• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.5 Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini, untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang Pemilihan Legislatif, penulis melakukan tinjauan pustaka, baik berupa buku, jurnal, hasil penelitian/riset, undang-undang dan peraturan, makalah, klipping koran/majalah, maupun bahan lain yang relevan. Sebagian bahan pustaka tersebut diperoleh dalam bentuk fisik (hard copy) dan sebagian lagi diunduh dari internet (soft copy).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Demokrasi dan Pemilu

Demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya, atau disebut juga pemerintahan rakyat, Demokrasi juga dapat diartikan sebagai gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.

Istilah Democratia sudah ada sejak jaman Yunani, yang secara prinsip adalah Demos dan Kratos, demos adalah pemerintahan dan kratos adalah oleh rakyat. Yang dikemudian hari sistem ini menjadi sebuah hal yang baku sebagai prinsip bernegara, selain itu terminologi demokrasi juga membuka perdebatan besar dalam berbagai mazhab ideologi.

Akan tetapi kita meletakan terminologi pada makna awalnya, Demokrasi adalah sebuah antitesis dari sistem Monarkhi, di mana dalam sistem kerajaan pemerintah berjalan sangat feodalistik sehingga rakyat di posisikan sebagai pengabdi raja. Pemikiran demokrasi lahir untuk melawan itu, maka dari itu kratos disini dimaksudkan untuk rakyat terdindas (kebanyakan). Karena selama sistem monarkhi berjalan, rakyat (marginal) hanya di minta upeti (pajak) tanpa menikmati hasilnya. Mac Iver menuliskan masa transisi menuju demokrasi penuh, adalah ketika raja difungsikan sebagai simbol keyakinan (Homerus) dan para bangsawan mengambil alih kekuasaan politik. Lantas jabatan sipil menjadi hal yang diperebutkan oleh bangsawan dan warga kota jelata dan pertarungan ini menghasilkan sebuah lembaga baru, dimana sudah terjadi suatu kompromi (Mac Iver, 1984: 72).

Seperti halnya perjalanan Indonesia, masa rakyat Indonesia berjuang untuk meraih kemerdekaan di masa kolonialisme Belanda. Sampai terciptalah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang di Proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Itu adalah sebuah momentum sejarah yang melekat pada negara dalam melangkah menuju masa depan yang lebih baik. Kemerdekaan adalah sebuah antitesis dari penindasan kolonialisme dan Indonesia sebagai sebuah negara hadir bukan

semata-mata perjuangan fisik namun ada sebuah semangat persatuan yang dilatar belakangi multi agama, etnis, dan keberagaman ide.

Hal itu tercermin ketika terjadi perdebatan kembali dasar negara yang menjadi dua ekstrim, negara berlandaskan Islam dan Pancasila. Ini adalah sebuah perdebatan panjang soal ide-ide yang harus dimanifestasikan dalam dasar negara.

Namun hasil konsesi sepakat bahwa Indonesia berlandaskan Pancasila, dalam hal ini saya ingin menunjukan bahwa dibalik semangat persatuan yang multikultural juga terjadi perdebatan sengit antar ide-ide besar.

Sebuah fakta historis bahwa prinsip universal demokrasi di terjemahkan dalam bentuk musyawarah yang menghasilkan mufakat bersama. Bung Karno pernah mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya. Kita mengenal istilah bapak pendiri bangsa (founding fathers) yang merintis perjuangan sampai pada gerbang kemerdekaan, yang di kemudian hari mereka menjadi aktor dari negara. Soekarno, Hatta, Sjahrir, bahkan Tan Malaka adalah seseorang yang perlu didedikasikan dalam perjalanan sebuah bangsa.

Dalam pandangan saya bukan semata sosok yang diberikan penghargaan tinggi oleh bangsa, namun ada ide besar yang tetap harus diberikan ruang penghargaan oleh para penerus bangsa dan negara. Terkadang kita lupa bahwa mereka adalah orang yang memiliki pandangan revolusioner atau biasa kita menyebut kaum kiri. Rasanya ini seperti sebuah paradoks demokrasi Indonesia, dimana sebuah pemikiran di kubur hidup-hidup dan di deskritkan dengan istilah subversif. Ini adalah sebuah fakta yang kita temukan dalam kehidupan demokrasi hari ini.

