• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gandum pertama kali ditanam di Asia Tengah di kawasan yang kini dikenal sebagai lembah subur (Fertile-crescent). Bukti tertua bagi penanaman gandum berasal dari Syria, Jordan, Turki, Armenia dan Irak (Wikipedia 2011). Sleper dan Poehlman (2006) menjelaskan bahwa asal usul genetik gandum merupakan contoh klasik bagaimana spesies – spesies liar dapat saling berekombinasi di alam untuk menghasilkan suatu bentuk poliploidi alami. Gandum (Triticum aestivum) merupakan spesies yang berasal dari genus Triticum, Tribe Triticeae, dan Famili Poaceae. Triticeae merupakan Tribe dari famili Poaceae yang terdiri lebih dari 15 genus dan 300 spesies yang termasuk gandum dan barley. Genus Triticum berkerabat dengan Hordeum, Avena, Secale, Zea, dan Oryza (Wittenberg 2004).

Secara taksonomi gandum pertama kali diklasifikasikan pada tahun 1753 oleh Linnaeus. Spesies – spesies yang termasuk di dalam genus Triticum dikelompokkan ke dalam tiga kelas ploidi yaitu diploid, tetraploid dan heksaploid (Sakamura 1918 dalam Wittenberg 2004; Fehr 1987; Sleper dan Poehlman 2006). Beberapa spesies yang termasuk ke dalam genus Triticum diploid, tetraploid, dan heksaploid disajikan pada Tabel 1. Sleper dan Poehlman (2006) melaporkan bahwa saat ini terdapat 11 spesies diploid, 11 spesies tetraploid, dan 6 spesies heksaploid yang sudah diidentifikasi dan dideskripsikan. Lebih lanjut Sleper dan Poehlman mengemukakan hanya dua spesies dari genus Triticum yang memiliki nilai ekonomis penting yaitu Triticum aestivum dan Triticum turgidum. Triticum aestivum merupakan gandum yang umum dikenal yang dimanfaatkan untuk bahan baku roti. Triticum turgidum yang dikenal dengan gandum durum digunakan untuk membuat pasta. Wilson (1955) mengklasifikasikan gandum berdasarkan kegunaannya yang meliputi gandum keras, gandum lunak, dan gandum durum. Gandum keras (hard wheat) adalah gandum yang memiliki kandungan gluten dan protein tinggi. Tipe ini cocok untuk pembuatan roti. Gandum lunak (soft wheat) adalah gandum yang memiliki kandungan gluten dan protein yang lebih rendah. Gandum durum yaitu gandum yang memiliki kandungan gluten dan protein sangat rendah.

Tabel 1. Klasifikasi Beberapa Spesies Triticum Berdasarkan Kelas Ploidi

Species Genome Status

Diploid Species (2n = 14)

T. Monoccocum var. monoccocum AA Budidaya

T. Monoccocum var. boeoticum AA spesies liar

T. Dichasians CC spesies liar

T. Tauschii DD spesies liar

T. Comosum MM spesies liar

T. Speltoides SS spesies liar

T. Umbellatum UU spesies liar

Spesies Tetraploid (2n = 4x = 28)

T. turgidum L. var. dococcon AABB Budidaya

T. turgidum L. var. durum AABB Budidaya

T. turgidum L. var. turgidum AABB Budidaya

T. turgidum L. var. polonicum AABB Budidaya

T. turgidum L. var. carthlicum AABB Budidaya T. turgidum L. var. dicoccoides AABB spesies liar T. timopheevii var. araraticum AAGG spesies liar

T. cylindricum DDCC spesies liar

T. ventricosum DDMM spesies liar

T. triunciale UUCC spesies liar

T. ovatum UUMM spesies liar

T. kotschyi UUSS spesies liar

Spesies Heksaploid (2n = 6x = 42)

T. aestivum L. var. aestivum AABBDD Budidaya

T. aestivum L. var. spelta AABBDD Budidaya

T. aestivum L. var. compactum AABBDD Budidaya T. aestivum L. var. sphaerococcum AABBDD Budidaya

T. syriacum DDMMSS spesies liar

T. juvenale DDMMUU spesies liar

T. triaristatum UUMMMM spesies liar

Sumber : Fehr (1987)

