• Tidak ada hasil yang ditemukan

Yodium terdapat di tanah dan di laut dalam bentuk iodida. Tahun 1811 yodium ditemukan dalam ganggang laut oleh Bernard Courtois. Iodida berasal dari kata iode yang dalam bahasa Yunani artinya berwarna ungu. Wilayah yang paling memungkinkan untuk melepaskan yodium di permukaan bumi adalah wilayah pegunungan. Oleh karena itu, defisiensi yodium lebih banyak terjadi pada daerah pegunungan yang mempunyai curah kemasan hujan yang lebih tinggi, sehingga yodium akan terbawa bersama aliran air menuju ke muara terakhir yaitu laut (Picauly 2004).

Yodium di udara dikembalikan lagi ke tanah oleh air hujan dengan proses yang sangat lambat dan konsentrasinya terbatas. Dengan demikian semua tanaman hasil panen yang tumbuh di lahan ini akan mempunyai kandungan yodium yang rendah (Hetzel et al 1996).

Fungsi Yodium

Yodium merupakan mineral yang termasuk unsur gizi esensial meskipun jumlahnya sangat sedikit di dalam tubuh yaitu sekitar 20-30 µg. Oleh sebab itu yodium sering disebut sebagai mineral mikro atau trace element. Walaupun demikian, yodium sangat berfungsi dalam proses pertumbuhan, perkembangan, dan kecerdasan otak manusia maupun hewan (Linder 1992 & Astawan 2003).

Yodium merupakan bagian integral dari kedua hormon tiroksin triiodotironin (T3) dan tetraiodotironin (T4). Fungsi utama hormon-hormon ini adalah mengatur pertumbuhan dan perkembangan. Hormon tiroid mengontrol kecepatan tiap sel menggunakan oksigen. Dengan demikian hormon tiroid mengontrol kecepatan pelepasan energi dari zat gizi yang menghasilkan energi. Tiroksin dapat merangsang metabolisme sampai 30%. Disamping itu kedua hormon ini mengatur suhu tubuh, reproduksi, pembentukan sel darah merah serta fungsi otot dan saraf. Yodium berperan pula dalam perubahan karoten menjadi bentuk aktif vitamin A; sintesis protein dan absorpsi karbohidrat dari saluran cerna. Yodium berperan pula dalam sintesis kolesterol darah (Almatsier 2006).

Proses Metabolisme Yodium

Yodium yang masuk ke dalam tubuh akan melewati tahap pencernaan sampai tahap ekskresi. Ganong (1989) menjelaskan bahwa yodium dalam bahan makanan setelah dicerna akan diubah menjadi iodida, selanjutnya proses

penyerapan akan terjadi dengan cepat dalam waktu 3 sampai 6 menit. Sebagian besar yodium yang telah diubah menjadi iodid diserap melalui usus kecil, kemudian langsung dibawa menuju kelenjar tiroid, tetapi beberapa diantaranya langsung masuk ke dalam saluran darah melalui dinding lambung.

Yodium bergabung dengan molekul tirosin dan membentuk tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) di kelenjar tiroid. Hormon tersebut dikeluarkan ke dalam saluran darah sesuai dengan kebutuhan dan permintaan tubuh. Komposisi T4 sekitar 95% dari hormon tiroid dalam darah atau lebih besar dari T3. Dalam kelenjar gondok, T4 dan T3 bergabung dengan sebuah molekul protein menjadi tiroglobulin dan merupakan bentuk yodium yang siap untuk disimpan (Sauberlich 1999 & Linder 1992).

Selanjutnya T4 dan T3 mengalami metabolisme dalam hati dan dalam kelenjar lainnya, sehingga dari sini dikeluarkan sekitar 60 µg ke dalam cairan ekstra sel. Beberapa derivat hormon tiroid diekskresikan ke dalam empedu, kemudian dikeluarkan ke dalam lumen usus. Dari sini sebagian mengalami sirkulasi enterohepatik, yang lepas dari reabsorpsi akan diekskresikan bersama feses hampir mencapai 20% µg/hr. Pembuangan yodium sebagian besar dilakukan melalui ginjal, sedangkan dalam jumlah yang lebih kecil dikeluarkan juga melalui usus dan keringat. Yodium yang tidak dapat diserap atau yang berasal dari empedu akan dikeluarkan bersama feses (Winarno 1997 & Brody 1999).

