• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Kebijakan Tataniaga Cengkeh Indonesia

DAFTAR GAMBAR

2.3. Tinjauan Kebijakan Tataniaga Cengkeh Indonesia

Kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia pada industri cengkeh tidak hanya dari sisi peningkatan produksi namun juga mengenai pengaturan tataniaga cengkeh. Kebijakan ini telah dilakukan sejak tahun 1969 hingga tahun 2002 seperti terdapat pada Lampiran 1 dan terakhir adalah peraturan mengenai pengendalian impor cengkeh tahun 2002. Pada tahun 1990 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI Nomor 306/KP/XII/1990 dibentuk badan sebagai pelaksana tataniaga cengkeh atau BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh) untuk melakukan kegiatan pembelian, penyanggaan, penjualan cengkeh, dan stabilisasi harga cengkeh di tingkat petani. Sehingga dalam penelitian ini mencoba menggunakan variabel dummy kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC. Kinerja tataniaga cengkeh nasional dapat digambarkan dalam tiga dekade yaitu (Wahyuni, dalam Sinaga dan Pakasi, 1999):

1. Dekade 70-an, diwarnai dengan adanya kekurangan produksi dalam negeri, harga cengkeh yang cenderung tinggi dan terus meningkat, sehingga impor dilakukan untuk memenuhi permintaan tersebut.

2. Dekade 80-an, tercapai swasembada cengkeh nasional tahun 1988. Selama dekade ini, produksi cengkeh masih terus meningkat akibat dari adanya perluasan areal tanaman cengkeh di berbagai lokasi. Perluasan areal dan pertanaman baru terutama disebabkan oleh tingkat harga yang tinggi dan

merangsang serta memotivasi petani secara kuat dalam mengembangkan usahatani cengkeh.

3. Dekade 90-an, terjadi kelebihan produksi pada awal dekade, produksi berlebih secara nasional merupakan akibat pertambahan areal pada dekade 80-an. Akibatnya harga cengkeh menurun bahkan menjadi rendah, seterusnya stok nasional meningkat pesat. Selain itu, tidak ada keinginan produsen untuk mengkonversi tanaman cengkehnya dengan tanaman lain.

2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu 2.4.1. Penelitian Mengenai Cengkeh

Hasil penelitian Rumondor (1993) yang menganalisis perkembangan tataniaga cengkeh di Sulawesi Utara menyatakan bahwa adanya mekanisme tataniaga baru ternyata tidak memberi harapan bagi petani untuk dapat menikmati harga yang layak melalui peningkatan pendapatan, karena sejak periode tahun 1982-1987 harga cengkeh mulai menurun di bawah harga dasar yang ditetapkan pemerintah. Keterbatasan modal dan rendahnya manajemen KUD menyebabkan tetap berkembangnya sistem ijon di tingkat petani. Disamping itu, faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran cengkeh oleh petani adalah harga, modal, dan biaya tataniaga. Namun kontribusi variabel ini dalam mempengaruhi penawaran cengkeh oleh petani tidak besar yaitu hanya 56.72 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa selain faktor-faktor tersebut maka penawaran cengkeh oleh petani dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti kebutuhan rumah tangga. Sedangkan pada lembaga tataniaga (pedagang/penyangga), suplai cengkeh dipengaruhi oleh tingkat harga. Hal ini disebabkan karena lembaga-lembaga

19

tataniaga dapat menahan untuk tidak langsung menjual cengkeh yang dibeli dari petani, sampai pada tingkat harga yang dianggap menguntungkan.

Sinaga dan Pakasi (1999) melakukan penelitian mengenai dampak perubahan faktor ekonomi terhadap permintaan dan penawaran cengkeh di Indonesia dengan menggunakan data time series periode 29 tahun yaitu dari tahun 1970-1998 yang dianalisis secara simultan. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keragaan produksi, permintaan dan penawaran cengkeh di Indonesia adalah harga pupuk, suku bunga, luas areal penanaman baik swasta, rakyat dan negara, kebijakan tataniaga cengkeh, upah tenaga kerja, harga ekspor, harga impor, harga di tingkat petani, harga di tingkat pabrik rokok, konsumsi industri pabrik rokok, total produksi cengkeh, impor cengkeh, ekspor cengkeh, ekspor rokok kretek, jumlah stok cengkeh, permintaan cengkeh, harga jual rokok kretek mesin, dan harga jual rokok kretek tangan. Produksi, permintaan dan penawaran cengkeh Indonesia respon terhadap harga ekspor dan impor cengkeh, total produksi cengkeh, peningkatan jumlah penduduk, jumlah stok cengkeh, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, harga cengkeh di tingkat petani, total konsumsi cengkeh, harga cengkeh di tingkat pabrik rokok, dan konsumsi industri rokok kretek.

