• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Kesukaan Dan Daya Terima Makanan Serta Hubungannya Dengan Kecukupan Energi Dan Zat Gizi Pada Santri Putri Mts Darul Muttaqien Bogor.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tingkat Kesukaan Dan Daya Terima Makanan Serta Hubungannya Dengan Kecukupan Energi Dan Zat Gizi Pada Santri Putri Mts Darul Muttaqien Bogor."

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT KESUKAAN DAN DAYA TERIMA MAKANAN SERTA

HUBUNGANNYA DENGAN KECUKUPAN ENERGI DAN ZAT GIZI

PADA SANTRI PUTRI MTS DARUL MUTTAQIEN BOGOR

M. ZULFADLI LUBIS

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Tingkat Kesukaan dan Daya Terima Makanan serta Hubungannya dengan Kecukupan Energi dan Zat Gizi pada Santri Putri Mts Darul Muttaqien Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

M. Zulfadli Lubis

(4)
(5)

ABSTRAK

M. ZULFADLI LUBIS. Tingkat Kesukaan dan Daya Terima Makanan serta Hubungannya dengan Kecukupan Energi dan Zat Gizi pada Santri Putri Mts Darul Muttaqien Bogor. Dibimbing oleh SITI MADANIJAH

Penelitian ini bertujuan menganalisis tingkat kesukaan dan daya terima makanan serta hubungannya dengan tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada santri putri MTs. Darul Muttaqien Bogor. Desain penelitian yang digunakan adalah Cross sectional study dengan Purposive sampling dan melibatkan subjek sebanyak 73 santri putri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum subjek menyukai menu makanan yang disediakan pondok. Rata-rata daya terima makanan subjek adalah sebesar 85%. Sebagian besar subjek memiliki kecukupan energi dan zat gizi defisit berat kecuali Vitamin A .Uji korelasi Spearman

menunjukkan tidak ada hubungan signifikan (p>0.05) antara uang saku dengan tingkat kecukupan energi dan zat gizi. Tingkat kesukaan makanan berhubungan positif dengan daya terima makanan (p=0.000). Daya terima makanan berhubungan positif dengan tingkat kecukupan energi dan zat gizi (p=0.000). Asupan energi dan zat gizi dari dalam pondok berhubungan negatif dengan asupan luar pondok (p=0.000).

Kata kunci: asupan energi dan zat gizi, daya terima, tingkat kesukaan, tingkat kecukupan.

ABSTRACT

M. ZULFADLI LUBIS. Preference and Acceptance of Food and its Correlation to the Adequacy of Energy and Nutrients on Female Students of Junior High School Darul Muttaqien Bogor. Supervised by SITI MADANIJAH

This study aimed to analyze preference and acceptance of food and its correlation to the adequacy of energy and nutrients on female students of Junior High School Darul Muttaqien Bogor. The design of study was cross-sectional by using purposive sampling and involved 73 subjects. The results showed that majority of subjects like the food menu that provided by dorms but the acceptance was 85%. Majority of the subjects had a sufficiency level of Vitamin A normal but the sufficiency level of energy and nutrients severe deficit. The result of Spearman test showed that there was no correlation between pocket money and adequacy level of energy and nutrients (p>0.05). There was a positive correlation between food preference and acceptance of food (p=0.000). There was positive correlation between acceptance of food and the adequacy of energy and nutrients (p = 0.000). The intake of energy and nutrients from the dorms was negatively correlation with intake of outside pondok (p=0.000).

(6)
(7)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

Dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

M. ZULFADLI LUBIS

TINGKAT KESUKAAN DAN DAYA TERIMA MAKANAN SERTA

HUBUNGANNYA DENGAN KECUKUPAN ENERGI DAN ZAT GIZI

PADA SANTRI PUTRI MTS DARUL MUTTAQIEN BOGOR

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini adalah Tingkat Kesukaan dan Daya Terima Makanan serta Hubungannya dengan Kecukupan Zat Gizi pada Santri Putri MTs Darul Muttaqien Bogor. Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang membantu selama proses pembuatan skripsi.

1. Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS selaku pembimbing akademik dan pembimbing skirpsi atas ilmu dan bimbingannya yang telah diberikan.

2. Prof. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku pemandu seminar dan penguji yang telah banyak membantu dan memberikan masukan untuk skripsi ini.

3. Bapak Sayaman Lubis dan Ibu Kholidah selaku orang tua penulis serta Irsaluddin Lubis, S.TP, Siti Fatimah, S.PdI, dan Suhendar, ST selaku saudara penulis yang telah memberikan semangat, motivasi, dukungan, dan dorongan baik moril maupun materil kepada penulis selama penyusunan skripsi

4. Pimpinan Pondok Pesantren Darul Muttaqien yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di tempat tersebut. 5. Teman-teman terdekat (Al Mukhlas Fikri, S.Gz; Ahsan S; Fitriyah NM, S.Gz;

Ajeng AP; Dora A, S.Gz; Ahmad Sahl S; Panji S; Gagah RM, S.Gz; M Iqbal; Wahyu Siti R, S.Gz; Vieta A, S.Gz; dan Nisya DP) atas nasihat dan dukungan. 6. Teman-teman Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi masyarakat angkatan 48

yang telah memberikan motivasi kepada penulis selama penyusunan skripsi. 7. Seluruh pihak yang terkait yang belum disebutkan namanya yang telah

memberikan kontribusinya dalam penulisan tugas akhir ini.

Demikian yang dapat penulis sampaikan. Semoga skripsi ini dapat memberikan banyak manfaat.

Bogor, Agustus 2015

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 2

Tujuan 2

Hipotesis 3

Manfaat 3

KERANGKA PEMIKIRAN 3

METODE PENELITIAN 5

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian 5

Jumlah dan Cara Penarikan Subjek 5

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 5

Pengolahan dan Analisis Data 7

Definisi Operasional 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Gambaran Umum Pondok Pesantren Darul Muttaqien 9

Karakteristik Subjek 10

Penyelenggaraan Makanan di Pondok Pesantren Darul Muttaqien Bogor 11

Tingkat Kesukaan Makanan 17

Daya Terima Makanan 18

Asupan Energi dan Zat Gizi 20

Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi 22

Hubungan antar Variabel 25

SIMPULAN DAN SARAN 26

Simpulan 26

Saran 26

DAFTAR PUSTAKA 27

LAMPIRAN 30

(14)
(15)

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan cara pengumpulan data 6

2 Pengkategorian data 8

3 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik individu 10 4 Waktu, tempat pembelian, dan tempat penyimpanan bahan makanan 13

5 Ketersediaan energi dan zat gizi dalam satu siklus menu 15

6 Tingkat ketersediaan terhadap kecukupan subjek 16

7 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kesukaan makanan pondok (%) 17

8 Sebaran subjek berdasarkan daya terima makanan pondok 19

9 Rata-rata daya terima makanan pondok (%) 19

10 Rata-rata asupan energi dan zat gizi subjek 20

11 Rata-rata asupan energi dan zat gizi dari dalam dan luar pondok 21

12 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi (%) 22

13 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein 23

14 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan mineral dan vitamin 23

15 Rata-rata kontribusi tingkat kecukupan energi dan zat gizi berdasarkan asal makanan (%) 24

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran tingkat kesukaan dan daya terima makanan serta

hubungannya dengan tingkat kecukupan energi dan zat gizi 4

DAFTAR LAMPIRAN

1 Uji hubungan antar variabel 31

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sumber daya manusia merupakan kata kunci pembangunan bangsa-bangsa di dunia termasuk di Indonesia. Upaya-upaya yang saling berkesinambungan perlu dilakukan untuk mencapai dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Diantara faktor-faktor yang memegang peran penting dan memengaruhi kualitas sumber daya manusia yaitu kesehatan dan status gizi (Depkes 2001). Menurut Soekirman (2000), kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan individu perlu dilakukan untuk berinvestasi dibidang kesehatan dan gizi. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia harus dilakukan sedini mungkin dan berkelanjutan.

Remaja merupakan generasi penerus bangsa dan merupakan sumberdaya manusia yang harus diperhatikan (Sediaoetama 2000). Menurut Monk (2009) masa remaja adalah masa kehidupan yang berlangsung antara umur 12-21 tahun, dengan pembagian usia 12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun adalah masa remaja akhir. Kualitas manusia dimasa mendatang memiliki hubungan erat dengan kualitas remaja masa kini. Masa remaja juga merupakan masa pertumbuhan yang sangat cepat dan aktif yang disebut dengan adolescence growth spurt (Almatsier 2002).

Remaja merupakan kelompok usia yang berada di masa transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa. Periode ini juga merupakan periode menuju kematangan fisik dan psikologi serta pencarian identitas. Remaja putri merupakan kelompok yang lebih rentan terkena risiko morbiditas dan mortalitas reproduksi terutama di negara-negara berkembang karena secara tradisional remaja-remaja putri di negara berkembang menikah pada usia dini (Singh et al. 2012).

Riskesdas (2010) menyatakan bahwa prevalensi anemia pada remaja sebesar 25.5% dan prevalensi gizi kurang sebesar 17.4%. Status gizi remaja kurus sebesar 8%, walaupun menurun menjadi 6.4% menurut Riskesdas (2013) akan tetapi persentase asupan energi pada remaja di Indonesia sebesar 54.4% memiliki Tingkat Konsumsi Energi hanya mencapai 70%. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa rata-rata tingkat konsumsi energi pada usia remaja masih dibawah anjuran AKG.