Kecukupan Yodium

Konsumsi yodium sangat bervariasi di semua belahan dunia. Adapun kecukupan yodium yang dianjurkan untuk orang Indonesia antara lain:

Tabel 1 Angka Kecukupan Gizi untuk Indonesia dan RDA

No. Kelompok Usia Kecukupan Indonesia (AKG) RDA (µg)

(UNICEF/WHO/ICCIDD)

1 0-9 tahun 50-120 90-120

2 10-59 tahun 150 120-150

3 Wanita hamil 150 (+50) 220

4 Ibu menyusui 150 (+50) 290

Sumber: Risalah WNPG 2000 dan Food and Nutrition (FNB) Institute of Medicine 2001

Defisiensi yodium dapat terjadi pada saat penerimaan yodium kurang dari 50 µg/hr. Asupan yodium pada manusia berasal dari makanan dan minuman yang berasal dari alam sekitarnya. Di Indonesia, sejak tahun 1780 telah ditemukan prevalensi gondok yang cukup tinggi terutama didataran pulau Jawa dan Sumatra (92.5%) serta daerah pegunungan lainnya. Hal ini disebabkan

karena makanan yang dikonsumsi masyarakat tersebut sangat tergantung dari produksi makanan setempat yang tumbuh atau hidup pada kondisi tanah dengan kadar yodium yang rendah (Brody 1999).

Gangguan Akibat Kurang Yodium

Kekurangan yodium yang mengakibatkan gondok telah diketahui sejak lama (Djokomoeljanto 1974). Masalah berkurangnya yodium pada tanah menimbulkan berkurangnya semua bentuk yodium dalam tanaman yang tumbuh. Jadi kerusakan lingkungan akan membuat lingkungan yang kaya yodium menjadi berkurang (Picauly 2004). Masalah GAKY timbul disebabkan penduduk yang tinggal di wilayah dengan lapisan tanah berkadar yodium rendah yang disebabkan banjir, hujan dan proses glasiasi. Gangguan akibat kurang yodium (GAKY) disebabkan karena kurangnya yodium pada saat tumbuh kembang manusia. Gangguan akibat kurang yodium terdiri dari gondok dalam berbagai stadium, kretin endemik yang ditandai terutama oleh gangguan mental, gangguan pendengaran, gangguan pertumbuhan pada anak dan orang dewasa. Ibu hamil dengan kadar tiroksin rendah mempunyai risiko abortus dan kematian bayi (Supariasa dkk 2002).

Sumber Yodium

Yodium dapat diperoleh dari berbagai jenis pangan dan kandungannya berbeda-beda tergantung asal jenis pangan tersebut dihasilkan. Kandungan yodium pada buah dan sayur tergantung pada jenis tanah; jaringan hewan serta produk susu tergantung pada kandungan yodium dari pakan ternaknya; sedangkan pangan asal laut diperoleh dari air laut (Djokomoeljanto 1993).

Seafood merupakan pangan sumber yodium alamiah yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena yodium dalam tanah dapat terbawa pada saat banjir menuju sungai dan pada akhirnya ke laut, sehingga bahan pangan seperti rumput laut; berbagai jenis ikan laut; kepiting; udang dan sampai pada tanaman lain yang tumbuh dan hidup pada daerah sekitar pantai termasuk sumber air minum yang dimiliki mempunyai kandungan yodium yang tinggi (Djokomoeljanto 1993 & Astawan 2003).

Sumber yodium lain adalah garam dan air yang difortifikasi. Garam termasuk dalam sembilan bahan pangan pokok yang diperlukan masyarakat dan oleh karenanya merupakan bahan makanan yang penting. Jenis garam yang di produksi berbeda tiap daerah dalam kandungan yodium dan bentuknya, hal ini tentunya berhubungan dengan kesukaan masyarakat sekitar. Konsumsi garam

beryodium per hari per orang mendekati 10-12 g dimana garam tersebut mengandung 76 µg yodium per g (Picauly 2004). Adapun kandungan yodium dari pangan sumber yodium disajikan dalam tabel 2 berikut ini.