Berdasarkan hasil analisis, ada keterkaitan antara luas areal, jumlah produksi, yang selanjutnya berkaitan dengan jumlah permintaan, penawaran, dan total konsumsi cengkeh serta jumlah ekspor dan impor cengkeh. Faktor-faktor tersebut juga terkait dengan harga-harga di berbagai pasar cengkeh seperti di tingkat petani, di tingkat pabrik rokok, di tingkat ekspor dan impor. Keterkaitan ini menunjukkan apabila terjadi perubahan terhadap salah satu faktor tersebut,

akan berpengaruh dan merubah faktor-faktor lainnya. Dampak dari simulasi ke enam skenario menunjukkan terjadinya peningkatan luas areal, jumlah produksi, peningkatan permintaan dan penawaran cengkeh serta total konsumsi cengkeh. Ada perbedaan antara kebijakan tataniaga cengkeh dengan BPPC dan tanpa BPPC. Dengan BPPC memberikan dampak menurunnya luas areal. Selain itu, dengan adanya BPPC berdampak pada terjadinya penurunan jumlah penawaran dan permintaan cengkeh Indonesia, demikian juga dengan penurunan ekspor dan impor, serta terhadap pembentukan harga tingkat petani, harga ekspor, dan impor berpengaruh negatif.

Taruli (2002) mencoba menganalisis peluang ekspor agribisnis cengkeh Indonesia dengan menggunakan data periode waktu 18 tahun, yaitu dari tahun 1983-2000. Perkembangan volume ekspor cengkeh Indonesia dipengaruhi oleh harga domestik, harga ekspor, volume ekspor tahun sebelumnya, volume stok akhir tahun sebelumnya, jumlah penduduk negara India, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, variabel dummy pertama (panen kecil atau sedang dan panen besar), dan variabel dummy kedua (terbentuknya BPPC dan tidak ada). Volume stok akhir tahun sebelumnya dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika berpengaruh positif terhadap volume ekspor cengkeh Indonesia. Sedangkan harga domestik, harga ekspor, volume ekspor tahun sebelumnya, jumlah penduduk negara India, serta variabel dummy pertama dan kedua berpengaruh negatif. Dilihat dari peluang ekspor cengkeh Indonesia di pasar cengkeh domestik, pasar cengkeh internasional, sumberdaya Indonesia dan perkembangan produk mempunyai peluang cukup baik.

21

2.4.2. Penelitian Mengenai Produksi dan Ekspor Produk Pertanian

Sihotang (1996) dalam penelitiannya mengenai analisis penawaran dan permintaan kopi Indonesia di pasar domestik dan internasional dengan periode 1969-1993. Penelitian ini menggunakan model ekonometrika persamaan simultan dengan metode Three Stage Least Square (3SLS). Hasil dari penelitian ini bahwa produksi kopi Indonesia tidak responsif terhadap harga kopi dan komoditas subtitusi di pasar domestik, harga ekspor, luas areal dan tingkat upah, kecuali kopi jenis robusta yang responsif terhadap luas areal dalam jangka panjang. Permintaan kopi di pasar domestik tidak responsif terhadap harga kopi, harga komoditi subtitusi dan komplementer serta pendapatan per kapita, namun sangat responsif terhadap pasokan ekspor.

Penelitian yang dilakukan oleh Pitaningrum (2005) menganalisis mengenai penawaran dan permintaan udang di pasar Internasional menggunakan data sekunder dalam deret waktu periode 1983-2002 dan diduga dengan metode (Two Stage Least squares) 2SLS dengan menggunakan program Statistical Analysis System (SAS). Hasil dugaan penawaran udang Indonesia ke Jepang dan Amerika menunjukkan bahwa tidak semua variabel penjelas berpengaruh nyata. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan volume ekspor udang Thailand ke Jepang antara lain harga riil ekspor udang Thailand, nilai tukar riil bath terhadap dollar Amerika, dan variabel bedakala setahun. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan volume ekspor udang Cina ke Jepang maupun Amerika Serikat antara lain produksi udang Cina, harga riil ekspor udang Cina, nilai tukar riil yuan terhadap dollar Amerika, dan variabel bedakala setahun. Perkembangan volume impor udang di dunia dapat diwakili oleh perkembangan volume impor udang di

pasar Jepang dan Amerika Serikat. Harga udang dunia disamakan dengan harga impor udang Jepang dan hasil estimasi menunjukkan bahwa perkembangan harga udang dunia tidak dipengaruhi oleh variabel ekspor udang dunia dan impor udang dunia. Sedangkan harga riil ekspor udang Indonesia dipengaruhi oleh semua variabel penjelas.