkan kemampuan bank membayar kembali penarikan yang dilakukan nasabah deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Semakin tinggi rasio ini, semakin rendah kemampuan likuiditas bank (Dendawijaya, 2000).

2.2.4 Bank Bermasalah

Menurut Bank Indonesia (2009), bank bermasalah mempunyai rasio atau nisbah kredit tidak lancar yang tinggi apabila dibandingkan dengan modalnya. Berdasarkan penilaiannya, bank bermasalah memiliki nilai CAMEL yang berada pada posisi empat (kurang sehat) atau lima (tidak sehat) pada daftar urutan kondisi

bank dan penilaian tersebut tidak disebarluaskan ke masyarakat, namun bank bermasalah akan lebih sering diperiksa dibandingkan dengan bank yang berkondisi sehat. Penangan bank bermasalah sangat serius dilakukan oleh pemerintah karena berpengaruh penting terhadap kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan nasional.

Dokumen terkait