Aspek Morfologi dan Agronomi Gandum

Tanaman gandum yang normal memiliki dua macam akar, yaitu akar kecambah dan akar adventif. Akar kecambah merupakan akar pertama yang tumbuh dari embrio, sedangkan akar adventif adalah akar yang berkembang dari buku dasar tumbuh setelah akar embrio. Sistem perakaran tanaman gandum dibentuk oleh akar adventif. Sistem perakaran dengan perakaran serabut dan kedalaman perakaran gandum sekitar 10-30 cm di bawah permukaan tanah. Batang gandum tegak, berbentuk silinder, dan membentuk tunas. Ruas-ruasnya pendek dan buku-bukunya umumnya berongga. Rata-rata tanaman dewasa memiliki enam ruas buku. Anakan primer dari buku batang utama terus berkembang menjadi anakan-anakan sekunder dan tersier sehingga membentuk

rumpun. Tinggi tanaman gandum bervariasi tergantung genotipe dan lingkungan tumbuh. Daun pertama yang tumbuh disebut koleoptil berongga dan berbentuk silinder, diselaputi plumula yang terdiri dari dua sampai tiga helai daun. Setiap daun gandum terdiri dari tangkai pelepah, helai daun, dan ligula dengan dua pasang telinga pada dasar helai daun. Tulang daun sejajar dan memanjang (Nurmala 1980).

Bunga gandum tersusun dalam rangkaian bunga berbentuk malai (spike) terdiri dari beberapa bunga (spikelet). Umumnya 1 spikelet terdiri dari 3 floret (2 floret primer dibagian kanan dan kiri dan 1 floret sekunder dibagian tengah spikelet). Sebuah floret disusun oleh lemma dan palea yang menutupi biji. Secara botani biji gandum disebut caryopsis. Floret gandum ada yang berbulu (lemma dan paleanya memanjang dan bentuknya meruncing) dan tidak. Biji gandum bervariasi warnanya yaitu merah, ungu, coklat, dan putih (Acquaah 2007).

Secara alami tanaman gandum menyerbuk sendiri karena berbunga sempurna. Waktu anthesis dan reseptis terjadi secara bersamaan, namun stigma dapat reseptif lebih awal. Umumnya bunga-bunga yang berada di bagian tengah rangkaian bunga yang anthesis dan reseptis terlebih dahulu kemudian bunga bagian atas dan bawah. Malai gandum umumnya keluar sempurna (heading stage) pada temperatur 13-250C. Pertumbuhan tabung pollen sekitar 15-60 menit setelah penyerbukan terjadi atau pollen menempel di stigma. Periode pengisian biji umumnya sekitar 14-21 hari setelah terjadi fertilisasi (Acquaah 2007).

Faktor temperatur dan curah hujan merupakan faktor dominan yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan tanaman gandum. Tanaman gandum beradaptasi sangat baik pada lingkungan bertemperatur rendah dengan temperatur optimalnya sekitar 10-210C dengan curah hujan tidak lebih dari 40-60 cm/tahun (Acquaah 2007). Di Indonesia kondisi lingkungan tersebut berada di wilayah agroekosistem berelevasi tinggi.

Respon Tanaman Terhadap Cekaman Suhu Tinggi

Pertumbuhan dan perkembangan tanaman sebagai visualisasi ekspresi gen

– gen pengendalinya ditentukan juga oleh faktor lingkungan. Faktor lingkungan mempunyai peran dalam membentuk tipe tanaman di suatu lingkungan spesifik.

Secara umum faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman yaitu faktor biotik dan faktor abiotik. Faktor temperatur merupakan faktor lingkungan abiotik. Cekaman suhu tinggi merupakan salah satu faktor pembatas dalam usaha produksi tanaman.