Perjalanan demokrasi memang perlu ditanamkan di dalam diri masyarakat, karena hampir semua masyarakat dan elitnya sepakat bahwa pola demokrasi harus dipertahankan dalam menjalankan perpolitikan di Indonesia, tidak terkecuali Aceh, kekuatan ini harus terus dikembangkan, karena pola Autoritarian yang dikembangkan dimasa Orde baru hampir semua masyarakat menklaim bahwa pola perpolitikan dimasa tersebut dinyatakan gagal dalam menjalankan pola ruang publik dalam berkreasi, jadi untuk itu perlu semangat positif yang diarahkan dalam menjawab tantangan pasca reformasi. Meskipun Aceh memiliki historis yang

panjang terhadap konflik, tetapi tidak membuat semangat demokrasi harus pudar tetapi semangat tersebut terus dikembangkan untuk menuju yang lebih baik.

Pemilihan umum yang dilaksanakan di Aceh selama ini lebih dikenal dengan electoral threshold (ET). Sistem pada kebiasaan digunakan sebagai batas perolehan suara partai-partai politik untuk mendapatkan suara yang lebih banyak dan maksimal sebagaimana yang diharapkan dalam Pemilu. Sementara mekanisme yang telah diterapkan ini dalam UU No. 2 Tahun. 2008 tentang Partai Politik.

Parlementary threshold adalah penetapan para calon legislatif (caleg) terpilih untuk duduk diparlemen dengan memperhatikan keefektifan dalam menyederhanakan nomor politik dan untuk megurangi perpecahan diparlemen.

Sementara upaya untuk menerapkan sistem parlemetary threshold di Negara Indonesia bukan suatu sistem yang mudah mungkin dibutuhkan banyak waktu untuk menerapakan sistem tersebut karena sudah pasti salah satunya mesti bertentangan dengan partai-partai politik yang kecil dikarenakan menurut partai politik yang kecil bahwa pasti yang lebih besar mesti mendapatkan suara terbesar ketika dilaksanakan Pemilu kedepan. Sementara bila dilihat dari mekanisme sistem tersebut adalah sangat efektif dan realitas, guna menempatkan wakil-wakil partai politik di parlemen yang berdasarkan minimal perolehan kursi melaui aturan main.

Tentunya mekanisme yang demikian akan berimplikasi positif terhadap kemampuan anggota partai parlemen yang telah dipilih untuk menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat yang memadai dan maksimal. Implikasi dari penerapan sistem ET terhadap pemilu 2014 sangat berpengaruh pada suara yang didapati oleh setiap parpol maupun parlok untuk dapat menduduki parlemen.

Menurut Urbaningrum, ET sendiri Memiliki dua jenis yang berbeda. Yakni, threshold untuk bias ikut pemilu Berikutnya (electoral threshold), dan threshold untuk bisa masuk di parlemen (parlementary threshold). Sedangkan secara lebih spesifik. Erawan mendefenisikan, parlementary threshold adalah hak partai politik di Parlemen yang diukur dari banyaknya jumlah kursi yang diperoleh.

Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki peraturan khusus atau asimetrik terutama dalam penyelenggaraan Pemilu. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya aturan tidak seimbang atau asimetrik. Pertama, adanya konsensus historis yang dituangkan dalam konstitusi sehingga menciptakan

daerah-daerah khusus dan istimewa, termasuk hak khusus bagi elit tertentu dalam aspek politik.

Banyak hal yang membedakan antara pelaksanaan Pemilu dan Pilkada Aceh dengan Pemilu dan Pilkada daerah lain pada umumnya di Indonesia sebagai akibat dari lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh ini. Salah satunya yang paling mencolok dan dominan yaitu terkait dengan persoalan rekrutmen Penyelenggara Pemilu. Pada Pasal 23 Ayat (1) huruf l dan pasal 24 Ayat (1) huruf i yang menyatakan bahwa penyelenggara pemilu di Aceh di usulkan oleh anggota legislatif. Pasal lainnya yang menyangkut dengan persoalan rekrutmen penyelenggara pemilu terdapat pada pasal 56 Ayat (4) dan (5) yang menyatakan bahwa, “Anggota KIP Aceh diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan ditetapkan oleh KPU dan diresmikan oleh Gubernur.

Anggota KIP Kabupaten/Kota diusulkan oleh Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten/Kota (DPRK) ditetapkan oleh KPU dan diresmikan oleh bupati/walikota.” Ditambah lagi pasal 56 Ayat (6) yang menyatakan, “Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan (5), DPRA/DPRK membentuk tim independen yang bersifat ad hoc untuk melakukan penjaringan dan penyaringan calon anggota KIP.”

Sementara di daerah lain di Indonesia, Penyelenggara Pemilu di pilih melalui berbagai tahapan seleksi oleh tim seleksi independen yang dibentuk sendiri oleh KPU dan tidak ada hubungannya dengan legislatif. Pasal-pasal dalam Undang-Undang tersebut kemudian diperkuat dengan adanya Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum di Aceh yang hingga kini telah mengalami beberapa kali perubahan sampai pada Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2016 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum di Aceh. Berdasarkan Qanun tersebut legislatif (yang diwakili oleh Komisi A DPRA/DPRK) membentuk tim independen yang meliputi unsur akademisi, tokoh masyarakat dan juga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% serta mempunyai hak dalam pembentukan partai politik lokal, yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Qanun Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Partai Politik Lokal (Parlok).

Salah satu cermin negara demokrasi adalah pemerintah yang menjalankan sistem Pemilu dengan baik. Setiap pemerintahan yang mengaku demokratis hendaknya mampu menyelenggarakan Pemilu secara demokratis pula karena Pemilu demokratis merupakan pilar penting dalam sistem demokrasi modern.

Dikebanyakan negara demokrasi, Pemilu dianggap lambang, sekaligus tolak ukur dari demokrasi. Hasil Pemilu yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi serta aspirasi masyarakat. Dengan adanya Pemilu diharapkan dapat menghasilkan wakil-wakil rakyat yang mampu mengerti mengenai aspirasi dari rakyat terutama dalam proses perumusan kebijakan publik dengan adanya sistem pergiliran kekuasaan.

Sebagai elemen kunci pelaksanaan demokrasi, tentu saja Pemilu harus diselenggarakan secara demokratis pula. Pemilu harus mencerminkan prinsip dan nilai demokrasi, serta dapat menjadi jalan bagi pelaksanaan demokrasi itu sendiri.

Sifat demokratis Pemilu diperlukan untuk menjaga bahwa Pemilu sebagai suatu mekanisme demokrasi dapat mewujudkan tujuan yang hendak dicapai. Melalui Pemilu, rakyat tidak hanya memilih orang yang akan menjadi wakilnya dalam menyelenggarakan negara, tetapi juga memilih program yang dikendaki sebagai kebijakan negara pada pemerintahan selanjutnya.

Situasi yang konfliktual masih mewarnai pesta demokrasi di Provinsi Aceh.

Sebagai daerah pasca konflik, potensi kekerasan politik masih terus muncul terutama menjelang diadakannya pemilihan umum (Pemilu) baik pemilu legislatif maupun pilkada. Berbagai laporan pemantauan pemilu dari tahun ketahun menunjukkan bahwa Provinsi Aceh selalu mengalami berbagai kasus pelanggaran pemilu. Kasus-kasus ini pada akhirnya berimplikasi terhadap konflik pemilu dan mengganggu stabilitas keamanan. Pada dasarnya, baik pemilu legislatif maupun pilkada menyimpan potensi konflik yang hampir sama. Keduanya saling berhubungan dalam konteks relasi elit-elit politik yang bertarung.

Kemunculan wacana kritis pada awal dekade 1900’an oleh para kaum intelektual yang terdidik dalam perspektif berfikir barat, adalah sebuah cikal bakal dari resistensi terhadap praktek-praktek kolonialisme di Hindia-Belanda. Gagasan ini tidak lahir serta-merta tanpa proses “intelektualisasi” yang cukup panjang. Frank

Dhont seorang sejarawan yang menulis soal Nasionalisme era ’20-an mencatat, bahwa gagasan baru soal “Nasionalisme” mulai dilahirkan oleh para intelektual muda yang belajar di dalam negeri (Hindia-Belanda) maupun di luar negri (Belanda) melalui study club sebagai alat perjuangan. Selain itu kelompok-kelompok ini lahir juga dipengaruhi oleh iklim politik internasional yang sedang berkecamuk dan gagasan-gagasan politik barat yang revolusioner dimana empat orang tokoh yang saya sebut terlibat aktif dalam pembangunan wacana-wacana politik kebangsaan (Nasionalisme). Dalam rangakaian ini kita akan semakin kuat untuk berangkat dari pijakan barat dimana pada masa itu gagasan barat cukup mendominasi dalam perdiskusian kaum intelektual. Hal ini akan semakin diperkuat bahwa para tokoh bangsa kita juga cukup terinspirasi oleh sosok seperti; Rosa Luxemburg, Karl Kautsky, Edward Bernstain bahkan August Bebel dimana sosok ini dianggap pemikir yang visioner pasca PD-I. Dengan pernyataan ini, kita akan coba meneropong kembali perdebatan Marxisme Eropa yang secara sadar maupun tidak pendiri bangsa kita cukup terpengaruhi oleh gagasan itu. Seperti kita tahu Rosa adalah seorang yang cukup keras mengorganisir buruh pabrik lantas, Kausky dan Bernstain adalah seorang ideolog partai yang mampu melihat peluang kemenangan pada masanya. Masing-masing dari mereka memiliki preferensi acuan dari pemikiran barat untuk menguliti bentuk krisis yang sedang berlangsung. Jadi, kita juga bisa mengakui pergolakan politik saat itu cukup terinspirasi dengan yang terjadi di Eropa.

Semakin mengakarnya ide perjuangan di tengah-tengah kehidupan massa rakyat adalah sebuah bentuk penerimaan sekaligus artikulasi terhadap gagasan barat yang dipertemukan dengan nilai-nilai lokal (local wisedom). Momentum ini adalah titik awal menjamurnya Gerakan kemerdekaan secara masif, yang dapat dijelaskan oleh seorang antropolog seperti Ben Anderson mencoba mendifinisikan sebuah bangsa. Bangsa (nation) adalah sebuah komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas terbatas secara inheren sekaligus bekedaulatan. Bangsa adalah sebuah yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekalipun tidak tahu dan tidak kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan mungkin pula tidak pernah mendengar tentang mereka. Namun toh dibenak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu

hidup sebuah bayangan kebersamaan tentang mereka (Ben, 2002: 8). Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikat nya bersifat terbatas karena bahkan bangsa-bangsa paling besar pun, yang anggotanya mungkin semilyar manusia, memiliki garis-garis perbatasan yang pasti meski elastis. Di luar perbatasan itu adalah bangsa-bangsa lain. Tak satu bangsa pun membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi. Para nasionalis yang paling mendekati sikap ’juru selamat’ pun tidak mendambakan datangnya hari agung dimana seluruh anggota spesies manusia bakal bergabung dengan bangsa mereka dengan cara seperti, pada zaman-zaman tertentu, orang-orang kristen memimpikan seutuhnya planet yang Kristen.

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang berdaulat (sovereign) lantaran konsep itu lahir dalam kurun waktu Pencerahan dan Revolusi emporak-porandakan keabsahan ranah dinasti (absolute) berjenjang berkat pentahbisan oleh Tuhan sendiri. Konsep itu beranjak matang dimasa para pengikut paling setia pun dari agama universal mana pun tak ayal lagi dihadang kemajemukan agama-agama universal yang hidup, dan harus menghadapi alomorfisme antara masing-masing kalim keimanan ontologis serta bentang kewilayahannya yang terbatas; maka dari itu bangsa-bangsa bermimpi tentang kebebasan, dan andai pun dibawah lindungan Tuhan, secara langsung tanpa perantara. Panji-panji kebebasan ini adalah negara berdaulat. Akhirnya, bangsa dibayangkan sebagai sebuah komunitas, sebab tak peduli akan ketidakadilan yang ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa, bangsa itu sendiri dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan melebar-mendatar.

