• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Tingkat Kecukupan Konsumsi dan Status Kesehatan terhadap Status Gizi Santri Putri di Dua Pondok Pesantren Modern di Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Tingkat Kecukupan Konsumsi dan Status Kesehatan terhadap Status Gizi Santri Putri di Dua Pondok Pesantren Modern di Kabupaten Bogor"

Copied!
217
0
0

Teks penuh

(1)

Relation to Nutritional Status of Female Adolescent Boarders at Two Modern Islamic Boarding Schools in Bogor. Under directions of RIZAL DAMANIK and TIURMA SINAGA.

The consumption adequacy level and health status affect the nutritional status. Meanwhile, little is known concerning to the consumption adequacy level, health and nutritional status of female adolescent boarders at Modern Islamic boarding schools which has a food service system. The aim of the study was to identify the consumption adequacy level and health status in relation to nutritional status of female adolescent boarders at two modern Islamic boarding schools in Bogor: knowing the process of a food service, energy and nutrients consumption; assessing energy and nutrients consumption adequacy level; determining nutritional and health status of female adolescent boarders; and revealing environmental condition of female adolescent boarders dormitory at Sahid and Ummul Quro Al-Islami modern Islamic boarding schools (PP Sahid and PP UQI). The study was an observational type used cross sectional design held for two periods, on April 2011 (PP Sahid) and from September to October 2011 (PP UQI). The subjects were 68 at PP Sahid and 87 at PP UQI of female adolescent boarders chosen by simple random sampling with purposive site selection. The results showed that both boarding schools did not meet the required food serving standard. The average of energy and nutrients consumption of subjects was still below the recommended adequacy value, except for vitamin B1 in the two groups

of subjects (28,92 mg and 14,46 mg) and calcium in the subjects at PP Sahid (1018,35 mg). Most energy and nutrients consumption adequacy levels of the subjects were in the deficit category except for vitamin B1 consumption adequacy

level in the subjects at PP Sahid (54,4%). Most (69,1% and 79,3%) nutritional status (BMI for age) of both groups of subjects was in the normal nutritional status category. Most (97,1% and 88,5%) health status of both groups of subjects was unhealthy (sick). The dormitory environmental conditions on both the boarding school had not fully met the health requirements. The results showed that energy and calcium consumption adequacy levels were significantly correlated with nutritional status (BMI for age) of the subjects. Meanwhile, the consumption adequacy levels of protein, vitamin A, B1 and C, phosphorus and

iron were not significantly correlated with nutritional status (BMI for age) of the subjects. Besides, the health status was not significantly correlated with nutritional status (BMI for age) of the subjects.

(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goals

(MDGs) 2015 merupakan cita-cita mulia yang didasari kenyataan bahwa pembangunan yang hakiki adalah pembangunan manusia yang mencakup semua komponen pembangunan dengan tujuan akhirnya adalah kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (Bappenas 2010). Dalam upaya meningkatkan kulitas sumber daya manusia, remaja sebagai generasi penerus bangsa dan sumber daya pembangunan yang optimal perlu diperhatikan.

Pondok pesantren merupakan salah satu bentuk lembaga pendidikan keagamaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat yang berperan penting dalam pengembangan sumberdaya manusia (Depkes 2007). Istilah modern dalam dunia pesantren bukan dimaksudkan kepada ajaran agamanya tetapi kepada metode pembelajarannya dan sistem pengelolaannya (Gitosardjono 2006). Model pondok pesantren modern yang memodernisasi metode pembelajaran dan sistem pengelolaannya diharapkan lebih mampu dalam mengembangkan sumber daya manusia (santri).

Umumnya santri yang tinggal di pondok pesantren adalah remaja. Menurut Depkes (2005), masa remaja menjadi masa yang begitu khusus dalam hidup masusia karena pada masa tersebut terjadi awal proses kematangan organ reproduksi manusia yang disebut sebagai masa pubertas. Pada remaja putri, perubahan itu ditandai dengan mulainya menstruasi. Masa remaja juga merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa, dimana banyak terjadi perubahan dalam hal fisik dan psikis. Perubahan-perubahan tersebut dapat menyebabkan kekacauan-kekacauan batin pada remaja, sehingga masa remaja juga sering disebut sebagai masa pancaroba. Kondisi ini menyebabkan remaja dalam kondisi rawan menjalani proses pertumbuhan dan perkembangannya (Depkes 2005). Oleh karena itu perlu dilakukan upaya meningkatkan kesehatan dan status gizi.

(3)

sehingga memberikan kontribusi kurang baik terhadap kenaikan berat badan selama hamil. Ibu yang mempunyai riwayat kekurangan berat badan cenderung melahirkan lebih cepat (premature) serta berisiko bagi kelangsungan hidup ibu dan bayinya (Moore 1997 diacu dalam Yuliansyah 2007).

Menurut Smith & Haddad (2000) diacu dalam Riyadi (2001) bahwa faktor (determinan) langsung yang mempengaruhi status gizi adalah konsumsi makanan dan status kesehatan. Jumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan tubuh untuk melakukan kegiatan (internal dan eksternal), pemeliharaan tubuh dan pertumbuhan (Hardinsyah & Martianto 1989). Lain halnya dengan kebutuhan hidup seperti sandang, pangan, papan dan hiburan, manusia hanya membutuhkan asupan pangan dalam jumlah yang terbatas atau secukupnya. Kelebihan atau kekurangan asupan pangan akan berdampak negatif pada status gizi.

Peningkatan kebutuhan gizi pada remaja terjadi akibat pertumbuhan cepat jaringan baru dan perubahan-perubahan perkembangan tertentu. Sebagai contoh, kebutuhan kalsium (Ca) meningkat sekitar 50% pada masa remaja (Riyadi 2001). Menurut The Third National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III) (1997) di Amerika Serikat hanya 19 % anak perempuan usia 9-19 tahun yang memenuhi rekomendasi kalsium hariannya (Tucker et al.

2002). Di Indonesia, berdasarkan hasil penelitian Fikawati et al. (2005) pada sampel penelitian siswi kelas 1 dan kelas 2 di 13 SMUN di Kota Bandung menunjukan bahwa konsumsi kalsium pada remaja perempuan dengan suplemen kalsium hanya 52,5% AKG dan bila tanpa suplemen kalsium hanya 48,9% AKG. Kalsium sangat penting dalam pembentukan tulang pada usia remaja dan dewasa muda. Kekurangan kalsium selagi muda merupakan penyebab osteoporosis di usia lanjut, dan keadaan ini tidak dapat ditanggulangi dengan meningkatkan konsumsi zat ini ketika (tanda) penyakit ini tampak (Arisman 2010).

(4)

prestasi menurun, sehingga pada saat akan menjadi calon ibu dengan keadaan berisiko tinggi (Arisman 2010).

Subandriyo (1993) menjelaskan bahwa masalah kesehatan merupakan gangguan kesehatan yang dinyatakan dalam ukuran tingkat kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas). Morbiditas lebih mencerminkan keadaan kesehatan sesungguhnya. Morbiditas berhubungan erat dengan berbagai faktor lingkungan, seperti perumahan, air minum dan kebersihan. Keadaan sanitasi lingkungan yang kurang baik memungkinkan terjadinya berbagai jenis penyakit antara lain diare, kecacingan dan infeksi saluran pencernaan (Supariasa et al.

2002). Status kesehatan seseorang juga dapat dilihat dari kapan terakhir kalinya sakit. Remaja yang kesehatannya buruk, adalah sangat rawan karena akan berpengaruh pada merosotnya nafsu makan, keadaan yang demikian membantu terjadinya kurang gizi yang langsung berpengaruh pada status gizi (Fatimah 2002). Menurut Roedjito (1989) bahwa infeksi berbagai penyakit akan memperburuk tingkat keadaan gizi karena zat gizi yang didapat dari makanan tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh.

Usia santri putri yang berada di pondok pesantren yang umumnya adalah remaja, merupakan sumber daya yang berpotensi besar bagi pembangunan suatu bangsa. Jika ternyata kualitas sebagian generasi mudanya buruk, maka apa yang dapat diperbuat generasi tersebut untuk negaranya. Berdasarkan hal tersebut maka peneliti ingin melihat bagaimana hubungan tingkat kecukupan konsumsi dan status kesehatan terhadap status gizi santri putri di dua pondok pesantren modern di Kabupaten Bogor.

Tujuan Tujuan Umum

Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat kecukupan konsumsi dan status kesehatan terhadap status gizi santri putri di dua pondok pesantren modern di Kabupaten Bogor, yaitu di Pondok Pesantren Modern Sahid (PP Sahid) dan Pondok Pesantren Modern Ummul Quro Al-Islami (PP UQI).

Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

(5)

3. Menilai tingkat kecukupan konsumsi energi dan zat gizi santri putri di PP Sahid dan PP UQI

4. Menilai status gizi santri putri di PP Sahid dan PP UQI

5. Menilai status kesehatan santri putri di PP Sahid dan PP UQI

6. Mengetahui kondisi lingkungan pemondokan santri putri di PP Sahid dan PP UQI

7. Menganalisis hubungan tingkat kecukupan konsumsi dan status kesehatan terhadap status gizi santri putri di PP Sahid dan PP UQI

Hipotesis

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :

1. Terdapat hubungan antara tingkat kecukupan konsumsi dengan status gizi santri putri di dua pondok pesantren modern di Kabupaten Bogor

2. Terdapat hubungan antara status kesehatan dengan status gizi santri putri di dua pondok pesantren modern di Kabupaten Bogor

Kegunaan

(6)

TINJAUAN PUSTAKA

Pesantren

Istilah pondok pesantren terdiri dari dua kata yaitu pondok dan pesantren. Ada yang menyebut pondok saja atau pesantren saja, namun kebanyakan menyebut dengan lengkap yaitu pondok pesantren. “Pondok” artinya tempat berteduh atau tempat menginap. Adapun “Pesantren” berasal dari kata “santri”

ditambah awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti tempat tinggal para santri (Gitosardjono 2006).

Pengertian atau ta’rif Pondok Pesantren menurut Depag (2003) tidak dapat diberikan dengan batasan yang tegas, melainkan terkandung fleksibilitas pengertian yang memenuhi ciri-ciri pengertian Pondok Pesantren. Setidaknya ada 5 (lima) ciri yang terdapat pada suatu lembaga Pondok Pesantren, yaitu kyai, santri, pengajian, asrama dan masjid dengan aktivitasnya. Gitosardjono (2006) berpendapat bahwa pondok pesantren merupakan perpaduan antara konsep pendidikan Islam dengan model pendidikan yang merupakan budaya lokal yang sudah berkembang sebelumnya khususnya di pulau Jawa pada saat datangnya agama Islam pertama kali.

Menurut Dhofier (1982) dalam Maftukha (2006), sebuah pesantren digolongkan kecil bila memiliki santri dibawah 1000 orang dan pengaruhnya hanya sebatas kabupaten. Pesantren sedang memiliki antara 1000-2000 orang yang pengaruh dan rekruitmen santrinya meliputi beberapa kabupaten. Pesantren besar memiliki santri lebih dari 2000 orang dan biasanya berasal dari beberapa kabupaten dan provinsi. Diantara model-model pesantren itu adalah: 1. Pesantren Tradisional (Salafiyah)

Pesantren tradisional adalah pesantren yang masih mempertahankan sistem pengajaran tradisional, dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik. Diantara pesantren ini ada yang mengelola madrasah, bahkan juga sekolah-sekolah umum. Murid dan mahasiswa boleh tinggal di pondok atau di luar, tetapi mereka diwajibkan mengikuti pengajaran kitab-kitab dengan cara sorogan

maupun bandongan, sesuai dengan tingkatan masing-masing. 2. Pesantren Modern (Khalafiyah/’Ashriyah)

(7)

Demikian pula cara sorogan dan bandongan mulai berubah bentuk menjadi bimbingan individual dalam belajar dan kuliah ceramah umum atau stadium

general. Jadi selain menyelenggarakan kegiatan kepesantrenan juga

menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal atau jalur sekolah (Depag 2003). Perkembangan pesantren saat ini sangat diperhitungkan oleh masyarakat, selain mempertahankan kekhasannya juga dapat mengembangkan pengetahuan lain sebagai kegiatan tambahan bagi para santrinya. Menurut catatan Depag (2009), pondok pesantren di Indonesia berjumlah 24.206 dengan jumlah total santri sebanyak 3.647.719 yang terdiri atas 1.953.992 (53,6%) santri putra dan 1.693.727 (46,4%) santri putri. Sejumlah tersebut menunjukkan bahwa pesantren sangat potensial dalam bidang pendidikan yang keberadaannya makin diminati masyarakat. Secara kuantitatif pesantren cukup besar dalam memberikan sumbangsihnya terhadap pengembangan sumber daya manusia karena pesantren telah mengakar di tanah air dan bangsa Indonesia.

Remaja dan Tumbuh Kembangnya

Menurut Arisman (2010), laju pertumbuhan anak, baik perempuan maupun laki-laki hampir sama cepatnya sampai pada usia 9 tahun. Usia antara 10-12 tahun pada anak perempuan mengalami percepatan pertumbuhan yang lebih dahulu dibandingkan dengan anak laki-laki karena tubuhnya memerlukan persiapan menjelang usia reproduksi, sedangkan anak laki-laki baru dapat menyusul dua tahun kemudian. Puncak pertambahan berat badan dan tinggi badan perempuan tercapai pada usia masing-masing 12,9 dan 12,1 tahun, sedangkan laki-laki 14,3 dan 14,1 tahun.

(8)

Ada tiga alasan mengapa remaja dikategorikan rentan. Pertama percepatan pertumbuhan dan perkembangan tubuh memerlukan energi dan zat gizi yang lebih banyak. Kedua, perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan menuntut penyesuaian masukan energi dan zat gizi. Ketiga, kehamilan, keikutsertaan dalam olahraga, kecanduan alkohol dan obat, meningkatkan kebutuhan energi dan zat gizi. Disamping itu, tidak sedikit remaja yang makan secara berlebihan dan akhirnya mengalami obesitas (Arisman 2010).

Peningkatan kebutuhan gizi pada remaja terjadi akibat pertumbuhan cepat jaringan baru dan perubahan-perubahan perkembangan tertentu. Sebagai contoh, lebih dari 20 persen pertumbuhan tinggi badan total dan sekitar 50 persen massa tulang dewasa dicapai selama masa remaja, sehingga hal ini menyebabkan kebutuhan kalsium (Ca) meningkat sekitar 50%. Disamping peningkatan kebutuhan besi (Fe) untuk pengembangan massa sel darah merah dan mioglobin pada pertambahan jaringan otot baru, remaja putri membutuhkan besi yang lebih banyak (sampai 15%) untuk mengkompensasi kehilangan darah akibat menstruasi (Riyadi 2001).

Pertumbuhan dan kematangan manusia merupakan proses yang terus berlanjut, dan adanya transisi dari masa anak-anak menjadi dewasa tidak berlangsung secara mendadak. Periode remaja mencakup perubahan-perubahan yang cepat dalam pertumbuhan fisik dan kematangan biologi serta perkembangan psikologi. Masalah kesehatan pada periode remaja dicirikan oleh prevelensi penyakit kronik dan infeksi yang rendah, tetapi mereka beresiko tinggi terhadap masalah kesehatan yang berhubungan dengan penyalahgunaan obat-obatan, penyakit yang ditularkan lewat hubungan seksual, kehamilan dan luka akibat kecelakaan atau kesengajaan (Riyadi 2001).

Proses Penyelenggaraan Makanan

Penyelenggaraan makanan adalah sebuah ilmu dan seni perencanaan, persiapan, pemasakan dan pelayanan yang berkualitas sesuai kebutuhan. Jika dilihat sebagai sebuah sistem, penyelenggaraan makanan adalah penggabungan dari beberapa komponen/bagian yang bekerja bersama untuk mencapai tujuan. Sistem penyelenggaraan makanan ini terdiri atas enam elemen, yakni input, thruput, output, control, feedback dan environment (Perdigon 1989).

(9)

penerimaan, penyimpanan dan penyaluran bahan pangan, persiapan dan pemasakan makanan, penilaian dan distribusi makanan, pencatatan, pelaporan dan evaluasi, yang dilaksanakan dalam rangka penyediaan makanan bagi kelompok masyarakat di suatu institusi.

Perencanaan Menu

Kata menu berasal dari bahasa Perancis yang artinya suatu daftar yang tertulis secara rinci. Tipe menu menurut Palacio & Theis (2009) yakni selective menu, semi-selective menu, non-selective menu, static menu, single-use menu

dan cycle menu. Menurut Nursiah (1990) bahwa perencanaan menu merupakan

rangkaian kegiatan untuk menyusun suatu hidangan dalam variasi yang serasi. Sedangkan menurut Depkes (2003), perencanaan menu adalah suatu kegiatan penyusunan menu yang akan diolah untuk memenuhi selera konsumen dan kebutuhan gizi yang memenuhi prinsip gizi seimbang.

Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan menu: 1) informasi tentang pelanggan yang akan dilayani, meliputi jumlah, usia, jenis kelamin, kebutuhan gizi, makanan kesukaan, kemampuan membayar; 2) pengetahuan tentang proses kegiatan meliputi peralatan yang tersedia di dapur, keterampilan, anggaran dan jenis penyelenggaraan; 3) faktor lingkungan seperti waktu, musim, iklim dan ketersediaan sumber bahan pangan; dan 4) estetika meliputi variasi makanan, kombinasi warna, tekstur, bentuk, rasa dan konsistensi (Perdigon 1989).

Menurut Yuliati & Santoso (1995) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan makanan institusi adalah tersedianya menu yang baik, secara kualitas maupun kuantitas. Menu perlu direncanakan secara matang. Perencanaan menu harus disesuaikan dengan tipe institusi, bahan pangan yang mudah didapat di pasar atau musimnya, anggaran yang tersedia, dan sesuai dengan kemampuan pekerja. Selain itu, pegawai yang ditugaskan merencanakan menu harus mengetahui pengetahuan yang luas tentang seluk beluk bahan pangan, penyediaan bahan pangan meliputi jenis bahan pangan yang tersedia di pasar dan sesuai dengan musim, fluktuasi harga bahan pangan di pasar, serta metoda dan prosedur persiapan makanan mulai dari belanja, pengolahan sampai dengan penyajian.