Cekaman suhu tinggi sering diartikan sebagai peningkatan suhu yang melebihi level ambang batas selama periode waktu tertentu sehingga menyebabkan kerusakan bagi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. Secara umum, peningkatan suhu sementara, biasanya 10–15 °C di atas suhu udara di sekitar, dapat dianggap sebagai cekaman panas (heat shock). Cekaman panas merupakan sebuah fungsi yang kompleks dari intensitas (derajat suhu), durasi, dan kecepatan peningkatan suhu. Tingkat kemunculan (cekaman) pada zona iklim tertentu bergantung pada probabilitas dan periode dari suhu tinggi yang terjadi selama siang hari dan atau malam hari. Toleransi terhadap panas secara umum diartikan sebagai kemampuan tumbuhan untuk tumbuh dan memproduksi hasil (yang bersifat) ekonomis pada kondisi suhu yang tinggi. Beberapa peneliti meyakini bahwa suhu di malam hari merupakan faktor pembatas utama, sementara yang lain berpendapat bahwa suhu siang dan malam hari tidak mempengaruhi tumbuhan secara mandiri, dan suhu rata – rata diurnal merupakan prediktor yang lebih baik untuk respons tumbuhan terhadap suhu tinggi di mana suhu siang hari berperan sebagai faktor sekunder (Peet dan willits 1998).

Cekaman panas akibat suhu udara yang tinggi merupakan ancaman yang serius bagi produksi tanaman di seluruh dunia. Emisi gas yang diakibatkan aktifitas manusia secara substansial menambah konsentrasi gas – gas rumah kaca, terutama CO2, metana, klorofluorokarbon, dan oksida – oksida nitrus. Sirkulasi global yang berbeda memprediksi bahwa gas – gas rumah kaca secara bertahap akan meningkatkan rata – rata suhu udara dunia. Menurut laporan International Panel on Climatic Change (IPCC), rata – rata suhu global akan meningkat 0,3 °C setiap dekadenya (Jones et al. 1999), secara berturut – turut akan mencapai kurang lebih 1 dan 3 °C di atas nilai suhu sekarang pada tahun 2025 dan 2100, dan mengarah pada pemanasan global. Peningkatan suhu dapat mengakibatkan perubahan persebaran geografis dan musim tanam komoditas pertanian dengan cara menciptakan ambang batas suhu untuk awal musim dan menyebabkan

kemasakan tanaman yang lebih awal (Porter 2005). Secara umum perubahan yang terjadi pada tanaman yang tercekam suhu tinggi dikelompokkan menjadi beberapa tipe yaitu perubahan morfologis, anatomis, fenologis, dan fisiologis (Wahid et al. 2007).

Suhu tinggi dapat menyebabkan perubahan morfologis pada tanaman yang berupa kerusakan pra dan pasca panen, termasuk luka bakar pada daun dan ranting, hangus (terbakar sinar matahari) pada daun, cabang dan batang, absisi dan penuaan daun, terhambatnya pertumbuhan akar dan pucuk, kerusakan dan kehilangan warna pada buah, serta berkurangnya hasil. Selain itu, suhu tinggi menyebabkan penurunan yang signifikan untuk bobot tajuk, kecepatan relatif pertumbuhan, dan kecepatan asimilasi pada jagung, pearl millet, dan tebu (Wahid et al. 2007).

Cekaman panas, baik itu secara mandiri maupun berkombinasi dengan kekeringan, merupakan hambatan utama selama proses antesis dan pengisian biji pada berbagai tanaman serealia pada wilayah bersuhu sedang. Sebagai contoh, cekaman panas mempercepat durasi pengisian biji dengan adanya reduksi pada pertumbuhan biji, yang mengarah pada hilangnya kepadatan dan bobot biji hinggamencapai 7% pada gandum musim semi (Guilioni et al. 2003). Penurunan sejenis juga terjadi untuk kandungan pati, protein, dan minyak pada biji jagung dan penurunan kualitas pada tanaman serealia lainnya dalam kondisi tercekam panas (Maestri et al. 2002). Pada gandum, bobot dan jumlah biji nampak sangat sensitif terhadap cekaman panas, di mana jumlah biji per bulir pada saat masak berkurang seiring dengan meningkatnya suhu (Ferris et al. 1998). Pada tomat, proses – proses reproduktif sangat terpengaruh secara negatif oleh suhu tinggi, dimana ternasuk di dalamnya adalah pembelahan meiosis pada organ jantan dan betina, perkecambahan polen dan pertumbuhan tabung polen, jumlah butir polen yang disimpan dalam stigma, proses fertilisasi dan paska fertilisasi, pertumbuhan endosperma, pra embrio dan embrio yang sudah terfertilisasi. Pengaruh negatif yang paling jelas akibat suhu tinggi tehadap proses reproduktif pada tomat adalah dihasilkannya stilus yang terdesak sehingga dapat menghambat penyerbukan sendiri. Pembentukan buah yang rusak pada suhu tinggi juga telah dihubungkan

