• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Pengembangan Wilayah

Salah satu prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam pengembangan wilayah adalah bahwa setiap wilayah (region) memiliki karakteristik wilayah yang berbeda-beda, sehingga pendekatan yang dilakukan dalam pengembangan wilayah harus di dasarkan pada karakteristik wilayah masing-masing. Menurut Riyadi (2002), pengembangan wilayah harus disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan permasalahan wilayah bersangkutan karena kondisi sosial ekonomi, budaya, dan geografis antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya sangat berbeda.

Pengembangan suatu wilayah harus disesuaikan dengan potensi yang dimiliki oleh wilayah tersebut. Untuk itu, perlu diketahui penggerak utama (prime mover) yang ada di wilayah tersebut. Prime mover adalah suatu potensi yang dapat dikembangkan menjadi pusat industri besar yang membutuhkan front-end invesment yang besar, dan dapat bertahan untuk waktu puluhan tahun (Freeport, Inco, perkebunan kelapa sawit seluas 50 000 ha, prasarana untuk jasa yang besar seperti pelabuhan, samudra, dan lain-lain). Prime mover dapat berupa (1) Tambang mineral (Freeport); (2) Tambang minyak (Caltex); (3) Tambang gas (Arun, Bontang, Bunyu); (4) Hutan industri; (5) Industri perikanan dengan kegiatan penunjangnya; (6) Industri pertanian (kelapa sawit, tembakau, karet, dan lain-lain); (7) Pusat industri jasa; (8) Pusat pendidikan; (9) Pusat penelitian dan pengembangan (R&D Centers, seperti di Serpong). Bila suatu wilayah telah memiliki prime mover, maka pengembangan wilayah dikaitkan dengan aktivitas yang berputar di sekitar prime mover tersebut (Zen 2001).

Dengan demikian perencanaan pengembangan wilayah perlu didukung melalui program-program pengembangan yang relevan dengan karakteristik wilayah. Hal ini berarti bahwa program-program pengembangan wilayah (regional development programming) harus dilaksanakan dengan berorientasi pada kepentingan daerah dan berdasarkan pada kebutuhan dan aspirasi yang berkembang dalam rangka pemerataan serta percepatan pembangunan daerah.

9

Ada beberapa pendapat mengenai pengembangan wilayah (regional development). Riyadi (2002) menyatakan bahwa pengembangan wilayah merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah. Sedangkan menurut Zen (2001), pengembangan wilayah merupakan usaha memberdayakan suatu masyarakat yang berada di suatu daerah itu untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat disekeliling mereka dengan menggunakan teknologi yang relevan dengan kebutuhan, dan bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang bersangkutan. Jadi, pengembangan wilayah tidak lain dari usaha mengawinkan secara harmonis sumberdaya alam, manusianya, dan teknologi, dengan memperhitungkan daya tampung lingkungan itu sendiri . Kesemuanya itu disebut memberdayakan masyarakat (Gambar 1).

Gambar 1 Hubungan antara Pengembangan Wilayah, Sumberdaya Alam, Sumberdaya Manusia, dan Teknologi (Zen 2001).

Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Suhandoyo (2002) bahwa dalam membangun suatu wilayah, minimal ada tiga pilar yang perlu diperhatikan, yaitu : sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan teknologi. Pilar sumberdaya manusia (SDM) memegang peranan sentral karena mempunyai peran ganda dalam sebuah proses pembangunan. Pertama, sebagai obyek pembangunan SDM merupakan sasaran pembangunan untuk disejahterakan. Kedua, SDM berperan sebagai subyek (pelaku) pembangunan. Dengan demikian, pembangunan suatu

Sumberdaya Manusia Sumberdaya Alam Teknologi Lingkungan Hidup Lingkungan Hidup Pengembangan Wilayah Lingkungan Hidup

10

wilayah sesungguhnya merupakan pembangunan yang berorientasi kepada manusia (people centre development), dimana SDM dipandang sebagai sasaran sekaligus sebagai pelaku pembangunan.