Asupan zat gizi yang kurang menyebabkan status gizi buruk dan dapat menimbulkan berbagai dampak negatif pada remaja. Dampak yang dapat timbul diantaranya adalah pertumbuhan terhambat mudah sakit, aktivitas dan prestasi belajar menurun. Selain itu juga remaja yang status gizi nya buruk dapat menurunkan kebugaran dan menghambat prestasi olahraga dan produktivitasnya (Darmiati 2008).

(18)

2

Santriwati atau biasa disebut dengan santri putri merupakan kelompok usia remaja yang menimba ilmu, bersosialisasi, dan diharuskan tinggal di Pondok Pesantren. Menurut Arisman (2004), remaja putri mengalami pertumbuhan lebih dahulu daripada laki-laki. Remaja putri membutuhkan zat gizi yang cukup untuk tumbuh optimal dan persiapan menjelang usia reproduksi. Menurut AKG (2013), angka kecukupan energi untuk kelompok remaja perempuan usia 10-12 tahun adalah 2000 kkal, kelompok usia 13-15 tahun adalah sebesar 2125 kkal, sedangkan kelompok usia remaja ahir (19 tahun) adalah sebesar 2250 kkal.

Intiful et al. (2013) menyatakan bahwa siswa yang tinggal di asrama lebih berisiko kekurangan gizi dibandingkan dengan siswa yang tidak diasrama. Hal ini terkait dengan kondisi fasilitas asrama. Santri putri yang diharuskan untuk tinggal di pondok pesantren membuat mereka belum bisa memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Kondisi ini membuat pondok pesantren harus menyediakan pelayanan makan sebaik mungkin untuk memenuhi kebutuhan zat gizi para santri putri agar mencapai dan mempertahankan status gizi yang ideal.

Pondok Pesantren Darul Muttaqien merupakan salah satu pondok yang menyelenggarakan makanan untuk para santri yang menetap di asrama. Menurut Kepala Madrasah Tsanawiyah Darul Muttaqien belum ada penelitian serupa. Berdasarkan latar belakang tersebut penting dilakukan pengkajian tentang “Tingkat Kesukaan dan Daya Terima Makanan serta Hubungannya dengan Kecukupan Energi dan Zat Gizi pada Santri Putri MTs Darul Muttaqien Bogor”.

Rumusan masalah

1. Bagaimana kualitas penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren Darul Muttaqien Bogor?

2. Bagaimana tingkat kesukaan dan daya terima serta hubungannya dengan kecukupan zat gizi pada santri putri MTs Darul Muttaqien Bogor?

Tujuan Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan dan daya terima serta hubungannya dengan kecukupan zat gizi pada santri putri MTs Darul Muttaqien Bogor.

Tujuan khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik subjek.

2. Mendeskripsikan input, proses, dan output dari penyelenggaraan makanan. 3. Menganalisis tingkat kesukaan makanan.

4. Menganalisis daya terima makanan.

5. Menganalisis kecukupan energi dan zat gizi.

6. Menganalisis hubungan tingkat kesukaan dengan daya terima makanan.

(19)

3

Hipotesis

Tingkat kesukaan dan daya terima berhubungan dengan kecukupan zat gizi santri putri MTs Darul Muttaqien Bogor.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan makanan dan pelayanannya di Pondok Pesantren Darul Muttaqien. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai tingkat kesukaan, daya terima serta hubungannya dengan kecukupan zat gizi pada santri putri MTs. Darul Muttaqien Bogor.

KERANGKA PEMIKIRAN

Perhatian terhadap penyediaan makanan bagi santri putri di pondok pesantren dewasa ini menjadi sangat penting. Santri putri merupakan remaja yang perlu perhatian dalam pemilihan makanan dan belum bisa menyediakan makanannya sendiri. Penyelenggaraan makanan di pondok pesantren bertujuan untuk menyediakan makanan yang beragam, berimbang dan bergizi, aman dikonsumsi, memenuhi kebutuhan gizi para santri, dihidangkan dengan menarik, pelayanan yang tepat waktu, ramah, serta fasilitas yang cukup dan nyaman.

Penyelenggaraan makanan di suatu instansi terdiri dari input, proses, dan

output. Input dari penyelenggaraan makanan meliputi penjamah makanan, sarana fisik dan peralatan, serta dana. Proses dalam penyelenggaraan makanan meliputi perencanaan menu, produksi, penerimaan, penyimpanan bahan makanan, pengolahan, distribusi, dan pengawasan sanitasi, higiene makanan. Sedangkan

output penyelenggaraan makanan meliputi konsumsi dan tingkat konsumsi santri, daya terima, jumlah dan mutu makanan (kandungan energi dan zat gizi) yang selanjutnya akan menghasilkan asupan energi dan zat gizi dari pangan yang tepat.

Tingkat kesukaan santri putri terhadap makanan akan memengaruhi daya terima makanan pada santri putri. Cita rasa makanan mencakup dua aspek utama, yaitu penampilan dan rasa makanan. Kedua aspek ini sama pentingnya untuk diperhatikan agar betul-betul dapat menghasilkan makanan yang memuaskan (Moehyi 1992). Selain itu juga menurut Yamsehu (2008) daya terima konsumen terhadap makanan dipengaruhi oleh umur, sosial dan budaya keluarga.

(20)

4

Keterangan :

: variabel yang diteliti : hubungan yang dianalisis

: variabel yang tidak diteliti : hubungan yang tidak dianalisis

Gambar 1 Kerangka pemikiran tingkat kesukaan dan daya terima makanan serta hubungannya dengan kecukupan zat gizi

Karakteristik Santri putri - Umur - Uang saku - Kelas

Sistem penyelenggaraan makanan (input, proses, output)

Daya terima makanan

Status gizi Tingkat

kesukaan

Kecukupan tingkat energi dan zat gizi

Makanan luar pondok Makanan dalam

pondok Konsumsi pangan

Ketersediaan makanan dalam pondok

(21)

5

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan menggunakan desain Cross sectional study yang bertempat di Pondok Pesantren Darul Muttaqien, Parung, Kabupaten Bogor pada bulan Maret-April 2015. Pemilihan tempat penelitian dilakukan secara purposif dengan mempertimbangkan pondok ini mengadakan penyelenggaraan makanan bagi para santrinya dan juga karena kemudahan akses.

Jumlah dan Cara Pengambilan Subjek

Subjek penelitian adalah santri putri MTs. Darul Muttaqien. Teknik pengambilan subjek yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu pengambilan subjek yang dilakukan secara sengaja dengan memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut: (1) subjek adalah santri putri MTs. Darul Muttaqien kelas VII dan VIII yang tinggal di asrama, (2) bersedia mengikuti penelitian dari awal hingga akhir pengambilan data.

Populasi dalam penelitian berjumlah 283 santri putri yang terdiri dari kelas VII dan VIII. Pemilihan kelas dilakukan secara purposive sampling dengan mengambil masing-masing 2 kelas dari kelas VII dan VIII. Pengambilan subjek berdasarkan sampel minimum penelitian sebanyak 30 subjek. Subjek yang dipilih berjumlah 98 santri putri dan yang memenuhi kriteria inklusi berjumlah 73 santri putri yang terdiri dari 32 santri kelas VII dan 41 kelas VIII.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

(22)

6

Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data

Jenis Data Variabel Cara pengumpulan

Primer

Karakteristik contoh Umur, uang saku, dan kelas Wawancara menggunakan kuesioner

Tingkat kesukaan Pengukuran kesukaan contoh Wawancara menggunakan kuesioner

(23)

7

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan diolah secara deskriptif dan inferensia. Pengolahan data dilakukan menggunakan Microsoft Excel 2010 dan dianalisis menggunakan Statistical Program for Social Science (SPSS) version 16.0 for windows. Pengolahan data dimulai dengan coding, entry, cleaning, dan analisis. Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis data karakteristik subjek, tingkat kesukaan, daya terima makanan yang disediakan pondok, dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi. Karakteristik subjek meliputi usia dan uang saku. Usia dikelompokkan menjadi 10-12 tahun dan 13-15 tahun. Uang saku subjek dikelompokkan menjadi <Rp300 000 per bulan, dan >Rp 300 000 per bulan. Tingkat ketersediaan makanan yang disediakan pondok dihitung dengan cara menimbang makanan pada saat penelitian berlangsung selama satu siklus menu (10 hari), setelah itu dibandingkan dengan rata-rata kebutuhan subjek menggunakan AKG 2013 yang dikoreksi dengan berat badan aktual sehat. Data tingkat kesukaan terhadap menu makanan pondok diberi kode 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3 (biasa), 4 (suka), dan 5 (sangat suka). Data daya terima menu makan pondok diolah dengan memberikan kode 1 (sisa 100%), 2 (sisa 95%), 3 (sisa 75%), 4 (sisa 50%), 5 (sisa 25%), dan 6 (sisa 0%). Daya terima makanan dikelompokkan menjadi kurang (<100%) dan baik (100%). Data konsumsi pangan dikonversi dalam bentuk Ukuran Rumah Tangga (URT) menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) untuk mengetahui asupan energi dan zat gizi. Konversi URT kedalam satuan gram dan kandungan gizi dilakukan menggunakan rumus:

KGij = (Bj/100)x(Gij)x(BDDj/100) Keterangan:

KGij = Kandungan zat gizi i dari setiap bahan makanan yang dikonsumsi j Bj = Berat bahan makanan j yang dikonsumsi (g)

Gij = Kandungan zat gizi-i dalam 100 g BDD bahan makanan-j BDDj = Bagian bahan makanan j yang dapat dimakan

Kecukupan energi dan protein yang dikoreksi dengan berat badan aktual sehat (dari setiap kelompok usia) dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :

AKG = (Ba/Bs) X AKGI Keterangan:

AKG = Angka kecukupan energi atau protein Ba = Berat badan aktual sehat (kg)

Bs = Berat badan rata-rata yang tercantum dalam AKG

(24)

8

Departemen Kesehatan (1996) mengklasifikasikan tingkat kecukupan energi dan protein menjadi lima kelompok, yaitu: defisit berat (<70% AKG), defisit sedang (70-79% AKG), defisit ringan (80-89% AKG), normal (90-120% AKG, dan lebih (>120% AKG). Tingkat kecukupan vitamin dan mineral diklasifikasikan menurut Gibson (2005) menjadi dua kelompok, yaitu kurang (tingkat kecukupan <77%) dan cukup (tingkat kecukupan ≥77%). Analisis

inferensia meliputi uji hubungan dan uji beda antar variabel. Analisis data yang dilakukan adalah analisis bivariat dan uji yang dilakukan adalah uji korelasi

Spearman dan uji beda Mann-Whitney. Berikut adalah tabel pengkategorian data. Tabel 2 Pengkategorian data

Variabel Kategori Sumber

Umur (tahun) 10-12

13-15 AKG (2013)

Uang saku per bulan (Rp/kap/bulan)

< Rp 300000

> Rp 300000 Sebaran data

Tingkat kesukaan Sangat tidak suka Tidak suka Biasa Suka Sangat suka

(Gregoire dan Spears 2007)

Daya terima 100%

<100% Tingkat kecukupan

energi dan protein

1 = Defisit tingkat berat (<70%) 2 = Defisit tingkat sedang (70-79%) 3 = Defisit tingkat ringan (80-89%) 4 = Normal (90-119%)

5 = Kelebihan (>120%)

Depkes 1996

Tingkat kecukupan vitamin dan mineral

1 = Kurang (< 77%)

2 = Cukup (≥ 77%) Gibson 2005

Definisi Operasional

Santri adalah sebutan bagi murid atau siswa yang belajar dan tinggal di pondok pesantren.

MTs adalah singkatan Madrasah Tsanawiyah yang merupakan jenjang pendidikan setaraf Sekolah Menengah Pertama (SMP).

(25)

9

Karakteristik subjek adalah kondisi pribadi pada contoh, meliputi nama, umur, kelas, tempat tanggal lahir, dan uang saku.

Uang saku adalah sejumlah uang yang diberikan orang tua santri untuk membeli jajanan dan perlengkapan sekolah.

Pondok Pesantren merupakan tempat para santri belajar dan tinggal.

Penyelenggaraan makanan merupakan rangkaian kegiatan dalam penyediaan makanan mulai dari perencanaan menu, pembelian bahan makanan, persiapan, pengolahan, pendistribusian sampai penyajian dan siap untuk dikonsumsi.

Konsumsi pangan adalah Jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi santri

Tingkat kesukaan merupakan penilaian subjek terhadap makanan yang disediakan dengan kategori sangat tidak suka, tidak suka, biasa, suka, dan sangat suka

Daya terima merupakan kemampuan subjek menghabiskan menu yang disediakan pondok dan diukur menggunakan metode Comstock yaitu melihat sisa makan subjek.

Kecukupan zat gizi adalah jumlah masing-masing zat gizi yang sebaiknya dipenuhi seseorang agar hidup sehat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Pondok Pesantren Darul Muttaqien Bogor

Pondok Pesantren Darul Muttaqien resmi berdiri sebagai lembaga pesantren pada tanggal 18 Juli 1988. Pondok Pesantren Darul Muttaqien terletak di wilayah Desa Jabon Mekar Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lahan yang dijadikan Pondok Pesantren ini merupakan tanah wakaf dari seorang mantan wartawan senior Kantor Berita Antara yaitu H. Mohamad Nahar (alm) kepada KH. Sholeh Iskandar (alm) selaku ketua BKSPPI (Badan Kerjasama Pondok Pesantren se-Indonesia) pada tahun 1987.

Pondok Pesantren Darul Muttaqien merupakan salah satu pondok pesantren modern. Pendidikan yang dikembangkan Pondok Pesantren ini sampai saat ini meliputi: TK Islam, TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an), SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu), Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah. Dari lima jenjang pendidikan tersebut, hanya santri Madrasah Tsanawiyah dan madrasah Aliyah saja yang tinggal di asrama.

(26)

10

Ruang penyimpanan bahan kering diperuntukan untuk menyimpan bumbu-bumbu dan kerupuk. Di samping ruang pengolahan bahan makanan terdapat kamar mandi yang diperuntukkan kepada para pegawai dapur. Alur penyelenggaraan makanan dimulai dari penerimaan bahan makanan sampai pemorsian dilakukan di ruangan pengolahan bahan makanan. Tempat penyimpanan alat-alat pengolahan bahan makanan terpisah dengan ruang pengolahan bahan makanan. Ruang pencucian bahana makanan disatukan dengan pencucian alat-alat. Distribusi makanan menggunakan sistem desentralisasi.

Pendistribusian makanan dilakukan menggunakan mobil pengangkut karena jarak dari dapur utama ke ruang tempat santri putri dan santri putra cukup jauh.

Penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren Darul Muttaqien merupakan penyelenggaraan makanan nonkomersial, yaitu tidak memiliki tujuan mencari keuntungan. Penggolongan usaha jasa boga berdasarkan luas jangkauan dan kemungkinan risiko yang dilayani menurut Permenkes Nomor: 1096/MENKES/PER/VI/2011 penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren Darul Muttaqien termasuk usaha jasa boga golongan B yaitu jasa boga yang melayani kebutuhan anak sekolah. Selain itu, penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren Darul Muttaqien termasuk penyelenggaraan institusi karena tempat memasak dan menyajikan makanan berada di suatu tempat.

Karakteristik Subjek

Jumlah total subjek yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 73 santri putri yang terdiri dari 32 santri kelas VII (43.8%) dan 41 santri kelas VIII (56.2%). Usia subjek berkisar antara 12-15 tahun. Rata-rata usia subjek kelas VII adalah 12.38 ± 0.61 tahun dan kelas VIII 13.56 ± 0.55 tahun. Menurut Monk (2009), remaja yang berada diusia 12-15 tahun tergolong dalam remaja awal. Uang saku kelas VII (84%) dan VIII (78%) > Rp 300 000 per bulan. Rata-rata uang saku subjek kelas VII sebesar Rp 349 375 ± 134 330.8 per bulan dan kelas VIII Rp 431 463.4 ± 280 664.9 per bulan. Rata-rata uang saku kelas VIII lebih besar dari kelas VII. Berdasarkan hasil uji beda Mann-Whitney menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara uang saku kelas VII dan VIII (p>0.05). Berikut disajikan tabel sebaran subjek berdasarkan usia dan uang saku.

Tabel 3 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik individu

Karakteristik subjek Kelas VII Kelas VIII Uji beda

(27)

11

Kebutuhan zat gizi pada masa anak-anak belum dibedakan antara laki-laki dan perempuan (IDAI 2013). Usia subjek berkisar 12-15 tahun dan merupakan masa remaja awal yang memerlukan perhatian lebih terhadap asupan energi dan zat gizi. Menurut IDAI (2013) pada masa remaja awal terjadi perubahan biologik dan fisiologik tubuh yang spesifik sesuai gender sehingga kebutuhan pun menjadi berbeda. Remaja perempuan lebih banyak membutuhkan asupan zat besi karena mengalami siklus menstruasi.

Grammatikapoulu (2008) menyatakan bahwa uang saku memiliki hubungan signifikan dengan asupan energi dan zat gizi. Semakin banyak uang saku siswa maka kemampuan untuk memperoleh makanan semakin tinggi, sedangkan menurut Mardayanti uang saku tidak selalu dibelikan untuk makanan sehingga tidak terdapat hubungan signifikan antara uang saku dengan asupan energi dan zat gizi.

Penyelenggaraan Makanan di Pondok Pesantren Darul Muttaqien Bogor Usaha jasa boga di Indonesia secara keseluruhan diatur dan diawasi oleh Pemerintah Indonesia dengan dikeluarkannya Permenkes Nomor: 1096/MENKES/PER/VI/2011. Berdasarkan luas jangkauan yang dilayani dan kemungkinan besarnya risiko yang dilayani, penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren Darul Muttaqien dikelompokkan sebagai usaha jasaboga golongan B yaitu jasaboga yang melayani kebutuhan khusus asrama (anak sekolah). Penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren Darul Muttaqien meliputi input,

proses, dan output. Input

Penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren Darul Muttaqien (Ponpes DM) berada dibawah naungan yayasan yang dipimpin langsung oleh istri dari pimpinan Pondok Pesantren Darul Muttaqien. Dalam penyelenggaraan makanan ini belum ada ahli gizi. Jumlah pegawai dapur yaitu dua orang karyawan sebagai juru masak yang dibantu oleh seorang santri putra dan lima santri putri yang sedang mengabdi. Sedangkan pegawai bagian menanak nasi berjumlah lima orang sehingga total pegawai dibagian dapur berjumlah 13 orang. Berdasarkan metode ISN (Indicator Staffing Need) jumlah pegawai di bagian dapur masih kekurangan sebanyak dua orang. Berikut rumus perhitungan jumlah tenaga kerja berdasarkan metode ISN:

Waktu kerja tersedia = 365– 56 (libur Ramadhan dan Idul Fitri, liburan sekolah) X jam kerja efektif

= 309 hari x 8 jam kerja efektif = 2472 jam

Jumlah tenaga kerja = Jumlah tenaga kerja saat ini x Jam kerja per hari x 365 2472 jam

(28)

12

Peralatan dalam penyelenggaraan makanan merupakan bagian yang sangat penting mulai dari penerimaan bahan makanan sampai tahap pendistribusian. Peralatan yang tersedia harus diperhatikan dari segi kuantitas dan kualitas. Jumlah yang tersedia harus memadai dan kebersihannya juga harus terjaga (Palacio dan Theis 2009). Peralatan penyelenggaraan makanan umumnya dikelompokkan menjadi alat-alat penyimpanan, alat-alat pengolahan, dan alat-alat penyajian (Nurdiani 2011).

Fasilitas peralatan yang dimiliki dapur sudah cukup memadai dari segi kualitas dan kuantitas, akan tetapi belum ada dokumentasi mengenai kelengkapan alat. Peralatan belum tersusun rapi antara peralatan yang kotor dan bersih sehingga memungkinkan terjadinya kontaminasi silang. Peralatan yang belum memenuhi standar adalah talenan yang terbuat dari kayu karena memungkinkan terjadinya cemaran dari bahan kayu.

Dapur tempat pengolahan bahan makanan terletak di depan kediaman pimpinan Pondok Pesantren Darul Muttaqien. Ruang produksi terpisah dengan ruang penyimpanan peralatan serta pencucian bahan makanan dan peralatan. Bagian ruang produksi belum ada pemisahan antara penerimaan bahan makanan, ruang persiapan, ruang pengolahan, dan ruang pemorsian. Penerimaan bahan makanan dilakukan di bagian teras dapur, ruang persiapan dilakukan di bagian teras dan menyatu dengan ruang pengolahan. Pemorsian makanan dilakukan di ruangan pengolahan dan di bagian teras. Sedangkan bagian pencucian peralatan dilakukan di samping ruang pengolahan dengan dibatasi tembok. Ruang pengolahan memiliki luas sekitar 7 x 5 m2, jumlah karyawan yang bekerja di dapur berjumlah 8 orang, maka setiap pekerja mendapat luas ruangan 35/8 = 4.4 m2.Dengan demikian dapur penyelenggaraan makanan Pondok Pesantren Darul Muttaqien sudah memenuhi persyaratan. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1096/MENKES/PER/VI/2011 yang menyatakan bahwa luas area pengolahan yang bebas dari peralatan untuk setiap orang bekerja yaitu minimal 2 m2.

Kemenkes (2011) menyatakan bahwa ventilasi atau penghawaan di ruang pengolahan bahan makanan harus dilengkapi cerobong asap. Lantai dan dinding tidak terdapat sudut mati dan harus memiliki lengkungan agar mudah dibersihkan. Ruang pengolahan Ponpes DM belum memiliki ventilasi yang cukup dan pencahayaan masih kurang. Lantai ruang pengolahan terbuat dari semen, terkadang lantai licin jika basah. Sumber air bersih berasal dari sumur yang didapat dari mesin pompa. Pencucian peralatan dilakukan tidak menggunakan wastafel akan tetapi di lantai dan proses pencucian menggunakan tangan dan sabun colek.

(29)

13

tidak terpantau kualitasnya karena belum ada spesifikasi bahan makanan. Waktu pembelian bahan makanan bervariasi yaitu harian, 2-3 hari, dan bulanan (Tabel 4).

Tabel 4 Waktu, tempat pembelian, dan tempat penyimpanan bahan makanan

Waktu Tempat Pembelian Tempat

Penyimpanan 2-3 hari Telur, ikan, nugget, ayam,

daging sapi, mie, bihun

- Lemari

pendingin Peti kayu

Bulanan Beras Gudang

Waktu pembelian bahan makanan dilakukan hampir setiap hari kecuali beras. Semua bahan makanan dibeli di Pasar Parung. pembelian beras dilakukan di toko yang berada di Pasar Parung dan dilakukan dengan cara pemesanan. Belanja bahan makanan setiap hari dimulai sejak pukul 02.00 sampai pukul 03.30 dini hari. Penyelenggaraan makanan yang dilakukan dapur Pondok Pesantren Darul Muttaqien ditujukan untuk santri yang tinggal di asrama, para guru, dan karyawan. Santri yang tinggal di asrama disediakan makanan lengkap 3 kali dalam sehari sedangkan para guru dan karyawan hanya makan siang. Setiap harinya dapur menyediakan makanan mencapai ± 1000 porsi untuk 3 kali makan. Biaya produksi makanan setiap hari mencapai Rp 7 000 000 untuk lauk pauk dan Rp 2 700 000 untuk beras, sehingga total anggaran sehari adalah Rp 9 700 000. Anggaran makan santri untuk tiga kali makan adalah Rp 10 500.

Proses

Perencanaan menu dilakukan oleh pimpinan dapur dibantu oleh seorang pegawai senior dapur. Perencanaan menu belum menghitung kebutuhan zat gizi berdasarkan angka kecukupan gizi karena menu yang disediakan berlaku untuk semua santri yang tinggal di asrama (santri MTs dan MA) para ustadz dan karyawan. Dalam perencanaan menu tidak ada tema tertentu seperti yang dilakukan oleh katering Pawon Endah yang selalu memiliki tema pembelajaran yang berbeda setiap bulannya (Nurdiani 2011).

Penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren Darul Muttaqien menggunakan siklus menu 10 hari. Komposisi menu yang disediakan oleh dapur Pondok Pesantren Darul Muttaqien secara umum terdiri dari nasi, mie, bihun, lauk (daging sapi atau hati sapi, ayam, ikan, telur), sayuran, dan kerupuk. Menu yang disediakan mengacu pada ketersediaan bahan makanan di Pasar Parung, jadi sewaktu-waktu menu yang disediakan dapat ditukar antara hari satu dengan hari yang lainnya. Hal ini serupa dengan yang dilakukan oleh Berkah Katering dalam penelitian Nurdiani (2011).

Proses pengolahan merupakan tahap yang rentan mengalami kehilangan zat gizi (Hardinsyah dan Briawan 1994). Gao et al. (2009) menyebutkan bahwa dalam metode memasak (merebus, mengukus, menggoreng, menggunakan

(30)

14

proses pengolahan harus diperhatikan dengan benar. Persiapan bahan makanan yang dilakukan meliputi: pembersihan, pengupasan, penyiangan, pemotongan, pencucian, pengirisan, penumbukan, dan pemblenderan bumbu. Dalam praktiknya di dapur, saat persiapan bahan makanan masih belum sesuai karena bahan makanan seperti sayur di potong terlebih dahulu lalu di cuci. Selain itu, pencucian sayur tidak dilakukan menggunakan air bersih yang mengalir akan tetapi hanya direndam dengan air bersih.

Pengolahan bahan makanan yang sering dilakukan di dapur Pondok Pesantren Darul Muttaqien adalah menggoreng, menumis, merebus, dan mengukus. Membakar dan memanggang tidak dilakukan dengan alasan waktu dan ketersediaan alat. Pengolahan nasi dan lauk dilakukan di tempat terpisah. Hal ini dilakukan untuk mengefisiensikan waktu dan alasan keterbatasan alat. Pengolahan lauk dilakukan menggunakan bahan bakar gas, sedangkan penanakan nasi dilakukan menggunakan bahan bakar kayu bakar. Dalam pengolahan bahan makanan perlu adanya standar resep untuk menjaga kekonsistenan citarasa dan mempermudah proses pengolahan. Upaya untuk menjaga kekonsistenan citarasa hal yang harus diperhatikan selain standar resep yaitu pengawasan suhu (besar kecilnya api), pengawasan rasa (penambahan bumbu dan garam), dan waktu pemasakan. Penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren Darul Muttaqien belum terdapat standar resep sehingga proses pengolahan dilakukan berdasarkan pengalaman juru masak. Pengawasan mengenai pengaturan besar kecil api, waktu pemasakan, pemberian garam juga belum dilakukan sehingga terkadang menu yang dihasilkan terlalu asin atau hambar, dan makanan tidak matang secara merata. Hal ini membuat nafsu makan para santri menurun.

Sanitasi dan Higiene. Sanitasi dan higiene merupakan aspek penting dalam penyelenggaraan makanan. Berdasarkan Permenkes (2011), sanitasi dan higiene merupakan upaya untuk mengendalikan faktor-faktor makanan, orang, perlengkapan, dan tempat yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Oleh sebab itu sanitasi dan higiene merupakan aspek yang harus diperhatikan. Upaya sanitasi dan higiene yang dilakukan dalam penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren Darul Muttaqien masih banyak yang tidak sesuai. Beberapa hal yang menunjukkan masih kurangnya upaya sanitasi dan higiene adalah:

1. Pengolahan bahana makanan dilakukan dekat dengan pembuangan air. 2. Belum adanya pemisahan antara ruang persiapan, pengolahan, dan

penyajian. Proses persiapan, pengolahan, dan penyajian dilakukan dalam ruangan yang sama sehingga meningkatkan peluang terjadinya kontaminasi silang.

3. Lantai dapur terkadang licin jika terkena air. Dinding dan langit-langit terlihat kurang bersih dan tidak mudah dibersihkan.

4. Pencucian alat dan bahan makanan masih disatukan. Tempat pencucian dilakukan di lantai atau tidak menggunakan wastafel.

5. Penerangan dan ventilasi di ruangan pengolahan kurang memadai.

6. Tempat sampah belum menggunakan tempet sampah yang dilengkapi injakan akantetapi hanya menggunakan plastic trashbag.

7. Pegawai dapur belum menggunakan alas kaki khusus, apron, dan terkadang masih menggunakan perhiasan

(31)

15

pengetahuan dan sikap keamanan pangan berhubungan positif. Semakin tinggi pengetahuan mengenai keamanan pangan maka sikap terhadap keamanan pangan juga meningkat. Oleh sebab itu bisa dikatakan bahwa praktik sanitasi dan higiene para penjamah makanan masih kurang.

Distribusi makanan dilakukan dengan sistem desentralisasi. Makanan dimasukkan dalam jumlah besar kedalam wadah-wadah khusus kemudian di kirim ke tempat-tempat makan para santri menggunakan mobil. Mat’am (ruang makan) santri putra terpisah dengan mat’am santri putri. Setelah sampai di masing-masing mat’am kemudian disajikan oleh dua orang petugas, yaitu santri yang sedang mengabdi. Pengambilan nasi tidak ada batasan sedangkan lauk pauk diporsikan oleh dua orang petugas kepada masing-masing santri dengan cara mengantri. Selain itu, para santri juga dapat memesan untuk mengurangi jatah makanan kepada petugas. Distribusi makanan dimulai pukul 06.00 untuk makan pagi, pukul 11.00 untuk makan siang, dan pukul 19.00 untuk makan malam. Peralatan makan yang digunakan para santri bermacam-macam karena para santri membawa piring dan sendok masing-masing. Terkadang para santri makan bersama-sama membuat kelompok 3-4 orang dalam wadah yang sama menggunakan nampan yang cukup besar. Selain itu para Santri juga tidak semuanya makan di tempat yang telah disediakan, akantetapi di kamar masing-masing.

Output

Output penyelenggaraan makanan meliputi ketersediaan, konsumsi, tingkat konsumsi, daya terima, jumlah dan mutu makanan (kandungan energi dan zat gizi) yang selanjutnya akan menghasilkan asupan energi dan zat gizi dari pangan yang tepat. Ketersediaan energi dan zat gizi dari pondok belum memenuhi kebutuhan subjek. Berikut disajikan tabel ketersediaan energi dan zat gizi dalam satu siklus menu.

Tabel 5 Ketersediaan energi dan zat gizi dalam satu siklus menu

(32)

16

adalah makanan sumber karbohidrat, seperti mie goreng, kentang pada sop, dan kentang goreng. Kentang goreng merupakan salah satu makanan sumber energi menurut Drewnowski dan Rehm (2013). Ketersediaan protein terbesar yaitu pada menu ke-VII (65.1 g) dan terendah yaitu pada menu ke-VIII (37.8). Hal ini disebabkan menu ke-VII terdapat menu hewani dan nabati (ikan teri, daging, ayam, kacang, tempe, dan tahu) yang merupakan sumber protein, sedangkan menu ke-VIII hanya menyediakan sumber protein hewani, yaitu menu ayam kecap dan tidak ada pangan nabati. Menurut Marsh et al. (2012), makanan sumber protein berasal dari kacang-kacangan (tempe, tahu), telur, dan daging merah.

Ketersediaan Ca terbesar yaitu pada menu ke-IV (3906 mg) dan terendah yaitu pada menu ke-VIII (37.8 mg). Hal ini disebabkan menu ke-IV terdapat makanan sumber Ca yaitu tongkol, sedangkan menu ke-VIII tidak terdapat makanan sumber Ca. Menurut Talib et al. (2014), tepung tulang ikan tuna merupakan sumber kalsium dan penelitian di Bangladesh menyebutkan bahwa ikan merupakan sumber vitamin A dan kalsium. Ketersediaan Fe terbesar yaitu pada menu ke-III dan terendah pada menu ke-X akantetapi keduanya masih dibawah kecukupan AKG. Hal ini disebabkan menu yang disediakan pondok masih kurang bervariasi terutama untuk makanan sumber Fe yang berasal dari pangan hewani dan sayuran hijau. Pangan hewani hanya tersedia pada menu siang hari setiap harinya. Sumber zat besi berasal dari pangan hewani (Hurell dan Egli 2010). Berdasarkan hasil penelitian Anderson dan Fitzgerald (2010) makanan sumber zat besi berasal dari hati.

Ketersediaan Vitamin A terbesar yaitu pada menu ke-III dan terendah pada menu ke-II. Pada menu ke-III terdapat menu hati sapi yang merupakan sumber Vitamin A dan pada menu ke-II terdapat sayuran hijau (sawi), telur yang merupakan sumber Vitamin A. Menurut Fallon dan Enig (2002), sumber Vitamin A berasal dari tumbuhan dan hewani. Sayuran hijau dan hati sapi merupakan sumber Vitamin A, dan hati sapi dianjurkan untuk dikonsumsi beberapa kali dalam seminggu. Ketersediaan Vitamin C terbesar yaitu pada menu ke-VI (70.35 mg) dan terendah pada menu ke-VIII (16.44 mg). Pada menu ke VI kembang kol dan kacang panjang sebagai sumber Vitamin C, sedangkan menu ke-VIII tidak terdapat makanan sumber Vitamin C. Oyetade et al. (2012) menyebutkan bahwa sumber Vitamin C berasal dari buah-buahan seperti jeruk, sayuran, dan tablet Vitamin C. Tingkat ketersediaan makanan yang disediakan pondok dihitung untuk mengetahui persentase ketersediaan makanan yang disediakan pondok dalam memenuhi kecukupan subjek (Tabel 6).

Tabel 6 Tingkat ketersediaan terhadap kecukupan subjek

Kandungan gizi Ketersediaan Rata-rata kecukupan Tingkat ketersediaan (%) VII VIII VII VIII

Energi (kkal) 1566.0 2090 2200 74.9 71.2

Protein (g) 44.9 64.5 71.4 69.7 62.9

Kalsium (mg) 586.2 1200.0 1200.0 48.8 48.8

Zat besi (mg) 7.8 21.8 26.0 35.8 30.0

Vitamin A( μg RE) 834.7 600.0 600.0 139.1 139.1

Vitamin C (mg) 36.5 54.7 65.0 66.6 56.1

(33)

Rata-17

rata ketersediaan energi dan protein belum memenuhi kecukupan subjek. Ketersediaan energi baru dapat mencapai 74.9% (kelas VII) dan 71.2% (kelas VIII). Ketersediaan protein juga belum memenuhi kecukupan subjek karena baru dapat mencapai kecukupan sebesar 69.7% (kelas VII) dan 62.9% (kelas VIII). Ketersediaan tersebut belum memenuhi kecukupan subjek karena masih kurang dari 90%. Menurut Depkes (1996), apabila kecukupan energi dan protein <90% maka dikategorikan sebagai defisit. Ketersediaan kalsium, Vitamin C dan zat besi juga belum memenuhi kecukupan subjek karena belum mencapai 77% kecukupan subjek. Hanya ketersediaan Vitamin A saja yang sudah memenuhi kecukupan subjek. Ketersediaan Vitamin A terhadap kebutuhan subjek sudah mencapai 139%. Kontribusi energi, protein, Vitamin A, dan Vitamin C (10-12 tahun) terhadap kecukupan para santri putri sudah mencapai angka persentase lebih dari 60%. Hal ini serupa dengan penelitian Sutyawan dan Setiawan (2013) yang menyatakan bahwa asrama tempat para siswa tinggal sudah dapat menyediakan energi, protein, dan fosfor yang cukup untuk para siswa (≥60%).

Tingkat Kesukaan Makanan

Subjek kelas VII dan VIII secara umum menyukai menu makanan dalam pondok (nasi, pangan hewani, pangan nabati, dan sayur) dan tingkat kesukaan akan mempengaruhi daya terima makanan (Nurdiani 2011). Subjek menyatakan biasa sampai sangat suka pada menu yang disediakan pondok. Subjek kelas VII mayoritas menyukai nasi (78%) sedangkan subjek kelas VIII menyukai pangan hewani (82.9%). Persentase subjek kelas VII dan VIII >40% menyatakan biasa pada menu sayur, artinya menu sayur menjadi menu yang kurang disukai. Sebaran subjek berdasarkan tingkat kesukaan subjek terhadap menu makanan pondok dalam satu siklus menu dapat dilihat pada Tabel 7.