(10)

bulan setelah itu diganti dengan rangkaian menu baru. Harus ada standar untuk setiap porsi hidangan, sehingga macam dan jumlah bahan pangan per porsi menjadi jelas. Standar porsi dinyatakan dalam berat bersih bahan pangan yang digunakan. Harus ada resep standar, dilengkapi dengan macam, jumlah, harga bumbu yang dapat dikembangkan di berbagai institusi, serta jumlah porsi per satu resep (Depkes 1991).

Perencanaan Biaya

Menurut Depkes (1991), perencanaan biaya atau anggaran belanja untuk suatu penyelenggaraan makanan dalam jumlah banyak seharusnya direncanakan setahun sebelumnya dan umumnya didasari atas pengalaman-pengalaman masa lalu. Anggaran belanja yang diperhitungkan adalah untuk bahan pangan, peralatan, tenaga dan pengeluaran lain yang disebut biaya

overhead (bahan bakar, air, listrik, kerusakan, sabun, pembersih dan

sebagainya).

Faktor utama yang dipantau dalam pengendalian biaya adalah food

(bahan pangan), labor (tenaga kerja), operating (operasi) dan overhead cost

(biaya lainnya) seperti listrik, pajak dan sebagainya. Food cost (biaya bahan pangan) adalah yang paling mudah dikendalikan. Prinsip-prinsip yang mendasari pengendalian biaya bahan pangan harus diterapkan ketika: 1) perencanaan menu, 2) pembelian bahan pangan, 3) penerimaan bahan pangan, 4) penyimpanan bahan pangan, 5) persiapan bahan pangan, dan 6) penyediaan makanan. Beberapa faktor yang mempengaruhi labor cost (biaya tenaga kerja) adalah: 1) jenis jasa makanan, 2) jam pelayanan, 3) pola menu, 4) jenis/bentuk bahan pangan yang dibeli, 5) ukuran dan tata letak dapur serta area pelayanan, 6) labor-saving equipment, 7) kebijakan personil, dan 8) jadwal karyawan.

Operating cost and overhead cost (Biaya operasi dan biaya lainnya) perlu menjadi perhatian dalam penyelenggaraan makanan. Beberapa biaya ini meliputi barang-barang kertas, perlengkapan pembersih, utilitas (pemanas air, penerangan, air dan lain-lain), laundry dan perlengkapan linen, serta perbaikan, penggantian dan pemeliharaan peralatan (Shirley 1999).

Pembelian Bahan pangan

(11)

terpusat) dan group and corporate purchasing (pembelanjaan kelompok). Pembelanjaan secara terpusat yang dilakukan oleh departemen pengadaan bahan pangan yang bertanggung jawab untuk mendapatkan kebutuhan bahan atau peralatan untuk seluruh unit dalam suatu organisasi, biasa digunakan pada organisasi besar termasuk universitas, sekolah, rumah makan dengan banyak cabang dan rumah sakit. Tipe pembelanjaan kelompok dapat menguntungkan pembeli untuk meningkatkan volume pembelian sehingga dapat mengurangi harga.

Metode pembelian menurut Perdigon (1989) yaitu informal or the open market buying (informal atau pembelian langsung ke pasar), formal competitive

bid buying (pembelian bahan pangan dengan pelelangan), dan semi-formal

method or negotiated buying (metode semi-formal atau pembelian dengan

musyawarah). Pada informal or the open market buying (informal atau pembelian langsung ke pasar), buyer mengumpulkan informasi pasar tentang macam, kualitas, harga, ketersediaan bahan pangan, memutuskan pilihan, dan membuat order pesanan. Saat bahan pangan dikirim, buyer mengecek macam, jumlah spesifikasi sesuai kesepakatan. Transaksi antara pembeli dan penjual dapat dilakukan di lokasi pasar itu sendiri, melalui telepon atau melalui seorang salesman yang menghubungi pembeli. Pada formal competitive bid buying

(pembelian bahan pangan dengan pelelangan) melibatkan pengajuan spesifikasi tertulis beserta kebutuhan akan kuantitas kepada pemasok dengan undangan bagi mereka untuk mengajukan harga untuk item yang tercantum. Semi-formal

method or negotiated buying (metode semi-formal atau pembelian dengan

musyawarah) merupakan praktek pembelian yang terpaksa pada saat produksi musiman dan terbatas. Metode ini yang menyediakan sarana yang fleksibel untuk memperoleh tindakan yang cepat dan tepat di pasar yang berfluktuasi. Pembeli membuat kontrak dengan vendor secara langsung dan meminta penawaran yang disampaikan secara tertulis sesegera mungkin. Ada peraturan kurang ketat dalam jenis penawaran ini jika dibandingkan dengan pembelian pelelangan.

Penerimaan Bahan pangan

(12)

karena itu, petugas penerima yang bertanggung jawab untuk memeriksa barang-barang harus selalu memastikan barang-barang yang dikirimkan memenuhi spesifikasi, dan bahwa kuantitas, kualitas serta harga sesuai dengan apa yang telah disepakati sebelumnya. Untuk membantu petugas penerima dalam kinerja yang tepat dari pekerjaan ini, fasilitas dasar diperlukan: 1) lokasi penerimaan terletak di dekat pintu masuk layanan dan penyimpanan terlebih dahulu dilengkapi dengan tabel penerimaan dan skala berat yang akurat; 2) set rincian makanan dan bahan lainnya yang akan diterima; 3) bagan konversi dan berat untuk kemudahan dalam membaca; dan 4) termometer dan kalkulator (Perdigon 1989).

Penerimaan bahan pangan didasarkan atas pesanan bahan pangan, yang menyatakan macam, jumlah dan kualitas bahan pangan. Pesanan bahan pangan harus diteliti dan diamati pula cara pengepakan/pembungkusan/ penanganan menurut yang tercantum dalam perjanjian jual beli, termasuk ketepatan waktu pengiriman bahan pangan. Bahan pangan yang telah diteliti dan diamati kemudian dikirim ke gudang/ruang penyimpanan. Petugas mencatat dan melaporkan pemasukan bahan pangan. Prosedur penerimaan bahan pangan dapat dilakukan dengan cara konvensional seperti yang telah diuraikan, atau secara blind (tanpa diperiksa), karena rekanan sudah dipercaya, baik kualitas, cara pelayanan dan harga (Depkes 1991).

Penyimpanan Bahan pangan

Menurut Depkes (2003), penyimpanan bahan pangan adalah suatu tata cara menata, menyimpan, memelihara keamanan bahan pangan kering atau basah baik kualitas maupun kuantitas di gudang bahan pangan kering dan basah serta pencatatan dan pelaporannya. Depkes (1991) menjelaskan bahwa penyimpanan bahan pangan dimaksudkan untuk mempertahankan kondisi bahan pangan, mencegah kerusakan/gangguan lingkungan bahan pangan, melayani kebutuhan macam dan jumlah bahan pangan dengan kualitas dan waktu yang sesuai untuk unit yang memerlukan. Penyimpanan bahan kering dan basah harus dipisahkan dan memiliki perlakuan masing-masing yang berbeda dengan memperhatikan macam, golongan, urutan pemakaian, kartu stock, jam buka, petugas penjaga, pembersihan, suhu dan kelembabannya.

Pengolahan Bahan pangan

(13)

sehingga siap atau layak untuk dilanjutkan dengan kegiatan pemasakan. Depkes (1991) menjelaskan bahwa kemungkinan-kemungkinan yang dapat merusak/ melarutkan zat-zat gizi dalam bahan pangan harus dihindari dalam persiapan bahan pangan. Perlakuan terhadap bahan pangan ini selain selama persiapan juga harus diperhatikan selama proses pemasakan, penyajian serta perlakuan selama masakan disimpan. Persiapan bahan pangan meliputi kegiatan pencucian bahan pangan, pemotongan, perendaman, penggilingan, penumbukan, pengadukan, pengasaman, pengasinan, pengayakan, pencetakan dan perlakuan lain sebelum bahan pangan dimasak. Kegiatan-kegiatan ini sebaiknya mengikuti prosedur yang benar agar kehilangan zat-zat gizi dapat diatasi.

Pemasakan adalah suatu proses perubahan dari bahan pangan mentah atau makanan setengah jadi menjadi makanan siap dimakan (Wirakusumah 1991). Menurut Depkes (1991), pemasakan adalah proses kegiatan terhadap bahan pangan dan bumbu yang telah dipersiapkan, dengan menggunakan berbagai cara pemasakan seperti membakar, merebus, mengukus, menggoreng, mengetim dan sebagainya dalam rangka meningkatkan cita rasa, nilai cerna bahan pangan dan menghilangkan/mematikan kuman-kuman yang berbahaya. Fungsi area dan luas yang disarankan dalam proses food production disajikan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 1 Perkiraan persentase luas area dalam food production

Fungsi area Luas yang disarankan (%)

Penerimaan bahan pangan 5

Penyimpanan bahan pangan 20

Persiapan bahan pangan 14

Pemasakan 18

Tempat pencucian 5

Lalu lintas jalan 16

Tempat sampah 5

Fasilitas pekerja 15

Lain-lain 2

Total 100%

Sumber: (Kazarian 1989 diacu dalam Sinaga 1995)

Pendistribusian dan Penyajian Makanan

(14)

itu, tahap penyajian dan distribusi makanan merupakan tahap yang tidak boleh diabaikan (Wirakusumah 1991).

Ada dua cara yang dapat digunakan dalam mendistribusikan makanan yang disesuaikan dengan keadaan dapur penyedia makanan tersebut. Cara sentralisasi yaitu makanan langsung dibagikan pada rantang makanan masing-masing konsumen ataupun dalam kotak makanan. Cara desentralisasi berarti penanganan makanan dua kali. Pertama dibagikan dalam jumlah besar pada alat-alat yang khusus, kemudian dikirim ke ruang makan yang ada. Kedua, di ruang makan ini makanan disajikan dalam bentuk porsi (Depkes 1991).

Menurut Perdigon (1989), cara makanan disajikan kepada pelanggan dalam lembaga yang berbeda dapat diklasifikasikan ke dalam table, counter and

tray service.Table service sebanding dengan makanan yang disajikan di sebuah

rumah yang nyaman. Ruang makan dengan suasana khas hotel dan restoran biasanya menggunakan layanan semacam ini. Counter service merupakan layanan makanan yang cepat dengan jumlah minimum yang diperlukan untuk pesanan meja makan. Warung kopi memanfaatkan layanan jenis ini. Pada Tray

service, pelanggan dapat dilayani dalam privasi kamar rumah sakit atau mobilnya

(curb service) daripada di ruang makan umum.

Cara lain dalam penyajian makanan yaitu pelanggan memilih untuk melayani dirinya sendiri. Cara penyajian dengan melayani diri sendiri ( self-service) terdapat di outlet makanan seperti cafetarias, buffet service (prasmanan)

dan take-out service. Pada cafetarias, pelanggan mengambil/menentukan pilihan

sendiri dari sajian makanan yang ditampilkan di loket pelayanan dan menyusun sendiri makanan di nampan untuk dibawa ke meja. Cafetaria diklasifikasikan lebih lanjut sesuai dengan jenis klien yang dilayani, contohnya Cafetaria Kantor, Cafetaria Sekolah, Cafetaria Industri Tanaman dan lain-lain. Pada buffet service

memerlukan counter atau meja tempat makanan yang ditata baik untuk melayani diri sendiri atau dilayani oleh seorang petugas. Menu mungkin terbatas atau luas dan layanan mungkin formal atau informal. Pada take-out service, makanan atau

snack dikemas yang bisa dibeli dari tempatnya oleh pelanggan sendiri atau dengan cara pemesanan melalui telepon (Perdigon 1989).

Konsumsi Pangan

(15)

yang diperlukan tubuh (Hardinsyah & Martianto 1989). Konsumsi pangan merupakan faktor utama dalam memenuhi kebutuhan zat gizi. Zat gizi tersebut selanjutnya akan menyediakan tenaga bagi tubuh, mengatur proses metabolisme dalam tubuh, memperbaiki jaringan serta pertumbuhan (Harper et al. 1986). Keadaan gizi pada dasarnya ditentukan oleh konsumsi pangan dan kemampuan tubuh dalam menggunakan zat gizi tersebut (Sukandar 2008).

Supariasa et al. (2002) menjelaskan bahwa dalam survei konsumsi pangan terdapat tiga metode yang digunakan yaitu metode kualitatif, metode kuantitatif serta gabungan dari keduanya. Metode kualitatif digunakan untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan pangan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan. Metode kuantitatif digunakan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan pangan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar Konversi Mentah-Masak (DKMM) dan Daftar Penyerapan Minyak (DPM).

Metode Estimated Food Record

Metode estimated food record merupakan salah satu metode pengukuran konsumsi makanan untuk individu, metode ini disebut juga food records atau

diary records (Supariasa et al. 2002). Food record adalah catatan contoh tentang jenis dan jumlah makanan dan minuman dalam suatu periode waktu, biasanya antara 1 sampai 7 hari (Achadi 2007). Metode ini dilakukan dengan cara meminta contoh untuk mencatat semua yang ia makan dan minum setiap kali sebelum makan dalam Ukuran Rumah Tangga (URT) atau menimbang dalam ukuran berat (gram) dalam periode tertentu (2-4 hari berturut-turut), termasuk cara persiapan dan pengolahan makanan tersebut (Supariasa et al. 2002).

(16)

Kecukupan Energi dan Zat Gizi

Hardinsyah & Briawan (1994) menjelaskan bahwa kecukupan gizi antar individu sangat bervariasi yang dipengaruhi oleh jenis kelamin, berat badan, umur, tinggi badan, keadaan fisiologis, aktivitas, metabolisme tubuh dan sebagainya. Menurut Sediaoetama (2006) bahwa kelompok umur remaja menunjukkan fase pertumbuhan yang pesat, yang disebut “adolescence growth

spurt”, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang relatif besar jumlahnya. Kegiatan

jasmaniah pada remaja laki-laki sangat meningkat, karena biasanya pada umur inilah perhatian untuk olahraga sedang tinggi-tingginya, seperti atletik, mendaki gunung, sepak bola, hiking dan sebagainya. Remaja putri sangat mementingkan bentuk badannya, sehingga banyak yang berdiet tanpa nasihat atau pengawasan seorang ahli kesehatan dan gizi. Secara rinci dapat dilihat kecukupan gizi yang dianjurkan untuk remaja putri pada Tabel 2.

Tabel 2 Kecukupan gizi yang dianjurkan untuk remaja putri

Zat gizi Perempuan (tahun)

10-12 13-15 16-18 19-29

Energi (Kal) 2050 2350 2200 1900

Protein (g) 50 57 50 50

Kalsium (mg) 1000 1000 1000 800

Fosfor (mg) 1000 1000 1000 600

Besi (mg) 20 26 26 26

Vit A (RE) 600 600 600 500

Vit B1 (mg) 1,0 1,1 1,1 1.0

Vit C (mg) 50 65 75 75

Sumber : Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004)

Status Gizi

Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi) dan utilisasi (utilization) zat gizi makanan. Penilaian terhadap status gizi seseorang atau sekelompok orang akan menentukan apakah orang atau sekelompok orang tersebut memiliki status gizi yang baik atau tidak (Riyadi 2001). Menurut Supariasa et al. (2002), status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia dan biofisik.

(17)

Determinan langsung tersebut dipengaruhi oleh tiga determinan tidak langsung yang terdapat pada level rumah tangga, yaitu ketahanan pangan, perawatan ibu dan anak yang cukup, dan lingkungan kesehatan yang tepat, termasuk akses terhadap pelayanan kesehatan. Faktor kunci yang mempengaruhi semua determinan tidak langsung adalah kemiskinan. Determinan tidak langsung dari status gizi (dan juga kemiskinan) dipengaruhi oleh determinan dasar, yaitu potensi sumberdaya yang tersedia di suatu negara, atau masyarakat. Potensi sumberdaya ini dibatasi oleh lingkungan alam, akses terhadap teknologi, dan mutu sumberdaya manusia. Faktor politik, ekonomi, sosial, dan budaya mempengaruhi kemampuan penggunaan potensi sumberdaya yang dimilliki, dan bagaimana mereka memanfaatkan sumberdaya tersebut untuk ketahanan pangan, perawatan, serta lingkungan dan pelayanan kesehatan (Riyadi 2001).

Status gizi dapat diketahui dengan beberapa cara yaitu melalui penilaian asupan pangan, pemeriksaan biokimia, pemeriksaan klinis dan riwayat mengenai kesehatan, pemeriksaan antropometris serta data psikososial (Arisman 2010). Setiap metode penilaian status gizi mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing. Faktor yang perlu dipertimbangkan antara lain tujuan pengukuran, unit sampel yang akan diukur, jenis informasi yang dibutuhkan, tenaga, waktu, dana dan lain sebagainya (Supariasa et al. 2002).

Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara beberapa parameter disebut Indeks Antropometri. Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) (Supariasa et al. 2002). Indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U) direkomendasikan sebagai indikator terbaik untuk remaja (Riyadi 2001). Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U)

Menurut Riyadi (2001) bahwa IMT menurut umur (IMT/U) direkomendasikan sebagai indikator terbaik untuk remaja. Indikator ini memerlukan informasi tentang umur. Indikator ini juga sudah divalidasi sebagai indikator lemak tubuh total pada persentil atas, dan indikator ini juga sejalan dengan indikator-indikator yang direkomendasikan untuk orang dewasa. Indeks massa tubuh diukur dengan menggunakan rumus IMT=BB/TB2 (kg/m2).

(18)

kelebihan gizi. Sedikit sekali informasi tentang level IMT spesifik pada remaja dan hubungannya dengan resiko pada masa sekarang atau masa mendatang, atau responnya terhadap intervensi. IMT/U remaja Amerika Serikat direkomendasikan untuk digunakan selama belum tersedia data referensi untuk remaja yang lebih baik (Riyadi 2001).

Indeks Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)

Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama. Indeks TB/U selain menggambarkan status gizi masa lalu juga lebih erat kaitannya dengan status sosial-ekonomi (Supariasa et al.

2002).

Menurut Supariasa et al. (2002) bahwa indeks TB/U memiliki beberapa keuntungan dan kelemahan. Keuntungan dari indeks TB/U, antara lain: a) baik untuk menilai status gizi masa lampau; dan b) ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa. Adapaun kelemahan indeks TB/U adalah: a) tinggi badan tidak cepat naik, bahkan tidak mungkin turun; b) pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak, sehingga diperlukan dua orang untuk melakukannya; dan c) ketepatan umur sulit didapat.

Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U)

Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan adalah parameter antropometri yang sangat labil. Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritional status) (Supariasa et al. 2002).

(19)

sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil, dan e) dapat mendeteksi kegemukan (overweight). Disamping mempunyai kelebihan, indeks BB/U juga mempunyai beberapa kekurangan, antara lain: a) dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang keliru bila terdapat edema maupun asites; b) di daerah pedesaan yang masih terpencil dan tradisional, umur seringkali sulit ditaksir secara tepat karena pencatatan umur yang belum baik; c) memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk anak dibawah usia lima tahun; d) sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, seperti pengaruh pakaian atau gerakan anak pada saat penimbangan; dan e) secara operasional sering mengalami hambatan karena masalah sosial budaya setempat.

Status Kesehatan

Pengertian sehat menurut WHO adalah keadaan sempurna baik fisik, mental maupun sosial, tidak hanya bebas dari penyakit dan kecacatan (Notoatmodjo 2007). Menurut UU Kesehatan No. 36 tahun 2009, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Menurut Smet (1994) diacu dalam Fitriyani (2008), status kesehatan adalah keadaan kesehatan seseorang pada waktu tertentu. Subandriyo (1993) menjelaskan bahwa status kesehatan dapat diukur dengan sebuah indikator kesehatan. Indikator yang dapat digunakan adalah angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas). Morbiditas lebih mencerminkan keadaan kesehatan sesungguhnya. Morbiditas berhubungan erat dengan berbagai faktor lingkungan, seperti perumahan, air minum dan kebersihan, serta faktor kemiskinan, kekurangan gizi serta pelayanan kesehatan di suatu daerah.

Penilaian atau “assessment” terhadap kesehatan individu didasarkan pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan-pemeriksaan lain terhadap kesehatan yang bersangkutan. Penilaian terhadap kesehatan masyarakat didasarkan kepada kejadian-kejadian penting yang menimpa penduduk atau masyarakat, yang kemudian dijadikan sebagai indikator kesehatan masyarakat, seperti angka kesakitan, angka kematian, angka kelahiran dan sebagainya (Notoatmodjo 2003).

(20)

(1994) berpendapat bahwa faktor perilaku dan lingkungan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap status kesehatan masyarakat. Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi secara dinamis dan berhubungan dengan faktor-faktor kependudukan, sosial budaya, ekologi sumberdaya alam dan ekonomi.

Penyakit yang sangat erat hubungannya dengan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan biologis adalah penyakit infeksi (Sukarni 1994). Menurut Smet (1994) diacu dalam Fitriyani (2008), penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme, seperti bakteri atau virus yang ada di dalam tubuh. Di Indonesia, tingginya angka kesakitan akibat penyakit infeksi seperti diare dan ISPA, disebabkan kerena faktor lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan biologis. Terbatasnya penyediaan air bersih, sarana pembuangan sampah dan air limbah serta lingkungan perumahan yang kotor dapat menjadi penyebab timbulnya penyakit infeksi tersebut (Sukarni 1994).

Kesehatan Lingkungan

Kesehatan lingkungan menurut P. Walton Purdon (1980) diacu dalam Atmodjo (1993) didefinisikan sebagai aspek kesehatan masyarakat yang memperhatikan tentang bentuk kehidupan, substansi, kekuatan dan kondisi yang ada disekitar manusia yang berpengaruh terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia. Notoatmodjo (2003) berpendapat bahawa kesehatan lingkungan pada hakekatnya adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimum.

Menurut Atmodjo (1993), secara garis besar, ruang lingkup kesehatan lingkungan di Indonesia mencakup: 1) penyediaan air bersih yang cukup kualitas dan kuantitasnya, 2) program sanitasi dasar bagi masyarakat yang meliputi pembuangan air kotor dan tinja manusia, pengelolaan sampah, pengawasan makanan, pengawasan pencemaran udara, pengawasan pencemaran vektor penyakit dan penataan perumahan atau pemukiman; dan 3) program-program pelengkap seperti kebersihan tempat umum, pencegahan kecelakaan dan bencana, pencegahan bahaya radiasi dan lain sebagainya.

Pemondokan

(21)

sanitasi lingkungan. Pemondokan yang sehat harus memenuhi beberapa variabel kondisi kesehatan lingkungan sesuai Surat Keputusan Menkes RI No. 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan antara lain kepadatan penghuni, ventilasi, pencahayaan alami dan kelembaban udara. Variabel-variabel tersebut erat kaitannya dengan penularan penyakit menular (Lamsidi 2003).

Pemondokan dengan pencahayaan yang kurang memudahkan perkembangan sumber penyakit. Sinar matahari mengandung sinar ultra violet yang bisa membunuh kuman penyakit. Aliran udara berkaitan dengan penularan penyakit. Pemondokan dengan ventilasi yang baik akan menyulitkan pertumbuhan kuman penyakit. Pertukaran udara dapat memecah dan mengurai konsentrasi kuman di udara. Bahan bangunan pemondokan berdampak pada sanitasinya. Pemondokan dengan lantai tanah akan berbeda dengan lantai ubin dan keramik bila ditinjau dari segi kesehatan. Dinding tembok atau beton jauh lebih baik daripada anyaman bambu atau dinding semi permanen (Widoyono 2011).

Kriteria ‘rumah sehat’ menurut Riskesdas (2010) adalah bila memenuhi tujuh kriteria, yaitu atap berplafon, dinding permanen (tembok/papan), jenis lantai bukan tanah, tersedia jendela, ventilasi cukup, pencahayaan alami cukup dan tidak padat huni. Menurut Kepmenkes RI No. 829/MENKES/SK/VII/1999 bahwa luas lubang ventilasi alamiah yang permanen yaitu minimal 10% luas lantai, pencahayaan alam dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung yaitu dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata. Kepadatan hunian dilihat dari luas kamar tidur yaitu minimal 8 m2 dan dianjurkan tidak untuk lebih besar dari dua orang tidur. Persyaratan Kesehatan Perumahan dalam Kepmenkes RI No. 829/MENKES/SK/VII/1999 berlaku juga terhadap kondominium, rumah susun (rusun), rumah toko (ruko) dan rumah kantor (rukan) pada zona pemukiman. Sumber Air Minum

Sarana air minum merupakan bagian yang sangat penting dari kesehatan lingkungan. Sumber air minum dapat berasal dari sumur gali, sumur pompa tangan dalam/dangkal (SPTDL-SPTDK), sumur artesis, perpipaan atau PDAM, penampungan air hujan (PAH) dan penampungan mata air (PMA). Semua sumber tersebut harus memenuhi syarat kesehatan air minum, yaitu kadar E.

(22)

septic tank. Sarana ini sangat erat kaitannya dengan penyakit diare (Widoyono 2011).

Kriteria akses terhadap sumber air minum terlindung yang digunakan

Millenium Development Goals (MDGs) 2010 adalah bila jenis sumber air minum

berupa perpipaan, sumur pompa, sumur gali terlindung dan mata air terlindung dengan jarak dari sumber pencemaran lebih dari 10 meter dan air hujan. Kriteria sumber air terlindung yang digunakan Joint Monitoring Program (JMP) WHO-UNICEF 2004 adalah berasal dari sumber air yang ‘improved’ dan sumber air minumnya berada dalam radius satu kilometer dari rumah. Air kemasan (bottled

water) baik pada kriteria MDGs maupun JMP WHO-UNICEF tidak dikategorikan

sebagai sumber air minum terlindung (Riskesdas 2010). Pembuangan Sampah

Menurut Notoatmodjo (2003) sampah adalah sesuatu bahan atau benda padat yang sudah tidak dipakai lagi oleh manusia, atau benda padat yang sudah digunakan lagi dalam suatu kegiatan manusia dan dibuang. Para ahli kesehatan masyarakat Amerika membuat batasan, sampah (waste) adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang; yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya.

Sampah erat kaitannya dengan kesehatan masyarakat, karena dari sampah-sampah tersebut akan hidup berbagai mikro organisme penyebab penyakit (bacteri patogen), dan juga binatang serangga sebagai pemindah/penyebar penyakit (vektor). Oleh sebab itu sampah harus dikelola dengan baik sampai sekecil mungkin tidak menganggu atau mengancam kesehatan masyarakat (Notoatmodjo 2003). Berdasarkan Riskesdas (2010) bahwa cara pembuangan sampah dikategorikan ‘baik’ apabila cara pembuangannya diambil petugas, dibuat kompos dan dikubur dalam tanah. Dikategorikan kurang baik jika dibakar, dibuang ke sungai atau sembarangan. Pembuangan Kotoran Manusia

Yang dimaksud kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh dan yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Zat-zat yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh ini berbentuk tinja (feces), air seni (urine) dan CO2, sebagai hasil dari proses pernapasan. Dilihat dari segi

(23)

manusia (feces) adalah sumber penyebaran penyakit yang multikompleks (Notoatmodjo 2003).

Tempat pembuangan tinja dan urine, yang pada umumnya disebut latrine

(jamban atau kakus) harus memenuhi syarat-syarat kesehatan. Jamban keluarga yang memenuhi syarat-syarat kesehatan mampu mencegah penularan penyakit melalui lalat dan vektor lainnya. Tinja manusia yang dibuang sembarangan merupakan media yang sangat baik bagi kuman penyakit (Widoyono 2011).

Kriteria akses terhadap sanitasi layak menurut MDGs 2010 dalam pembuangan tinja (tempat buang air besar/BAB) adalah bila penggunaan fasilitas tempat BAB milik sendiri atau bersama, jenis kloset yang digunakan jenis ‘latrine’ dan tempat pembuangan akhir tinjanya menggunakan tangki septik atau sarana pembuangan air limbah atau SPAL. Kriteria yang digunakan JMP WHO-UNICEF 2008, sanitasi terbagi dalam empat kriteria, yaitu ‘improved’, ‘shared’, ‘unimproved’ dan ‘open defecation’. Dikategorikan sebagai ‘improved’ bila penggunaan sarana pembuangan kotorannya sendiri, jenis kloset latrine dan tempat pembuangan akhir tinjanya tangki septik atau SPAL (Riskesdas 2010). Pembuangan Air Limbah

Air limbah atau air buangan adalah air yang tersisa dari kegiatan manusia, baik kegiatan rumah tangga maupun kegiatan lain seperti industri, perhotelan dan sebagainya. Meskipun merupakan air sisa, namun volumenya besar, karena lebih kurang 80% dari air yang digunakan bagi kegiatan-kegiatan manusia sehari-hari tersebut dibuang lagi dalam bentuk yang sudah kotor (tercemar). Air limbah ini selanjutnya akan mengalir ke sungai atau laut dan akan digunakan oleh manusia lagi. Oleh sebab itu, air buangan ini harus dikelola dan atau diolah secara baik (Notoatmodjo 2003).

(24)

KERANGKA PEMIKIRAN

Makanan santri putri yang tinggal di pondok pesantren dapat berasal dari makanan yang disediakan oleh asrama melalui penyelenggaraan makanan dan dari makanan jajanan di kantin, warung atau pedagang kaki lima yang berada di luar asrama. Pihak asrama harus menyediakan makanan yang dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi santri putri melalui penyelenggaraan makanan. Hal ini bertujuan untuk mendukung aktivitas belajar maupun aktivitas fisik santri putri baik di sekolah maupun di asrama. Penyelenggaraan makanan yang baik dalam segi kualitas dan kuantitas akan menghasilkan makanan yang berkualitas dan dapat memenuhi kebutuhan gizi masing-masing santri putri.

Pengetahuan gizi mempunyai peranan penting dalam pembentukan kebiasaan makan seseorang, sebab hal ini akan mempengaruhi seseorang dalam memilih jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi (Harper et al. 1986). Smith & Haddad (2000) diacu dalam Riyadi (2001) menjelaskan bahwa faktor (determinan) langsung yang mempengaruhi status gizi adalah konsumsi makanan dan status kesehatan. Santri putri yang mengkonsumsi makanan yang cukup kandungan gizinya akan memiliki status gizi yang baik. Menurut Fatimah (2002) bahwa santri putri yang kesehatannya buruk sangat rawan karena akan berpengaruh pada merosotnya nafsu makan, keadaan yang demikian membantu terjadinya kurang gizi yang langsung berpengaruh pada status gizi santri putri. Roedjito (1989) menjelaskan bahwa infeksi berbagai penyakit akan memperburuk tingkat keadaan gizi karena zat gizi yang didapat dari makanan tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh.

(25)

Keterangan :

= Variabel yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti

= Hubungan yang diteliti

= Hubungan yang tidak diteliti

Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran penelitian

Proses Penyelenggaraan Makanan

Makanan Asrama

Makanan Luar Asrama

Konsumsi Energi dan

Zat Gizi

Status Gizi

Status Kesehatan Kebiasaan

Makan Pengetahuan

Gizi

Perilaku Kesehatan Kondisi lingkungan pemondokan :

- Kondisi fisik kamar tidur - Sumber air minum

- Pembuangan sampah, kotoran manusia dan air limbah

(26)

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang berusaha mengumpulkan berbagai informasi pada suatu waktu (cross sectional study) dimana peneliti tidak melakukan atau memberikan intervensi apapun kepada contoh. Pemilihan pondok pesantren di Kabupaten Bogor dilakukan secara purposive sampling

sebagai lokasi penelitian karena kemudahan jangkauan dan dengan pertimbangan bahwa pondok pesantren telah menyelenggarakan makan bagi santrinya.

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah survei pendahuluan (penimbangan berat badan dan tinggi badan santri putri). Tahap kedua adalah pengumpulan data melalui kuesioner dan wawancara mengenai karakteristik santri putri dan orang tua santri putri, proses penyelenggaraan makanan di asrama, konsumsi makanan (food record 7x24 jam) dan status kesehatan, serta pengamatan langsung kondisi lingkungan pemondokan santri putri. Penelitian dilakukan di Pondok Pesantren Modern Sahid (PP Sahid) pada bulan April 2011 dan di Pondok Pesantren Modern Ummul Quro Al-Islami (PP UQI) pada bulan September-Oktober 2011.

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

Populasi dalam penelitian ini adalah pondok pesantren modern yang mengadakan penyelenggaraan makanan untuk santrinya. Pemilihan pondok pesantren secara purposive sampling dengan beberapa persyaratan tertentu. Berdasarkan daftar pondok pesantren yang terdaftar di Kementerian Agama Kabupaten Bogor, diambil dua pondok pesantren modern yang memenuhi kriteria. Kriteria pondok pesantren yang dijadikan sebagai tempat penelitian antara lain: 1) terdaftar di Kabupaten Bogor, 2) mengadakan penyelenggaraan makanan untuk santri, 3) tiap santri mendapatkan porsi makanan sendiri, 4) belum pernah dijadikan sebagai tempat penelitian sejenis, dan 5) bersedia dijadikan sebagai tempat penelitian.

(27)

n = ____N____ 1+ N (d2)

Keterangan :

n = Jumlah contoh N = Jumlah populasi

d = Tingkat kesalahan yang yang dapat ditolerir (10%)

Berdasarkan perhitungan, jumlah calon contoh dari PP Sahid sebanyak 78 orang dan dari PP UQI sebanyak 94 orang. Tidak semua calon contoh mengumpulkan data food record secara lengkap (7x24 jam), sehingga jumlah contoh pada penelitian ini sebanyak 155 orang terdiri dari 68 contoh PP Sahid dan 87 contoh PP UQI.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer meliputi: 1) karakteristik contoh yang mencakup umur, berat badan, tinggi badan dan uang saku, 2) karakteristik orang tua contoh yang meliputi pendidikan, pekerjaan dan pendapatan orang tua, 3) proses penyelenggaraan makanan yang meliputi perencanaan dan pelaksanaan, 4) konsumsi makanan

(food record 7x24 jam), 5) status kesehatan, dan 6) kondisi lingkungan

pemondokan.

Cara pengumpulan data untuk data karakteristik contoh yaitu dengan pengisian kuesioner, wawancara dan pengukuran langsung. Data karakteristik orang tua contoh dikumpulkan dengan cara pengisian kuesioner dan wawancara. Cara pengumpulan data untuk data proses penyelenggaraan makanan yaitu dengan pengisian kuesioner, wawancara, pengukuran langsung dan pengamatan langsung. Data konsumsi makanan (food record 7x24 jam) dikumpulkan dengan cara pengisian kuesioner, wawancara dan pengamatan langsung. Cara pengumpulan data status kesehatan yaitu dengan pengisian kuesioner dan wawancara. Data kondisi lingkungan pemondokan dikumpulkan dengan cara pengisian kuesioner, wawancara dan pengamatan langsung. Secara rinci dapat dilihat jenis, cara dan alat yang digunakan dalam pengumpulan data primer pada Tabel 3.

(28)

data fasilitas secara umum diperoleh dengan cara melakukan pengamatan langsung.

Tabel 3 Jenis dan cara pengumpulan data primer

No Jenis data Cara pengumpulan data Alat

1. Karakteristik contoh

2. Karakteristik orang tua contoh 1. Pendidikan orang tua

1. Kondisi fisik kamar tidur 2. Sumber air minum

Pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu pengeditan (editing), pengkodean (coding), pemasukan data (entry), pengecekan ulang

(cleaning) dan analisis data. Tahapan pengeditan dilakukan dengan cara

(29)

tidak ada kesalahan dalam memasukan data. Pengolahan data menggunakan program komputer Microsoft Excell 2007, Software Nutrisurvey 2007 dan Software Anthroplus WHO 2007, kemudian dianalisis menggunakan Statistical

Program for Social Sciences (SPSS) versi 16,0.

Analisis data yang digunakan adalah deskriptif, uji beda Mann-Whitney U, dan uji korelasi Spearman. Pengelompokan atau pengkategorian terhadap beberapa variabel tertentu dilakukan dalam rangka memperdalam analisis. Menurut Dahlan (2008) bahwa uji komparatif tidak berpasangan dengan skala pengukuran kategorik menggunakan uji beda Mann-Whitney U dan uji korelatif dengan skala pengukuran kategorik menggunakan uji korelasi Spearman. Analisis deskriptif digunakan untuk proses penyelenggaraan makanan dan kondisi lingkungan pemondokan. Uji beda Mann-Whitney U digunakan untuk mengetahui perbedaan karakteristik contoh (umur dan uang saku), karakteristik orang tua contoh (tingkat pendidikan dan pendapatan), tingkat kecukupan konsumsi, status gizi, status kesehatan, lama sakit, frekuensi sakit dan skor morbiditas. Uji korelasi Spearman digunakan untuk mencari hubungan tingkat kecukupan konsumsi dan status kesehatan terhadap status gizi. Daftar jenis variabel, batasan jenis kategori variabel, dan sumber yang menjadi acuan pengkategorian variabel dapat dilihat pada Lampiran 1.

Umur. Data umur contoh dikelompokan berdasarkan Depkes (2005) menjadi tiga kategori, yaitu remaja awal (10-13 tahun), remaja tengah (14-16 tahun) dan remaja akhir (17-19 tahun). Uang saku. Data uang saku contoh diolah dengan mengelompokannya menjadi 3 kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Kategori tersebut diperoleh dengan cara mengelompokan uang saku contoh dengan mencari simpangan kuartilnya. Berdasarkan perhitungan dengan mencari simpangan kuartilnya, diperoleh tiga kategori untuk uang saku contoh yaitu kategori rendah (<Rp 200.000/bulan), sedang (Rp 200.000-Rp 499.000/bulan), dan tinggi (≥Rp 500.000/bulan).

(30)

Pendapatan orang tua. Data pendapatan orang tua contoh diolah dengan mengelompokannya menjadi 3 kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi. Kategori tersebut diperoleh dengan cara mengelompokan pendapatan orang tua contoh dengan mencari simpangan kuartilnya. Berdasarkan perhitungan dengan mencari simpangan kuartilnya, diperoleh tiga kategori untuk pendapatan orang tua contoh yaitu kategori rendah (<Rp 2.000.000/bulan), sedang (Rp 2.000.000-Rp 5.999.000/bulan) dan tinggi (≥Rp 6.000.000/bulan).

Proses penyelenggaraan makanan. Data proses penyelenggaraan makanan meliputi proses perencanaan dan pelaksanaan. Proses perencanaan mencakup perencanaan menu. Proses pelaksanaan meliputi pembelian, penerimaan, penyimpanan dan pengolahan bahan pangan, serta pendistribusian dan penyajian makanan. Untuk menunjang data proses penyelenggaraan makanan, maka diteliti input penyelenggaraan makanan yang meliputi tenaga kerja, fasilitas fisik dan peralatan, serta dana/biaya penyelenggaraan.

Konsumsi makanan. Data konsumsi makanan diketahui melalui metode

food record 7x24 jam. Data konsumsi makanan yang diperoleh dikonversikan

untuk menentukan energi dan zat gizi contoh yang terdiri atas protein, vitamin A, B1 dan C, serta kalsium, fosfor dan zat besi dengan menggunakan Daftar

Konsumsi Bahan pangan (DKBM) dengan rumus sebagai berikut (Hardinsyah & Briawan 1994) :

Keterangan :

KGij = Kandungan zat gizi –i dalam bahan pangan –j Bj = Berat makan –j yang dikonsumsi (g)

Gij = Kandungan zat gizi dalam 100 gram BDD bahan pangan ke-j BDDj = Bagian bahan pangan -j yang dapat dimakan

Tingkat kecukupan konsumsi. Untuk menghitung tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein yang dikoreksi dengan berat badan aktual sehat (dari setiap kelompok umur) digunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan :

AKGI = Angka kecukupan gizi contoh Ba = Berat badan aktual sehat (kg)

KGij = (Bj/100) X Gij X (BDDj/100)

(31)

Bs = Berat badan patokan (kg)

AKG = Angka kecukupan gizi yang dianjurkan WNPG (2004)

Perhitungan tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein menggunakan rumus di bawah ini :

Keterangan :

TKG = Tingkat kecukupan konsumsi gizi K = Konsumsi gizi (food record 7x24 jam) AKGI = Angka kecukupan gizi contoh

Vitamin dan mineral dihitung langsung dengan angka kecukupan gizi (AKG) berdasarkan WNPG (2004), tanpa menggunakan angka kecukupan gizi contoh (AKGI). Perhitungan untuk tingkat kecukupan konsumsi vitamin dan mineral menggunakan rumus seperti pada tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein.

Tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein dikelompokan menjadi lima kategori, yaitu defisit tingkat berat (<70% AKG), defisit tingkat sedang (70-79% AKG), defisit tingkat ringan (80-89% AKG), normal (90-119% AKG), dan lebih (≥120% AKG) (Depkes 1996). Tingkat kecukupan konsumsi vitamin dan mineral dikelompokan menjadi dua, yaitu defisit (<77% AKG) dan cukup (≥77% AKG) (Gibson 2005).

Status gizi. Data status gizi diperoleh dengan melakukan penimbangan berat badan (kg) menggunakan timbangan injak digital merek Camry dengan kapasitas 150 kg dan tingkat ketelitian 0,1 kg. Pengukuran tinggi badan (cm) dilakukan dengan menggunakan microtoise dengan kapasitas 200 cm dan tingkat ketelitian 0,1 cm. Data status gizi contoh ditentukan berdasarkan data yang sudah diperoleh yaitu umur, berat badan dan tinggi badan contoh, dengan parameter indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U), indeks tinggi badan menurut umur (TB/U), dan indeks berat badan menurut umur (BB/U).

Pengkategorian indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U) dalam WHO (2007) yaitu sangat kurus (<-3 SD), kurus (-3≤ SD <-2), normal (-2≤ SD ≤+1),

overweight (+1< SD ≤+2) dan obesitas (>+2 SD). Pengkategorian indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) dalam WHO (2007) yaitu sangat pendek (<-3 SD), pendek (-3≤ SD <-2) dan normal (≥-2 SD). Pengkategorian indeks berat badan

(32)

menurut umur (BB/U) dalam CDC (2000) yaitu gizi kurang (<-2 SD), gizi baik (-2≤ SD ≤+2) dan gizi lebih (>+2 SD).

Status kesehatan. Status kesehatan dilihat berdasarkan ada tidaknya contoh yang sakit dalam satu bulan terakhir meliputi gejala/jenis penyakit, lama sakit, dan frekuensi sakit. Gejala/jenis panyakit yang diteliti mencakup gejala/jenis penyakit infeksi dan non infeksi. Lama sakit dikategorikan berdasarkan BPS (2000) yaitu 1-3 hari, 4-7 hari, 8-14 hari dan >14 hari. Frekuensi sakit dikelompokan menjadi 1 kali/bulan, 2 kali/bulan dan ≥3 kali/bulan. Untuk keperluan analisis, data skor morbiditas dihitung dengan cara mengalikan lama sakit dan frekuensi sakit untuk setiap gejala/jenis penyakit. Skor morbiditas dikategorikan menurut interval kelas Sugiyono (2009) menjadi rendah (0-19), sedang (20-39) dan tinggi (40-60). Data tindakan pengobatan sebagai data penunjang diolah dengan mengelompokannya menjadi delapan kelompok, yaitu melakukan tindakan pengobatan ke rumah sakit, puskesmas, klinik, tempat praktek dokter, apotek, obat warung, obat tradisional dan tidak berobat.

(33)

Definisi Operasional

Angka kecukupan gizi adalah jumlah zat gizi yang harus dipenuhi oleh santri putri per hari berdasarkan usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan dan kondisi fisiologis.

Contoh adalah santri putri di pondok pesantren yang terpilih.

Frekuensi sakit adalah seberapa sering santri putri mengalami sakit dengan gejala/jenis penyakit yang sejenis dalam satu bulan terakhir dan dikelompokan menjadi 1 kali, 2 kali dan ≥3 kali mengalami sakit.

Gejala/jenis penyakit adalah jenis serangan yang bersifat infeksi maupun non infeksi dari luar maupun dari dalam tubuh santri putri yang menyebabkan terganggunya fungsi normal tubuh. Gejala/jenis penyakit dinyatakan dengan pernyataan contoh.

Kondisi fisik kamar tidur adalah bagian-bagian fisik kamar tidur santri putri yang meliputi jenis atap, dinding, lantai, ketersediaan jendela, ventilasi, pencahayaan alami dan kepadatan penghuni.

Kondisi lingkungan pemondokan adalah keadaan lingkungan pemondokan (asrama) santri putri dan sekitarnya yang meliputi kondisi fisik kamar tidur, sumber air minum, pembuangan sampah, kotoran manusia dan air limbah.

Konsumsi makanan adalah jumlah masing-masing zat gizi dari makanan yang sebaiknya dipenuhi santri putri agar hampir semua santri putri hidup sehat berupa energi dan zat gizi (protein, vitamin A, B1 dan C, serta kalsium,

fosfor dan zat besi).

Lama sakit adalah waktu yang dilalui santri putri dalam keadaan sakit (dalam hari) akibat serangan penyakit atau infeksi dan dikelompokan menjadi 1-3 hari, 4-7 hari, 8-14 hari dan >14 hari.

Makanan asrama adalah makanan yang diperoleh oleh santri putri dari penyelenggaraan makanan di asrama.

Makanan luar asrama adalah makanan yang diperoleh oleh santri putri dari luar penyelenggaraan makanan di asrama, seperti makanan jajanan di kantin, warung atau pedagang kaki lima yang berada di luar asrama.

(34)

Proses penyelenggaraan makanan adalah suatu proses dalam penyelenggaraan makanan yang dimulai dari perencanaan menu sampai penyajian makanan.

Skor morbiditas adalah keadaan atau kondisi tubuh santri putri yang dihitung dengan cara mengalikan lama sakit dengan frekuensi sakit untuk setiap gejala/jenis penyakit kemudian dikategorikan menjadi rendah (0-19), sedang (20-39) dan tinggi (40-60).

Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh santri putri yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorpsi) dan utilisasi (utilization) zat gizi makanan yang ditentukan melalui parameter indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U), indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) dan indeks berat badan menurut umur (BB/U).

Status kesehatan adalah keadaan atau kondisi tubuh santri putri yang dilihat berdasarkan ada tidaknya santri putri yang sakit dalam satu bulan terakhir meliputi gejala/jenis penyakit, lama sakit dan frekuensi sakit. Status kesehatan berbanding terbalik dengan skor morbiditas, semakin tinggi skor morbiditas maka status kesehatan semakin rendah begitupun sebaliknya.

Tindakan pengobatan adalah tindakan yang dilakukan oleh santri putri ketika sakit. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain berobat ke pelayanan kesehatan formal, beli obat di warung atau pengobatan tradisional.

(35)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Pondok Pesantren Modern Sahid (PP Sahid)

Lokasi pondok pesantren modern Sahid terletak di jalan KH. Abdul Hamid KM 6, Gunung Menyan Pamijahan Bogor, Jawa Barat. Pondok pesantren ini berdiri di atas tanah seluas 70 hektar (700.000 m2). Fasilitas yang terdapat di PP Sahid diantaranya yaitu dua komplek bangunan yang diperuntukkan untuk asrama putra dan asrama putri, masing-masing asrama terdiri dari empat unit dengan total kamar sebanyak 80 buah. Setiap kamar dilengkapi dengan kamar mandi. Jumlah penghuni setiap kamar yaitu enam orang santri. Fasilitas lainnya yaitu masjid, gedung sekolah, perkantoran, auditorium, perpustakaan, dapur, ruang makan, kantin, anjungan telepon di asrama, klinik dan mini market. Selain itu, terdapat sarana olah raga, laboratorium IPA, laboratorium komputer, serta lahan pertanian dan peternakan yang luas. Santri putra dan putri PP Sahid tahun ajaran 2010-2011 berjumlah 775 orang, terdiri dari 429 santri putra (55,4%) dan 346 santri putri (44,6%).

PP Sahid diresmikan pada tanggal 27 Mei 2000 setelah mendapat ijin operasional dari Departemen Agama Provinsi Jawa Barat dengan nama Pesantren Sahid Mandiri. Nama tersebut kemudian diubah menjadi Pondok Pesantren Modern Sahid. Sejak didirikannya, PP Sahid telah mencanangkan visi dan misi yang jelas. Visi dari PP Sahid adalah menjadi pusat pendidikan Islam yang modern dan bertaraf Internasional, guna mempersiapkan generasi unggul, berbudaya, Islami dalam rangka mengimplementasikan ajaran Islam sebagai “rahmatan lil’Alamin”. Guna mencapai visi tersebut disiapkan sarana prasarana secara bertahap, sumber daya manusia (SDM) dan sistem yang selalu diperbaharui sesuai dengan tuntutan zaman. Adapun misinya dirumuskan sebagai berikut :

1. Menyelenggarakan pendidikan Islam yang modern dan bertaraf Internasional mulai tingkat Raudhatul Athfal, Ibtidaiyyah, Tsanawiyah sampai Aliyah

2. Menyelenggarakan dakwah dan pengembangan potensi umat 3. Berperan aktif dalam pengembangan pendidikan Islam

(36)

Santri diwajibkan membayar uang SPP pada setiap bulannya sesuai jumlah yang telah ditentukan oleh pihak pesantren. Santri dapat dikunjungi oleh orang tua atau keluarga di luar jam belajar atau kegiatan wajib lainnya. Selain itu santri diijinkan keluar pesantren untuk keperluan pribadi atau organisasi, berobat atau acara keluarga dengan cara mengikuti prosedur perijinan yang ditentukan asrama, serta saat liburan pesantren yang ditentukan berdasarkan kalender pendidikan PP Sahid.

Jumlah santri putri di PP Sahid pada tahun ajaran 2010/2011 yang tertampung keseluruhannya berjumlah 346 orang yang terbagi dalam tiga kelas Tsanawiyah dan lima kelas Aliyah. Data santri putri PP Sahid menurut tingkat pendidikan secara rinci disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Sebaran santri putri PP Sahid menurut tingkat pendidikan

Kelas n %

Tsanawiyah (SLTP) 224 64,7

Aliyah (SLTA) 122 35,3

Total 346 100,0

Pondok Pesantren Modern Ummul Quro Al-Islami (PP UQI)

Lokasi pondok pesantren modern Ummul Quro Al-Islami terletak di kampung Banyusuci, Leuwimekar Leuwiliang Bogor, Jawa Barat. Pondok pesantren ini berdiri diatas tanah seluas 10 hektar (100.000 m2). Fasilitas yang terdapat di PP UQI diantaranya yaitu dua komplek bangunan yang diperuntukkan untuk asrama putra dan asrama putri. Khusus untuk asrama putri terdapat tujuh gedung dan dinamakan dengan gedung keramat luar batang I-VII. Jumlah keseluruhan kamar yaitu 40 buah, tiap kamar dihuni sekitar 35-40 orang (termasuk di dalamnya 4 orang pengurus kamar). Fasilitas lainnya yaitu asrama guru, tempat peristirahatan tamu, kamar mandi putra dan putri, masjid, gedung serba guna (GSG), sekolah, perkantoran, perpustakaan, dapur pusat dan dua dapur khusus, ruang makan guru, kantin, wartel, klinik dan koperasi. Selain itu, terdapat lapangan serba guna, laboratorium IPA, laboratorium bahasa dan laboratorium komputer. Santri putra dan putri PP UQI tahun ajaran 2011-2012 berjumlah 3332 orang, terdiri dari 1776 santri putra (53,3%) dan 1556 santri putri (46,7%).

Gambar

Gambar 1  Bagan kerangka pemikiran penelitian
Tabel 3  Jenis dan cara pengumpulan data primer
Tabel 8. Tabel 8  Sebaran contoh menurut tingkat pendidikan orang tua
Tabel 9  Sebaran contoh menurut jenis pekerjaan orang tua
+7

Referensi

Dokumen terkait

tentang hubungan asupan energi dan lemak dengan status gizi pada remaja. putri di pondok pesantren Ta’mirul Islam

Uji statistik menunjukan terdapat hubungan pengetahuan gizi, konsumsi lemak dan serat dengan status gizi anak remaja putri di SMK Batik 1 Surakarta 1 (p= 0,038), terdapat

Tujuan : Menganalisis hubungan antara pengetahuan gizi ibu, tingkat konsumsi pangan dengan status gizi anak di bawah dua tahun (baduta) di Kelurahan Kestalan

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Tingkat Kesukaan dan Daya Terima Makanan serta Hubungannya dengan Kecukupan Energi dan Zat Gizi pada Santri Putri Mts

Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan tingkat kecukupan energi dan zat gizi makro (protein, lemak dan karbohidrat) dengan status gizi siswi

Data primer meliputi data karakteristik penjamah makanan (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan lama berkerja), karakteristik santri putri (tanggal lahir,

Kesimpulan penelitian ini adalah tingkat kecukupan energi dan zat gizi makro yaitu protein, lemak, dan karbohidrat memiliki hubungan yang signifi kan dengan status gizi,

HUBUNGAN KECUKUPAN ZAT GIZI DAN STATUS GIZI DENGAN SIKLUS MENSTRUASI PADA REMAJA PUTRI DI SMA LENTERA HARAPAN KOTA PALOPO CORRELATION BETWEEN ADEQUACY OF NUTRITION SUBSTANCE AND