Pada akhirnya, selama dua abad terakhir rasa persaudaraan inilah yang memungkinkan begitu banyak orang, jutaan jumlahya, bersedia jangankan melenyapkan yawa orang lain, merenggut nyawa sendiri pun rela demi pembayangan yang terbatas itu. Kematian-kematian itu menyeret kita ke hadapan problema pokok yang dibawa nasionalisme: apa yang menjadikan pembayangan-pembayangan yang kian menciut kedalam kerangka sejarah terkini (tidak lebih dari dua abad saja) bisa mengugah pengorbanan kolosal seperti itu? Ben percaya bahwa jawabannya terletak di akar-akar budaya nasionalisme (Ben, 2002: 10-11) . Pandangan bebrapa ahli dalam melihat negara dan menjelelaskan proses terjadinya,

ini menjadi pijakan teoritis dalam menjelaskan negara. ketika negara hadir menjadi sebuah pemerintahan yang legitim, sesungguhnya ruh (cita-cita) dari negara itu adalah berusaha membangun demokrasi dalam kehidupan politiknya.

Konstitusi dasar negara UUD’ 45 adalah sebuah penterjemahan dari falsafah negara (weltanschauungen), di mana ini lahir berdasarkan dari sebuah konsensus dan penggalian dari nilai-nilai di Indonesia. Bicara Indonesia dalam konteks negara tidak bisa dilepaskan dengan bentuk konstitusinya. Maka menjadi penting kembali meletakan negara dalam formasi konstitusinya ketika terjadi sebuah perdebatan panjang. Sebgai penerus bangsa terkadang kita mampu memperdebatkan persoalan politik jauh kedepan, namun terkadang kita lupa akar dari negara ini yaitu kontitusi. Ini adalaha sebuah tematik kontemporer, yang atinya perdebatan itu masih terbuka sampai sekarang. Yang saya maksud dalam hal ini bukan saja peerdebatan yang berakhir dalam sebuah amandemen (perubahan konstitusi) tetapi juga kembali mengintepretasikan baik pasal per pasal. Penting bagi kelanjutan demokrasi di Indonesia, untuk meletakan konstitusi sebagai supremasi sipil. Meskipun dalam perjalan Indonesia sebagai sebuah negara, terkadang ada upaya memanipulasi kontitusi demi kepentingan sebuah rezim.

Konstitusi adalah wujud dari kompromi dan kesepakatan pikiran besar anak bangsa sekaligus harapan sebuah bangsa dalam menjalankan proses bernegara.

Adalah sebuah cita-cita besar ketika negara ini lahir yang secara estafet diturunkan oleh bapak pendiri bangsa (founding fathers) kita, kepada para penerus bangsa.

Persoalan dalam perjalan sebuah bangsa konstitusi itu sendiri mengalami pasang surut itu adalah dinamika politik yang dilatar belakangi oleh kepentingan internal dan eksternal itu bersifat natural. Namun kita sebagai penerus bangsa juga penting untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan dimasa lalu. Lalu menjadi penting melihat sebuah penyelengaraan negara hari ini dalam sudut pandang konstitusi, bagaimana negara seharusnya menjalankan pemerintahan sesuai dengan kontitusi sebagai dasar negara disatu sisi. Disisi lain terjadi sebuah paradox terhadap kontitusi dalam menjalankan pemerintahan, sehingga pemerintah menjalankan berdasarkan kekuasaaan belaka (Machtsstaat).

Salah satu defenisi demokrasi yang paling umum, bahwa demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat di mana kekuasaan tertinggi di tangan rakyat dan

dijalankan langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas. Dari batasan ini, tampak beberapa unsur penting ciri demokrasi, di antaranya adanya unsur kekuasaan yang dilaksanakan secara langsung atau melalui perwakilan, kedaulan di tangan rakyat, sistem pemilihan yang bebas. Prinsip kedaulatan rakyat dan kebebasan sangat penting dalam konsepsi tersebut di atas. Selain prinsip-prinsip maka demokrasi juga mengandung unsur seperangkat praktek dan prosedur dari sebuah proses pelembagaan kebebasan yang panjang dan berliku.

Dari prakteknya, maka demokrasi dapat dibedakan atas dua bentuk:

langsung dan tidak langsung (sering disebut ‘demokrasi perwakilan’). Demokrasi langsung adalah sistem demokrasi yang semua warga biasanya aktif terlibat di dalam pembuatan keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh negara; mereka tidak mewakilkan pandangan, pikiran, atau kepentingan mereka pada orang lain yang mengatasnamakan mereka. Demokrasi langsung adalah yang lebih tua atau lebih dikenal sebagai demokrasi masa Yunani kuno atau demokrasi Athena. Demokrasi model ini biasanya dilaksanakan dalam sebuah negara yang kecil dan dengan penduduk yang jumlahnya kecil.

Sedangkan demokrasi tidak langsung bersifat lebih umum dan diberlakukan oleh banyak negara modern saat ini. Jumlah penduduk yang besar dan wilayah negara yang sangat luas menyebabkan lebih dipilihnya model demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan ini. Dalam model ini warga akan memilih wakil-wakil atau pejabat-pejabat yang akan membuat keputusan atau kebijakan politik, merumuskan undang-undang dan menjalankan program untuk kepentingan umum atas nama mereka. Warga mewakilkan kepentingan, aspirasi, pikiran, atau pandangan mereka pada para anggota dewan, pemimpin atau pejabat yang mereka pilih melalui Pemilu. Dengan demikian kewenangan yang dimiliki oleh penguasa atau pemerintah baik untuk membuat keputusan atau kebijakan pemerintah dan untuk melaksanakannya diperoleh berdasarkan persetujuan warganya yang diberikan melalui Pemilu.

Pemilu merupakan mekanisme memilih wakil-wakil atau pejabat-pejabat yang akan mengatasnamakan rakyat dalam melaksanakan tugas-tugas mereka.

Dengan kata lain ketika warga memilih wakil-wakil atau pejabat-pejabat untuk

mewakili mereka di dalam Pemilu maka warga sekaligus memberikan mandat pada para wakil dan pejabat tersebut untuk dan atas nama rakyat, membuat dan mengambil keputusan atau kebijakan dan melaksanakan program untuk kepentingan mereka. Untuk memperoleh wakil atau pejabat yang mengatasnamakan rakyat maka pemilihan harus demokratis.

Untuk Indonesia, sejak masa pergolakan politik dalam rangka pencapaian kemerdekaan, para pendiri negara memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam menentukan pemikiran politik yang melandasi praktek-praktek kenegaraan dan demokrasi. Secara historis, pelaksanaan (orde) demokrasi di Indonesia telah melampaui 4 (empat) masa dan bentuk, yaitu: demokrasi liberal (1950-1959), demokrasi terpimpin (1959-1966), demokrasi Pancasila (1966-1997), dan demokrasi pasca orde baru (1998-sekarang).

Konsep demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan sudah lama dikenal, yang diperkirakan pertama kali diterapkan di Yunani kuno, sekitar 2500 tahun lalu.

Bisa dipahami, betapa demokrasi menjadi pokok pembahasan yang tidak lekang sepanjang zaman, hingga sekarang. Oleh karena itu, sebagaimana dilihat dari berbagai literatur, pendefenisian secara beragam mengenai demokrasi oleh para ahli dan demikian juga pilihan defenisi oleh negara-negara tertentu, menjadi tidak terelakkan.

Pengertian itu bisa saja bertolak belakang atau bertabrakan, meski tidak jarang juga ditemukan defenisi yang bisa ditarik “benang merahnya”. Sebagai contoh perbedaan ini bisa diamati dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia—sejak merdeka hingga sekarang—yang mengenal nama “Demokrasi Terpimpin”,

“Demokrasi Pancasila”. Hingga kini, masih menjadi perdebatan yang tiada akhir tentang demokrasi. Ini artinya, demokrasi sebagai konsep masih layak dijelajahi dan dicari bentuk idealnya. Huntington, misalnya, mencatat bahwa pada pertengahan abad ke 20, dalam perdebatan mengenai arti demokrasi muncul tiga pendekatan umum. Sebagai suatu bentuk pemerintahan, demokrasi telah didefenisikan berdasarkan sumber kewenangan bagi pemerintah, tujuan yang dilayani oleh pemerintah, dan prosedur untuk membentuk pemerintahan (Huntington, 1995: 4).

Tidak ada definisi tunggal tentang apa itu demokrasi. Namun beberapa definisi demokrasi berikut ini bisa membantu kita ketika membicarakan Pilkada

Tidak ada definisi tunggal tentang apa itu demokrasi. Namun beberapa definisi demokrasi berikut ini bisa membantu kita ketika membicarakan Pilkada