(34)

18

asrama pondok sehingga lebih sering merasakan siklus menu yang berulang dari subjek kelas VII. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sinaga et al. (2012) bahwa pengalaman akan mempengaruhi respon seseorang terhadap makanan, baik itu pengalaman menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Subjek kelas VIII sudah lebih sering merasakan menu dengan siklus berulang sehingga lebih merasa bosan dari subjek kelas VII. Hasil uji beda Mann-Whitney menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara tingkat kesukaan subjek kelas VII dan VIII (p>0.05). Menu pangan hewani yang disukai oleh subjek adalah menu yang berbahan dasar daging dan ayam, seperti gulai daging, soto daging, soto ayam, dan ayam goreng. Lauk nabati yang disukai subjek adalah tahu goreng, sedangkan menu sayuran yang disukai subjek adalah tumis sawi dan sayur asem.

Vabø (2014) menyatakan bahwa faktor budaya dan lingkungan dapat mempengaruhi tingkat kesukaan seseorang. Faktor budaya tersebut membuat tingkat kesukaan terhadap makanan menjadi sama pada kelompok orang yang hidup di lingkungan sosial yang sama. Dalam hal ini subjek yang tinggal di asrama pondok dari berbagai macam suku budaya saling mempengaruhi satu sama lain, sehingga tingkat kesukaan terhadap makanan pada subjek relatif sama.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesukaan subjek relatif seragam, yaitu dari biasa dan suka. Hal ini sejalan dengan penelitian Cooke dan Wardle (2005) yang melakukan studi pada anak-anak dari negara yang berbeda, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa anak-anak yang belum dewasa memiliki tingkat kesukaan makanan yang serupa dan ini juga berlaku untuk makanan yang tidak disukai. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman pribadi dan lingkungan sekitar akan terus membentuk kesukaan terhadap makanan sepanjang rentang kehidupan.

Tingkat kesukaan terhadap makanan juga dipengaruhi oleh faktor demografi (usia, jenis kelamin, pendapatan, dan tingkat pendidikan) menurut Bourdieu dalam Vabø (2014). Tingkat kesukaan terhadap makanan akan mempengaruhi pilihan terhadap makanan. Dengan demikian tingkat kesukaan terhadap makanan erat kaitannya dengan kejadian obesitas dan kekurangan gizi (Vabø 2014).

Daya Terima Makanan

(35)

19

Sebaran subjek berdasarkan daya terima makanan yang disediakan pondok disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Sebaran subjek berdasarkan daya terima makanan pondok Kelas Penerimaan 25-50% 50-75% 75-100 % Total

Daya terima makanan merupakan banyaknya makanan yang dihabiskan dari menu yang disediakan (Sinaga et al. 2012) dan dihitung menggunakan metode menaksir sisa makanan atau metode Comstock (Gregoire 2007). Menurut Nurdiani (2011) Daya terima makanan dipengaruhi oleh tingkat kesukaan. Semakin tinggi tingkat kesukaan subjek terhadap menu makanan yang disajikan maka daya terima subjek terhadap makanan yang disediakan akan meningkat, begitu pun sebaliknya. Rata-rata daya terima makanan yang disediakan pondok disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Rata-rata daya terima makanan pondok (%)

Menu Rata-rata daya terima Uji beda

VII VIII

Daya terima makanan subjek kelas VII dan VIII rata-rata berkisar 77-87%. Secara umum daya terima makanan subjek kelas VII dan VIII masih <100% atau bersisa 13-23%. Rata-rata daya terima makanan subjek kelas VII dan VIII paling tinggi adalah nasi dan yang paling rendah adalah sayur. Menu makanan yang paling banyak habis berturut-turut adalah nasi, lauk hewani, lauk nabati, dan sayur. Berdasarkan Tabel 9 dari menu makanan yang disediakan, lauk hewani yang paling banyak dihabiskan subjek atau paling sedikit bersisa adalah gulai daging, soto daging, dan ayam goreng. Hal ini sejalan dengan persentase subjek yang menyukai makanan tersebut. Hasil penelitian Giampaoli dan Khanna (2000) menyatakan bahwa lauk hewani menjadi makanan yang paling banyak dihabiskan, sedangkan sayur mayur yang paling sedikit dihabiskan dalam makanan institusi. Makanan yang memiliki rata-rata daya terima paling rendah atau paling banyak bersisa adalah sayur (capcay, tumis kangkung). Hal ini sejalan dengan persentase subjek yang paling rendah menyatakan suka pada sayur dan >40% menyatakan biasa pada menu sayur. Hasil ini sejalan dengan penelitian Betz et al. (2014) yang menyatakan bahwa proporsi sisa makanan yang paling tinggi adalah sayuran.

(36)

20

sejalan dengan pernyataan Nurdiani (2011) yang menyatakan bahwa daya terima makanan dipengaruhi oleh tingkat kesukaan terhadap makanan. Daya terima makanan yang disediakan pondok tidak maksimal. Hal ini disebabkan adanya kebosanan subjek pada menu yang disajikan dan beberapa menu yang kurang disukai subjek. Implikasi jangka panjang dapat menyebabkan status gizi subjek menurun. Selain itu, subjek akan memilih makanan dari luar pondok yang kualitas dan keamanan pangannya tidak terjamin dan hal yang paling dikhawatirkan adalah subjek tidak betah tinggal di asrama.

Asupan Energi dan Zat Gizi

Asupan energi dan zat gizi (Protein. Kalsium. Zat besi. Vitamin A. dan Vitamin C) berasal dari makanan dalam dan luar pondok. Makanan berasal dari dalam pondok disediakan dari dapur pondok sedangkan makanan dari luar pondok berasal dari kantin sekolah dan makanan yang diberi keluarga santri ketika dikunjungi. Rata-rata total asupan energi dan zat gizi subjek belum memenuhi angka kecukupan (Tabel 10).

Tabel 10 Rata-rata asupan energi dan zat gizi subjek

Kelas Asupan

E (kkal) P (g) Ca (mg) Fe (mg) Vit. A (μg RE) Vit. C (mg) VII Rata-rata 1393 39.6 717.43 7.96 957.37 29.84

Stdev 177 5.5 483.04 1.67 531.00 14.84

Min 912 23.9 61.92 4.96 226.03 5.19

Max 1854 51.4 1813.63 10.44 2017.97 95.30

VIII

Rata-rata 1426 40.7 793.90 8.34 946.39 38.32

Stdev 186 6.4 653.34 1.73 605.04 29.86

Min 1107 30.3 55.76 4.98 83.73 9.50

Max 1871 57.8 4034.73 12.59 3234.48 144.49

Rata-rata asupan energi kelas VII dan VIII adalah 1 393 ± 177 kkal dan 1 426 ± 186 kkal. Rata-rata asupan subjek belum memenuhi angka kecukupan. Rata-rata asupan zat gizi subjek kelas VII dan VIII (protein, kalsium, zat besi, dan vitamin C) juga belum memenuhi angka kecukupan (60 g, 1 200 mg, 20 mg, dan 50 mg). Rata-rata asupan Vitamin A sudah memenuhi bahkan lebih (600 μg RE). Asupan energi kelas VII berkisar 912 kkal-1 854 kkal dan kelas VIII 1 107 kkal-1 871 kkal. Diketahui asupan kalsium dan Vitamin C kelas VII berkisar 62.00 mg-1 814 mg dan 5.00 mg-95.00 mg sedangkan kelas VIII berkisar 56.00 mg-4 035.00 mg dan 9.00 mg-144.00 mg, artinya terdapat subjek yang memenuhi angka kecukupan kalsium dan Vitamin C bahkan lebih (1 200 mg dan 65 mg). Asupan subjek yang kurang disebabkan oleh ketersediaan makanan pondok yang masih kurang dari kebutuhan subjek, daya terima makanan yang belum maksimal, dan subjek merasakan bosan terhadap menu makanan pondok.

(37)

21

(2012), asupan energi yang kurang akan memicu penggunaan protein untuk memenuhi kebutuhan energi, sehingga fungsi protein sebagai pengganti jaringan yang rusak tidak optimal selain itu pertumbuhan akan terhambat. Uji beda Mann-Whitney menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara asupan energi dan zat gizi subjek kelas VII dan VIII (p>0.05). Asupan energi dan zat gizi subjek kelas VII dan VIII berasal dari dalam pondok dan luar pondok (Tabel 11)

Tabel 11 Rata-rata asupan energi dan zat gizi dari dalam dan luar pondok Kelas

Zat gizi Dalam pondok Luar pondok Ketersediaan Tingkat asupan (%) dari dalam dan luar pondok. Rata-rata asupan kelas VII dan VIII dari dalam dan luar pondok yang paling besar adalah energi dan paling kecil adalah zat besi. Rata-rata asupan energi dan zat gizi yang berasal dari makanan pondok lebih besar dari luar pondok. Hal ini disebabkan makanan dari pondok merupakan sumber makanan utama subjek, yang terdiri dari makan utama tiga kali dalam sehari. Asupan energi dan zat gizi subjek yang berasal dari luar pondok berasal dari konsumsi subjek ketika jam istirahat pelajaran dan dari bekal keluarga subjek ketika datang menjenguk. Rata-rata asupan yang berasal dari dalam pondok sedikit lebih besar pada subjek kelas VII daripada kelas VIII. Akan tetapi asupan energi dan zat gizi total lebih besar subjek kelas VIII, hal ini disebabkan asupan energi dan zat gizi yang berasal dari luar pondok lebih besar pada subjek kelas VIII dari kelas VII. Diketahui bahwa rata-rata uang saku subjek kelas VIII lebih besar dari subjek kelas VII. Dengan demikian diduga subjek kelas VIII lebih banyak mengonsumsi pangan yang berasal dari luar pondok daripada subjek kelas VII. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Grammatikopoulou (2008) yang menyatakan bahwa uang saku dapat mempengaruhi kemampuan dalam memilih makanan dan pada masa muda uang saku tersebut dapat dihabiskan untuk memilih makanan tinggi energi, lemak, kolesterol, dan gula yang berkontribusi menyebabkan overweight dan obesitas.

(38)

22

Berdasarkan tabel 11, secara umum tingkat asupan terhadap ketersediaan pondok lebih besar pada subjek kelas VII daripada kelas VIII. Hal ini disebabkan asupan energi dan zat gizi subjek kelas VII lebih besar daripada kelas VIII.

Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi

Tingkat kecukupan energi berhubungan dengan pencegahan penggunaan protein (Misrawati 2012). Kecukupan protein berhubungan dengan pertumbuhan, pemeliharaan jaringan dan pencegahan anemia (Syatriani dan Indartanti 2010). Kecukupan kalsium berhubungan dengan pertumbuhan dan pembentukan serta pemadatan tulang (Anderson 2004). Kecukupan zat besi erat kaitannya dengan pencegahan anemia. Kecukupan Vitamin A berkaitan dengan pertumbuhan dan fungsi kekebalan tubuh (Muhilal dan Sulaeman 2004). Vitamin C berkaitan dengan pencegahan anemia (Syatriani dan Aryani 2010). Kecukupan energi dan zat gizi berasal dari asupan pondok dan luar pondok (Tabel 12).

Tabel 12 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi (%)

TK VII VIII

Uji beda Rata-rata SD min max Rata-rata SD Min Max

E 68.8 15.6 37.0 91.0 66.1 10.7 44.0 87.0

P 63.8 10.6 39.0 86.0 58.0 10.6 39.0 86.0 P= 0.038 Ca 59.8 40.3 5.0 151.0 66.0 54.5 5.0 336.0

Fe 36.8 8.8 19.0 52.0 32.0 6.5 19.0 48.0 P= 0.024 Vit. A 159.3 88.5 38.0 336.0 157.8 100.8 14.0 539.0

Vit. C 55.5 30.6 10.0 191.0 59.0 45.9 15.0 222.0

Rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein subjek kelas VII lebih besar dari kelas VIII akan tetapi keduanya tergolong kategori defisit berat menurut Departemen Kesehatan (1996) yang menyatakan bahwa jika tingkat kecukupan energi dan protein <70% dari AKG maka diklasifikasikan dalam defisit berat. Tingkat kecukupan energi kelas VII dan VIII berkisar 43.0-93.0% dan 52.0-88.0%. Menurut Depkes (1996) tingkat kecukupan energi (90-110%) tergolong kategori baik dan (70-90%) tergolong kategori defisit ringan. Tingkat kecukupan protein kelas VII dan VIII berkisar 35.0–86.0% dan 44.0–84.0%. Menurut Depkes (1996) tingkat kecukupan protein (70-90%) tergolong defisit ringan.

(39)

23

pada subjek kelas VII dibandingkan subjek kelas VIII. Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein terlihat bervariasi (Tabel 13).

Tabel 13 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein Kategori orang dan terdapat 1 orang yang memiliki tingkat kecukupan protein defisit ringan sedangkan pada subjek kelas VIII tidak ada yang memiliki tingkat kecukupan energi dan protein dengan kategori baik bahkan lebih. Hanya terdapat 5 orang (12%) yang tergolong defisit ringan untuk kecukupan energi dan 3 orang (7.0%) untuk kecukupan protein. Hal ini serupa dengan hasil penelitian Dewi (2012) di dua pondok pesantren modern di Kabupaten Bogor bahwa sebagian besar subjek memiliki tingkat kecukupan energi dan protein defisit tingkat berat. Penelitian Syatriani dan Aryani (2010) menyatakan bahwa remaja yang kekurangan protein lebih berisiko terkena anemia sebesar 3.48 kali daripada remaja yang tidak kekurangan asupan protein. Sebaran tingkat kecukupan mineral dan vitamin subjek kelas VII dan VIII relatif sama (Tabel 14).

Tabel 14 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan mineral dan vitamin

(40)

24

Indartanti (2014) menyatakan bahwa asupan zat besi yang kurang merupakan penyebab kejadian anemia pada siswi SMPN 9 Semarang. Hasil ini didukung oleh data ketersediaan zat besi dari pondok yang belum memenuhi kebutuhan subjek.

Tingkat kecukupan Vitamin A subjek kelas VII dan VIII sebagian besar tergolong kategori cukup (75.0% dan 73.0%), akantetapi tingkat kecukupan Vitamin C sebagian besar tergolong kategori kurang (84.0% dan 83.0%). Tingkat kecukupan Vitamin C yang kurang disebabkan konsumsi sumber vitamin C yang kurang. Hal disebabkan pondok tidak menyediakan buah sebagai sumber Vitamin C. Naidu (2003) menyatakan bahwa sumber Vitamin C berasal dari buah dan sayur. Hasil penelitian Syatriani dan Aryani (2010) menyatakan bahwa asupan Vitamin C memiliki hubungan dengan kejadian anemia.

Tingkat kecukupan energi dan zat gizi subjek kelas VII dan VIII berasal dari asupan subjek yang mengonsumsi pangan dari dalam dan luar pondok. Sumber makanan keduanya masing-masing berkontribusi terhadap tingkat kecukupan energi dan zat gizi subjek. Berikut disajikan tabel rata-rata kontribusi asupan berdasarkan asal makanan.

Tabel 15 Rata-rata kontribusi tingkat kecukupan energi dan zat gizi berdasarkan asal makanan (%)

Kelas Sumber Energi dan zat gizi

Energi Protein Kalsium Zat besi Vitamin A Vitamin C

VII Dalam pondok 61.0 56.8 54.3 33.2 154.4 45.4

Luar pondok 7.8 7.0 5.5 3.7 5.1 10.4

VIII Dalam pondok 56.5 49.5 51.7 27.4 151.2 39.7

Luar pondok 9.6 8.5 14.4 4.7 6.5 19.2

(41)

25

Hubungan antar Variabel

Hubungan Uang Saku dengan Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara uang saku dengan tingkat kecukupan energi dan zat gizi (p> 0.05). Hal ini disebabkan karena uang saku subjek tidak semuanya dialokasikan untuk membeli jajanan melainkan ditabung ke koperasi yang ada dalam pondok. Selain itu juga santri yang tinggal di pondok terbiasa hidup dalam kebersamaan. Dalam hal ini, subjek yang memiliki uang saku yang lebih banyak akan membeli makanan bukan untuk dihabiskan sendiri, akantetapi dibagi-bagikan dengan teman-temannya. Oleh sebab itu, faktor tersebut diduga penyebab tidak ada hubungan antara uang saku dengan tingkat kecukupan energi dan zat gizi. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Grammatikopoulou (2008) yang menyatakan bahwa uang saku memiliki hubungan dengan asupan energi, lemak, kolesterol, gula, dan karbohidrat.

Hubungan Tingkat Kesukaan dengan Daya Terima Makanan

Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang nyata antara tingkat kesukaan dengan daya terima (p= 0.000; r= 0.623). Hal ini menunjukkan bahwa semakin suka dengan menu makanan yang disediakan pondok maka daya terima terhadap menu yang disediakan juga semakin tinggi dan sebaliknya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nurdiani (2011) bahwa tingkat kesukaan akan mempengaruhi daya terima siswa terhadap menu yang disajikan. Semakin tinggi tingkat kesukaan siswa maka makanan yang dihabiskan akan semakin tinggi.

Hubungan Daya Terima dengan Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi Daya terima terhadap menu makan yang disediakan pondok berkaitan dengan kemampuan subjek untuk menghabiskan makanan sumber energi dan zat gizi. Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara daya terima dengan tingkat kecukupan energi (p=0.000; r=0.811), protein (p=0.000; r=0.720), zat besi (p=0.000; r=0.659), Vitamin A (p=0.000; r=0.472), Vitamin C (p=0.000; r=0.409), dan kalsium (p=0.017; r=0.279). Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak makanan yang dihabiskan maka tingkat kecukupan energi dan zat gizi semakin baik dan sebaliknya. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sutyawan dan Setiawan (2013) yang menyatakan bahwa tingkat kepatuhan (jumlah makanan yang dihabiskan) berhubungan nyata dengan tingkat kecukupan energi dan zat gizi (p<0.05). Hubungan antara Asupan dari Dalam Pondok dan Luar Pondok

(42)

26

pondok maka semakin rendah asupan dari luar pondok dan sebaliknya. Uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara asupan Vitamin C dari dalam pondok dengan luar pondok (p>0.05). Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Sutyawan dan Setiawan (2013) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara asupan dari dalam asrama dengan luar asrama.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penyelenggaraan makanan di Pondok Pesantren Darul Muttaqien dikelola oleh istri pimpinan pondok yang berada dibawah naungan Yayasan. Beberapa komponen penyelenggaraan belum memenuhi standar yang ditentukan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 1096/MENKES/PER/VI/2011 diantaranya: perencanaan menu belum mempertimbangkan kebutuhan energi dan zat gizi dengan benar, fasilitas pencucian kurang memadai, higiene dan sanitasi belum dijalankan dengan benar, dan pegawai belum pernah mendapatkan pelatihan dan pengetahuan mengenai higiene dan sanitasi. Rata-rata daya terima makanan subjek terhadap menu makanan dari pondok adalah sebesar 85%. Secara umum subjek menyatakan suka pada menu makanan yang disediakan pondok. Tingkat kecukupan energi dan zat gizi subjek rata-rata tergolong defisit berat kecuali kecukupan Vitamin A. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan signifikan antara uang saku subjek dengan tingkat kecukupan energi dan zat gizi (p>0.05). Terdapat hubungan positif antara tingkat kesukaan dengan daya terima (p=0.000; r= 0.623). Terdapat hubungan positif antara daya terima dengan tingkat kecukupan energi (p= 0.000; r= 0.811), protein (p= 0.000; r= 0.720), zat besi (p= 0.000; r= 0.659), Vitamin A (p= 0.000; r= 0.472), Vitamin C (p= 0.000; r= 0.409), dan kalsium (p= 0.017; r= 0.279).

Saran

Pondok Pesantren Darul Muttaqien diharapkan lebih memperhatikan kualitas penyelenggaraan makanan dengan cara memperhatikan siklus menu, membuat standar resep, memilih bahan makanan yang beragam, dan memperhatikan ketersediaan makanan sesuai kebutuhan santri. Perlu dilakukan pelatihan mengenai higiene sanitasi kepada penjamah makanan. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai variabel lain seperti analisis anggaran biaya pada penyelenggaraan makanan, riwayat sakit selama di pondok, dan menambah jumlah subjek yang lebih besar.

(43)

27

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama.

Anderson. 2004. Minerals. Dalam Mahan K, Stump SE (Eds.). Food,Nutrition and Diet Therapy 11th ed. Pennsylvania (US). hlm. 120-163.

Anderson J, Fitzgerald C. 2010. Iron: An essential nutrient. FNS [Internet]. [diunduh 2015 Jun 28]; (9) 356. Tersedia pada: http://www.ext.colostate.edu/pubs/foodnut/09356.html.

Arisman. 2004. Buku Ajar Ilmu Gizi dalam daur kehidupan. Jakarta (ID): Buku Kedokteran AGC.

Betz A et al. 2014. Food waste in the Swiss food service industry-Magnitude and potential for reduction Waste Management [Internet]. Swiss (CH): Science direct. [diunduh pada 2015 Jun 29]. Tersedia pada: http://dx.doi.org/10.1016/j.wasman.2014.09.015.

Cooke L, Wardle J. 2005. Age and gender differences in children’s food preferences. British Journal of Nutrition. [Internet]. [diunduh 2015 Jun 28] 93:741-746. Tersedia pada jbssnet.com/journals/Vol5-No-7-June-2014/16.pdf Costell E, Tárrega A, Bayarri S. 2010. Food acceptance: The role of consumer perception and attitudes. Chemosensory Perception 3(1): 42-50. doi.10.1007/s12078-009-9057-1.

Darmiati S. 2008. Hubungan pola makan dan status gizi dengan prestasi belajar remaja puteri pondok pesantren alkhairaat pusat palu [tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada.

[Depkes] Departemen Kesehatan RI. 1996. Pedoman Praktis Pemantauan Gizi Orang Dewasa. Jakarta (ID): Depkes.

. 2001. Rencana Strategi Pembangunan Kesehatan 2001-2004. Jakarta (ID): Dirjen Kesehatan Masyarakat Depkes RI.

Dewi AH. 2012. Hubungan pengetahuan gizi serta tingkat konsumsi terhadap status gizi santri putri di dua pesantren modern di kabupaten bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Drewnowski A, Rehm CD. 2013. Energy intakes of US children and adults by food purchase location and by specific food source. J Nutr. (12): 59. doi:10.1186/1475-2891-12-59.

Fallon S, Enig MG. 2002. Vitamin A saga [Internet]. [diunduh 2015 Jun 28]. Tersedia pada: http://www.westonaprice.org/health-topics/abcs-of-nutrition/vitamin-a-saga/.

Gao FY, Bo S, Jing Y, Qiao MW. 2009. Effects of different cooking methods on health-promoting compounds of broccoli. J Zhejiang Univ Sci B. 10(8): 580-588.doi:10.1631/jzus.B0920051.

(44)

28

Grammatikopoulou M G, Tsinopoulou AG, Daskalou E, Tsigga M, Stylianou C, Kokka P, Emmanouilidou E. 2008. is pocket-money an indicant of dietary intake and obesity? Archives of Disease in Childhood. Vol. 93

Gregoire MB, Spears MC. 2007. Foodservice Organizations: A Managerial and Systems Approach 6th ed. Pearson Education, New Jersey.

Hardinsyah, Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Hurrel R, Egli I. 2010. Iron bioavailability and dietary reference values. Am J Clin Nutr. 91(5): 1461S-1467S.doi: 10.3945/ajcn.2010.28674F.

Indartanti A. 2014. Hubungan status gizi dengan kejadian anemia pada remaja putri. Jurnal of Nutrition College. 3(2): 33-39.

Intiful FD, Ogyiri L, Asante M, Mensah AA, Dadzie RK, Boateng L. 2013. Nutritional status of boarding and non-boarding children in selected schools in the accra metropolis. Journal of Biology, Agriculture and Healthcare. Internet]. [diunduh 2015 Jul 1] 3(7). Tersedia pada: http://www.iiste.org/Journals/index.php/JBAH/article/view/6319/6410 [Kemenkes] Kementerian Kesehatan RI. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 1096/MENKES/PER/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga. Jakarta (ID): Kemenkes RI.

Luo R, Shi Y, Zhang L, Liu C, Rozelle S, Sharbono B. 2009. Malnutrition in China’s rural boarding schools: the case of primary schools in Shaanxi Province. Asia Pacific Journal of Education. 29 (4): 481-501.

Maliye CH, Deshmukh PR, Gupts SS, Ksur S, Mehendele AM, Garg BS. 2006. Nutrient intake amongst rural adolescent girls of Wardha. Indian Journal Pediatrics. 73(2):139-141.

Mardayanti P. 2008. Hubungan Faktor-Faktor Risiko dengan Status Gizi pada Siswa Kelas 8 di SLTPN 7 Bogor [skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia.

Marsh KA, Munn EA, Baines SK. 2012. Protein and vegetarian diets. MJA (2): 7-10.doi:10.5694/mjao11.11492

Masturoh S. 2012. Hubungan tingkat kecukupan konsumsi dan status kesehatan terhadap status gizi santri putri di dua pondok pesantren modern di kabupaten bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Misrawati. 2012. Korelasi asupan zat gizi makro, zat gizi mikro dan aktifitas fisik dengan obesitas pada mahasiswa poltekes kemenkes gorontalo. 5 (1): Poltekes Kemenkes Gorontalo.

Muhilal, Sulaiman A. 2004. Angka kecukupan Vitamin Larut Lemak Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta (ID): Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Moehyi S. 1992. Penyelenggaraan makanan Institusi dan Jasa Boga. Jakarta (ID): Bhratara.

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran tingkat kesukaan dan daya terima makanan serta
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data
Tabel 2 Pengkategorian data
Tabel 3 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik individu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kompo- sisi zat gizi dari beberapa jenis burger dan sumbangannya terhadap total energi dan protein dari kecukupan yang di-

Hasil pada penelitian ini, tidak terdapat perbedaan status gizi, aktivitas fisik, tingkat kecukupan energi, zat gizi makro dan mikro serta kebugaran jasmani antara ketiga

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kontribusi minuman kemasan terhadap tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada siswa sekolah dasar dan menengah di

Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan tingkat kecukupan energi dan zat gizi makro (protein, lemak dan karbohidrat) dengan status gizi siswi

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui keragaan status gizi, aktivitas fisik, konsumsi pangan serta tingkat kecukupan energi dan zat gizi anak sekolah dasar di

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui keragaan status gizi, aktivitas fisik, konsumsi pangan serta tingkat kecukupan energi dan zat gizi anak sekolah dasar di

Hasil penelitian berdasarkan uji korelasi spearman pada tabel 5 hubungan asupan energi dan zat gizi dengan status gizi diperoleh hasil tidak ada hubungan antara

Berdasarkan tabel 3 menunjukkan hubungan antara asupan energi dengan status gizi bahwa dari 30 santri dengan kategori asupan energi defisit terdapat 8 santri 26,7% berstatus gizi