Tabel 2 Kandungan yodium pangan sumber yodium per URT

Bahan Pangan g/takaran saji Kandungan yodium/takaran saji (µg)

Hati sapi 50 6 Ikan asin 25 23.3 Ikan pindang 50 41.9 Ikan laut 82 61.0 Kerang 90 16 Udang 30 24 Telur 60 5.4 Susu 200 14 Bayam 100 13 Agar-agar 95 4.8 Sumber: Nutrisurvey 2007

Defisiensi yodium merupakan sebab pokok terjadinya masalah GAKY dan merupakan kasus yang umum di dunia dimana sebagian besar adalah penderita gondok dan kekerdilan pada anak. Hal ini disebabkan karena kelenjar tiroid melakukan proses adaptasi fisiologis terhadap kekurangan unsur yodium dalam makanan dan minuman yang dikonsumsinya (Djokomoeldjanto 1994). Faktor kelebihan yodium terjadi apabila yodium yang dikonsumsi cukup besar secara terus-menerus. Kelebihan yodium dalam tubuh dikenal sebagai hipertiroid, dimana kelenjar tiroid terlalu aktif memproduksi hormon tiroid. Tanda-tanda yang dapat dikenal adalah merasa gugup, lemah, sensitif terhadap panas, sering berkeringat, hiperaktif, berat badan menurun, nafsu makan bertambah, jari-jari tangan bergetar, jantung berdebar-debar, bola mata menonjol dan denyut nadi bertambah cepat dan tidak beraturan (Soekirman 2000).

Garam Beryodium

Gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) dapat berlanjut menjadi masalah nasional, karena berhubungan dengan kualitas sumber daya manusia yang akhirnya akan menghambat tujuan pembangunan nasional. Upaya yang dilakukan untuk menangani masalah tersebut adalah dengan upaya jangka pendek dan upaya jangka panjang. Upaya jangka pendek dilakukan melalui penyuntikan larutan lipiodol (1974-1991), dan pemberian kapsul minyak beryodium (1992-sekarang). Suplemen kapsul minyak beryodium diberikan kepada kelompok resiko tinggi atau sasaran stategis yaitu wanita usia subur (WUS), ibu hamil, ibu menyusui dan anak sekolah pada daerah yang masuk kategori endemik berat dan sedang. Upaya ini sangat mahal sehingga tidak dapat dilakukan secara berkesinambungan, untuk itu upaya yang paling efektif

dan memungkinkan untuk dilakukan secara berkesinambungan adalah dengan upaya jangka panjang (Suherman 2008).

Adapun upaya jangka panjang yang dilakukan adalah dengan fortifikasi garam konsumsi atau yodisasi garam. Garam yang sudah difortifikasi dengan yodium disebut garam beryodium. Program ini pertama dilakukan pada tahun 1976 dengan bantuan UNICEF. Tujuan program yodisasi garam adalah mentargetkan konsumsi garam beryodium sesuai persyaratan yaitu sebesar 30 – 80 ppm (part per million) di tatanan rumah tangga minimum 90% (Suherman 2008). Kegiatan yang dilakukan dalam rangka memasyarakatkan garam beryodium adalah pemantauan status yodium di masyarakat, peningkatan konsumsi garam beryodium, peningkatan pasokan garam beryodium, penegakan norma sosial dan hukum, dan pemantauan koordinasi lintas sektor, swasta dan penguatan kelembagaan penanggulangan GAKY (Suherman 2008).

Garam beryodium adalah garam yang diperkaya dengan KIO3 (kalium iodat) dalam bentuk larutan pada lapisan tipis garam, sehingga diperoleh campuran yang merata sesuai dengan standar nasional indonesia (SNI) dan mengandung yodium antara 30-80 ppm untuk konsumsi manusia atau ternak, pengasinan ikan dan bahan penolong industri kecuali pemboran minyak, chlor alkali plan (CAP) dan industri kertas pulp. SNI garam konsumsi diterapkan secara wajib terhadap produsen dan distributor sesuai dengan Kepres no 69 tahun 1994 tentang pengadaan garam beryodium untuk melindungi kesehatan masyarakat. Hal ini dikaitkan dengan jumlah garam yang dikonsumsi tiap orang per hari sekitar 6 g atau satu sendok teh setiap hari (Depkes 1997).

Setiap orang dianjurkan mengonsumsi garam beryodium sekitar 6 g atau satu sendok teh setiap hari. Dalam kondisi tertentu, dimana keringat keluar berlebihan, dianjurkan untuk mengonsumsi garam beryodium dua sendok teh sehari. Bagi orang yang menderita hipertensi atau yang harus mengurangi konsumsi garam, tetap mengonsumsi garam beryodium tetapi dalam jumlah yang sedikit dan dianjurkan mengonsumsi makanan dari laut yang kaya akan yodium seperti ikan, udang, ganggang laut (Depkes 1997).

