• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.4 Tinjauan Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman

Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kebijakan pengembangan kawasan permukiman telah menjadi dasar dalam pengembangan kawasan permukiman di

Cisauk

Cisauk, provinsi Banten. UU No.4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman mengatur bagaimana mengadakan rumah dan meningkatkan kualitas permukiman. Pengembangan permukiman akan dilakukan melalui pengelolaan tanah untuk permukiman skala besar yang dikenal dengan nama Kawasan Siap Bangun (KASIBA) dan dengan memepertimbangkan rencana tata ruang (Anonim, 1992). Menurut UU ini permukiman ditempatkan dalam kerangka pikir tata ruang yang mencakup metropolitan, kota dan desa. Sebagai tindak lanjut dari UU tersebut terbit Peraturan Pemerintah (PP) No.80/1999 tentang Kawasan Siap Bangun (Kasiba) dan Lingkungan Siap Bangun (Lisiba) yang berdiri sendiri. Secara implisit UU dan PP tersebut bertujuan untuk mengendalikan pembangunan perumahan dan permukiman yang terkotak-kotak dan terfragmentasikan dalam kelompok kecil (kurang dari 1000 unit) sehingga menimbulkan ketidakefisienan.

Berubahnya lingkungan strategis yang ditandai dengan berubahnya sistem politik dan ketatanegaraan seperti otonomi daerah, pemberdayaan masyarakat, kesetaraan dan keterbukaan, maka UU No.4 Tahun 1992 dirasakan kurang sesuai sehingga terbit UU Perumahan dan Kawasan Permukiman No.1 Tahun 2011 yang sasarannya antara lain memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman; mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran penduduk yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan permukiman sesuai dengan tata ruang; meningkatkan daya guna dan hasil guna sumberdaya alam bagi pembangunan perumahan; memberdayakan para pemangku kepentingan bidang pembangunan perumahan dan kawasan permukiman; dan menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau (Anonim, 2011).

Persoalan yang penting untuk diperhatikan adalah masalah ruang yang dilihat sebagai tempat berlangsungnya interaksi sosial, yang mencakup manusia dengan seluruh kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya dengan ekosistemnya, seperti sumberdaya alam dan sumberdaya buatan berlangsung. Ruang perlu ditata agar dapat memelihara keseimbangan lingkungan dan memberikan dukungan yang nyaman terhadap manusia serta mahluk hidup lainnya dalam melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya secara optimal. UU Penataan Ruang no.26/ Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengatur bahwa pengembangan kawasan permukiman harus dimulai dengan penyusunan rencana tata ruang yang dilanjutkan

dengan perumusan kebijakan strategis tata ruang, program sektoral, dan pelaksanaan pembangunan secara terpadu (Anonim, 2007). Untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan perlu dilakukan penataan ruang yang dapat mengharmonisasikan lingkungan alam dan lingkungan buatan, yang mampu mewujudkan keterpaduan penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, serta yang dapat memberikan perlindungan terhadap fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan hidup akibat pemanfaatan ruang. Kaidah penataan ruang ini harus dapat diterapkan dan diwujudkan dalam setiap proses perencanaan tata ruang wilayah.

UU No.32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi yang seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan (Anonim, 2004). Dampak dari pelaksanaan UU ini adalah perhatian pemerintah daerah terhadap pengembangan permukiman disesuaikan dengan prioritas dan kepentingan masing-masing pemerintah daerah. tuntutan otonomisasi mengehendaki penyelenggaraan perumahan dan permukiman menerapkan pola pembangunan dilaksanakan secara desentralisasi. Masalah lingkungan pada kawasan permukiman dan perumahan, yang umumnya muncul sebagai akibat dari tingkat urbanisasi dan industrialisasi yang tinggi, serta dampak pemanfaatan sumberdaya dan teknologi yang kurang terkendali.

Peraturan Menteri Perumahan Rakyat tentang Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah (RP4D) merupakan kebijakan Pemerintah Daerah mengenai penanganan perumahan dan permukiman yang merupakan turunan dari Rencana Tata Ruang Wilayah. Sebagai wilayah kabupaten yang termasuk salah satu penyangga ibukota Jakarta, permasalahan perumahan dan permukiman di Kabupaten Tangerang merupakan masalah yang cukup mendesak. Sebagian warga Jakarta yang tergusur mencari lahan tempat tinggal di Kabupaten Tangerang, sehingga keterjangkauan adalah aspek penting yang perlu diperhatikan.

Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat No.04/KPTS/BKP4N/1995 tentang Pedoman Pembangunan Perumahan dan Permukiman dengan Lingkungan Hunian yang Berimbang antara lain untuk (1) mewujudkan kawasan dan lingkungan perumahan dan permukiman yang sehat, aman, serasi dan teratur, (2) mewujudkan

kawasan dan lingkungan perumahan dan permukiman yang terdiri dari rumah mewah, rumah menengah dan rumah sederhana, (3) mewujudkan kesetiakawanan sosial, kekeluargaan dan kebersamaan, dan (4) menjamin tercapainya target pembangunan perumahan dan permukiman terutama rumah sederhana.

UU RI No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan perhatian khusus terhadap peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Lingkungan diartikan sebagai satuan ruang dengan segala benda, daya, keadaan dan mahluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia dan mahluk hidup lainnya. Intinya, lingkungan adalah suatu satuan ruang dengan berbagai unsur dan proses yang terjadi didalamnya. Pengelolaan lingkungan hidup, menurut undang- undang ini merupakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan yang meliputi perumusan kebijakan, penataan, pemanfaatan, pengembangan pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup (Anonim, 1997).

Dalam Peraturan Pemerintah nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dikenal istilah AMDAL dan ANDAL. AMDAL adalah keseluruhan tata cara untuk menghasilkan sarana pengendalian dampak oleh adanya suatu kegiatan sedangkan ANDAL adalah suatu kegiatan pengkajian untuk menghasilkan suatu informasi bagi pengambilan keputusan suatu proyek. Dengan demikian ANDAL merupakan bagian dari AMDAL.Tahapan yang perlu dilakukan untuk membuat analisis mengenai dampak lingkungan adalah :

− Penyajian Informasi Lingkungan (PIL) adalah suatu studi yang hasilnya digunakan untuk memutuskan perlu tidaknya suatu proyek disertai ANDAL.

− Kerangka Acuan ANDAL (KAA) merupakan penuangan hasil PIL kedalam petunjuk pelaksanaan ANDAL.

− Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) yaitu studi tentang dampak lingkungan oleh kegiatan yang direncanakan yang hasilnya digunakan untuk memutuskan dapat tidaknya kegiatan yang direncanakan dilanjutkan dan syarat yang harus dipenuhi bila kegiatan tersebut dilanjutkan.

− Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) merupakan petunjuk tentang bagaimana mencegah atau mengatasi dampak-dampak yang tidak diinginkan.

− Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) merupakan petunjuk untuk mengikuti dan mengamati segala perubahan lingkungan setelah kegiatan dilaksanakan.

Beberapa lahan penambangan bahan galian golongan C seperti penambangan pasirterdapatdi kecamatan Cisauk. Bahan galian golongan C merupakan bahan galian yang dikategorikan sebagai bahan galian non strategis. Bahan galian golongan C meliputi bahan galian industri dan bahan galian bangunan. Jenis bahan galian industri antara lain asbes, batu gamping, feldspar, pasir kwarsa, lempung, trass, oker, batu tulis/slate, dan zeolit. Bahan galian bangunan meliputi andesit, diorit, pasir dan batu, serta marmer. Kesuburan tanah pada lokasi bekas tambang sangat rendah karena rendahnya kandungan bahan organik dan nitrogen di dalamnya. Dengan kondisi tanah seperti ini akan terus mengalami degradasi apabila tidak dikelola secara benar dengan segera. Luas areal pertambangan semakin lama semakin bertambah. Pada umumnya pengusaha memperluas kawasan yang ditambangnya dengan cara membeli lahan pertanian penduduk setempat. Berhubung keadaan lahan yang kritis, tidak produktif, dan hanya cocok ditanami dengan tanaman tahunan yang produksinya juga tidak memadai, maka sangat wajar jika masyarakat terdorong untuk menjual tanahnya. Masyarakat yang telah kehilangan lahan pertaniannya pada umumnya bekerja sebagai pekerja tambang atau merantau ke luar daerah. Status tanah yang diusahakan untuk pertambangan kemudian menjadi tanah milik pengusaha tambang. Karena status tanah bekas tambang yang telah beralih menjadi tanah milik tersebut maka akan sangat sulit untuk memaksa pengusaha melakukan reklamasi pada lahan bekas tambangnya. Setelah tanah mencapai lapisan terakhir yang berbatu dan mengeluarkan air, penambangan dihentikan dan beralih ke daerah lain. Lahan bekas tambang umumnya dibiarkan dan tidak dilakukan perlakuan apapun untuk mengembalikan kesuburan tanahnya. Pengaturan landasan hukum bagi perangkat pemerintah untuk melakukan pengendalian dan penertiban kegiatan penambangan bahan galian golongan C dilakukan dengan Peraturan Daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten.