Menurut Triutomo (2001), tujuan pengembangan wilayah mengandung dua sisi yang saling berkaitan. Di sisi sosial ekonomis, pengembangan wilayah adalah upaya memberikan kesejahteraan kualitas hidup masyarakat, misalnya menciptakan pusat-pusat produksi, memberikan kemudahan prasarana dan pelayanan logistik dan sebagainya. Di sisi lain, secara ekologis pengembangan wilayah juga bertujuan untuk menjaga keseimbangan lingkungan sebagai akibat campur tangan manusia terhadap lingkungan. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam pengembangan wilayah terdapat dua pendekatan yang dilakukan yakni pendekatan sektoral atau fungsional (yang dilaksanakan melalui departemen atau instansi sektoral), dan pendekatan regional atau teritorial yang dilakukan oleh daerah atau masyarakat setempat.

Adapun tujuan utama pengembangan pengembangan wilayah menurut Riyadi (2002) adalah menyerasikan berbagai kepentingan pembangunan sektor dan wilayah, sehingga pemanfaatan ruang dan sumberdaya yang ada di dalamnya dapat optimal mendukung kegiatan kehidupan masyarakat sesuai dengan tujuan dan sasaran pembangunan wilayah yang diharapkan. Optimal berarti dapat dicapai tingkat kemakmuran yang sesuai dan selaras dengan aspek sosial-budaya dan dalam alam lingkungan yang berkelanjutan.

Ary (2001), mengatakan bahwa tujuan pengembangan wilayah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna sumberdaya yang tersebar di wilayah Indonesia guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Untuk itu, arah dan kebijaksanaan pengembangan wilayah adalah:

1. Pembangunan diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap memperkukuh kesatuan dan ketahanan nasional serta mewujudkan Wawasan Nusantara.

2. Pembangunan sektoral dilakukan secara saling memperkuat untuk meningkatkan pertumbuhan, pemerataan, dan kesatuan wilayah nasional serta pembangunan yang berkelanjutan.

3. Perkembangan wilayah diupayakan saling terkait dan menguatkan sesuai dengan potensi wilayah.

11

Dengan demikian, arah dan kebijaksanaan pengembangan wilayah pada prinsipnya mendukung dan memperkuat pembangunan daerah yang merupakan bagian integral dari pembangunan nasional.

Sedangkan sasaran utama yang banyak dicanangkan oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dalam pengembangan wilayahnya adalah meningkatkan pertumbuhan produktivitas (productivity growth), memeratakan distribusi pendapatan (income distribution), memperluas kesempatan berusaha atau menekan tingkat pengangguran (unemployment rate), serta menjaga pembangunan agar tetap berjalan secara berkesinambungan (sustainable development) (Alkadri dan Djajadinigrat 2002).

Konsep pengembangan wilayah berbeda dengan konsep pembangunan sektoral, karena pengembangan wilayah sangat berorientasi pada issue (permasalahan) pokok wilayah secara saling terkait, sementara pembangunan sektoral sesuai dengan tugasnya, bertujuan untuk mengembangkan sektor tertentu tanpa terlalu memperhatikan kaitannya dengan sektor-sektor lain. Namun dalam orientasinya kedua konsep tersebut saling melengkapi, dimana pengembangan wilayah tidak mungkin terwujud tanpa adanya pengembangan sektoral. Sebaliknya, pembangunan sektoral tanpa berorientasi pada pengembangan wilayah akan berujung pada tidak optimalnya sektor itu sendiri. Bahkan hal ini dapat menciptakan konflik kepentingan antarsektor, yang pada gilirannya akan terjadi kontra produktif dengan pengembangan wilayah (Riyadi 2002).

Suatu aspek yang tidak boleh dilupakan dalam usaha pengembangan wilayah ialah aspek lingkungan hidup. Masalah-masalah lingkungan hidup sudah muncul pada tahap desa, kecamatan, kabupaten dan terus ke tingkat perkotaan. Selanjutnya Zen (2001) menyatakan bahwa dalam kegiatannya pengembangan wilayah harus disertai oleh community development. Selain memanfaatkan sumberdaya alam melalui teknologi, manusianya harus dikembangkan.

Pengembangan wilayah di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut MacAndrews et al. (1982) terdapat empat faktor utama yang berpengaruh kuat terhadap kebijakan pengembangan wilayah di Indonesia, yaitu:

1. Alam kepulauan, sebagai Negara kepulauan Indonesia terdiri atas 13 667 pulau. Pembangunan di Indonesia sebagian besar dipusatkan di Pulau Jawa, diikuti oleh tiga pulau utama lainnya yaitu pulau Sumatera, Sulawesi dan

12

Kalimantan. Konsentrasi pengembangan yang dipusatkan di Jawa dan ke tiga pulau yang utama lain telah mengakibatkan munculnya daerah yang semakin terisolasi dan terabaikan akibat perbedaan jarak, daerah dan komunikasi antar pulau. Sebagai negara kepulauan, terjadinya migrasi antar pulau juga harus dipertimbangkan dalam kebijakan pengembangan wilayah.

2. Keanekaragaman budaya, dimana Indonesia memiliki budaya yang sangat beragam, terdiri atas kultur dan kelompok kesukuan yang berbeda. Keaneka ragaman tersebut juga menjadi suatu sumber kekuatan yang berpengaruh dalam kebijakan dan politik.

3. Sifat alami dari perkembangan politis, yaitu Indonesia beberapa kali mengalami perubahan dimana pengaruh kekuatan wilayah lebih kuat dibanding dengan pemerintah pusat. Disamping itu, Indonesia dulunya terdiri dari kerajaan-kerajaan yang kecil yang terbentuk pada waktu yang berbeda dan pengaruh yang berbeda-beda pula.

4. Sifat alami sistem politik. Pemerintah Indonesia berada dalam tangan birokrasi militer sipil dengan peranan partai politik yang sangat terbatas. Pada waktu yang sama, kekuasaan politik sangat terpusat yang mencerminkan kekuasaan Pulau Jawa dan kultur Jawa. Pemerintah pusat sangat kuat dalam memegang kendali dan arah sehingga menghasilkan sistem politik yang mempengaruhi pembangunan ekonomi negeri.

Pengembangan Masyarakat

Community development dapat didefinisikan sebagai kegiatan pengembangan masyarakat/komuniti yang dilakukan secara sistematis dan terencana dan diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat untuk mencapai kondisi sosial-ekonomi-budaya yang lebih baik apabila dibandingkan dengan sebelum adanya kegiatan pembangunan, sehingga masyarakat di tempat tersebut diharapkan menjadi lebih mandiri dengan kualitas kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik (Budimanta 2005).

Menurut Ife (2002), pengembangan masyarakat bertujuan untuk membangun kembali masyarakat dengan menempatkannya sebagai manusia yang saling berhubungan dan membutuhkan satu sama lain, bukan saling

13

ketergantungan kepada yang lebih besar sehingga lebih tidak manusiawi, memiliki keteraturan menyangkut kesejahteraan, perekonomian yang luas, birokrasi, dan kemampuan untuk memilih, dan sebagainya.

Selanjutnya dikatakan bahwa ada enam dimensi penting dari community development, yaitu: (1) Pengembangan sosial; (2) Pengembangan ekonomi; (3) Pengembangan politik; (4) Pengembangan budaya; (5) Pengembangan lingkungan; dan (6) Pengembangan pribadi/keagamaan.

Zen (2001) mengatakan bahwa tujuan community development ialah memberdayakan keluarga seterusnya rukun tetangga dan rukun keluarga. Dalam

community development, pada tahap awal harus disebarkan benih-benih keinginan untuk mengubah nasib mereka; meningkatkan kualitas hidup. Sesudah itu baru langkah-langkah menuju tindakan-tindakan konkrit:

1. Perencanaan keluarga.

2. Kebersihan lingkungan yang dikaitkan dengan masalah hygenik yang menuju kesehatan.

3. Jangan mengotori sumberdaya air (sungai, danau, pantai). Dus pembuatan dan pemanfaatan MCK.

4. Memanfaatkan se-optimum mungkin setiap jengkal tanah/pekarangan dengan tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat (bergizi) seperti kecipir, daun ketela, waluh, dan lain; untuk obat-obatan (temulawak, kumis kucing, dan lain-lain).

5. Beternak (ayam, kelinci, kambing, ikan mas, mujair, nila, gurame, lele, lebah madu, dan lain-lain).

Tahap 1 sampai dengan 5 merupakan basic essentials yang menyertai usaha pengembangan wilayah. Community development harus merupakan kegiatan paralel yang tidak boleh ditinggalkan.

Tujuan community development pada industri pertambangan dan migas menurut Budimanta (2005) adalah sebagai berikut:

1. Mendukung upaya-upaya yang dilakukan oleh PEMDA terutama pada tingkat desa dan masyarakat untuk meningkatkan kondisi sosial-ekonomi-budaya yang lebih baik di sekitar wilayah kegiatan perusahaan.

14

3. Membantu pemerintah daerah dalam rangka pengentasan kemiskinan dan pengembangan ekonomi wilayah.

4. Sebagai salah satu strategi untuk mempersiapkan kehidupan komuniti di sekitar lingkar tambang manakala industri telah berakhir beroperasi (life after mining/oil).

Selanjutnya dikatakan bahwa terhadap komuniti yang berada pada lingkar tambang setidaknya program comdev dapat dikategorikan di dalam tiga aspek yaitu yang berkaitan dengan community relation, community empowering, dan

community services. Kemudian kategori-kategori tersebut dapat dilihat dari empat aspek yang biasanya dikembangkan, yaitu:

1. Fisik; seperti pembangunan fasilitas umum antara lain pembangunan ataupun peningkatan sarana transportasi/jalan, sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana peribadatan, peningkatan/perbaikan sanitasi lingkungan, dan lain sebagainya.

2. Sosial; merupakan pelayanan perusahaan untuk memenuhi kepentingan masyarakat seperti pengembangan kualitas pendidikan (penyediaan bantuan guru, operasional sekolah), kesehatan (bantuan tenaga paramedis, obat-obatan, penyuluhan peningkatan kualitas sanitasi lingkungan permukiman), keagamaan (penyediaan kiai, pendeta maupun ceramah-ceramah keagamaan), dan lain sebagainya.

3. Ekonomi; yaitu kegiatan-kegiatan yang menyangkut pengembangan usaha masyarakat yang berbasiskan sumberdaya setempat (resources based) seperti pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kemampuan manajemen, teknik

kewirausahaan, inkubator bisnis, program kemitraan, bantuan permodalan, pemasaran, dan promosi.

4. Kelembagaan; pengembangan ataupun penguatan kelompok-kelompok swadaya masyarakat, organisasi profesi lewat kegiatan-kegiatan lokakarya, seminar, pertukaran pengalaman dengan lembaga sejenis dan lain sebagainya.

Budimanta (2005) menyatakan pula bahwa peserta program community development seyogyanya difokuskan kepada masyarakat lingkar tambang dan diutamakan kepada masyarakat yang terkait dampak langsung dari kegiatan perusahaan. Masyarakat yang terkait dampak langsung dari kegiatan perusahaan

15

pada dasarnya merupakan gabungan komuniti-komuniti lokal yang bisa terdiri dari penduduk asli dan juga pendatang yang menetap di lokasi yang bersangkutan. Namun menurut Saleng (2004), program community development yang dilancarkan oleh perusahaan pertambangan pada hakekatnya adalah tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) terhadap masyarakat sekitar usaha pertambangan dan secara yuridis merupakan pengakuan (recognition) dari perusahaan pertambangan bahwa ia telah mengambil alih hak penguasaan atas sumberdaya milik penduduk setempat. Wujud dari jawab sosial dan recognisi tersebut adalah pemberian sejumlah bantuan, baik berupa uang maupun sarana dan fasilitas-fasilitas umum dari perusahaan pertambangan kepada masyarakat setempat.

Selanjutnya dinyatakan pula bahwa kegiatan community development yang dilakukan oleh setiap perusahaan terhadap masyarakat setempat berbeda-beda, demikian pula penerimaan masyarakat terhadap kegiatan tersebut berbeda-beda. Perbedaan itu dilatarbelakangi oleh sosial budaya dan kelompok etnis dominan dari masyarakat setempat.

Menurut Primahendra (2004), berdasarkan aspek peran masyarakat, praktek

community development dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk, yaitu: 1. Development for community, dimana masyarakat menjadi obyek

pembangunan karena berbagai inisiatif, perencanaan, dan pelaksanaan kegiatan pembangunan dilaksanakan oleh aktor dari luar.

2. Development with community, dimana terbentuk pola kolaborasi antara aktor luar dan masyarakat setempat sehingga keputusan yang diambil merupakan keputusan bersama dan sumberdaya yang dipakai berasal dari kedua belah pihak.

3. Development of community, dimana proses pembangunan yang baik inisiatif, perencanaan, dan pelaksanaannya dilaksanakan sendiri oleh masyarakat.

16

Tabel 1 Tiga model community development

Development for Community Development with Community Development of Community Aktor utama Aktor dari luar Aktor dari luar

bersama dengan masyarakat lokal Masyarakat lokal Bentuk hubungan Sosialisasi konsultasi Kolaborasi Self-Mobilization Empowerment Pengambil keputusan

Aktor dari luar Aktor dari luar bersama dengan masyarakat lokal

Masyarakat lokal

Pelaksana Aktor dari luar Aktor dari luar bersama dengan masyarakat lokal

Masyarakat lokal

Bentuk kegiatan Proyek Proyek dan Program Pengembangan sistem dan penguatan kelembagaan Sumber: Primahendra 2004

Perencanaan Pembangunan Daerah

Perencanaan Pembangunan Daerah adalah suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur di dalamnya, guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber-sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu tertentu (Riyadi dan Bratakusumah 2004). Selanjutnya dikatakan bahwa dalam perencanaan pembangunan daerah ada beberapa aspek yang perlu mendapatkan perhatian agar perencanaan pembangunan dapat menghasilkan rencana pembangunan yang baik serta dapat diimplementasikan di lapangan, antara lain : lingkungan, potensi dan masalah, institusi perencana, ruang dan waktu, serta legalisasi kebijakan.

Perencanaan pembangunan daerah yang dikembangkan harus memiliki prinsip-prinsip ke-Indonesia-an dengan tetap memperhatikan perkembangan tersebut. Prinsip-prinsip tersebut menurut Riyadi dan Bratakusumah (2004) antara lain:

17

1. Perencanaan pembangunan daerah harus memiliki landasan filosofis yang kuat dan mengakar dalam kultur/budaya masyarakat yang ada di daerah.

2. Perencanaan pembangunan daerah harus bersifat komprehensif, holistic atau menyeluruh, sehingga mampu membangun aspek-aspek yang ada menjadi satu kesatuan dalam pembangunan.

3. Perencanaan pembangunan daerah harus mengakomodasikan keadaan struktur ruang (spatial) dari wilayah perencanaannya, seperti pusat perkotaan, pedesaan, daerah terisolir (hinterland), pusat-pusat pertumbuhan (growth poles), distribusi air, listrik, dan sebagainya.

4. Perencanaan pembangunan daerah harus bersifat menyokong/memperkuat perencanaan pembangunan nasional. Pembangunan daerah harus dilaksanakan secara harmonis dan mendukung proses pembangunan nasional dengan tetap berlandaskan pada kekuatan, potensi, dan kebutuhan daerah itu sendiri.

