• Tidak ada hasil yang ditemukan

Direction of policy for sustainable human settlement area development in the Fringe of the DKI Metropolitan (Case Study Settlement area at Cisauk – Banten Province)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Direction of policy for sustainable human settlement area development in the Fringe of the DKI Metropolitan (Case Study Settlement area at Cisauk – Banten Province)"

Copied!
192
0
0

Teks penuh

(1)

ARAHAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN

KAWASAN PERMUKIMAN BERKELANJUTAN

DI PINGGIRAN METROPOLITAN DKI JAKARTA

(Studi Kasus: Kawasan Permukiman di Cisauk, Provinsi Banten)

NANANG SOFWAN SANTOSA

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Pinggiran Metropolitan DKI Jakarta (Studi Kasus: Kawasan Permukiman di Cisauk, Provinsi Banten) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Bogor, Februari 2012

(3)

ABSTRACT

Nanang Sofwan Santosa. 2012. A Direction of Policy for Sustainable Human Settlement Area Development in the Fringe of the DKI Metropolitan (Case Study: Settlement area at Cisauk – Banten Province). Supervised by Santun R.P. Sitorus, Machfud, and Ramalis Sobandi.

Urbanization has increased the urban population significantly, especially at metro and large cities in Indonesia and about 20% of those lived at Jabodetabek metropolitan area. As a result, there were land issues and human settlement inadequate development. Many people moved to the fringe area and contributed to land use changes. The study was conducted in Cisauk settlement areas, Banten province. This research aims mainly to indicate alternatives of sustainable policy directions to the development of urban settlement area in the fringe of the DKI Jakarta metropolitan. The study consisted of four objectives: (1) to understand dynamic of urban settlement area development in the DKI Jakarta metropolitan systems, (2) to perceive sustainable index in Cisauk based on ecological, social, and economic aspects, (3) to identify key factors that fulfill the sustainability requirements, (4) to build policy direction for the development of urban settlements area in the DKI Metropolitan fringe area. The development of metropolitan area is affected by people growth and distribution, social-economy-politic activities, infrastructures, transportation network systems, land policy, and space planning. Urban areas are designed according to the hierarchy based on functions and magnitudes. The characteristics of sub river basin middle areas, in large part, consist of cultivation areas and likely not to produce negative impacts to the downstream areas. Ecology approach is needed since there is indication that the settlement development areas at Cisauk put more attention to the economy aspects than ecology aspects. Systemic approach is needed to analyse complex environmental problems. The study indicates some results. First, there has been a dynamic development of settlement in the DKI Jakarta metropolitan area between 1990 – 2010 related to migration of population, regional infrastructure development, private investment on large scale development as well as the new municipality in relation to the new autonomy-decentralization policy of Indonesia in 2000. Second, at present, the sustainable level of Cisauk urban settlement is in moderate sustainable level (55.93%). However, in terms of ecological aspect, it has a low sustainable level (45.35%). Third, the most influencing factors in Cisauk urban settlement development are land use change, infrastructure development, social cohesions, and population growth and distribution. Beside of those four factors, Cisadane river basin condition is a factor that has strong influences although it has high dependences. The implication is that Cisadane river basin condition is a critical factor influencing the Cisauk settlement sustainability. Policy directions for the development of Cisauk urban settlement area were directed through moderate scenario concerning of ecological, social, and economic dimensions in order to achieve a higher sustainability level.

(4)

RINGKASAN

Nanang Sofwan Santosa. 2012. Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Pinggiran Metropolitan DKI Jakarta (Studi Kasus: Kawasan Permukiman di Cisauk, Provinsi Banten). Dibimbing oleh Santun R.P. Sitorus, Machfud, dan Ramalis Sobandi.

Urbanisasi telah memacu pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia dengan pesat. Pada tahun 1980 jumlah penduduk perkotaan 32,8 juta jiwa atau 22.3% dari total penduduk nasional, tahun 2000 menjadi 85 juta jiwa atau 42% dari total penduduk nasional, dan diperkirakan tahun 2015, akan mencapai 150 juta jiwa atau sekitar 60% dari total penduduk nasional (BPS 2003). Penyebaran penduduk perkotaan tersebut terkonsentrasi di kota-kota besar dan metropolitan, dan diperkirakan sebesar 20% berada di Jabodetabek (Firman, 2002). Pertambahan penduduk perkotaan yang pesat tersebut mengakibatkan melonjaknya harga lahan di kota besar dan metropolitan sehingga menyebabkan terjadinya kelangkaan lahan. Di kawasan strategis perkotaan terjadi perubahan fungsi kawasan permukiman menjadi perdagangan dan jasa dan di pinggiran kota terjadi alih guna lahan pertanian produktif dan konservasi menjadi kawasan permukiman, industri dan lainnya.

Kota Jakarta merupakan kota metropolitan terbesar di Indonesia, dengan luas 60,000 ha, jumlah penduduk sekitar 8.5 juta jiwa (BPS DKI Jakarta, Maret 2009), dan aglomerasinya berupa Metropolitan Jakarta yang mencakup sebagian wilayah provinsi Jawa Barat dan Banten. Perkembangan intensif Jakarta ke arah barat daya berlangsung sejak tahun 1990an terutama setelah berlangsungnya pembangunan jalan tol Jakarta–Serpong dan kota mandiri Bumi Serpong Damai (BSD City). Aglomerasi perkotaan terbentuk di kawasan ini dengan pusat kedua setelah Jakarta adalah Tangerang dan kemudian Serpong dan Ciputat. Kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten dengan penduduk 105,307 jiwa pada tahun 2009 menjadi hinterland dari kota Serpong dengan aksesibilitas yang baik berupa jalan tol, jalur KA, dan jaringan jalan arteri.

(5)

permukiman di Cisauk terindikasi lebih memprioritaskan aspek pertumbuhan dan kurang memperhatikan keberlanjutan aspek ekologis. Sementara pendekatan kesisteman diperlukan untuk menganalisis masalah lingkungan yang kompleks sehingga diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan keberhasilan suatu sistem dan memberikan dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem.

Kawasan permukiman di Cisauk berada di bagian tengah dari kawasan sub DAS (Daerah Aliran Sungai) Cisadane yang subur namun dengan kondisi teknis yang buruk disebabkan oleh aktivitas domestik dan industri. Kondisi sub DAS Cisadane dipengaruhi oleh kondisi bagian hulu khususnya kondisi biofisik daerah tangkapan dan sistem resapan air yang rawan terhadap pemanfaatan secara sosial dan ekonomi yang dapat mengganggu kelestariannya. Pentingnya asas keterpaduan dalam pengelolaan DAS erat kaitannya dengan pendekatan yang digunakan dalam pengelolaan DAS, yaitu pendekatan ekosistem. Ekosistem DAS merupakan sistem yang kompleks karena melibatkan berbagai komponen biogeofisik dan sosial ekonomi dan budaya yang saling berinteraksi satu dengan lainnya. Keberlanjutan ekosistem DAS memerlukan pendekatan perencanaan dan pengelolaan yang bersifat multi-sektor, lintas daerah, dan kelembagaan. Prinsip satu sungai, satu perencanaan, dan satu pengelola memerlukan koordinasi yang intensif dari seluruh stakeholders.

Isu dan permasalahan di kawasan permukiman Cisauk diantaranya kawasan yang terbagi dua oleh Sungai Cisadane mengakibatkan perkembangan yang terjadi tidak seimbang dimana kawasan sebelah timur sungai lebih berkembang dibandingkan kawasan sebelah barat. Di kawasan permukiman Cisauk terdapat lahan-lahan tempat penambangan pasir untuk mensuplai kebutuhan material pembangunan permukiman di sekitar maupun di luar Cisauk. Patut disayangkan bahwa penambangan ini dilaksanakan dengan kurang memperhatikan keberlanjutan lingkungan seperti penggunaan alat berat, lubang bekas galian dibiarkan begitu saja sehingga menjadi situ yang dalam. Truk-truk besar pengangkut pasir menyebabkan kerusakan jalan akses yang parah dan polusi udara karena debu. Aksesibilitas yang tinggi berupa jalan tol, jaringan KA, dan jalan arteri ke beberapa simpul pelayanan utama, seperti Jakarta, Tangerang, dan Kabupaten Bogor, dapat mendorong percepatan pembangunan namun berpotensi terjadinya perkembangan kota yang tidak terkendali. Konsentrasi penduduk dan arus komuter yang tinggi dapat menimbulkan kemacetan lalu lintas. Terjadi alih fungsi lahan pertanian dan konservasi menjadi kawasan permukiman atau industri. Kawasan permukiman formal, yang dibangun pengembang, umumnya berupa

cluster-cluster permukiman termasuk sarana dan prasarananya akan tetapi antar

cluster tersebut belum terjadi sinkronisasi prasarana, misalnya drainase, sehingga menyebabkan terjadinya banjir.

(6)

dengan studi kasus kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten dengan tujuan antaranya, adalah: (1) mengetahui dinamika perkembangan kawasan permukiman dalam sistem metropolitan DKI Jakarta, (2) mengetahui tingkat keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk pada saat ini, (3) mengetahui faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di pinggiran metropolitan DKI Jakarta, dan (4) menyusun arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman yang berkelanjutan di pinggiran metropolitan DKI Jakarta khususnya kawasan permukiman di Cisauk.

Data yang dianalisis berupa data sekunder dari laporan instansi-instansi terkait atau penelitian terdahulu dan data primer yang didapatkan dari wawancara dengan responden di kawasan penelitian yang disampling secara purposive

sedemikian rupa sehingga dapat mewakili karakterisitik populasi dengan tingkat kesalahan sesuai persyaratan. Dinamika perkembangan kawasan permukiman dalam sistem metropolitan DKI Jakarta dianalisis secara deskriptif. Perkembangan kawasan permukiman di DKI Jakarta antara tahun 1990-2010 ditandai dengan perkembangan yang dinamis terkait fungsi yang berkembang karena urbanisasi, investasi swasta dan bangkitan aktivitas dengan memanfaatkan infrastruktur yang ada. Sistem metropolitan DKI Jakarta dapat dilihat dari hirarki dan jaringan kota dimana pada pengamatan tahun 2010 terdapat PKW (Pusat Kegiatan Wilayah) baru yaitu kota mandiri BSD yang merupakan pengembangan kawasan permukiman berskala kota dengan luas sekitar 6,000 ha. Kawasan permukiman Cisauk yang dikenal sebagai kawasan perdesaan pada tahun 1990 berkembang menjadi kawasan perdesaan menuju perkotaan pada tahun 2010.

Analisis data dengan metode MDS (Multidimension Scaling)–

(7)

Skenario pengembangan kawasan permukiman disusun berdasarkan kemungkinan yang terjadi dari masing-masing faktor yang paling berpengaruh dalam 3 (tiga) alternatif skenario yaitu pesimis, moderat, dan optimis. Skenario pengembangan kawasan permukiman yang terpilih adalah skenario moderat yang secara operasional terdiri dari: pemanfaatan lahan yang terkendali, pengembangan sarana dan prasarana dasar yang meningkat, mempertahankan kohesi sosial, perkembangan penduduk yang terkendali, dan kondisi Sub DAS Cisadane yang meningkat. Arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman diformulasikan dengan memperhatikan dinamika dan sistem metropolitan DKI Jakarta, faktor-faktor paling berpengaruh terhadap keberlanjutan kawasan permukiman, isu dan permasalahan, dan skenario moderat pengembangan kawasan permukiman yang berkelanjutan. Pelaksanaan skenario pengembangan kawasan permukiman tersebut diharapkan dapat meningkatkan keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk secara multi dimensi menjadi 61.31% dan keberlanjutan untuk masing-masing dimensi yaitu ekologi menjadi 57.07%, sosial 58.96%, dan ekonomi 67.91%. Perkembangan pembangunan tidak selamanya berjalan linier seperti yang direncanakan. Dinamika masyarakat, perubahan kebijakan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menuntut adanya penyesuaian dan perubahan. Oleh sebab itu, pemantauan secara berkala dan kaji ulang diperlukan untuk menguji kembali kesahihan data, informasi, dan asumsi yang mendasari kebijakan dan perencanaan yang disusun.

(8)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB

(9)

ARAHAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN

KAWASAN PERMUKIMAN BERKELANJUTAN

DI PINGGIRAN METROPOLITAN DKI JAKARTA

(Studi Kasus: Kawasan Permukiman di Cisauk, Provinsi Banten)

NANANG SOFWAN SANTOSA

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar DOKTOR

pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Setia Hadi

2. Dr. Ir. Widiatmaka, DEA.

(11)
(12)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga disertasi berjudul Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Pinggiran Metropolitan DKI Jakarta, dengan studi kasus kawasan permukiman di Cisauk, Provinsi Banten dapat diselesaikan. Diharapkan disertasi ini dapat melengkapi teori perencanaan perkotaan khususnya pengembangan kawasan permukiman yang menunjang keberlanjutan lingkungan perkotaan dan konstribusi kepada para pemangku kepentingan di bidang pengembangan kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulusnya disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus, Dr. Ir. Machfud, MS., dan Dr. Ir. Ramalis Sobandi P., MT. berturut-turut sebagai Ketua dan Anggota komisi pembimbing yang telah secara nyata memberikan bimbingan, arahan, saran, wawasan, dan semangat. Terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS sebagai Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan dan Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr, sebagai Dekan Sekolah Pascasarja IPB, atas perhatian dan dukungannya, Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS, mantan Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Dr. Ir. Etty Riani, mantan Sekretaris Program Studi Pengelolaan Sumberdaya alam dan Lingkungan yang selalu mendorong untuk segera menyelesaikan studi. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada penguji luar komisi yaitu Prof. Dr. Bambang Pramoedya (ujian kualifikasi), Dr. Ir. Setia Hadi dan Dr. Ir. Widiatmaka, DEA (ujian tertutup), Dr. Ir. Ruchyat Deni Djakapermana dan Dr. Ir. Oswar Muadzin Mungkasa, MURP (ujian terbuka). Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada rekan diskusi studio S3 yaitu Dr. Ir. Rachman Kurniawan, Dr. Ir. Hermanus Rumayomi, Dr. Ir. Budiyono, Dr. Ir. Hairul Sitepu, Dr. Ir. Henri Perangin-angin, teman-teman angkatan VI Penyelenggaraan Program Khusus Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan yang telah memberikan dorongan semangat dan menunjukkan rasa kebersamaan yang tinggi, pendukung survei Fajar K. Purnawijaya, ST dan Neneng Dwi Haryantin, ST, para responden, nara sumber, pakar atas kesediaannya memberikan informasi yang bermanfaat.

Akhirnya saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan perhatian dan bantuannya dalam penyelesaian disertasi ini. Terima kasih secara khusus kepada istri saya Ngesti Rahara Yudaningati, anak-anak saya Nadia Ratna Afifah dan Bagas Amri Wicaksono yang telah memberikan motivasi dan pengorbanan serta selalu mendampingi setiap saat.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(13)
(14)

RIWAYAT HIDUP

Nanang Sofwan Santosa lahir di Tulungagung, Jawa Timur pada tanggal 28 Juni 1958, sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak Sjakban dan Ibu Roesmi Komariah. Pendidikan formal penulis yaitu pendidikan dasar di SD Negeri I Tulungagung pada tahun 1965 – 1971, kemudian dilanjutkan di SMP Negeri I Tulungagung pada tahun 1972 – 1974 dan SMPP Negeri Tulungagung pada tahun 1975 – 1977. Penulis melanjutkan pendidikan S1 di Institut Teknologi 10 Nopember (ITS) Surabaya, jurusan Teknik Arsitektur pada tahun 1978 – 1984 dan S2 jurusan Planning di University of Southern California, USA pada tahun 1996 – 1998. Sejak tahun 2006 penulis menempuh pendidikan S3 di Institut Pertanian Bogor (IPB), program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.

Pendidikan non formal yang pernah ditempuh penulis antara lain Perencanaan dan Tata Laksana Pembangunan Perumahan di Puslitbangkim Bandung (1987); Urban Infrastructure Management Workshop at Seoul-South Korea and Tokyo-Japan (1988); Pelatihan Manajemen Proyek di Denpasar (1989); English for Academic Purpose Course, ALT di Jakarta (1994); Training Program on Solid Waste Management at AIT Bangkok (2002); Diklat Administrasi Umum (ADUM) di Bandung (1999); Diklat Staf dan Pimpinan Administrasi Tingkat Pertama (SPAMA) di Jakarta (2001).

Riwayat penugasan dan jabatan penulis sebagai PNS dimulai dari staf Direktorat Bina Program, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum pada 1985 – 1990. Selanjutnya penulis ditugaskan sebagai Pimpro Manajemen P3KT antara tahun 1991–1996. Pada tahun 1999 – 2000 menjadi Kepala Seksi Program Wilayah Timur II di Direktorat Bina Program dan tahun 2001 – 2004 menjabat Kepala Seksi Wilayah Banten di Direktorat Perkotaan dan Perdesaan Wilayah Tengah. Sejak tahun 2005 bekerja sebagai Kepala Bagian Perencanaan di Biro Perencanaan, Kementerian Perumahan Rakyat dan mulai 2006 bekerja di Pusat Pengembangan Perumahan dan pangkatnya saat ini adalah Pembina Tingkat I (Golongan IV/b).

Penghargaan dan Tanda Jasa yang pernah diterima penulis adalah Satya Lencana Karya Satya X Tahun dan Satya Lencana Karya Satya XX Tahun. Pengalaman organisasi penulis adalah sebagai anggota Ikatan Ahli Arsitek sejak tahun 1985 dan sebagai anggota KORPRI sejak tahun 1985.

Pada tahun 1994 penulis menikah dengan Ngesti R. Yudaningati dan dikaruniai 2 orang anak (Nadia Ratna Afifah dan Bagas Amri Wicaksono). Saat ini penulis bertempat tinggal di Rawalumbu, Bekasi.

(15)

xiv

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ……….……… xix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... ... 1

1.2 Perumusan Masalah ………..…... 3

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… ... 5

1.4 Kerangka Pemikiran ... 6

1.5 Kebaruan (Novelty) ………. 7

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... ... 9

2.1  Perkotaan dan Lingkungan ……….. ... 9 

2.2 Penataan Ruang ... 11

2.3 Perumahan dan Permukiman ... 14

2.4 Metropolitan ... 17

2.5 Ekosistem DAS ………...……….. ... 18

2.6 Pendekatan Pembangunan Ekologis ...……… ... … 21

2.7 Pembangunan Berkelanjutan ... ... ... 23

2.8 Kebijakan Publik ... ... ... 25

2.9 Pendekatan Sistem ... ... ... 28

2.10 Matrik dan Ringkasan Tinjauan Pustaka ………... …… 30

III. METODE PENELITIAN ... ... ... 35

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ..……... ... ... 35

3.2 Jenis Data, Teknik Analisis Data , dan Keluaran …….……. ... ... 35

3.3 Dinamika dan Sistem Metropolitan DKI Jakarta …..….…… ... … 36

3.4 Tingkat Keberlanjutan Kawasan Permukiman di Cisauk ...…... ... .. 42

3.5 Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Cisauk Kabupaten Tangerang …..………... ... 50

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... ... ... 59

(16)

4.2 Kondisi Kota Tangeang Selatan ... ... ... 60

4.3 Kondisi Lokasi Kawasan Cisauk ... ... 61

4.4 Tinjauan Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman ….. 72

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ….………...….…… 79

5.1. Dinamika Perkembangan kawasan pemukiman dalam Sistem Metropolitan DKI Jakarta ………...………... 79

5.2 Status Keberlanjutan Kawasan………..….. 90

5.3. Permasalahan dan Kebutuhan Stakeholder..……… 102

5.4. Faktor-faktor yang Paling Berpengaruh dalam Pengembangan Kawasan Permukiman ……… 108

5.5. Skenario Pengembangan Kawasan Permukiman ……… 108

5 6. Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman …… 115

VI. KESIMPULAN DAN SARAN …………...……….. 135

6.1. Kesimpulan ………. 135

6.2. Saran ……… 138

DAFTAR PUSTAKA...……….. .. 139

(17)

xvi

DAFTAR TABEL

1 Matrik faktor-faktor penting pengembangan kawasan permukiman ... 30

2 Jenis data, teknik analisis, dan keluaran untuk keempat tujuan penelitian .... 37

3 Jenis-jenis peta dan sumber datanya ..………..………... 42

4 Jenis data dan sumber data fisik lingkungan ... 42

5 Jenis data dan sumber data sosial ekonomi ... 43

6 Atribut-atribut Dimensi Ekologi dan Skor Keberlanjutan Kawasan Permukiman ... 45

7 Atribut-atribut Dimensi Sosial dan Skor Keberlanjutan Kawasan Permukiman ... 45

8 Atribut-atribut Dimensi Ekonomi dan Skor Keberlanjutan Kawasan Permukiman ... 46

9 Kategori status keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk ... 48

10 Tingkat kebutuhan masing-masing pemangku kepentingan ... 51

11 Konflik kepentingan antara pemangku kepentingan daerah penelitian ... 51

12 Pedoman penilaian prospektif pengembangan kawasan permukiman ... 55

13 Pengaruh antar faktor dalam pengelolaan kawasan permukiman berkelanjutan ...………. 56

14 Keadaan yang mungkin terjadi pada pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Cisauk, Provinsi Banten ……... 57

15 Luas Wilayah Kecamatan Cisauk dan Kecamatan Setu ..………... 62

16 Jumlah Penduduk Kecamatan Cisauk dan Kecamatan Setu Tahun 2009 .... 64

17 Jumlah dan kondisi rumah di Kecamatan Cisauk dan Kecamatan Setu Tahun 2009 ... 65

18 Penggunaan Lahan di Cisauk ... 67

19 Perkembangan perumahan di Metropolitan DKI Jakarta …... 80

20 Perkembangan Jumlah Penduduk Metropolitan DKI Jakarta ...………... 81

21 Perkembangan Jumlah Kawasan Permukiman di Metropolitan DKI Jakarta periode 1990 – 2010 …….……….. 84

22 Luas Kawasan Permukiman Skala Besar di Bodetabek Tahun 2010 .…… 85

23 Hasil analisis dua parameter statistik MDS ... 93

24 Hasil Anilisis Keberlanjutan kawasan permukiman saat ini …………...… 94

(18)

26 Peran Pemangku Kepentingan Pengembangan Kawasan Permukiman …... 104 27 Kebutuhan stakeholders dalam pengembangan kawasan permukiman ... 105 28 Konflik kepentingan antara stakeholders di daerah penelitian …... 106 29 Prospektif faktor paling berpengaruh pengembangan kawasan ... 106 30 Definisi dari masing-masing skenario pengembangan kawasan

permukiman ... 107 31 Perbandingan status keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman

(19)

xviii

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 7

2 Komponen-komponen ekosistem DAS hulu ... 20

3 Tujuan pembangunan berkelanjutan dan implementasinya dalam konteks kota... 25

4 Tahapan Kebijakan Publik... 26

5 Hubungan Tiga Elemen Sistem Kebijakan... 27

6 Diagram sistem terbuka... 30

7 Diagram sistem tertutup ... 30

8 Ilustrasi penentuan indeks keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten dalam skala ordinasi ………... 49

9 Ilustrasi indeks keberlanjutan setiap dimensi kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten ………... 49

10 Struktur hirarki pengambilan keputusan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di. Cisauk ……... 53

11 Penentuan faktor pengungkit pengembangan kawasan permukiman ... 55

12 Metodologi Penelitian Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan Pemukiman Bekelanjutan di Cisauk ... 58

13 Letak Kabupaten Tangerang dan Kota Tangsel ... 59

14 Peta Kecamatan Cisauk dan Kecamatan Setu, Provinsi Banten ... 63

15 Kawasan Pemukiman di Cisauk dan sekitarnya ... 64

16 Peta penggunaan lahan di Kecamatan Cisauk dan Kecamatan Setu Tahun 2010 ... 68

17 Peta sub DAS Cisadane ... 72

18 Distribusi aliran permukaan di wilayah sub DAS Cisadane tengah ... 72

19 Grafik perkembangan penduduk metropolitan DKI Jakarta ... 82

20 Hirarki metropolitan DKI Jakarta menurut NUDS Tahun 2000 ... 83

21 Grafik Perkembangan Jumlah Kawasan Permukiman di Metropolitan DKI Jakarta Tahun 1990 - 2010 ... 84

22 Rencana Pengembangan BSD ... 86

23 Hirarki metropolitan DKI Jakarta sesuai Perpres 54/Th 2008 tentang penataan ruang Jabodetabek Punjur ………...……. 87

24 Hirarki faktual metropolitan DKI Jakarta Tahun 2010 ... 88

(20)

26 Pengembanan Fungsional Kawasan Pemukiman di Cisauk ... 90

27 Nilai indeks keberlanjutan multidimensi pengembangan aktual pengembangan kawasan permukiman di Cisauk ... 92

28 Diagram layang-layang nilai Kawasan Permukiman ... 95

29 Nilai masing-masing atribut dalam dimensi ekologi ... 96

30 Nilai masing-masing atribut dalam dimensi sosial ... 97

31 Nilai masing-masing atribut dimensi ekonomi ... 100

32 Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di Cisauk ... 101

33 Diagram Pemangku Kepentingan Pengembangan Permukiman di metropolitan DKI Jakarta ………... 102

34 Struktur hirarki pengambilan keputusan skenario kebijakan dalam rangka pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan ... 109

35 Nilai indeks keberlanjutan multi dimensi pengembangan kawasan permukiman menurut skenario moderat ... 113

36 Diagram layang-layang indeks keberlanjutan prospektif menurut skenario moderat ………. 113

37 Grafik perbandingan status keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk saat ini dan hasil skenario ………..…….... 114

(21)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kualitas air dan udara kawasan pemukiman di Cisauk dan sekitarnya ….. 145

2 Hasil analisa MDS aktual dan prospektif ………..……… 147

3 Consistency Ratio - AHP (preferensi gabungan) ……….... 151

4 Pesepsi Responden (penduduk, pemeintah, dan swasta) terhadap Pengembangan Kawasan Permukiman di Cisauk, provinsi Banten …… 153

5 Tabulasi data-data hasil pengisian kuesioner ……… 155

6a. Kuesioner penduduk ………..………..……... 157

6b. Kuesioner pengembang ………. 163

6c. Kuesioner pemerintah dan pakar ………... 169

7 Foto-foto lokasi penelitian ………..……… 175

(22)

I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Peran kawasan perkotaan dalam pembangunan nasional dan daerah sangat penting. Kawasan perkotaan umumnya merupakan tempat berkembangnya kegiatan industri manufaktur dan jasa yang menawarkan peluang bagi peningkatan nilai tambah perekonomian secara keseluruhan. Perbandingan antar negara menunjukkan bahwa kemajuan pembangunan suatu negara senantiasa diiringi dengan bertambahnya penduduk perkotaan dan meningkatnya kontribusi sektor-sektor industri manufaktur dan jasa.

Pertambahan penduduk perkotaan di Indonesia sangat cepat pada dua dekade akhir abad ke dua puluh dan awal abad ke dua puluh satu yang disebabkan oleh pertumbuhan alami dan urbanisasi. Urbanisasi tidak hanya diartikan sebagai proses perpindahan penduduk desa ke kota, melainkan juga mencakup proses “pengkotaan” kawasan perdesaan. Sebagian urbanisasi (30-40%) terjadi karena reklasifikasi.Pada 1980, jumlah penduduk perkotaan baru mencapai 32.8 juta jiwa atau 22.3% dari keseluruhan penduduk nasional. Pada tahun 1990 angka tersebut meningkat menjadi 55.4 juta jiwa atau 30.9%, dan berdasarkan sensus penduduk 2000, jumlah penduduk perkotaan telah mencapai lebih dari 85 juta jiwa atau 42% dari jumlah keseluruhan penduduk dengan laju kenaikan sebesar 4.40% per tahun selama kurun 1990-2000. Jumlah tersebut diperkirakan akan mencapai 150 juta atau 60% dari keseluruhan penduduk nasional pada tahun 2015 (BPS, 2003).

(23)

Meningkatnya penduduk di kota-kota besar dan metropolitan tersebut menyebabkan terjadinya kelangkaan sumber daya, misalkan lahan. Lahan menjadi mahal dan tidak terjangkau sehingga menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan permukiman menjadi kawasan perdagangan dan jasa. Terkonsentrasinya penduduk tersebut menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan permukiman seperti terjadinya kemacetan, polusi udara dan kebisingan akibat banyaknya kendaraan bermotor, dan konflik sosial-ekonomi. Dalam perkembangannya, banyak penduduk yang semula bermukim di kota-kota besar kemudian pindah ke kawasan pinggiran kota dengan pertimbangan mencari lahan yang terjangkau atau lingkungan permukiman yang sehat dan aman. Dalam kurun waktu mulai tahun 1995 sampai tahun 2000 diperkirakan setengah juta penduduk yang semula tinggal di DKI Jakarta pindah ke Bekasi, Bogor, dan Tangerang (Firman, 2005).

(24)

sangat pesat berdampak pada perkembangan kawasan-kawasan di sekitarnya diantaranya kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten.

Penelitian arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman yang berkelanjutan di kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten merupakan suatu hal yang sangat penting, karena dapat memberi kontribusi pada upaya pengembangan kawasan permukiman yang berkelanjutan di kota-kota kecil di pinggiran metropolitan DKI Jakarta.

1.2

Perumusan Masalah

Pertambahan penduduk perkotaan yang cepat menyebabkan tingginya kebutuhan akan lahan di pusat kota untuk hunian dan aktivitas lainnya, sementara lahan yang tersedia tidak bertambah sehingga menyebabkan lahan menjadi langka dan mahal. Hal tersebut menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan. Kawasan yang tadinya merupakan permukiman berubah menjadi kawasan perdagangan dan jasa. Lahan-lahan yang semula berupa ruang terbuka hijau atau resapan air berubah menjadi daerah permukiman atau niaga. Perkembangan dan terkonsentrasinya penduduk di kota besar dan metropolitan tersebut menyebabkan kualitas lingkungan hidup menurun seperti terjadinya kemacetan, polusi, dan banjir sehingga tidak nyaman sebagai tempat tinggal.

(25)

keterkaitan sistem perkotaan (konurbasi) yang baik dengan kawasan-kawasan di sekitar maupun sistem perkotaan yang lebih besar yang selanjutnya dapat mengancam keberlanjutan sistem perkotaan.

Dalam mendorong dan mengatur pengembangan kawasan permukiman, pemerintah menerbitkan kebijakan pembangunan perumahan skala besar yang lebih dikenal dengan kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun (Kasiba, Lisiba). Hal ini juga sejalan dengan diluncurkannya kebijakan usaha yang dikenal dengan Paket Oktober (Pakto) tahun 1993 yang isinya memberikan kemudahan pada kegiatan usaha termasuk pengembang dalam pemberian izin lokasi dan pembebasan tanah. Kebijakan tersebut mendapatkan respon positif para pengembang terlihat dari banyaknya permohonan izin lokasi untuk membangun perumahan skala kecil maupun besar. Sayangnya lokasi yang diajukan sepertinya kurang mendapatkan telaahan dengan cermat. Meskipun dilakukan analisis mengenai dampak lingkungan tetapi dampak terhadap perkembangan kota, kondisi sosial ekonomi lokal, dan lingkungan pada umumnya dilakukan untuk memenuhi persyaratan formal. Penilaian terhadap kapasitas finansial, manajerial dan teknikal pengembang serta kemungkinan keberhasilan mewujudkan perumahan skala besar tersebut kurang diperhatikan (Kuswartojo et al., 2005).

(26)

Menurut pengamatan sementara penulis perkembangan kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten tersebut masih belum optimal. Hal ini diduga karena (1) kurang terencana dan didukung oleh prasarana dan sarana yang memadai, (2) kerusakan lingkungan yang antara lain terlihat dari adanya kegiatan penggalian pasir dan batu yang kurang memperhatikan keberlanjutan lingkungan, (3) perumahan-perumahan yang dibangun banyak dalam keadaan kosong, (4) rusaknya prasarana jalan, dan lain-lain.

Selanjutnya apabila pengembangan kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten ini dibiarkan tumbuh berdasarkan mekanisme pasar, besar kemungkinan tidak akan berkelanjutan, merusak konservasi dan mengancam ketahanan pangan, serta berdampak menurunnya upaya optimalisasi enclave

permukiman di pinggiran kota.

1.3

Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah menyusun arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman yang berkelanjutan di pinggiran metropolitan DKI Jakarta, dengan studi kasus kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka beberapa kegiatan yang akan dilakukan sebagai tujuan antara, adalah:

1. Mengetahui dinamika perkembangan kawasan permukiman dalam sistem metropolitan DKI Jakarta.

2. Mengetahui tingkat keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk saat ini. 3. Mengetahui faktor-faktor paling berpengaruh terhadap keberlanjutan

pengembangan kawasan permukiman di pinggiran metropolitan DKI Jakarta. 4. Menyusun arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman yang

berkelanjutan di pinggiran metropolitan DKI Jakarta. 1.3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

(27)

2. Secara praktis, penelitian ini ditujukan untuk para pemangku kepentingan yang terkait dengan keberlanjutan kota – kota kecil sebagai bagian dari sistem metropolitan di Indonesia, khususnya Cisauk sebagai bagian dari metropolitan DKI Jakarta.

1.4

Kerangka Pemikiran

Pengembangan kawasan permukiman di pinggiran kota metropolitan ini dilaksanakan dengan mengacu pada rencana tata ruang daerah yang tertuang dalam Perda (Peraturan Daerah). Pengaturan ruang mengarahkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan lahan untuk mengakomodasi dinamika kehidupan masyarakat. Kawasan permukiman adalah bagian dari kawasan budidaya yang keberlangsungannya bergantung pada dukungan kawasan konservasi/ lindung.

Berdasarkan kebijakan, rencana, pengaturan dan dinamika pembangunan yang didorong oleh pengembangan pasar maupun kebijakan publik, kota metropolitan DKI Jakarta tumbuh dengan hirarki dan karakter yang spesifik. Sejak tahun 1980an Jakarta berkembang kearah barat daya, diantaranya terkait dengan eksistensi kecamatan-kecamatan di kabupaten Tangerang bagian selatan yang didukung dengan dibangunnya jalan Tol Jakarta - Serpong.

Sejalan dengan booming ekonomi, terjadi peningkatan kapasitas investasi swasta, daya beli masyarakat dan stimulasi pemerintah. Perkembangan kota metropolitan ini diwarnai juga oleh dinamika politik dengan azas desentralisasi dan otonomi daerah dengan dilaksanakannya pemilihan langsung kepala daerah dan perubahan tata administrasi pemerintahan. Kemajuan teknologi dan komunikasi menghilangkan batas-batas antar kota maupun negara sehingga terjadi kota dengan sistem yang mengglobal.

(28)

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian

1.5

Kebaruan (

Novelty

)

Kebaruan (novelty) dari penelitian ini adalah:

1. Ditemukan faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam rangka meningkatkan keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk, yaitu: alih fungsi lahan pertanian, pengembangan prasarana dan sarana, kohesi sosial, perkembangan penduduk dan penyebarannya, dan kondisi sub DAS Cisadane.

2. Terumuskannya arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk berdasarkan dinamika perkembangan metropolitan di DKI Jakarta dan kondisi sub DAS Cisadane dengan mempertimbangkan faktor kependudukan, lingkungan, dan sosial, secara terintegrasi.

3. Tahapan untuk menyusun arahan kebijakan kawasan permukiman dapat memberikan kontribusi kepada pengambil keputusan untuk peningkatan keberlanjutan kawasan permukiman di pinggiran DKI Jakarta.

Kawasan Permukiman di Cisauk

Kelayakan Ekonomi Akseptasi

Sosial

Skenario

Stakeholders

Skenario Daya Dukung Lahan Urbanisasi

Sistem Metropolitan DKI Jakarta

Sistem Sub DAS Cisadane

Faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan

Keberlanjutan Sosial - ekonomi Keberlanjutan Ekologi

Infra-struktur Guna

Lahan Tata Air

(29)

1.6

Ruang Lingkup Penelitian

Untuk merumuskan arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk dilaksanakan dengan batasan-batasan sebagai berikut :

1. Lokasi penelitian kawasan permukiman di Cisauk provinsi Banten yang merupakan kawasan di pinggiran metropolitan DKI Jakarta.

2. Fokus analisis adalah kebijakan pengembangan permukiman yang bertumpu pada tiga pilar keberlanjutan yaitu aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. 3. Analisis dilakukan terhadap variabel-variabel kunci pengembangan kawasan

permukiman seperti dinamika kependudukan, sebaran permukiman, infrastruktur, lahan. Analisis juga dilakukan terhadap variabel-variabel Sub DAS Cisadane seperti tata air, guna lahan dan manajemen.

4. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini berupa soft system methodology seperti Multidimensional Scaling (MDS), Analisis Prospektif, dan Analytical Hierarchy Process (AHP).

5. Metropolitan DKI Jakarta adalah kawasan perkotaan dimana beberapa kota atau kabupaten saling terkait satu sama lain yang membentuk kawasan metropolitan dengan Jakarta sebagai kota inti dikelilingi beberapa kota satelit yaitu Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Kawasan metropolitan ini juga dikenal sebagai kawasan Jabodetabek yang merupakan singkatan nama kota inti dan kota-kota satelitnya (Ditjen Penataan Ruang, 2006). 6. Sub DAS Cisadane adalah bagian dari wilayah sungai Ciliwung-Cisadane

mencakup 6 kab/kota, seluas 4,496 m2 terdiri dari 4 aliran sungai DAS Ciliwung, Sub DAS Cisadane, DAS Kali Buaran dan DAS kali Bekasi. Terdiri dari kawasan lindung 22.45%, budidaya pertanian terbatas 26.96%, budidaya pertanian intensif 50.58%.

7. Permukiman diartikan sebagai perumahan atau kumpulan tempat tinggal dengan segala unsur serta kegiatan yang berkaitan dan yang ada di dalam permukiman (Kuswartojo et al., 2005).

(30)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Perkotaan dan Lingkungan

Richardson (1978) menyatakan kota merupakan suatu wilayah administrasi yang ditetapkan oleh pemerintah, kepadatan penduduknya tinggi, sebagian besar wilayahnya merupakan daerah terbangun dengan jalur lalu lintas dan transportasi, merupakan kegiatan perekonomian non–pertanian. Budihardjo dan Hardjohubodjo (1993) menyatakan kota-kota di Indonesia pada umumnya berkembang secara

laissez-faire, tanpa dilandasi perencanaan menyeluruh dan terpadu. Kota-kota di Indonesia tidak betul-betul dipersiapkan atau direncanakan untuk dapat menampung pertumbuhan penduduk yang besar dalam waktu relatif pendek.

Berkaitan dengan tata guna lahan perkotaan, Almeida et al. (2003) melakukan penelitian mengenai permodelan dinamik tata guna lahan perkotaan berkelanjutan. Eksperimen dilakukan dengan membangun sebuah panduan metodologis untuk pemodelan perubahan tata guna lahan perkotaan melalui metode statistik ”pembobotan bukti”. Variabel-variabel yang menjelaskan dapat bersifat endogen (melekat dalam sistem transformasi tata guna lahan) atau eksogen (di luar sistem). Variabel-variabel endogen berkaitan dengan ciri-ciri lingkungan alam dan buatan manusia maupun berbagai aspek sosial ekonomi dari sebuah kota, seperti legislasi peruntukan dan legislasi perkotaan; prasarana teknik dan sosial; topografi; kawasan lindung/konservasi; pasar real estate; kesempatan kerja; adanya pusat-pusat kegiatan yang terpolarisasi seperti mall, taman-taman tematik, tempat peristirahatan, dan seterusnya. Hasil pemodelan ini menunjukkan bahwa dinamika tata guna lahan memberikan estimasi pada perkembangan perkotaan berkelanjutan.

(31)

Rahardjo (2003) dalam penelitian mengenai upaya pengendalian lahan di perkotaan mengungkapkan dengan semakin liberalnya ekonomi dan adanya desentralisasi pemerintahan yang berwujud otonomi memberikan kebebasan pada daerah untuk mengelola daerahnya sendiri. Sisi negatif dari kebijakan ini dapat berakibat pada terjadinya penurunan mutu lingkungan. Salah satu penyebabnya adalah kurang baiknya pengelolaan dan penggunaan lahan. Untuk mengurangi dampak negatif dari pemanfaatan lahan, diperlukan suatu penanganan terpadu yang melibatkan berbagai disiplin ilmu dan institusi terkait dengan lahan itu sendiri, baik pemerintah maupun swasta. Salah satu upaya untuk menghilangkan dan mengurangi dampak negatif tersebut adalah melalui manajemen lahan. Kesalahan dalam manajemen lahan dapat mengakibatkan terjadinya degradasi lahan, dan tanah berubah menjadi marjinal yang tidak dapat ditanami, serta rusaknya ekosistem alam. Kekuatan yang mendorong degradasi lahan tersebut antara lain, cepatnya pertambahan populasi, kebijakan ekonomi yang mengeksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, dan dipercepat oleh buruknya manajemen pembangunan kota. Khusus bagi daerah perkotaan, terbatasnya pasokan lahan mengakibatkan lahan menjadi mahal sehingga mendorong para investor yang bergerak dalam sektor properti mengkonversi sawah, situ dan lahan pertanian menjadi lahan permukiman.

(32)

disebabkan adanya akses besar yang dimiliki oleh lahan terhadap berbagai pelayanan kota, disamping nilai lahannya sendiri.

Degradasi lingkungan tidak dapat dibiarkan terus berlangsung. Salah satu jalan keluar untuk mengatasi degradasi lingkungan yang mengancam perkotaan adalah upaya – upaya penyusunan tata ruang secara terpadu dan berwawasan lingkungan. Penataan ruang tidak sekedar pengelolaan perubahan lingkungan binaan dan alam saja, melainkan sebagai upaya untuk penyelesaian berbagai benturan kepentingan yang berbeda.

2.2 Penataan Ruang

Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lain hidup melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (Anonim, 2007a). Untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan perlu dilakukan penataan ruang yang dapat mengharmonisasikan lingkungan alam dan lingkungan buatan, yang mampu mewujudkan keterpaduan penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan, serta dapat memberikan perlindungan terhadap fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan hidup akibat pemanfaatan ruang. Kaidah penataan ruang ini harus dapat diterapkan dan diwujudkan dalam setiap proses perencanaan tata ruang wilayah.

(33)

Secara umum beberapa pengertian wilayah ini dapat dikelompokkan sebagai berikut (Rustiadi et al. 2004): (1) ruang wilayah ekologis adalah deliniasi fungsi kesatuan ekosistem berbagai kehidupan alam dan buatan yang membentuk pola ruang ekotipe dan struktur hubungan yang hirarkis antar ekotipe, misalnya daerah aliran sungai (DAS) dengan sub DAS-nya, wilayah hutan tropis dengan struktur bagian hutan tropisnya, (2) ruang wilayah ekonomi adalah deliniasi wilayah yang berorientasi menggambarkan maksud fungsi ekonomi, seperti wilayah konsumsi, perdagangan, serta aliran barang dan jasa, (3) ruang wilayah sosial budaya adalah deliniasi wilayah yang terkait dengan budaya adat dan berbagai perilaku masyarakatnya, misalnya wilayah adat/ marga, suku, maupun wilayah pengaruh kerajaan, (4) wilayah politik, yaitu deliniasi wilayah yang terkait dengan batasan administrasi, yaitu batasan ruang kewenangan kepala pemerintahan yang mengatur dan mengelola berbagai sumberdaya alam dan pemanfaatannya untuk kepentingan pengembangan wilayah yang akan diatur dan yang menjadi kewenangan politik selaku penguasa wilayah. Dalam konteks pemanfaatan ruang, pemahaman terhadap konsep ruang wilayah yang disusun berdasarkan kluster ini menjadi penting untuk dapat secara rinci dan mudah menetapkan variabel-variabel dominan yang mempengaruhi dalam proses pengembangan wilayah.

Penataan ruang adalah suatu proses yang melibatkan berbagai komponen kegiatan pengelolaan sumberdaya alam dan buatan yang saling berkaitan secara sistem. Faktor pendukung kegiatan utama proses penataan ruang perkotaan saling berkaitan dan mempengaruhi secara terus menerus membentuk sistem yang dinamis. Rustiadi et al. (2004) mengatakan bahwa perlu ada koordinasi yang sifatnya lintas wilayah yang baik di era otonomi ini dan penyesuaian dengan kapasitas pemerintah dan masyarakat untuk mengimplementasikan rencana tata ruang. Pernyataan ini memberikan gambaran perlu ada kebijakan atau langkah penyesuaian terlebih dahulu untuk dapat melaksanakan rencana tata ruang yang telah disusun. Kebijakan untuk melaksanakan suatu rencana tata ruang harus disusun dalam suatu langkah dengan urutan prioritasnya.

(34)

operasionalisasinya sering disebut sebagai kebijakan strategis pembangunan (master plan) atau rencana induk pembangunan yang berisi langkah kebijakan strategis sektor yang mengacu pada rencana tata ruang. Beberapa negara seperti Australia, Kanada, Amerika, dan Jepang telah menerapkan prinsip pengaturan ruang wilayah dengan membuat kebijakan-kebijakan operasional masing-masing sektor yang mengacu pada rencana tata ruang dan ini sering disebut dengan perencanaan penataan ruang strategis (strategic spatial planning) (Djunaedi, 2001).

Perencanaan kebijakan dan strategi dalam penataan ruang lebih untuk menunjukkan sebuah alat untuk dapat mengoperasionalkan rencana tata ruang. Pertimbangan perlunya arahan kebijakan dan strategi dalam operasionalisasi rencana tata ruang antara lain: adanya persoalan koordinasi kebijakan publik khususnya dengan pemerintah lokal, mencari cara bagaimana membuat wilayah perkotaan lebih ekonomis dan kompetitif dengan mengembangkan asset base-nya, perlu menetapkan bentuk kebutuhan ruang sumberdaya alam yang optimal untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan, serta bagaimana mengatasi ketidakseimbangan distribusi akses penduduk lokal untuk berhubungan dengan wilayah perkotaan. Untuk itu Healy (2004) menetapkan kriteria dalam kebijakan strategisnya, yaitu (1) skala pengelolaan, (2) skala posisi kota dan wilayahnya, (3) regionalisasi, (4) kelayakan material dan identitas, (5) konsep pengembangannya, (6) bentuk-bentuk representasi hubungan integrasi fungsional.

(35)

eksekutif (Dinas, Bappeda). Persoalannya adalah pada langkah membuat rencana tindak untuk mengoperasionalkan rencana tata ruang sebagai strategi lanjutan yang perlu disusun (Djakapermana dan Djumantri, 2002).

