• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pesantren

Istilah pondok pesantren terdiri dari dua kata yaitu pondok dan pesantren. Ada yang menyebut pondok saja atau pesantren saja, namun kebanyakan menyebut dengan lengkap yaitu pondok pesantren. “Pondok” artinya tempat berteduh atau tempat menginap. Adapun “Pesantren” berasal dari kata “santri”

ditambah awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti tempat tinggal para santri (Gitosardjono 2006).

Pengertian atau ta’rif Pondok Pesantren menurut Depag (2003) tidak dapat diberikan dengan batasan yang tegas, melainkan terkandung fleksibilitas pengertian yang memenuhi ciri-ciri pengertian Pondok Pesantren. Setidaknya ada 5 (lima) ciri yang terdapat pada suatu lembaga Pondok Pesantren, yaitu kyai, santri, pengajian, asrama dan masjid dengan aktivitasnya. Gitosardjono (2006) berpendapat bahwa pondok pesantren merupakan perpaduan antara konsep pendidikan Islam dengan model pendidikan yang merupakan budaya lokal yang sudah berkembang sebelumnya khususnya di pulau Jawa pada saat datangnya agama Islam pertama kali.

Menurut Dhofier (1982) dalam Maftukha (2006), sebuah pesantren digolongkan kecil bila memiliki santri dibawah 1000 orang dan pengaruhnya hanya sebatas kabupaten. Pesantren sedang memiliki antara 1000-2000 orang yang pengaruh dan rekruitmen santrinya meliputi beberapa kabupaten. Pesantren besar memiliki santri lebih dari 2000 orang dan biasanya berasal dari beberapa kabupaten dan provinsi. Diantara model-model pesantren itu adalah: 1. Pesantren Tradisional (Salafiyah)

Pesantren tradisional adalah pesantren yang masih mempertahankan sistem pengajaran tradisional, dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik. Diantara pesantren ini ada yang mengelola madrasah, bahkan juga sekolah- sekolah umum. Murid dan mahasiswa boleh tinggal di pondok atau di luar, tetapi mereka diwajibkan mengikuti pengajaran kitab-kitab dengan cara sorogan

maupun bandongan, sesuai dengan tingkatan masing-masing. 2. Pesantren Modern (Khalafiyah/’Ashriyah)

Pesantren khalaf adalah lembaga pesantren yang mengintegrasikan secara penuh sistem klasikal pondok dan sekolah ke dalam pondok pesantren. Semua santri masuk pondok dan terbagi dalam tingkatan kelas. Pengajian kitab tidak lagi menonjol, tetapi berubah menjadi mata pelajaran atau bidang studi.

Demikian pula cara sorogan dan bandongan mulai berubah bentuk menjadi bimbingan individual dalam belajar dan kuliah ceramah umum atau stadium

general. Jadi selain menyelenggarakan kegiatan kepesantrenan juga

menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal atau jalur sekolah (Depag 2003). Perkembangan pesantren saat ini sangat diperhitungkan oleh masyarakat, selain mempertahankan kekhasannya juga dapat mengembangkan pengetahuan lain sebagai kegiatan tambahan bagi para santrinya. Menurut catatan Depag (2009), pondok pesantren di Indonesia berjumlah 24.206 dengan jumlah total santri sebanyak 3.647.719 yang terdiri atas 1.953.992 (53,6%) santri putra dan 1.693.727 (46,4%) santri putri. Sejumlah tersebut menunjukkan bahwa pesantren sangat potensial dalam bidang pendidikan yang keberadaannya makin diminati masyarakat. Secara kuantitatif pesantren cukup besar dalam memberikan sumbangsihnya terhadap pengembangan sumber daya manusia karena pesantren telah mengakar di tanah air dan bangsa Indonesia.