Undang– Undang RI No.7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air mengamanatkan bahwa perlu diimplementasikan secara konsisten prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya air secara terpadu (integrated water resources management/ IWRM). Dalam pengertian tersebut pengelolaan sumberdaya air,

termasuk pengelolaan sungai perlu memperhatikan prinsip-prinsip yaitu: (1) memberikan manfaat kepada publik secara efektif dan efisien, (2) mempertemukan keseimbangan kepentingan dan harmonisasi antara aspek sosial, ekonomi, dan prinsip keseimbangan lingkungan hidup, (3) keberlanjutan, keadilan, dan otonomi, serta (4) transparansi dan akuntabilitas, serta menjamin terjadinya keterbukaan terhadap adanya proses akuntabilitas publik. UU tersebut juga mengamanatkan tentang hak dan kewajiban masyarakat terhadap sumberdaya air (Anonim, 2004). Untuk mengantisipasi penerapan hak dan kewajiban masyarakat tersebut dalam implementasinya diperlukan pemahaman yang seimbang baik di tingkat pemerintah dan masyarakat. Hal yang mendapatkan sorotan publik adalah bahwa UU tersebut dinilai membawa semangat liberalisasi di sektor air yang dirasa akan mengganggu pemenuhan hak asasi rakyat akan air.

Dalam RTRW Kabupaten Tangerang Tahun 2002 – 2011, Kecamatan Cisauk ditetapkan dan termasuk ke dalam Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) I dengan pusat Kota Serpong. SWP ini diarahkan pada pengembangan pusat permukiman perkotaan secara intensif, pendidikan, pelayanan sosial, perdagangan dan jasa, industri, pariwisata serta peternakan. Kecamatan Cisauk sendiri termasuk ke dalam pusat pertumbuhan Orde IV, sebagai pusat pelayanan lokal dengan fungsi utama sebagai pusat administrasi pemerintahan dan pusat pelayanan sosial. Kecamatan Cisauk dengan luas 4,285.85 ha dibagi atas 3 Bagian Wilayah Kota (BWK), yaitu: a. BWK A: meliputi Desa Sampora, sebagian Desa Cisauk, Desa Cibogo, dan

Desa Suradita, luas BWK A sebesar 1,470.35 ha, dengan fungsi sebagai pusat pemerintahan kecamatan, kawasan perdagangan regional (CBD), dan pengembangan permukian dan industri terbatas (non polutan) serta areal cadangan kota, dengan pusat BWK di Desa Sampora.

b. BWK B: meliputi Desa Setu, Kademangan, Muncul, Kranggan, Babakan dan Desa Baktijaya, dengan luas 1,510.91 ha. BWK B memiliki fungsi sebagai kawasan perdagangan, perindustrian, pendidikan tinggi, puspitek dan pengembangan perumahan dengan pusat BWK di Desa Setu

c. BWK C meliputi Desa Cisauk, Dangdang, dan Desa Mekarwangi dengan luas 1,304.59 ha. BWK C memiliki fungsi sebagai areal cadangan pengembangan kota dan permukiman dengan kepadatan rendah, dengan pusat BWK di Desa Cisauk

Sebagaimana hirarkinya yang termasuk pusat pertumbuhan Orde I, Kecamatan Cisauk memiliki fungsi dan peranan sebagai berikut: (1) pusat administrasi pemerintahan, (2) pusat pelayanan sosial, (3) pusat pelayanan kegiatan ekonomi skala lokal, (4) merupakan hinterland bagi Kota Serpong.