Di Indonesia, pada awal tahun 90-an telah dimulai diperkenalkan alat untuk mengoperasionalkan rencana tata ruang (kota) dalam bentuk rencana induk sistem (RIS) sebagai bagian dari konsep rencana tata ruang kota yang dinamis oleh Ditjen Cipta Karya – Departemen Pekerjaan Umum (Djakapermana dan Djumantri, 2002). RIS diperlukan dengan pertimbangan rencana tata ruang seringkali sulit diimplementasikan secara langsung oleh para manajer pembangunan kota. RIS ini adalah sebagai alat kebijakan bagi pengambil keputusan/ manajer kota (walikota) untuk menjabarkan rencana tata ruang dalam langkah-langkah rencana tindaknya. Dalam hal ini RIS hanya mengatur arahan operasionalisasi pembangunan prasarana perkotaan saja dan analisisnya tidak holistik serta tidak mempertimbangkan faktor dominan pembangunan perkotaan secara keseluruhan.

Dalam perspektif holistik, penyusunan kebijakan dalam operasionalisasi rencana tata ruang harus difokuskan pada tiga hal (Bastian, 2001), yaitu (1) struktur, proses dan kesempatan, (2) aspek alokasi ruang dan hirarkinya, (3) aspek kompleksitas dari berbagai faktor perbedaan dari suatu lansekap.

2.3

Perumahan dan Permukiman

Berdasarkan Undang-Undang No.4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, dapat merupakan kawasan perkotaan dan perdesaan, berfungsi sebagai lingkungan tempat hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian plus prasarana dan sarana lingkungan (Anonim, 1992).

(36)

kehidupan manusia itu sendiri. Pada tahun 1988 badan dunia PBB, Habitat, mencetuskan strategi global permukiman sampai tahun 2000, yaitu Atap bagi Semua (Shelter for All).

Doxiadis (1971) menyatakan, permukiman mempunyai lima faktor, yaitu : alam, manusia, masyarakat, rumah dan jaringan prasarana. Hal ini menjelaskan urutan proses pembentukan permukiman. Selanjutnya konsep pembentukan permukiman tersebut dapat disederhanakan menjadi tiga komponen utama, yaitu alam (tanah, air, udara), lindungan (shells) dan jaringan (networks), sedangkan isinya adalah manusia. Alam merupakan faktor dasar, dan di alam itulah dibangun rumah dan fasilitasnya untuk tempat tinggal manusia serta melakukan kegiatan. Jaringan seperti jalan dan utilitas, merupakan faktor yang memfasilitasi hubungan antar sesama manusia, yang berarti terjadi interaksi antara manusia sebagai penghuni dengan lingkungan sebagai huniannya.

Kebijakan perumahan dan permukiman Indonesia tahun 2000 – 2020 antara lain adalah lokasi perumahan dikembangkan dengan memperhatikan jumlah penduduk dan penyebarannya, tata guna tanah, kesehatan lingkungan, tersedianya fasilitas sosial, serta keserasian dengan lingkungan (Anonim, 1999).

Kuswara (2004) dalam kajiannya mengungkapkan bahwa perumahan dan permukiman merupakan tempat aktivitas yang memanfaatkan ruang terbesar dari kawasan budidaya. Pengelolaan pembangunan perumahan harus memperhatikan ketersediaan sumberdaya pendukung serta keterpaduannya dengan aktivitas lain. Dalam kenyataannya hal tersebut sering terabaikan, sehingga tidak berfungsi secara optimal dalam mendukung suksesnya perkembangan kota. Oleh karena itu, diperlukan upaya pengembangan perencanaan dan perancangan, serta pembangunan perumahan yang kontributif terhadap tujuan penataan ruang.

(37)

Permasalahan perumahan saat ini menurut Kirmanto (2005) antara lain adalah (i) alokasi tanah dan tata ruang yang kurang tepat, (ii) ketimpangan pelayanan infrastruktur, pelayanan perkotaan dan perumahan, (iii) konflik kepentingan dalam penentuan lokasi perumahan, (iv) masalah lingkungan dan eksploitasi sumberdaya alam, dan (v) komunitas lokal tersisih, dimana orientasi pembangunan terfokus pada kelompok masyarakat mampu.

Tantangan perkembangan pembangunan perumahan dan permukiman yang akan datang antara lain adalah: (i) urbanisasi yang tumbuh cepat merupakan tantangan bagi pemerintah untuk berupaya agar pertumbuhan lebih merata, (ii) perkembangan tak terkendali di daerah yang memiliki potensi untuk tumbuh, (iii) marjinalisasi sektor lokal oleh sektor nasional dan global; dan (iv) kegagalan kebijakan dan implementasi penentuan lokasi perumahan.

Kesesuaian lokasi kawasan permukiman dapat didasarkan pada persyaratan umum lokasi perumahan dan permukiman yang dikeluarkan Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 2005. Lokasi kawasan harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah setempat atau dokumen perencanaan tata ruang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (PERDA) setempat, atau memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut :

1. Tidak berada pada kawasan lindung;

2. Bebas dari pencemaran air, udara, dan gangguan suara atau gangguan lainnya, baik yang ditimbulkan sumberdaya buatan manusia maupun sumberdaya alam seperti banjir, tanah longsor dan tsunami;

3. Ketinggian lahan kurang dari 1000 meter di atas permukaan air laut (MDPL);

4. Kemiringan lahan tidak melebihi 15 % dengan ketentuan : (i) tanpa rekayasa untuk kawasan yang terletak pada lahan bermorfologi datar-landai dengan kemiringan 0-8 %, (ii) diperlukan rekayasa teknis untuk lahan dengan kemiringan 8-15 %;

5. Pada kota-kota yang mempunyai bandar udara, tidak mengganggu jalur penerbangan pesawat;

6. Kondisi sarana dan prasarana memadai;

(38)

2.4

Metropolitan

Metropolitan didefinisikan sebagai suatu pusat permukiman yang besar yang terdiri dari satu kota besar dan beberapa kawasan yang berada di sekitarnya dengan satu atau lebih kota besar melayani sebagai titik hubung (hub) dengan kota-kota sekitarnya tersebut (Ditjen Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum, 2006). Suatu kawasan metropolitan merupakan aglomerasi dari beberapa kawasan permukiman, tidak harus kawasan permukiman bersifat kota, namun secara keseluruhan membentuk suatu kesatuan dalam aktivitas bersifat kota dan bermuara pada pusat yang dapat dilihat dari aliran tenaga kerja dan aktivitas komersial. Secara umum, kawasan metropolitan dapat didefinisikan sebagai ”satu kawasan dengan konsentrasi penduduk yang besar, dengan kesatuan ekonomi dan sosial yang terpadu dan mencirikan aktivitas kota.” Pada tahap awal, kota-kota yang berdekatan atau secara administratif bersebelahan, membentuk konurbasi, yaitu suatu kawasan tempat bergabungnya beberapa kota. Fenomena ini sering disebut Metropolitan (Doxiadis, 1971). Kota atau kawasan metropolitan merupakan perwujudan perkembangan yang alamiah dari suatu permukiman perkotaan yang berkembang sangat pesat. Perkembangan tersebut menyebabkan jumlah penduduk dan luas wilayah yang sangat besar dengan karakteristik dan persoalan yang spesifik. NUDS (1985) menetapkan bahwa sebuah metropolitan berpenduduk minimal satu juta jiwa.

Ciri-ciri metropolitan dapat dilihat dari aspek kependudukan dan aspek lain. Jumlah penduduk yang besar merupakan salah satu karakteristik suatu metropolis. Ciri lain adalah aktivitas sosial ekonomi yang menunjukkan adanya spesialisasi fungsi. Biasanya merupakan industri-industri (manufaktur) dan jasa. Integrasi antara kawasan permukiman dan tempat kerja adalah persoalan nyata di metropolitan saat ini dan merupakan karakter khas metropolitan. Karakter lain adalah kemudahan mobilitas yang menurut Angotti (1993) terlihat dalam 3 bentuk mobilitas: pekerjaan, perumahan dan perjalanan.

(39)

Amerika (dan juga Eropa) adalah cerminan ekonomi kapitalis, sedangkan metropolitan di bekas Uni Soviet adalah gambaran dari ekonomi sosialis, sementara Dependent Metropolis adalah gambaran dari ekonomi campuran (mixed economy). Metropolitan di Amerika mencerminkan inequality dan mobility;

Dependent Metropolis menunjukkan adanya development dan inequality, sementara metropolitan di Uni Soviet menunjukkan integrasi sosial dan struktur politik yang lebih terbatas dan mobilitas yang rendah.

Tumbuhnya titik-titik pertumbuhan baru berupa kota-kota baru merupakan salah satu tahap dalam perkembangan suatu metropolitan. Seiring dengan munculnya sub-sub pusat baru yang menawarkan berbagai kelengkapan fasilitas dan utilitas, terjadi arus migrasi penduduk ke tempat tumbuhnya kota-kota baru tersebut yang umumnya berada di daerah pinggiran (suburban).

2.5

Ekosistem DAS

(40)

terwujudnya pemanfaatan sumberdaya alam untuk pembangunan yang berkelanjutan (Djayadiningrat, 2001).

Daerah aliran sungai merupakan suatu ekosistem. Ekosistem DAS terdiri atas empat komponen utama, yaitu desa, sawah/ladang, sungai, dan hutan (Asdak, 2010). Komponen-komponen yang menyusun DAS berbeda tergantung pada keadaan daerah setempat. Misalnya, di DAS tengah terdapat komponen lain seperti perkebunan. Gambar 2 menunjukkan bahwa oleh adanya hubungan timbal balik antar komponen ekosistem DAS, maka apabila terjadi perubahan pada salah satu komponen lingkungan, ia akan mempengaruhi komponen-komponen yang lain dan pada gilirannya akan mempengaruhi keseluruhan sistem ekologi di daerah tersebut. Sebagai contoh meningkatnya erosi dan tanah longsor di daerah hulu karena pengusahaan lahan dengan cara-cara yang mengabaikan kaidah-kaidah konservasi tanah akan meningkatkan muatan sedimen di daerah hilir. Perambahan hutan dalam skala besar yang menyebabkan hilangnya seresah dan humus yang dapat menyerap air hujan akan mempengaruhi perilaku aliran sungai dimana pada musim hujan debit air meningkat tajam sementara pada musim kemarau debit air sangat rendah. Dengan demikian, resiko banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau meningkat.

(41)
[image:41.612.100.469.62.755.2]

lebih dari satu wilayah administrasi. Sebuah DAS yang menjadi bagian dari DAS yang lebih besar dinamakan sub DAS. DAS dapat dibagi ke dalam tiga wilayah yaitu bagian hulu, tengah dan hilir. Ekosistem bagian hulu merupakan daerah konservasi, kemiringan lereng yang besar, bukan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya merupakan hutan. Sementara daerah hilir DAS merupakan daerah pemanfaatan, daerah dengan kemiringan lereng kecil, pada beberapa tempat merupakan daerah genangan, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi tanaman pertanian kecuali daerah estuaria yang didominasi hutan bakau. Daerah tengah DAS merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofifik DAS yang berbeda tersebut di atas.

Gambar 2 Komponen-komponen ekosistem DAS hulu Sumber : Asdak (2010)

Pemahaman prinsip-prinsip hidrologi DAS dalam pemanfaatan dan pencagaran DAS penting untuk pemangku kepentingan terkait DAS. Hidrologi mempelajari air dalam segala bentuknya (cairan, gas, padat) pada, dalam, dan di atas permukaan tanah. Sementara, hidrologi DAS adalah cabang dari hidrologi yang mempelajari pengaruh pengelolaan vegetasi dan lahan di daerah tangkapan air bagian hulu tehadap daur air, termasuk pengaruhnya terhadap erosi, kualitas

Desa Sawah

Hutan

Sungai Tumbuhan

Tanah Manusia Hewan

Air

(42)

air, banjir, dan iklim di daerah hulu dan hilir. Pemahaman proses-proses hidrologi menjadi penting dalam perencanaan konservasi tanah dan air, sebagai kegiatan utama dalam pengelolaan DAS, untuk menentukan: (1) perilaku hujan terkait terjadinya erosi dan sedimentasi, (2) hubungan curah hujan dan aliran permukaan (runoff), (3) debit puncak (peakflow) untuk keperluan merancang bangunan-bangunan banjir, (4) hubungan karakteristik suatu DAS dengan debit puncak yang terjadi di daerah tersebut. Terkait dengan sistem hidrologi, DAS mempunyai karakteristik yang spesifik dan terkait erat dengan unsur utamanya, yaitu tanah, tataguna lahan, topografi, kemiringan dan panjang lereng (Asdak, 2010). Diantara faktor-faktor yang berperan dalam menentukan sistem hidrologi tersebut, faktor tataguna lahan dan kemiringan dan panjang lereng dapat direkayasa oleh manusia. Dengan demikian, dalam merencanakan pengeloloaan DAS, faktor perubahan tataguna lahan serta pengaturan kemiringan dan panjang lereng menjadi salah satu fokus aktivitas perencanaan pengelolaan DAS.

Menurut Sulasdi, dalam Anna (2001), DAS mempunyai potensi seimbang yang ditunjukkan oleh daya guna sungai antara lain untuk kebutuhan air baku, pertanian, energi dan lain-lain akan tetapi mampu mengakibatkan banjir, pembawa sedimentasi, serta pembawa limbah (polutan dari industri, pertanian, pemukiman dan lain-lain ). Oleh karena itu, upaya pengelolaan DAS ditujukan untuk memperbesar pemanfaatannya dan sekaligus memperkecil dampak negatifnya. Kawasan hulu sungai mempunyai peran penting yaitu selain sebagai tempat penyedia air untuk dialirkan ke daerah hilirnya bagi kepentingan pertanian, industri dan pemukiman juga berperan sebagai pemelihara keseimbangan ekologis untuk sistem penunjang kehidupan (Supriadi dalam Anna, 2001)

2.6

Pendekatan pembangunan ekologis

(43)

merupakan pendekatan yang mencoba menjelaskan ekologi dengan menekankan faktor alamiah (kebiasaan, perilaku, dan interaksi-interaksi antar organisme) dan dikaitkan dengan kumpulan vegetasi yang ada di bumi. Pendekatan fungsional (pendekatan proximate) berusaha menjelaskan ekologi dengan penekanan pada dinamika dan hubungan sebab akibat untuk mengidentifikasi permasalahan umum yang biasa terdapat pada ekosistem yang berbeda. Di sisi lain, pendekatan evolusi (pendekatan ultimate) menjelaskan organisme dan hubungan timbal baliknya sebagai produk sejarah evolusi.

Ada beberapa bidang ilmu yang terkait erat dengan ekologi, yaitu ilmu lingkungan, biologi konservasi, dan manajemen sumber daya hayati. Ilmu lingkungan adalah kajian mengenai pengaruh ekologis aktivitas manusia terhadap lingkungan. Ekologi lebih fokus pada fenomena alamiah dari organisme, termasuk manusia sebagai bagian integral dari alam. Di sisi lain, kajian ilmu lingkungan lebih luas karena melibatkan ilmu-ilmu lain seperti geologi, klimatologi, sosiologi, antropologi, ekonomi, dan sebagainya. Ilmu lingkungan merupakan kajian ”deep ecology” (Krebs, 2001) dari suatu gerakan masyarakat yang memiliki agenda utama perubahan sosial politik yang mengarah pada usaha meminimalisasi pengaruh manusia terhadap lingkungan.

Pembangunan dapat diartikan sebagai upaya sadar dan melembaga dalam mewujudkan model masyarakat yang lebih baik dalam citra bangsa atau ”a conscious and institutionalized attempt at societal development” (Misra, 1981). Citra atau image masyarakat yang ingin diwujudkan bersifat culture-specific dan

(44)

menjadi paradigma yang dominan di banyak negara. Paradigma ini memandang pembangunan nasional sebagai identik dengan pembangunan ekonomi. Tujuan pembangunan nasional adalah mencapai pertumbuhan yang setinggi-tingginya. Paradigma ini sangat berorientasi pada produksi, fokus utamanya adalah pada

growth-generating sectors. Mekanisme pasar menjadi tumpuan dalam mencapai pertumbuhan ekonomi.

Ada berbagai pandangan menyikapi masalah ini mulai yang pesimis yang mengantisipasi kehancuran planet bumi sebagai suatu sistem dalam abad mendatang kalau pembangunan mengalami over shooting dan karenanya mengusulkan pengendalian growth-generator yang ada pada diri manusia sendiri. Pandangan yang bersifat optimis yang melihat daya adaptasi manusia yang tumbuh secara eksponensial akan dapat menyelesaikan persoalan tersebut. Pandangan yang pragmatis melihat pertumbuhan sebagai suatu keharusan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan karenanya yang harus dilakukan adalah mendorong pertumbuhan batas (growth of limits) melalui teknologi dan mengintegrasikan environmental cost dalam memperhitungkan biaya pertumbuhan.

2.7

Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi peluang bagi generasi mendatang untuk mendapatkan kesempatan hidup (Djayadiningrat, 2001). Tujuan pembangunan berkelanjutan secara ideal menurut Djayadiningrat (2001) membutuhkan pencapaian terhadap hal-hal sebagai berikut (i) keberkelanjutan ekologis, (ii) keberkelanjutan ekonomi, (iii) keberkelanjutan sosial budaya, (iv) keberkelanjutan politik, dan (v) keberkelanjutan pertahanan keamanan.

(45)

semua anggota masyarakat mendapatkan semua elemen – elemen kunci bagi kehidupan, seperti pangan, sandang, permukiman, perawatan kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja.

Karakteristik kota berkelanjutan adalah (i) tata guna lahan terintegrasi dengan rencana transportasi, (ii) ) pola tata guna lahan membantu melindungi sumberdaya air, (iii) kontrol penggunaan lahan untuk setiap orang, (iv) ) kota yang manusiawi, ruang hijau, pasar petani, dan daerah pedestrian, (v) mendukung kota lebih kompak. Perkembangan pada sebuah kota harus aspiratif terhadap kebutuhan dan eksitensi masa depan yang pada prinsipnya termanifestasi dalam kata kunci seperti: efisiensi, intensifikasi, konservasi, revitalisasidi dalam upaya menyelaraskan pembangunan kembali kota terwujud dalam skenario Kota Kompak” (Roychansyah, 2006) seperti terlihat dalam Gambar 3.

Pembangunan berkelanjutan sektor perumahan diartikan sebagai pembangunan perumahan termasuk di dalamnya pembangunan kota berkelanjutan sebagai upaya untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi, dan kualitas lingkungan tempat hidup dan bekerja semua orang. Inti pembangunan perumahan berkelanjutan adalah upaya untuk meningkatkan kualitas hidup secara berkelanjutan (Kirmanto, 2005). Pembangunan berkelanjutan sektor perumahan dan permukiman akan mendominasi penggunaan lahan dan pemanfaatan ruang. Untuk itu, perlu dipertimbangkan empat hal utama, yaitu (i) pembangunan yang secara sosial dan kultural bisa diterima dan dipertanggung–jawabkan (socially and culturally suitable and accountable), (ii) pembangunan yang secara politis dapat diterima (politically acceptable), (iii) pembangunan yang layak secara ekonomis (economically feasible), dan (iv) pembangunan yang bisa dipertanggung jawabkan dari segi lingkungan (environmentally sound and sustainable). Hanya dengan jalan mengintegrasikan keempat hal tersebut secara konsisten dan konsekuen, pembangunan perumahan dan permukiman bisa berjalan secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Soenarno, 2004).

(46)
[image:46.612.149.438.243.497.2]

sistem pelaku-tunggal yang selama ini didominasi pihak pemerintah. Dimasa depan, akan terdapat titik majemuk kewenangan dan pengaruh, dan tantangannya adalah bagaimana memberdayakan mereka agar dapat bekerja sama. Manfaatnya adalah adanya kepercayaan dan koneksi sosial (modal sosial) yang terus terakumulasi, yang pada gilirannya akan mencapai tiga sasaran yaitu: menjaga agar pemerintah semakin memiliki akuntabilitas dan tidak korupsi; menurunkan sumber konflik, dan memberdayakan para pelaku non-pemerintah (Alexander et al., 2006).

Gambar 3 Tujuan pembangunan berkelanjutan dan implementasinya dalam konteks kota. (Sumber: Roychansyah, 2006)

2.8

Kebijakan Publik

(47)

pertama, studi analisis kebijakan lebih terfokus pada studi pembuatan keputusan (decision making) dan penetapan kebijakan (policy formation) dengan menggunakan model-model statistik dan matematika yang canggih. Sementara pada pendekatan kedua, lebih menekankan pada hasil dan outcome dari kebijakan publik menggunakan metode statistik dengan melihat interaksi politik sebagai faktor penentu dalam berbagai bidang.

Proses analisis kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas intelektual terdiri dari perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan, monitoring, dan evaluasi kebijakan. Aktivitas politis nampak dari kegiatan penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Diagram proses analisis kebijakan publik tertera pada Gambar 4.

Gambar 4 Tahapan Kebijakan Publik

(

Sumber: Dunn1994)

Lingkungan kebijakan akan mempengaruhi pelaku kebijakan untuk meresponnya, yakni dengan memasukkannya ke dalam agenda pemerintah dan selanjutnya melahirkan kebijakan publik untuk memecahkan masalah-masalah yang ada. Hubungan timbal balik antara tiga elemen yang terlibat dalam sebuah proses kebijakan tertera dalam Gambar 5.

Implementasi Kebijakan Perumusan

Masalah

Evaluasi Kebijakan Rekomendasi

Kebijakan

Forecasting

Penyusunan Agenda

Penilaian Kebijakan

Adopsi Kebijakan Formulasi Kebijakan

(48)

Gambar 5 Hubungan Tiga Elemen Sistem Kebijakan. (Sumber: Dunn 1994)

Salah satu bagian yang penting dari analisis kebijakan adalah perumusan masalah kebijakan. Suatu masalah dikatakan sebagai masalah privat apabila masalah tersebut dapat diatasi tanpa mempengaruhi orang lain atau pemerintah. Suatu gejala menjadi masalah publik ketika gejala tersebut dirasakan sebagai kesulitan bersama oleh sekelompok masyarakat dan hanya dapat diatasi melalui intervensi pemerintah (Jones, 1991). Menurut Dunn (1994), sifat-sifat masalah publik sangat kompeks dan mempunyai karakteristik antara lain (1) saling bergantung (interdependent) antara berbagai masalah dan mengharuskan analisis kebijakan menggunakan pendekatan holistik dalam memecahkan masalah dan mengetahui akar permasalahannya, (2) subyektifitas, karena merupakan hasil pemikiran dalam konteks lingkungan tertentu, (3) artificial yakni suatu fenomena dianggap sebagai masalah karena adanya keinginan untuk mengubah situasi, (4) dinamis karena solusi terhadap masalah selalu berubah.

Dalam perumusan masalah, dibutuhkan data dan informasi. Data dan informasi tersebut bersifat time series (kurun waktu) atau cross sectional (antar lokasi yang berbeda). Data dan informasi time series membantu memahami perubahan gejala dari waktu ke waktu, sementara data dan informasi cross sectional membantu memberikan gambaran tentang suatu gejala antar lokasi yang berbeda. Beberapa metode untuk merumuskan masalah, adalah (1) analisis batas, yaitu usaha memetakan masalah melalui snowball sampling dari stakeholders,

(2) analisis klasifikasi, yaitu mengklasifikasikan masalah kedalam kategori-kategori tertentu, (3) analisis hirarki, untuk menyusun masalah berdasarkan sebab-sebab dari situasi masalah, (4) brainstorming, yakni metode merumuskan masalah

Pelaku

(49)

melalui curah pendapat, (5) analisis perspektif ganda, yaitu metode untuk memperoleh pandangan yang bervariasi dari perspektif yang berbeda.

Forecasting atau peramalan terdiri dari (1) proyeksi, (2) prediksi, dan (3) perkiraan. Proyeksi didasarkan pada ekstrapolasi kecenderungan masa lalu, dengan asumsi bahwa masa yang akan datang memiliki pola yang sama dengan masa lalu. Proyeksi dapat menggunakan model matematika dan regresi. Prediksi, yaitu ramalan yang didasarkan pada asumsi teoritik. Misalnya, berdasarkan teori

supply dan demand, harga normal akan terjadi pada titik temu antara supply dan

demand. Perkiraan, yakni ramalan yang didasarkan pada penilaian para pakar tentang situasi yang akan datang.

Rekomendasi kebijakan adalah proses untuk melakukan pilihan terhadap berbagai alternatif kebijakan berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Metode-metode yang dapat digunakan untuk proses seleksi kebijakan antara lain (1) metode perbandingan, semua alternatif kebijakan dievaluasi berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditentukan, kemudian dipilih alternatif yang memperoleh nilai tertinggi, (2) metode memuaskan (satisfying method), pemilihan alternatif dilakukan atas dasar kemampuan alternatif memenuhi semua kriteria yang telah ditetapkan, (3) analisa biaya dan manfaat (cost and benefit analysis), digunakan untuk mengidentifikasi besarnya biaya dan manfaat dari setiap alternatif kebijakan, (4) pohon keputusan (decision tree). Analisis pohon keputusan digunakan dengan menghitung nilai yang diharapkan, yang merupakan hasil dari perkalian antara probabilitas dari setiap alternatif dengan perkiraan hasil.

2.9

Pendekatan Sistem

(50)

Pendekatan sistem dapat memberi landasan untuk pengertian yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem.

Perubahan yang bersifat kompleks membuat kita tidak hanya mempelajari sebagian dari perubahan tersebut, tetapi harus mempelajarinya secara menyeluruh, karena keterkaitan antara komponen yang satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu, dalam menangani suatu masalah yang cukup kompleks, kita harus menyelesaikannya tidak hanya pada tempat kejadian tersebut dan waktu tertentu, namun pada skala yang lebih luas, baik secara spasial maupun temporal.

Eriyatno (1999) menjelaskan bahwa pendekatan sistem merupakan metode yang bersifat rasional sampai intuitif sehingga dapat memecahkan masalah guna mencapai tujuan tertentu. Selanjutnya dikatakan bahwa jika kita menggunakan pendekatan sistem, maka persyaratan yang harus dipenuhi bersifat kompleks, yakni interaksi antar elemen-elemennya cukup ru

Gambar

Gambar 2 Komponen-komponen ekosistem DAS hulu
Gambar 3  Tujuan pembangunan berkelanjutan dan implementasinya dalam konteks kota.  (Sumber: Roychansyah, 2006)
Gambar 6  Diagram sistem terbuka.
Tabel 1  (lanjutan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tiga puluh dua tahun (32) tahun kemudian, pada tanggal 30 Juni 2012, di Salatiga, kami lulusan Program Pendidikan Kompetensi Dasar Konselor Pastoral yang merupakan rintisan

Berdasarkan dari penelitian ini kebiasaan jajan murid SDN Banjarbaru Kota 1 (GS) kelas 4 dan 5 yang pengetahuan kurang dikarenakan ketidaktahuan tentang bahan

 Jika menggunakan metode e-Voting, perlu investasi 5 buah perangkat dengan total harga 50 juta rupiah, maka penghematan biaya penyelenggaraan dari sisi logistik, keamanan

Penghapusan adalah tindakan menghapus benda berharga sebagai sarana pemungutan Retribusi Daerah dari daftar benda berharga dengan menerbitkan Keputusan Pejabat

Kekerasan Dalam Rumah tangga yang masih kerap kali terjadi hingga saat ini meskipun. Undang-Undang Perlindungan terhadap perempuan sudah

Salah satu kelengkapan yang dibutuhkan dalam sebuah parsel adalah keranjang yang biasanya terbuat dari rotan// Keranjang ini/ biasanya juga dapat kita jumpai di jalan-jalan di

Menggabungkan unsur seni musik dan spiritual tentunya bukan sesuatu yang mudah// musik yang identik dengan gaya hidup anak muda/ pagi tadi tampak lebih manis dengan sentuhan sisi

Piutang dan Perputaran Persediaan terhadap Likuiditas pada Perusahaan Pulp dan Kertas yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia”. 1.2