dengan rendahnya kadar karbohidrat dan dihasilkannya pengatur pertumbuhan pada jaringan sink tumbuhan (Kinet dan Peet 1997 dalam Wahid et al 2007).

Perubahan anatomis pada tanaman terhadap cekaman suhu tinggi meliputi berkurangnya ukuran sel, penutupan stomata dan terbatasnya kehilangan air, meningkatnya kepadatan stomata dan trikorma, pembesaran pembuluh xilem pada akar dan tajuk (Anon et al. 2004). Pada tanaman anggur (Vitis vinifera), cekaman panas dapat merusak sel – sel mesofil dan meningkatkan permeabilitas membran plasma (Zhang et al. 2005). Pada kondisi suhu tinggi, tanaman Zygophillum qatarense akan menghasilkan daun – daun polimorfik dan cenderung mereduksi kehilangan air transpirasi dengan menunjukkan perilaku stomata bimodal. Pada level subseluler, modifikasi mayor terjadi pada kloroplas, dan menyebabkan perubahan dalam fotosintesis. Sebagai contoh, suhu tinggi mereduksi fotosintesis dengan cara mengubah organisasi struktural tilakoid (Karim et al. 1997).

Perubahan fisiologis tanaman terhadap cekaman suhu tinggi meliputi berkurangnya ketersediaan air, akumulasi senyawa – senyawa organik tertentu yang secara umum sering disebut sebagai osmolit – osmolit kompatibel, degradasi klorofil a dan b pada daun yang sedang berkembang (Karim et al., 1997).

Mekanisme Adaptasi dan Toleransi Gandum Terhadap Cekaman Suhu Tinggi

Secara alami, tumbuhan memiliki mekanisme adaptasi terhadap setiap perubahan lingkungan baik biotik maupun abiotik. Dalam kaitannya dengan adaptasi, terdapat dua kriteria adaptasi yaitu adaptasi biologis dan adaptasi agronomis. Adaptasi biologis yaitu kemampuan tanaman untuk tetap mempertahankan hidupnya dan menghasilkan keturunannya dengan memodifikasi seluruh karakter baik morfologi, anatomi, fenologi, maupun anatomi. Adaptasi ini umumnya menghasilkan tanaman yang dapat tetap tumbuh pada lingkungan bercekaman namun berproduksi rendah. Adaptasi agronomis merupakan mekanisme adaptasi tanaman yang berkaitan dengan hasil tanaman. Tanaman yang adaptif agronomis merupakan tanaman yang dapat menjaga stabilitas hasilnya pada kondisi lingkungan yang berbeda.

Terkait dengan mekanisme adaptasi tanaman terhadap cekaman suhu tinggi, Wahid et. al. (2007) mengungkapkan bahwa terdapat dua mekanisme adaptasi (1) mekanisme penghindaran (avoidance); (2) mekanisme toleransi. Berumur genjah merupakan salah satu bentuk mekanisme penghindaran terhadap cekaman suhu tinggi. Mekanisme ini akan efektif jika cekaman suhu tinggi hanya terjadi beberapa saat atau pada fase tertentu saja. Mekanisme adaptasi ini dapat memberikan konsekuensi negatif bagi produksi tanaman, karena menurut Wahid et. al. (2007) karakter umur genjah umumnya berkorelasi dengan penurunan daya hasil. Genotipe berumur genjah umumnya berdaya hasil rendah. Selain umur berbunga, perilaku pembungaan tanaman juga menjadi salah satu mekanisme penghindaran. Genotipe-genotipe tanaman yang menunjukkan mekanisme ini mampu berbunga di luar waktu pembungaan yang normal. Seperti padi yang memiliki mekanisme ini mampu berbunga dini hari untuk mencegah gangguan mikrogametogenesis dan megagametogenesis serta fertilisasi pada kondisi cekaman suhu tinggi.