Distribusi dan Penyimpanan Garam Beryodium

Mengingat keterbatasan yang dialami dalam program pemberian kapsul minyak beryodium, pencegahan gondok endemik lebih diarahkan dalam jangka panjang yaitu dengan distribusi garam beryodium dimaksudkan untuk meningkatkan konsumsi zat yodium melalui makanan. Karena produksi garam

beryodium berpusat di suatu tempat, maka untuk menjadi kesinambungan persediaan di daerah perlu dikembangkan jaringan distribusi garam beryodium lintas daerah baik provinsi maupun kabupaten atau kota (Suherman 2008).

Berbagai upaya pencegahan defisiensi yodium pemerintah menganjurkan kepada masyarakat luas agar mampu dan mau menggunakan garam beryodium secara benar. Selain cara penggunaan garam beryodium masyarakat juga diharapkan mengerti cara menyimpan garam beryodium secara baik dan benar yaitu ditempatkan pada tempat yang kering dan ditaruh pada tempat tertutup agar kandungan yodium tidak hilang. Dalam pengolahan garam beryodium dimasukkan setelah diangkat dari perapian dan tertutup (Depkes 1997).

Pengetahuan Gizi

Pengetahuan merupakan hasil pengindraan seseorang terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo 2007). Pengetahuan gizi adalah pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat gizi, serta interaksi antara zat gizi terhadap status gizi dan kesehatan. Pengetahuan gizi yang baik dapat menghindarkan seseorang dari konsumsi pangan yang salah atau buruk. Pengetahuan gizi dapat diperoleh dari pendidikan formal maupun informal. Selain itu juga dapat diperoleh dengan melihat, mendengar sendiri atau melalui alat-alat komunikasi seperti membaca surat kabar dan majalah, mendengar siaran radio dan menyaksikan siaran televisi ataupun melalui penyuluhan kesehatan atau gizi (Suhardjo 1989)

Pengetahuan gizi menjadi landasan penting yang menentukan konsumsi pangan rumah tangga. Individu yang berpengetahuan gizi baik akan mempunyai kemampuan untuk menerapkan pengetahuan gizinya didalam pemilihan maupun pengolahan pangan sehingga konsumsi pangan yang mencukupi bisa lebih terjamin (Khomsan 2000). Salah satu hal yang turut mempengaruhi ketersediaan pangan adalah pengetahuan gizi dalam memilih makanan yang bergizi tinggi. Orang yang tingkat pengetahuannya tinggi cenderung akan memilih dan menyediakan makanan yang lebih murah dengan nilai gizi yang lebih tinggi. Oleh karena itu, upaya meningkatkan jumlah dan mutu konsumsi makanan memerlukan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang makanan yang bergizi, perubahan sikap serta perubahan praktik sehari-hari dalam menentukan, memilih dan mengonsumsi makanannya (Muniarti 2011).

Suhardjo (1989) menyatakan bahwa kurangnya pengetahuan dan salah konsepsi tentang kebutuhan pangan dan nilai pangan, kemiskinan dan kekurangan faktor persediaan pangan yang bergizi merupakan faktor penting dalam masalah kurang gizi. Penyebab lain gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan menerapkan informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan gizi merupakan landasan penting untuk terjadi perubahan sikap dan praktik gizi. Praktik yang didasari pengetahuan akan bertahan lebih lama, oleh sebab itu penting bagi seseorang untuk memperoleh pengetahuan gizi dari berbagai sumber seperti sekolah, media cetak maupun media elektronik. Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan praktik dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan (Maria 2012).

Pengetahuan ibu, termasuk pengetahuan tentang gizi diperoleh melalui pendidikan formal dan non formal. Pendidikan formal adalah jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan dan tempat kronologis yang ketat untuk tingkatan umur populasi sasarannya. Pendidikan informal adalah jenis pendidikan yang berlangsung seumur hidup yang mempelajari seluruh aspek kehidupan (Pranadji 1988, diacu dalam Pratiwi 2006). Tingkat pengetahuan gizi ini, dibagi kedalam 3 kategori, yaitu baik, sedang, dan kurang. Cara pengkategorian dilakukan dengan menetapkan cut-off point dari skor yang telah dijadikan persen. Adapun pengkategorian pengetahuan gizi tersebut adalah kategori baik memiliki skor ≥80%, kategori sedang memiliki skor 60-79.9%, kategori kurang memiliki skor <60% (Khomsan 2000).