Remaja dan Tumbuh Kembangnya

Menurut Arisman (2010), laju pertumbuhan anak, baik perempuan maupun laki-laki hampir sama cepatnya sampai pada usia 9 tahun. Usia antara 10-12 tahun pada anak perempuan mengalami percepatan pertumbuhan yang lebih dahulu dibandingkan dengan anak laki-laki karena tubuhnya memerlukan persiapan menjelang usia reproduksi, sedangkan anak laki-laki baru dapat menyusul dua tahun kemudian. Puncak pertambahan berat badan dan tinggi badan perempuan tercapai pada usia masing-masing 12,9 dan 12,1 tahun, sedangkan laki-laki 14,3 dan 14,1 tahun.

Menurut Depkes (2005), masa remaja dibedakan dalam tiga tahap, yaitu masa remaja awal (10-13 tahun), masa remaja tengah (14-16 tahun) dan masa remaja akhir (17-19 tahun). Masa remaja menjadi masa yang begitu khusus dalam hidup manusia, karena pada masa tersebut terjadi proses awal kematangan organ reproduksi manusia yang disebut sebagai masa pubertas. Masa remaja juga sebagai masa peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa, banyak terjadi perubahan dalam hal fisik dan psikis. Perubahan-perubahan tersebut dapat menyebabkan kekacauan-kekacauan batin pada remaja, sehingga masa remaja sering juga disebut sebagai masa pancaroba. Kondisi ini menyebabkan remaja dalam kondisi rawan menjalani proses pertumbuhan dan perkembangannya.

Ada tiga alasan mengapa remaja dikategorikan rentan. Pertama percepatan pertumbuhan dan perkembangan tubuh memerlukan energi dan zat gizi yang lebih banyak. Kedua, perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan menuntut penyesuaian masukan energi dan zat gizi. Ketiga, kehamilan, keikutsertaan dalam olahraga, kecanduan alkohol dan obat, meningkatkan kebutuhan energi dan zat gizi. Disamping itu, tidak sedikit remaja yang makan secara berlebihan dan akhirnya mengalami obesitas (Arisman 2010).

Peningkatan kebutuhan gizi pada remaja terjadi akibat pertumbuhan cepat jaringan baru dan perubahan-perubahan perkembangan tertentu. Sebagai contoh, lebih dari 20 persen pertumbuhan tinggi badan total dan sekitar 50 persen massa tulang dewasa dicapai selama masa remaja, sehingga hal ini menyebabkan kebutuhan kalsium (Ca) meningkat sekitar 50%. Disamping peningkatan kebutuhan besi (Fe) untuk pengembangan massa sel darah merah dan mioglobin pada pertambahan jaringan otot baru, remaja putri membutuhkan besi yang lebih banyak (sampai 15%) untuk mengkompensasi kehilangan darah akibat menstruasi (Riyadi 2001).

Pertumbuhan dan kematangan manusia merupakan proses yang terus berlanjut, dan adanya transisi dari masa anak-anak menjadi dewasa tidak berlangsung secara mendadak. Periode remaja mencakup perubahan- perubahan yang cepat dalam pertumbuhan fisik dan kematangan biologi serta perkembangan psikologi. Masalah kesehatan pada periode remaja dicirikan oleh prevelensi penyakit kronik dan infeksi yang rendah, tetapi mereka beresiko tinggi terhadap masalah kesehatan yang berhubungan dengan penyalahgunaan obat- obatan, penyakit yang ditularkan lewat hubungan seksual, kehamilan dan luka akibat kecelakaan atau kesengajaan (Riyadi 2001).

Proses Penyelenggaraan Makanan

Penyelenggaraan makanan adalah sebuah ilmu dan seni perencanaan, persiapan, pemasakan dan pelayanan yang berkualitas sesuai kebutuhan. Jika dilihat sebagai sebuah sistem, penyelenggaraan makanan adalah penggabungan dari beberapa komponen/bagian yang bekerja bersama untuk mencapai tujuan. Sistem penyelenggaraan makanan ini terdiri atas enam elemen, yakni input, thruput, output, control, feedback dan environment (Perdigon 1989).

Penyelenggaraan makanan menurut Depkes (1991) adalah serangkaian kegiatan yang merupakan suatu sistem mencakup kegiatan/subsistem penyusunan anggaran belanja makanan, penyediaan/pembelian bahan pangan,

penerimaan, penyimpanan dan penyaluran bahan pangan, persiapan dan pemasakan makanan, penilaian dan distribusi makanan, pencatatan, pelaporan dan evaluasi, yang dilaksanakan dalam rangka penyediaan makanan bagi kelompok masyarakat di suatu institusi.

Perencanaan Menu

Kata menu berasal dari bahasa Perancis yang artinya suatu daftar yang tertulis secara rinci. Tipe menu menurut Palacio & Theis (2009) yakni selective menu, semi-selective menu, non-selective menu, static menu, single-use menu

dan cycle menu. Menurut Nursiah (1990) bahwa perencanaan menu merupakan

rangkaian kegiatan untuk menyusun suatu hidangan dalam variasi yang serasi. Sedangkan menurut Depkes (2003), perencanaan menu adalah suatu kegiatan penyusunan menu yang akan diolah untuk memenuhi selera konsumen dan kebutuhan gizi yang memenuhi prinsip gizi seimbang.

Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan menu: 1) informasi tentang pelanggan yang akan dilayani, meliputi jumlah, usia, jenis kelamin, kebutuhan gizi, makanan kesukaan, kemampuan membayar; 2) pengetahuan tentang proses kegiatan meliputi peralatan yang tersedia di dapur, keterampilan, anggaran dan jenis penyelenggaraan; 3) faktor lingkungan seperti waktu, musim, iklim dan ketersediaan sumber bahan pangan; dan 4) estetika meliputi variasi makanan, kombinasi warna, tekstur, bentuk, rasa dan konsistensi (Perdigon 1989).

Menurut Yuliati & Santoso (1995) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan makanan institusi adalah tersedianya menu yang baik, secara kualitas maupun kuantitas. Menu perlu direncanakan secara matang. Perencanaan menu harus disesuaikan dengan tipe institusi, bahan pangan yang mudah didapat di pasar atau musimnya, anggaran yang tersedia, dan sesuai dengan kemampuan pekerja. Selain itu, pegawai yang ditugaskan merencanakan menu harus mengetahui pengetahuan yang luas tentang seluk beluk bahan pangan, penyediaan bahan pangan meliputi jenis bahan pangan yang tersedia di pasar dan sesuai dengan musim, fluktuasi harga bahan pangan di pasar, serta metoda dan prosedur persiapan makanan mulai dari belanja, pengolahan sampai dengan penyajian.

Perencanaan menu disusun oleh suatu tim yang terdiri dari ahli gizi, juru masak, pengelola dan konsumen. Menu dapat disusun untuk satu rangkaian waktu 5, 7, 10 atau 21 hari dan selanjutnya diputarkan (siklus) selama 3 atau 6

bulan setelah itu diganti dengan rangkaian menu baru. Harus ada standar untuk setiap porsi hidangan, sehingga macam dan jumlah bahan pangan per porsi menjadi jelas. Standar porsi dinyatakan dalam berat bersih bahan pangan yang digunakan. Harus ada resep standar, dilengkapi dengan macam, jumlah, harga bumbu yang dapat dikembangkan di berbagai institusi, serta jumlah porsi per satu resep (Depkes 1991).

Perencanaan Biaya

Menurut Depkes (1991), perencanaan biaya atau anggaran belanja untuk suatu penyelenggaraan makanan dalam jumlah banyak seharusnya direncanakan setahun sebelumnya dan umumnya didasari atas pengalaman- pengalaman masa lalu. Anggaran belanja yang diperhitungkan adalah untuk bahan pangan, peralatan, tenaga dan pengeluaran lain yang disebut biaya

overhead (bahan bakar, air, listrik, kerusakan, sabun, pembersih dan

sebagainya).

Faktor utama yang dipantau dalam pengendalian biaya adalah food

(bahan pangan), labor (tenaga kerja), operating (operasi) dan overhead cost

(biaya lainnya) seperti listrik, pajak dan sebagainya. Food cost (biaya bahan pangan) adalah yang paling mudah dikendalikan. Prinsip-prinsip yang mendasari pengendalian biaya bahan pangan harus diterapkan ketika: 1) perencanaan menu, 2) pembelian bahan pangan, 3) penerimaan bahan pangan, 4) penyimpanan bahan pangan, 5) persiapan bahan pangan, dan 6) penyediaan makanan. Beberapa faktor yang mempengaruhi labor cost (biaya tenaga kerja) adalah: 1) jenis jasa makanan, 2) jam pelayanan, 3) pola menu, 4) jenis/bentuk bahan pangan yang dibeli, 5) ukuran dan tata letak dapur serta area pelayanan, 6) labor-saving equipment, 7) kebijakan personil, dan 8) jadwal karyawan.

Operating cost and overhead cost (Biaya operasi dan biaya lainnya) perlu menjadi perhatian dalam penyelenggaraan makanan. Beberapa biaya ini meliputi barang-barang kertas, perlengkapan pembersih, utilitas (pemanas air, penerangan, air dan lain-lain), laundry dan perlengkapan linen, serta perbaikan, penggantian dan pemeliharaan peralatan (Shirley 1999).

Pembelian Bahan pangan

Palacio & Theis (2009) mendefinisikan pembelanjaan bahan pangan sebagai sebuah proses pembelian atau pengadaaan suatu produk pada waktu yang tepat dengan jumlah, kualitas dan harga yang sesuai. Ada dua tipe jenis pembelanjaan bahan pangan, yaitu centralized purchasing pembelanjaan

terpusat) dan group and corporate purchasing (pembelanjaan kelompok). Pembelanjaan secara terpusat yang dilakukan oleh departemen pengadaan bahan pangan yang bertanggung jawab untuk mendapatkan kebutuhan bahan atau peralatan untuk seluruh unit dalam suatu organisasi, biasa digunakan pada organisasi besar termasuk universitas, sekolah, rumah makan dengan banyak cabang dan rumah sakit. Tipe pembelanjaan kelompok dapat menguntungkan pembeli untuk meningkatkan volume pembelian sehingga dapat mengurangi harga.

Metode pembelian menurut Perdigon (1989) yaitu informal or the open market buying (informal atau pembelian langsung ke pasar), formal competitive

bid buying (pembelian bahan pangan dengan pelelangan), dan semi-formal

method or negotiated buying (metode semi-formal atau pembelian dengan

musyawarah). Pada informal or the open market buying (informal atau pembelian langsung ke pasar), buyer mengumpulkan informasi pasar tentang macam, kualitas, harga, ketersediaan bahan pangan, memutuskan pilihan, dan membuat order pesanan. Saat bahan pangan dikirim, buyer mengecek macam, jumlah spesifikasi sesuai kesepakatan. Transaksi antara pembeli dan penjual dapat dilakukan di lokasi pasar itu sendiri, melalui telepon atau melalui seorang salesman yang menghubungi pembeli. Pada formal competitive bid buying

(pembelian bahan pangan dengan pelelangan) melibatkan pengajuan spesifikasi tertulis beserta kebutuhan akan kuantitas kepada pemasok dengan undangan bagi mereka untuk mengajukan harga untuk item yang tercantum. Semi-formal

method or negotiated buying (metode semi-formal atau pembelian dengan

musyawarah) merupakan praktek pembelian yang terpaksa pada saat produksi musiman dan terbatas. Metode ini yang menyediakan sarana yang fleksibel untuk memperoleh tindakan yang cepat dan tepat di pasar yang berfluktuasi. Pembeli membuat kontrak dengan vendor secara langsung dan meminta penawaran yang disampaikan secara tertulis sesegera mungkin. Ada peraturan kurang ketat dalam jenis penawaran ini jika dibandingkan dengan pembelian pelelangan.

Penerimaan Bahan pangan

Penerimaan adalah proses lain dalam sistem penyelenggaraan makanan, yang memastikan apa yang telah dibeli benar-benar sesuai kualitas dan kuantitasnya dengan apa yang telah dikirimkan. Sebuah faktur yang ditandatangani membuktikan kelengkapan dan keakuratan pengiriman. Oleh

karena itu, petugas penerima yang bertanggung jawab untuk memeriksa barang- barang harus selalu memastikan barang yang dikirimkan memenuhi spesifikasi, dan bahwa kuantitas, kualitas serta harga sesuai dengan apa yang telah disepakati sebelumnya. Untuk membantu petugas penerima dalam kinerja yang tepat dari pekerjaan ini, fasilitas dasar diperlukan: 1) lokasi penerimaan terletak di dekat pintu masuk layanan dan penyimpanan terlebih dahulu dilengkapi dengan tabel penerimaan dan skala berat yang akurat; 2) set rincian makanan dan bahan lainnya yang akan diterima; 3) bagan konversi dan berat untuk kemudahan dalam membaca; dan 4) termometer dan kalkulator (Perdigon 1989).

Penerimaan bahan pangan didasarkan atas pesanan bahan pangan, yang menyatakan macam, jumlah dan kualitas bahan pangan. Pesanan bahan pangan harus diteliti dan diamati pula cara pengepakan/pembungkusan/ penanganan menurut yang tercantum dalam perjanjian jual beli, termasuk ketepatan waktu pengiriman bahan pangan. Bahan pangan yang telah diteliti dan diamati kemudian dikirim ke gudang/ruang penyimpanan. Petugas mencatat dan melaporkan pemasukan bahan pangan. Prosedur penerimaan bahan pangan dapat dilakukan dengan cara konvensional seperti yang telah diuraikan, atau secara blind (tanpa diperiksa), karena rekanan sudah dipercaya, baik kualitas, cara pelayanan dan harga (Depkes 1991).

Penyimpanan Bahan pangan

Menurut Depkes (2003), penyimpanan bahan pangan adalah suatu tata cara menata, menyimpan, memelihara keamanan bahan pangan kering atau basah baik kualitas maupun kuantitas di gudang bahan pangan kering dan basah serta pencatatan dan pelaporannya. Depkes (1991) menjelaskan bahwa penyimpanan bahan pangan dimaksudkan untuk mempertahankan kondisi bahan pangan, mencegah kerusakan/gangguan lingkungan bahan pangan, melayani kebutuhan macam dan jumlah bahan pangan dengan kualitas dan waktu yang sesuai untuk unit yang memerlukan. Penyimpanan bahan kering dan basah harus dipisahkan dan memiliki perlakuan masing-masing yang berbeda dengan memperhatikan macam, golongan, urutan pemakaian, kartu stock, jam buka, petugas penjaga, pembersihan, suhu dan kelembabannya.

Pengolahan Bahan pangan

Menurut Wirakusumah (1991) bahwa pada prinsipnya pengolahan bahan pangan meliputi persiapan dan pemasakan bahan pangan. Persiapan adalah suatu proses kegiatan dalam rangka menangani bahan pangan dan bumbu

sehingga siap atau layak untuk dilanjutkan dengan kegiatan pemasakan. Depkes (1991) menjelaskan bahwa kemungkinan-kemungkinan yang dapat merusak/ melarutkan zat-zat gizi dalam bahan pangan harus dihindari dalam persiapan bahan pangan. Perlakuan terhadap bahan pangan ini selain selama persiapan juga harus diperhatikan selama proses pemasakan, penyajian serta perlakuan selama masakan disimpan. Persiapan bahan pangan meliputi kegiatan pencucian bahan pangan, pemotongan, perendaman, penggilingan, penumbukan, pengadukan, pengasaman, pengasinan, pengayakan, pencetakan dan perlakuan lain sebelum bahan pangan dimasak. Kegiatan-kegiatan ini sebaiknya mengikuti prosedur yang benar agar kehilangan zat-zat gizi dapat diatasi.

Pemasakan adalah suatu proses perubahan dari bahan pangan mentah atau makanan setengah jadi menjadi makanan siap dimakan (Wirakusumah 1991). Menurut Depkes (1991), pemasakan adalah proses kegiatan terhadap bahan pangan dan bumbu yang telah dipersiapkan, dengan menggunakan berbagai cara pemasakan seperti membakar, merebus, mengukus, menggoreng, mengetim dan sebagainya dalam rangka meningkatkan cita rasa, nilai cerna bahan pangan dan menghilangkan/mematikan kuman-kuman yang berbahaya. Fungsi area dan luas yang disarankan dalam proses food production disajikan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 1 Perkiraan persentase luas area dalam food production

Fungsi area Luas yang disarankan (%)

Penerimaan bahan pangan 5

Penyimpanan bahan pangan 20

Persiapan bahan pangan 14

Pemasakan 18

Tempat pencucian 5

Lalu lintas jalan 16

Tempat sampah 5

Fasilitas pekerja 15

Lain-lain 2

Total 100%

Sumber: (Kazarian 1989 diacu dalam Sinaga 1995)

Pendistribusian dan Penyajian Makanan

Penyajian merupakan kegiatan yang dilakukan setelah bahan pangan selesai diolah atau diproses. Hidangan yang lezat tanpa penyajian yang menarik akan mengecewakan atau menghilangkan selera makan konsumen. Oleh karena

itu, tahap penyajian dan distribusi makanan merupakan tahap yang tidak boleh diabaikan (Wirakusumah 1991).

Ada dua cara yang dapat digunakan dalam mendistribusikan makanan yang disesuaikan dengan keadaan dapur penyedia makanan tersebut. Cara sentralisasi yaitu makanan langsung dibagikan pada rantang makanan masing- masing konsumen ataupun dalam kotak makanan. Cara desentralisasi berarti penanganan makanan dua kali. Pertama dibagikan dalam jumlah besar pada alat-alat yang khusus, kemudian dikirim ke ruang makan yang ada. Kedua, di ruang makan ini makanan disajikan dalam bentuk porsi (Depkes 1991).

Menurut Perdigon (1989), cara makanan disajikan kepada pelanggan dalam lembaga yang berbeda dapat diklasifikasikan ke dalam table, counter and

tray service.Table service sebanding dengan makanan yang disajikan di sebuah

rumah yang nyaman. Ruang makan dengan suasana khas hotel dan restoran biasanya menggunakan layanan semacam ini. Counter service merupakan layanan makanan yang cepat dengan jumlah minimum yang diperlukan untuk pesanan meja makan. Warung kopi memanfaatkan layanan jenis ini. Pada Tray

service, pelanggan dapat dilayani dalam privasi kamar rumah sakit atau mobilnya

(curb service) daripada di ruang makan umum.

Cara lain dalam penyajian makanan yaitu pelanggan memilih untuk melayani dirinya sendiri. Cara penyajian dengan melayani diri sendiri (self- service) terdapat di outlet makanan seperti cafetarias, buffet service (prasmanan)

dan take-out service. Pada cafetarias, pelanggan mengambil/menentukan pilihan

sendiri dari sajian makanan yang ditampilkan di loket pelayanan dan menyusun sendiri makanan di nampan untuk dibawa ke meja. Cafetaria diklasifikasikan lebih lanjut sesuai dengan jenis klien yang dilayani, contohnya Cafetaria Kantor, Cafetaria Sekolah, Cafetaria Industri Tanaman dan lain-lain. Pada buffet service

memerlukan counter atau meja tempat makanan yang ditata baik untuk melayani diri sendiri atau dilayani oleh seorang petugas. Menu mungkin terbatas atau luas dan layanan mungkin formal atau informal. Pada take-out service, makanan atau

snack dikemas yang bisa dibeli dari tempatnya oleh pelanggan sendiri atau dengan cara pemesanan melalui telepon (Perdigon 1989).

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal/beragam) yang dimakan seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu. Dalam aspek gizi tujuan memperoleh pangan adalah untuk mendapatkan sejumlah zat gizi

yang diperlukan tubuh (Hardinsyah & Martianto 1989). Konsumsi pangan merupakan faktor utama dalam memenuhi kebutuhan zat gizi. Zat gizi tersebut selanjutnya akan menyediakan tenaga bagi tubuh, mengatur proses metabolisme dalam tubuh, memperbaiki jaringan serta pertumbuhan (Harper et al. 1986). Keadaan gizi pada dasarnya ditentukan oleh konsumsi pangan dan kemampuan tubuh dalam menggunakan zat gizi tersebut (Sukandar 2008).

Supariasa et al. (2002) menjelaskan bahwa dalam survei konsumsi pangan terdapat tiga metode yang digunakan yaitu metode kualitatif, metode kuantitatif serta gabungan dari keduanya. Metode kualitatif digunakan untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan pangan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan. Metode kuantitatif digunakan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan pangan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar Konversi Mentah-Masak (DKMM) dan Daftar Penyerapan Minyak (DPM).

Metode Estimated Food Record

Metode estimated food record merupakan salah satu metode pengukuran konsumsi makanan untuk individu, metode ini disebut juga food records atau

diary records (Supariasa et al. 2002). Food record adalah catatan contoh tentang jenis dan jumlah makanan dan minuman dalam suatu periode waktu, biasanya antara 1 sampai 7 hari (Achadi 2007). Metode ini dilakukan dengan cara meminta contoh untuk mencatat semua yang ia makan dan minum setiap kali sebelum makan dalam Ukuran Rumah Tangga (URT) atau menimbang dalam ukuran berat (gram) dalam periode tertentu (2-4 hari berturut-turut), termasuk cara persiapan dan pengolahan makanan tersebut (Supariasa et al. 2002).

Kelebihan food record antara lain: a) tidak tergantung pada memori, b) mendapatkan data asupan yang detail, c) mendapatkan data tentang eating habit, dan d) multiple day lebih representatif menggambarkan usual intake, valid sampai 5 hari. Adapun keterbatasan food record antara lain: a) membutuhkan kerjasama yang tinggi dari contoh, b) contoh harus dapat membaca dan menulis, c) dapat mengubah kebiasaan makan, d) analisis intensif dan mahal, e) membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan data, harus menimbang dan mencatat, dan f) respons rate dapat menjadi rendah karena memberikan beban terhadap contoh (Achadi 2007).

Kecukupan Energi dan Zat Gizi

Hardinsyah & Briawan (1994) menjelaskan bahwa kecukupan gizi antar individu sangat bervariasi yang dipengaruhi oleh jenis kelamin, berat badan, umur, tinggi badan, keadaan fisiologis, aktivitas, metabolisme tubuh dan sebagainya. Menurut Sediaoetama (2006) bahwa kelompok umur remaja menunjukkan fase pertumbuhan yang pesat, yang disebut “adolescence growth

spurt”, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang relatif besar jumlahnya. Kegiatan

jasmaniah pada remaja laki-laki sangat meningkat, karena biasanya pada umur inilah perhatian untuk olahraga sedang tinggi-tingginya, seperti atletik, mendaki gunung, sepak bola, hiking dan sebagainya. Remaja putri sangat mementingkan bentuk badannya, sehingga banyak yang berdiet tanpa nasihat atau pengawasan seorang ahli kesehatan dan gizi. Secara rinci dapat dilihat kecukupan gizi yang dianjurkan untuk remaja putri pada Tabel 2.

Tabel 2 Kecukupan gizi yang dianjurkan untuk remaja putri

Zat gizi Perempuan (tahun)

Dokumen terkait