Karena tanaman bersifat immobil secara fisik, Wahid et. al. (2007) menjelaskan bahwa umumnya mekanisme toleransi tanaman terhadap cekaman suhu tinggi berupa mekanisme fisiologi yang berupa (1) peningkatan kandungan antioksidan tanaman untuk mencegah terjadinya penuaan dini (senescence) karena pengaruh oksigen reaktif; (2) mekanisme stabilitas suhu membran untuk mencegah kerusakan fungsi membran; (3) peningkatan akumulasi protein-protein yang teraktivasi di suhu tinggi (heat shock protein); (4) mekanisme renaturasi protein; (5) mekanisme osmoprotektan.

Pemuliaan Gandum Terhadap Cekaman Abiotik

Tujuan utama pemuliaan gandum yaitu perbaikan karakter daya hasil, stabilitas hasil, dan peningkatan kualitas hasil (Fehr 1987; Sleper dan Poehlman 2006). Karakter hasil merupakan karakter penting karena kunci dalam peningkatan produksi untuk pemenuhan sumber pangan bagi manusia. Karakter stabilitas hasil mencakup karakter – karakter toleransi terhadap cekaman abiotik dan biotik. Upaya merakit kultivar tahan cekaman abiotik dan biotik diperlukan untuk mempertahankan kultivar yang berdaya hasil tinggi pada beberapa tipe

lingkungan. Karakter kualitas hasil merupakan karakter lain yang penting karena wujud dari optimalisasi produksi yang dicapai.

Cekaman abiotik merupakan salah satu faktor pembatas baik dalam kegiatan ekstensifikasi maupun intensifikasi tanaman. Secara mendasar lingkungan bercekaman didefinisikan sebagai lingkungan suboptimum untuk pertumbuhan dan produksi tanaman (Wirnas 2007). Upaya perbaikan daya hasil dan adaptasi tanaman terhadap cekaman abiotik dapat dilakukan melalui serangkaian program pemuliaan tanaman.

Keberhasilan perakitan kultivar baru toleran cekaman abiotik ditentukan oleh beberapa faktor yang meliputi ketersediaan sumber genetik dan variabilitas genetiknya yang luas, kemampuan dalam mengidentifikasi genotipe toleran dan pemilihan metode seleksi yang cepat, tepat dan efisien, serta pembentukan populasi bersegregasi dengan rancangan persilangan yang tepat. Baihaki (2000) memaparkan faktor – faktor penentu keberhasilan suatu program pemuliaan yang mencakup pemilihan pasangan – pasangan tetua, metode persilangan, jumlah kombinasi persilangan pada generasi F1, dan jumlah tanaman yang ditumbuhkan pada generasi F2.

Pengembangan dan peningkatan keragaman genetik sebagai langkah awal untuk merakit kultivar toleran cekaman abiotik dapat dilakukan melalui introduksi, domestikasi, hibridisasi, induksi mutasi, dan rekayasa genetik. Introduksi dan domestikasi merupakan upaya untuk meningkatkan keragaman genetik dengan memanfaatkan variasi yang telah tersedia di alam. Hibridisasi merupakan upaya penggabungan dua sifat baik yang terdapat pada dua tanaman menjadi satu tanaman. Mutasi merupakan upaya peningkatan keragaman genetik dengan memanfaatkan mutagen fisik dan kimia sebagai agen penginduksi mutasi. Induksi mutasi dapat menghasilkan alel baru sehingga karakter fenotipe dapat dihasilkan. Rekayasa genetik merupakan pendekatan untuk peningkatan keragaman genetik berbasis gen pada level seluler.

Identifikasi dan penyaringan awal genotipe – genotipe toleran akan menentukan keberhasilan program pemuliaan selanjutnya. Berdasarkan lingkungan seleksi, seleksi dan identifikasi genotipe toleran dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu seleksi langsung dilingkungan target (direct

breeding) dan seleksi tidak langsung dilingkungan optimal (indirect breeding). Menurut Ceccareli et al. (2007) dalam Wirnas (2007) seleksi untuk perbaikan toleransi cekaman harus dilakukan di lingkungan target sehingga dapat memaksimalkan ekspresi gen – gen yang mengendalikan daya adaptasi tanaman.

Keberhasilan seleksi dilingkungan target ditentukan oleh pemilihan karakter seleksi. Seleksi pada lingkungan bercekaman umumnya tidak menggunakan seleksi langsung atau seleksi berdasarkan hasil, karena pada lingkungan bercekaman sangat sulit memisahkan variabel – variabel lingkungan yang dapat menurunkan hasil. Seleksi tidak langsung menjadi pilihan untuk melakukan seleksi pada lingkungan bercekaman. Seleksi tidak langsung didasarkan kepada karakter toleransi yang berkontribusi atau memiliki pengaruh langsung yang tinggi untuk daya hasil dan memiliki heritabilitas yang tinggi untuk mendukung kemajuan genetik yang akan dicapai. Karakter – karakter toleransi pada tanaman dapat meliputi karakter morfologi, karakter anatomi, karakter fisiologi, karakter molekuler, dan karakter komponen hasil.

Penggabungan karakter - karakter toleransi ke dalam satu genotipe tanaman dapat dilakukan melalui persilangan. Fehr (1987) mengemukakan bahwa pada umumnya kultivar baru gandum dihasilkan melalui hibridisasi buatan. Hibridisasi gandum secara buatan pertama kali dilakukan sekitar tahun 1890. Lebih lanjut Fehr (1987) menyebutkan di Amerika, A.E. Blount, W.J. Spillman, dan L.F. Waldron adalah orang – orang yang pertama melakukan hibridisasi buatan dalam merakit kultivar baru gandum. Kultivar – kultivar yang telah mereka

hasilkan yaitu „Gypsum‟, „Hybrid 128‟, dan „Ceres‟.

Terdapat beberapa metode persilangan yang telah dikembangkan dan digunakan oleh para pemulia tanaman yaitu persilangan top cross, line x tester, single cross, double cross, suksesif, dan dialel (Baihaki 2000; Singh dan Chaudhary 1979). Persilangan dialel merupakan metode persilangan yang banyak digunakan dan memiliki beberapa kelebihan (Yunianti 2007). Persilangan dialel merupakan metode persilangan yang memungkinkan seluruh kombinasi persilangan diantara sekelompok genotipe tetua yang dilibatkan. Persilangan dialel penuh akan menghasilkan F1, F1R, dan Turunan hasil selfing tetua yang

dilibatkan. Setelah persilangan tahap selanjutnya yaitu pembentukan populasi bersegregasi.

Pembentukan populasi bersegregasi dapat dilakukan dengan cara selfing, fullsib cross, dan halfsib cross. Proporsi homozigositas pada satu generasi akan berbeda dari ketiga cara (Allard 1960). Selfing merupakan cara untuk menghasilkan homozigositas yang lebih cepat dibanding fullsib cross dan halfsib cross. Populasi bersegregasi yaitu populasi yang memperlihatkan potensi keragaman genetik. Segregasi maksimum dicapai pada generasi F2 sehingga keragaman genetiknya paling maksimal (Baihaki 2000). Seleksi awal dan evaluasi parameter genetik dapat dilakukan pada populasi ini.

Studi Pewarisan Sifat dan Pendugaan Parameter Genetik

Secara umum sifat – sifat pada tanaman dapat dikelompokkan menjadi sifat kualitatif dan kuantitatif. Estimasi pewarisan kedua sifat tersebut dilakukan dengan pendekatan yang berbeda. Estimasi pewarisan sifat kualitatif diestimasi menggunakan pendekatan genetika Mendel, sedangkan estimasi pewarisan sifat kuantitatif dilakukan dengan pendekatan analisis kuantitatif (Yunianti 2007). Baik sifat kualitatif maupun kuantitatif dapat dianalisis dengan menggunakan rancangan generasi – generasi dasar maupun rancangan persilangan (Mather dan Jinks 1977 dalam Yunianti 2007). Rancangan generasi dasar meliputi populasi P1, P2, F1, F1R, F2, BC1P1, dan BC1P2 sebagai populasi untuk bahan analisis. Sedangkan populasi F1 dan F1R dari semua kombinasi persilangan yang akan dianalisis pada metode rancangan persilangan.

Pendekatan untuk pendugaan kendali genetik dapat berupa pendugaan deskriptif menggunakan parameter skewness dan kurtosis (Roy 2000), analisis rata-rata generasi untuk mengestimasi pengaruh dari setiap aksi gen (Singh dan Chaudhary 1979), uji chi-square untuk melihatkan kecocokan rasio harapan dengan rasio amatan untuk karakter-karakter kualitatif.

Secara umum pendekatan analisis kuantitatif (biometrik) dilakukan jika sifat – sifat yang diuji bersifat kuantitatif. Analisis biometrik dapat mengidentifikasi dan menduga model genetik, jumlah gen pengendali, dan mampu mengurai ragam genetik menjadi ragam genetik aditif, dominan, dan epistasis. Proporsi antara ragam genetik dan ragam fenotipe merupakan fungsi

dari heritabilitas. Heritabilitas merupakan suatu alat ukur yang biasa digunakan oleh pemulia tanaman untuk mengukur seberapa besar ragam fenotipe yang terlihat ditentukan oleh ragam genetik. Heritabilitas yang tinggi mengindikasikan bahwa ragam dari sifat – sifat yang diuji bersifat heritable (keterwarisan yang tinggi).

Heritabilitas terdiri dari dua pengertian, yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas. Heritabilitas dalam arti sempit adalah perbandingan varians genetik aditif dengan varians fenotipik. Varians genetik aditif merupakan hasil dari pengaruh beberapa gen aditif pada seluruh lokus yang bersegregasi. Heritabilitas dalam arti luas adalah suatu perbandingan dari varians genetik total dengan varians fenotipik. Varians genetik total terdiri dari varians genetik aditif, varians genetik epistasis dan varians genetik dominan (Fehr 1987).

Seleksi dan Hubungan Antar Karakter Tanaman

Seleksi merupakan salah satu kegiatan utama dalam pemuliaan tanaman untuk mengidentifikasi genotipe-genotipe yang memiliki karakter-karakter harapan. Seleksi dapat terjadi secara alami maupun buatan dengan campuran tangan manusia. Seleksi alam menghasilkan genotipe-genotipe tanaman yang mempunyai karakter yang memiliki nilai adaptasi untuk lingkungan dan habitat tumbuhnya. Seleksi terarah, seleksi stabilisasi, dan seleksi disruptif merupakan tipe-tipe seleksi alam yang dikemukakan oleh Falconer dan Mackay (1996). Keragaman genetik antar plasma nutfah merupakan hasil dari seleksi alam, yang kemudian dimanfaatkan dalam program pemuliaan tanaman sebagai dasar dalam merakit varietas yang sesuai dengan kebutuhan manusia.

Dalam kajian genetika populasi, seleksi bersama dengan mutasi dan migrasi merupakan faktor-faktor yang berperanan dalam merubah frekuensi gen dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga mengganggu mekanisme keseimbangan Hardy-Weinberg (Falconer dan Mackay 1996). Dalam pemuliaan tanaman, seleksi merupakan kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan frekuensi gen yang mengendalikan karakter-karakter yang menjadi tujuan perbaikan dalam program pemuliaan. Sehingga Peningkatan frekuensi genotipe yang memiliki karakter harapan merupakan luaran dari proses ini.

Pada tanaman menyerbuk sendiri yang secara alami memiliki konstitusi genetik homozigot dalam satu populasi dan beragam antarpopulasi, seleksi dapat dibagi berdasarkan (1) karakteristik populasi; (2) penanganannya di lapangan; (3) karakter yang menjadi target seleksi; (4) banyaknya karakter yang menjadi target seleksi; (5) berdasarkan nilai fenotipe individu. Berdasarkan karakteristik populasi, seleksi dibagi menjadi dua metode yaitu seleksi untuk populasi campuran yang didapat dari alam dan seleksi untuk populasi bersegregasi hasil hibiridisasi. Berdasarkan penanganannya di lapangan, seleksi dapat dibagi

Dokumen terkait