Sikap Gizi

Sikap belum merupakan suatu perbuatan (action), tetapi dari sikap seseorang dapat diramalkan perbuatannya. Sikap akan sangat berguna bagi seseorang sebab sikap akan mengarahkan praktik secara langsung. Sikap negatif akan menumbuhkan praktik yang negatif, seperti menolak, menjauhi, meninggalkan, bahkan sampai hal-hal yang merusak. Sikap seseorang terhadap obyek menentukan praktik yang akan timbul dari orang tersebut terhadap obyek. Sikap merupakan fungsi dari pengetahuan, pendapat, keyakinan, penilaian seseorang terhadap obyek tertentu (Pratiwi 2006). Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap antara lain pengalaman

pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media masa, institusi atau lembaga pendidikan dan agama, serta faktor emosional (Maria 2012).

Menurut Notoatmodjo (2005) sikap mempunyai tingkat-tingkat berdasarkan intensitasnya, yaitu: (1) menerima (receiving) diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima stimulus yang diberikan (objek) (2) menanggapi (responding) diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi (3) menghargai (valuing) diartikan subjek atau seseorang memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus dalam arti membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merespon (4) bertanggungjawab (responsible) adalah sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang telah diyakininya.

Pengukuran sikap ini dapat dilakukan dengan menggunakan skala

hedoniclikert type yaitu kepada contoh ditanyakan apakah setuju, ragu-ragu atau tidak setuju terhadap pernyataan yang diberikan (Sanjur 1982).

Praktik Gizi

Berdasarkan Notoatmodjo (2005) suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (cover behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbedaan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Disamping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) daripihak lain. Praktik dibedakan menjadi 3 tingkatan menurut kualitasnya, yaitu:

1. Praktik terpimpin yaitu apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntutan atau menggunakan panduan. 2. Praktik secara mekanis yaitu apabila subjek atau seseorang telah melakukan

atau mempraktikan sesuatu hal secara otomatis

3. Adopsi yaitu suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang, perilakunya sudah berkualitas.

Menurut teori Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2005) praktik ditentukan oleh 3 faktor utama yaitu sebagai berikut:

Faktor-faktor predisposisi (disposing faktors), yaitu faktor-faktor yang mempermudah terjadinya praktik seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dan sebagainya.

Faktor-faktor pemungkin (enabling faktors) adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi praktik atau tindakan, yang dimaksud

faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya suatu praktik.

Faktor-faktor penguat (reinforcing faktors) adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya praktik.

KERANGKA PEMIKIRAN

Karakteristik sosial ekonomi keluarga yang meliputi tingkat pendidikan ibu, tingkat pendapatan rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga dapat berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap dan praktik gizi ibu. Tingkat pendidikan seorang ibu akan dapat berpengaruh terhadap pengetahuan gizinya, hal ini dikarenakan jika seorang ibu memiliki tingkat pendidikan yang tinggi maka ibu tersebut akan cenderung untuk dapat selalu mau menerima pengetahuan yang baru, salah satunya adalah pengetahuan gizi. Selanjutnya jika pengetahuan gizi seorang ibu sudah baik maka akan berpengaruh terhadap sikap gizi lalu outputnya adalah praktik gizi yang baik. Tingkat pendapatan rumah tangga dapat berpengaruh terhadap pola konsumsi suatu keluarga, dengan semakin besarnya pendapatan suatu keluarga maka pola konsumsi keluarga tersebut akan semakin baik dengan pola konsumsi yang baik maka status gizi keluargapun akan baik. Ibu yang memiliki pendidikan yang tinggi akan dapat memilih jenis pangan yang kandungan gizinya baik dengan harga yang murah. Jumlah anggota keluarga juga berpengaruh terhadap pola konsumsi keluarga karena dengan semakin besarnya jumlah anggota keluarga maka setiap anggota keluarga akan mendapatkan bagian makanan yang lebih sedikit dibandingkan dengan keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga yang lebih sedikit.