5. Perencanaan pembangunan daerah harus menggambarkan arah kebijaksanaan ke mana daerah akan dibawa, apa yang akan dilakukan, dan bagaimana tahapannya. Dengan kata lain, perencanaan pembangunan daerah harus mencerminkan visi, misi, tujuan dan sasaran yang ingin diwujudkan di daerah tersebut.

Namun dalam pelaksanaannya sering dihadapkan pada berbagai kendala. Hal-hal yang menjadi kendala dalam dalam proses pembangunan daerah secara umum terbagi atas tiga, yaitu:

1. Kendala politis.

Merupakan kendala yang disebabkan oleh adanya kepentingan-kepentingan politik yang mendompleng pada substansi perencanaan pembangunan. Ini merupakan kendala yang cukup sulit dihindari, karena biasanya datang dari adanya tarik menarik kepentingan di antara elite politik dan elit penguasa (birokrasi) yang memiliki kekuatan (power) dalam mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah.

2. Kondisi sosio-ekonomi masyarakat.

Kondisi sosio-ekonomi biasanya mencerminkan kemampuan finasial daerah, padahal kemampuan finansial memiliki peran penting untuk merumuskan perencanaan yang baik. Hasil perencanaan harus dilaksanakan/

18

diimplementasikan dan pada tahap pelaksanaan inilah dukungan dana yang memadai sangat dibutuhkan.

3. Budaya/kultur yang dianut oleh masyarakat

Apabila kultur tidak diberdayakan dan diarahkan ke arah yang positif secara optimal akan sangat mempengaruhi hasil-hasil perencanaan, bahkan bisa sampai pada tahap implementasinya. Nilai-nilai budaya primordialisme, parokhialisme, etnosentrisme, patron-client yang cenderung masih melekat dalam kehidupan bangsa Indonesia, harus dikendalikan dengan baik dan diarahkan menjadi faktor pendukung pembangunan, sehingga pembangunan dilaksanakan dengan nilai-nilai positif relegius, tenggang rasa, gotong royong, dan sebagainya.

Perencanaan tata guna lahan (land use planning) dan perencanaan pembangunan daerah memiliki keterkaitan yang erat. Riyadi dan Bratakusumah (2004) menyebutkan keterkaitan tersebut sebagai berikut:

1. Proses Perencanaan Pembangunan Daerah sangat terkait dengan perencanaan Tata Ruang dan Tata Guna Lahan.

2. Perencanaan tata guna lahan merupakan jembatan antara perencanaan daerah dan pengembangan wilayah.

3. Perumusan perencanaan tata guna lahan merupakan kerangka acuan pembangunan dan pengembangan prasarana fisik yang sejalan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, khususnya yang terkait dengan penggunaan lahan.

4. Perencanaan tata guna lahan dapat memberikan informasi untuk menentukan pilihan-pilihan mengenai penggunaan/pemanfaatan lahan yang layak guna dikembangkan atau dipertahankan atau dialih-fungsikan, dengan selalu mempertimbangkan efek-efek yang akan timbul dan mempengaruhi kualitas lingkungan/ekosistem.

Perencanaan Wilayah

Tarigan (2004) menyatakan bahwa perencanaan wilayah adalah perencanaan penggunaan ruang wilayah (termasuk perencanaan pergerakan di dalam ruang wilayah) dan perencanaan kegiatan pada ruang wilayah tersebut. Perencanaan

19

penggunaan ruang wilayah biasanya dituangkan dalam bentuk perencanaan tata ruang wilayah, sedangkan perencanaan kegiatan dalam wilayah biasanya tertuang dalam rencana pembangunan wilayah, baik jangka panjang, jangka menengah, maupun jangka pendek. Perencanaan wilayah sebaiknya dimulai dengan penetapan visi dan misi wilayah. Ada lima alasan pentingnya perencanaan wilayah, yaitu:

1. Banyak diantara potensi wilayah selain terbatas juga tidak mungkin lagi diperbanyak atau diperbaharui.

2. Kemampuan teknologi dan cepatnya perubahan dalam kehidupan manusia. 3. Kesalahan perencanaan yang sudah dieksekusi di lapangan sering tidak dapat

diubah atau diperbaiki lagi.

4. Lahan dibutuhkan oleh setiap manusia untuk menopang kehidupannya.

5. Tatanan wilayah sekaligus menggambarkan kepribadian dari masyarakat yang berdomisili di wilayah tersebut, dimana kedua hal tersebut saling mempengaruhi.

Glasson (1978) menyatakan bahwa perencanaan wilayah umumnya merupakan perencanaan yang melibatkan unsur fisik dan ekonomi. Perencanaan wilayah dipandang sebagai suatu usaha untuk memandu pengembangan dari suatu daerah.

Tarigan (2004) menyatakan bahwa perencanaan pembangunan wilayah sebaiknya menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan sektoral dan pendekatan regional. Pendekatan sektoral biasanya less-spatial (kurang memperhatikan aspek ruang secara keseluruhan), sedangkan pendekatan regional lebih bersifat spatial dan merupakan jembatan untuk mengaitkan perencanaan pembangunan dengan rencana tata ruang.

Selanjutnya dikatakan bahwa perubahan struktur ruang/penggunaan lahan dapat terjadi karena investasi pemerintah maupun investasi pihak swasta. Investasi pihak swasta perlu mendapat izin atau persetujuan pemerintah baik keberadaannya maupun lokasinya, sehingga pemerintah dapat mengendalikan/mengarahkan struktur tata ruang/ penggunaan lahan tersebut ke arah yang dianggap paling menguntungkan/mempercepat tercapainya sasaran pembangunan. Sasaran pembangunan dapat berupa peningkatan pendapatan masyarakat, menambah lapangan kerja, pemerataan pembangunan di dalam

20

wilayah, terciptanya struktur perekonomian yang lebih kokoh, tetap terjaganya kelestarian lingkungan, memperlancar arus pergerakan orang dan barang ke seluruh wilayah termasuk ke wilayah tetangga, dan lain sebagainya.

Perencanaan Partisipatif

Pergeseran pembangunan dari pembangunan yang berorientasi produksi menuju pembangunan yang berorientasi publik memerlukan peran serta masyarakat dalam pelaksanaannya. Menurut Conyers (1994), ada tiga alasan utama mengapa partisipasi masyarakat mempunyai sifat yang sangat penting, yaitu:

1. Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal.

2. Masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa ikut dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut.

3. Merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri.

Selanjutnya Conyers (1994) menyatakan bahwa ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam menumbuhkan partisipasi masyarakat, yaitu:

1. Survey dan konsultasi lokal.

Metode ini ditempuh dengan cara langsung mendekati obyek yang menjadi sasaran rencana kegiatan atau proyek melalui bentuk kegiatan survei lapangan, wawancara dengan penduduk, menyelenggarakan pertemuan, dan lainnya. Melalui metode ini dapat diketahui informasi mengenai kondisi lapang yang sebenarnya dari tangan pertama atau masyarakat secara langsung.

2. Penggunaan staf yang terampil.

Metode ini dilakukan dengan media petugas lapangan dari instansi tertentu yang berkompeten dalam suatu proyek. Melalui petugas lapangan, informasi mengenasi rencana proyek dan dampaknya bagi masyarakat akan dijelaskan oleh petugas lapangan kepada masyarakat.

21

3. Perencanaan yang bersifat desentralisasi.

Metode ini dilakukan dengan membentuk suatu organisasi perencanaan di tingkat lokal dan adanya proses desentralisasi implementasi rencana kegiatan. 4. Pemerintah daerah.

Perencanaan dilakukan oleh pemerintah daerah yang jangkauannya lebih luas dari perencanaan desentralisasi.

5. Pembangunan masyarakat (community development).

Pembangunan masyarakat merupakan suatu pendekatan terpadu untuk pengembangan masyarakat dalam rangka menaikkan standar hidup serta mengembangkan taraf hidup masyarakat melalui berbagai kegiatan. Penekanan dari kegiatan ini adalah penyatuan masyarakat sebagai suatu