Selain dipengaruhi oleh karakteristik sosial ekonomi keluarga, faktor yang juga berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap dan praktik gizi ibu. Faktor yang mempengaruhi itu adalah media informasi gizi seperti televisi/ radio, majalah/ koran, kader posyandu, puskesmas/ petugas kesehatan. Saat ini media-media tersebut memegang perannya untuk menyampaikan berbagai informasi dan masyarakat pun sudah terbiasa akan media-media tersebut. Pengetahuan gizi seorang ibu pun dapat diperoleh dari berbagai media tersebut, sehingga media tersebut berpengaruh dalam meningkatkan pengetahuan gizi seorang ibu.

Pengetahuan, sikap dan praktik gizi ibu selanjutnya akan mempengaruhi frekuensi konsumsi pangan sumber yodium, konsumsi pangan goitrogenik, dan penggunaan jenis garam rumah tangga. Frekuensi konsumsi pangan sumber yodium, konsumsi pangan goitrogenik, dan penggunaan garam rumah tangga akan dapat mempengaruhi asupan dan tingkat kecukupan yodium rumah tangga yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap status yodium rumah tangga. Semakin baik pengetahuan gizi seorang ibu maka sikap gizi ibu tersebut akan baik dan pada akhirnya praktik gizi ibu pun akan baik. Praktik gizi yang baik akan

mempengaruhi konsumsi pangan yodium dan penggunaan jenis garam rumah tangga. Konsumsi pangan yodium dan penggunaan jenis garam dapat dikatakan baik jika konsumsi yodiumnya telah mencapai angka kecukupan gizi. Sedangkan untuk pangan goitrogenik mempunyai hubungan yang negatif terhadap pengetahuan, sikap, dan praktik gizi. Jadi semakin baik pengetahuan, sikap, dan praktik gizi seorang ibu maka konsumsi pangan sumber goitrogeniknya akan semakin berkurang. Karena didalam pangan goitrogenik terdapat zat-zat yang dapat menghambat penyerapan yodium.

Keterangan:

: Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti : Hubungan yang diteliti : Hubungan yang tidak diteliti

Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan pengetahuan, sikap dan praktik gizi ibu terhadap konsumsi pangan sumber yodium dan penggunaan jenis garam rumah tangga

Sosial Ekonomi Keluarga Tingkat Pendidikan contoh dan suami Tingkat Pendapatan Rumah tangga

Jumlah anggota rumah tangga

Media Informasi Gizi Televisi/ Radio Majalah/ Koran Kader Posyandu Puskesmas/ Petugas kesehatan

Pengetahuan Gizi Ibu Sikap Gizi Ibu Praktik Gizi Ibu

Konsumsi Pangan Goitrogenik Konsumsi Pangan Sumber Yodium Penggunaan jenis garam beryodium atau tidak beryodium Status Yodium Anggota Rumah Tangga Asupan dan Tingkat Kecukupan Yodium

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian payung dengan judul “Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY) pada Anak Sekolah Dasar: Studi tentang Konsumsi Pangan, Aspek Sosio Budaya dan Prestasi Belajar di Wilayah dengan Agroekologi Berbeda”. Penelitian ini menggunakan desain study cross-sectional

dan pemilihan tempat secara study purposive. Penelitian dilakukan di 6 sekolah dasar di 3 kecamatan wilayah pegunungan Kabupaten Cianjur. Pemilihan tempat tersebut didasarkan karena daerah Cianjur merupakan daerah yang cakupan konsumsi garam beryodiumnya masih rendah (47.2%) dibandingkan dengan cakupan konsumsi garam nasional (62.3%). Hal ini menunjukkan bahwa daerah tersebut merupakan daerah rawan terjadinya GAKY. Contoh pada penelitian ini merupakan ibu atau pengasuh siswa dari 6 sekolah dasar di 3 kecamatan wilayah pegunungan Kabupaten Cianjur yaitu SDN Kertaharja desa Kertaharja dan SDN Pasirpari desa Sindangkerta di kecamatan Pagelaran, SDN Sukajaya desa Pusakajaya dan SDN Gunung Kembang desa Kalibaru di kecamatan Pasir Kuda, SDN Jembar desa Sukaresmi dan SDN Gandasari desa Gandasari di kecamatan Kadupandak. Penelitian dilakukan pada bulan Mei hingga Juli 2012.

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh