• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan sudah dikenalkan sejak abad 18 ketika Thomas Robert Malthus pada tahun 1798 mengajukan hipotesis antara pertumbuhan penduduk dan keterbatasan lahan. Konsep ini kemudian mengemuka dengan terbitnya buku “The Limit to Growth” pada tahun 1972 (Meadows et al. 1972), kemudian mendorong perhatian lebih serius tentang adanya “batas dari pertumbuhan”. Respon terhadap Limit to Growth ini kemudian melahirkan teori pertumbuhan baru yang mengakomodasi keterbatasan sumber daya alam dan dampaknya terhadap lingkungan (Dasgupta dan Heal 1974). Pada saat yang sama terbit pula artikel tentang pertumbuhan dan keterbatasan sumber daya alam tidak punah beserta ekstraksi optimalnya (Stiglitz 1974). Paper Stiglitz ini kemudian disusul pula oleh paper “Intergenerational Equitty and Exhaustible Resources” (Solow 1974). Ketiga paper tersebut membentuk fondasi awal tentang keberlanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan telah menjadi agenda pembangunan global sejak dideklarasikan oleh Brundlandt Commision atau dikenal dengan dokumen Our Common Future yang diterbitkan pada tahun 1987. Defisini pembangunan berkelanjutan dalam dokumen ini diartikan sebagai “ development that meets the need of the present generation without compromising the ability of future

generation to meets their own needs” (pembangunan yang memenuhi kebutuhan

generasi saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang). Dalam konteks ini pembangunan berkelanjutan memiliki dua dimensi yakni dimensi needs atau kebutuhan dan keterbatasan yang dihadapi baik secara teknologi maupun lingkungan. Kates et al. (2005) menjelaskan bahwa meski definisi Our Common Future tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan pembangunan dan keterbatasan lingkungan namun dalam dokumen diperjelas bahwa kebutuhan manusia adalah hal yang mendasar dan konsep pembangunan berkelanjutan berimplikasi adanya batasan (bukan batasan mutlak) namun batasan yang dihadapi berkaitan dengan teknologi, organisasi sosial dan sumber daya alam dan lingkungan.

Menurut Amekudzi et al. (2015) memenuhi mandat pembangunan

berkelanjutan bukan hanya melibatkan sumber daya manusia namun juga sumber daya atau modal lainnya termasuk didalamnya modal lingkungan, modal ekonomi, teknologi, politik dan modal sosial. Dengan demikian dalam konteks kapital atau modal, pembangunan berkelanjutan dapat pula diartikan sebagai pembangunan sumber daya manusia dan modal lainnya termasuk kapasitas modal tersebut dalam menunjang pembangunan dengan dibatasi daya dukung yang ada. Amekudzi et al. (2015) kemudian menjelaskan pula bahwa pembangunan berkelanjutan dapat pula diartikan sebagai “seperangkat kondisi lingkungan, ekonomi, dan sosial dimana seluruh masyarakat memiliki kapasitas dan kesempatan untuk memelihara, memperbaiki kualitas hidupnya tanpa merusak (degradasi) kualitas sumber daya alam dan lingkungan”. Dengan demikian menurut Amekudzi et al. (2015) konsep pembangunan berkelanjutan mempertimbangkan aspek kualitas dan kuantitas dari kehidupan manusia atau kesejahteraan manusia.

Kates et al. (2005 ) lebih lanjut menjelaskan bahwa operasionalisasi konsep pembangunan berkelanjutan memerlukan berbagai jawaban atas pertanyaan apa yang

harus diberlanjutkan, untuk berapa lama dan apa yang harus dikembangkan. Dalam konteks ini yang harus diberlanjutkan bisa saja menyangkut sumber daya alam seperti ekosistim, keaneka ragaman hayati, masyarakat dan juga jasa pendukung kehidupan, sementara yang harus dikembangkan atau dibangun terkait dengan manusia, ekonomi dan masyarakat. Secara lebih rinci pertanyaan tersebut terlihat dalam Gambar 1 berikut ini.

Gambar 1 Definisi pembangunan berkelanjutan

Sebagaimana terlihat pada Gambar 1, dua pertanyaan pembangunan berkelanjutan menyangkut “apa yang harus diberlanjutkan?” (what is to be sustained) dan “apa yang akan dibangun” (what is to be developed). Keduanya kemudian dihubungkan dengan pertanyaan menyangkut dimensi waktu yang dihubungkan melalui kaidah “hanya”, “kemungkinan besar”, “tetapi”, “dan” dan “atau”. Jadi misalnya yang akan diberlanjutkan adalah keanekaragaman hayati apakah “hanya” melalui pembangunan ekonomi atau “kemungkinan besar” melalui pembangunan ekonomi dan sebagainya. Di sebelah kiri Gambar 1 menggambarkan komponen yang menjadi konsen untuk berkelanjutan yakni alam (nature), penunjang kehidupan (life support) seperti jasa lingkungan, sumber daya dan lingkungan, atau komunitas yang terdiri dari budaya kelompok dan tempat. Di sebelah kanan adalah aktifitas yang bisa dikebangkan seperti masyarakat melalui pendidikan atau kesehatan, kegiatan ekonomi seperti melalui konsumsi dan produksi atau masyarakat melalui kelembagaan, modal sosial , negara atau wilayah. Dengan demikian kerangka Kates et al. (2005) tersebut menyangkut aspek yang lebih luas dimana peran ekonomi dan wilayah cukup penting dalam menjalankan mandat pembangunan berkelanjutan.

Sejak dideklarasikan melalui WCED tahun 1987, konsep pembangunan berkelanjutan terus berkembang melalui implementasi agenda pembangunan global seperti Millenium Development Goals yang sudah berakhir tahun 2015 dan kini melalui Sustainable Development Goals atau SDGs. SDGs merupakan agenda yang telah disepakati oleh seluruh dunia melalui resolusi PBB Nomor A/Res/70/1 dimana lima pertimbangan utama yakni People, Planet, Proesperity, Peace dan Partnership menjadi pertimbangan utama dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Kelima aspek di atas kemudian diterjemahkan ke dalam 17 tujuan atau Goals yang dikenal dengan penomoran dan ikon SDGs sebagaimana tertera pada Gambar 2 di bawah ini.

Gambar 2 Tujuan SDGs

Pertumbuhan Inklusif

Konsep pembangunan berkelanjutan telah banyak berrkembang dengan berkembangnya konsep-konsep turunan. Salah satu konsep turunan ini adalah Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif atau sering dikenal dengan inclusive growth. Inklusif diartikan sebagai pertumbuhan yang bersifat inklusif yakni melibatkan peran masyarakat yang lebih luas dan harus bersifat broad based sector (sektor yang lebih luas) (Ianchovichina dan Lundstrom 2009). Pertumbuhan inklusif menjembatani antara variabel makro pertumbuhan dan variabel mikro petumbuhan. Konsep pertumbuhan inklusif menekankan pada aspek kesetaraan (equity), kesempatan kerja yang sama serta pada pasar dan tenaga kerja pada proses transisinya.

Ianchovichina dan Lundstrum (2009) lebih jauh menjelaskan bahwa pertumbuhan inklusif juga fokus pada kecepatan (pace) dan pola dari pertumbuhan. Dengan kata lain pertumbuhan inklusif tidak hanya melihat besaran angka pertumbuhannya, namun lebih penting bagaimana pertumbuhan tersebut dibangkitkan. Oleh karenanya perrtumbuhsn inklusif harus disesuaikan dengan kondisi daerah dan kendala yang dihadapinya.

Pengukuran Pembangunan Berkelanjutan

Konsep pembanguan berkelanjutan selain mengandung kebutuhan dan keterbatasan juga mencakup tujuan (goals) dan value atau nilai (Kates et al. 2005). Untuk mencapai kedua hal tersebut yang menjadi tantangan adalah terkait dengan pengukuran. Kates et al. (2005) mengatakan bahwa meski konsep pembangunan berkelanjutan sering bersifat ambigu namun yang paling serius adalah mendefiniskan dan mengukur indikator pembangunan berkelanjutan itu sendiri. Saat ini secara global ada berbagai pendekatan yang digunakan untuk mengukur pembangunan berkelanjutan tersebut diantaranya adalah Wellbeing Index, Environmental Sustainability Index, Ecological Footprint. Di sisi lain ada juga ukuran yang dikaitkan dengan indikator-indikator makro ekonomi seperti Genuine Progress Indikator, Genuine Saving dan berbagai indikator makro lainnya. Pengukuran indikator ini juga sering dikaitkan dengan tujuan pembangunan jangka menengah dan jangka panjang. Misalnya saja Millenium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan PBB terkait jangka waktu 15 tahun dan pengganti MDGs yang sudah berakhir tahun 2015 ini dengan konsep yang disebut Sustainable Development Goals atau SDGs yang merupakan agenda pembangunan sampai tahun 2030 mendatang.

Menurut Amekudzi et al. (2015) banyaknya keragaman dalam mengukur pembangunan berkelanjutan tersebut karena setiap pendekatan mungkin lebih sesuai digunakan untuk tujuan tertentu dengan demikian tidak ada pendekatan yang sesuai untuk semua aspek. Namun demikian setiap pendekatan pengukuran pembangunan berkelanjutan yang efektif selayaknya memenuhi beberapa kaidah dari kaidah-kaidah berikut ini:

1. Memenuhi definisi keberlanjutan yang jelas dengan tujuan yang terukur. 2. Bersifat interdisiplin (ekonomi, sosial, lingkungan, dlsb).

3. Kemampuan membahas aspek jangka panjang atau konsern antar generasi. 4. Kemampuan untuk mengelola ketidakpastian.

5. Kemampuan untuk membahas interaksi lokal-global.

6. Kemampuan untuk mengakomodasi partisipasi stakeholder (pemangku kepentingan).

7. Kemampuan untuk mengadopsi baik process-based atau outome-based atau aspek statik dan aspek dinamik dari pembangunan berkelanjutan.

Idealnya memang seluruh kaidah tersebut di atas dapat dipenuhi, namun kendala ruang dan waktu sulit memungkinkan terpenuhinya semua kaidah di atas, sehingga memenuhi beberapa kaidah dari tujuh kaidah di atas sudah mencukupi untuk mengukur pembangunan berkelanjutan.

Kebijakan Pembangunan Ekonomi Regional

Kebijakan ekonomi secara umum bertujuan untuk mendapatkan

sumber-sumber daya pembangunan, meningkatkan produktivitas nasional, dan memperbaiki taraf hidup individu dan sosial. Kerangka kebijakan makro ekonomi hendaknya berorientasi kepada perbaikan (transformasi) struktur ekonomi. Perlu disusun grand design dengan pilihan-pilihan kebijakan yang mendukung kaitan antar sektor jasa dan industri secara kontinyu, tetapi juga menciptakan multiplier effect dan

keterkaitan ekonomi antar sektor (Nugraha dan Dahuri 2012). Menurut Firdaus (2013), bahwa kerangka pembangunan wilayah merupakan proses pembangunan yang dapat mengidentifikasi berbagai faktor dalam meningkatkan kapasitas lokal.

Sektor ekonomi suatu wilayah dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu sektor basis dan sektor non-basis. Sektor basis, dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan menyebabkan tersedianya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Intinya industri sektor basis akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar diluar wilayah. Sektor non-basis, adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di daerahnya sendiri, dan kapasitas ekspor daerah belum berkembang (Rustiadi et al. 2011). Lebih lanjut Rustiadi menjelaskan bahwa, kemampuan memacu pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau negara tergantung dari daya saing sektor-sektor ekonomi wilayah dimaksud. Kemudian, nilai strategis setiap sektor menjadi pendorong utama (prime mover) pertumbuhan ekonomi wilayah berbeda.

Pembangunan Regional Berkelanjutan

Sebagaimana telah disebutkan di atas pembangunan berkelanjutan dan pembangunan regional yang bertumpu pada aspek kewilayahan dan aspek ekonomi harus dipadukan menjadi pembangunan wilayah yang berkelanjutan. Integrasi kedua konsep ini menghasilkan konsep pembangunan yang disebut sebagai Sustainable Regional Development atau SRD. Menurut Clement et al. (2003) konsep SRD mengacu pada penggabungan (integrasi) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam pembangunan wilayah. Dengan demikian menurut Clement et al. (2003) SRD melibatkan kegiatan dan instrumen yang mempromosikan pembangunan berkelanjutan ke dalam inisiatif pembangunan wilayah. Fokus pembangunan berkelanjutan pada level wilayah ini didasarkan pada pentingnya peran wilayah sebagai perantara antara kepentingan nasional dan lokal dan berkembangnya konsensus bahwa keberlanjutan merupakan komponen esensial dari pembangunan wilayah di masa mendatang.

Pentingnya perhatian terkait dengan pembangunan berkelanjutan juga didasarkan pada pemikiran bahwa pembangunan wilayah memberikan kontribusi yang cukup besar pada pembangunan nasional. Bahkan pembangunan nasional merupakan resultant atau agregasi dari pembangunan wilayah. Namun demikian pembangunan wilayah tidak semerta-merta kemudian harus dipicu pada aspek ekonomi semata tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan. Dengan demikian harapan pada pembangunan wilayah yang berkelanjutan juga menjadi penting dalam konteks pembangunan nasional secara keseluruhan (Hiding-Reydevik et al. 2004).

Pengukuran Keragaan Pembangunan Wilayah Berkelanjutan

Sebagaimana telah disebutkan pada bagian terdahulu, salah satu tantangan terberat dalam mengukur pembangunan berkelanjutan atau pembangunan wilayah yang berkelajutan (SRD) adalah mengukur keragaan pembangunan berkelanjutan itu sendiri. Ada beberapa metode yang digunakan sebagaimana telah dikemukakan di atas seperti pengukuran indikator biofisik (ecological footprint), pendekatan makro

ekonomi, pengguaan indeks komposit, dan penggunaan Dashboard Sustainability (Antunes et al. 2012). Setiap pendekatan ini tentu memiliki berbagai kelebihan dan kekurangan. Namun satu hal yang penting adalah pengukuran tersebut didasarkan pada indikator-indikator yang relevan dengan konteks pembangunan wilayah.

Untuk mengakomodasi kompleksitas pengukuran dan beragamnya indikator yang digunakan, maka pendekatan Multi Criteria Analasis (MCA) atau Multi Criteria Decision Making (MCDM) sering digunakan sebagai metode yang relatif sederhana namun cukup komprehensif dalam mengukur aspek keberlanjutan pembangunan daerah. Pendekatan MCA misalnya sudah digunakan secara komprehensif untuk mengukur pembangunan wilayah berkelanjutan di Eropa dan negara-negar Nordik (Antunes et al. 2012). Demikian juga dalam konteks evaluasi

keberlanjutan di beberapa negara berkembang seperti Thailand dan Nepal, MCA telah digunakan sebagai instrumen untuk mengevaluasi keberlanjutan melalui pendekatan FLAG (Nijkamp dan Vreeker 2003). Di bawah ini diuraikan

prinsip-prinsip pendekatan Multicriteria Analysis.

Multicriteria Analysis

Multicriteria Analysis (MCA) adalah salah satu metode yang paling sering digunakan di bidang ekonomi ekologi (Huang et al. 2011). Pilihan untuk menggabungkan kriteria ekonomi, ekologis dan sosial yang cocok untuk menjawab permasalahan lingkungan interdisipliner dan kompleks. Teknik pengambilan keputusan multi-variabel berbasis non-parametrik yang melibatkan multi kriteria, maka pembobotan menjadi krusial dalam teknik MCA, selain kriteria juga melibatkan alternatif atau pilihan. MCA merupakan alat analisis kebijakan yang menyangkut berbagai aspek, khususnya untuk alaisis keberrlanjutan. Pendekatan MCA mengakomodasi berbagai kriteria yang dihadapi namun relevan dalam mengambil keputusan tanpa harus mengkonversi ke pengukuran moneter dan proses normalisasi.

Sebuah fitur standar analisis multi-kriteria adalah matriks kinerja, atau matrik konsekuensi, di mana setiap baris menjelaskan pilihan dan masing-masing kolom menggambarkan kinerja dari opsi terhadap setiap kriteria. Penilaian kinerja individu secara numerik, tetapi juga mungkin dinyatakan sebagai poin-poin nilai atau kode warna(Joerin et al. 2000). Matrik kinerja dengan kriteria dan atribut, disajikan dalam matrik keputusan sebagaimana Tabel 1.

Tahapan berikutnya dari MCA adalah menentukan preferensi atau urutan pilihan atau alternatif yang terbaik. Secara prinsip penentuan urutan ini didasarkan pada ketersediaan informasi akan kriteria atau atribut yang dinilai. Jika informasi tersebut tidak tersedia, maka penentun preferensi didasarkan oleh metode sederhana yakni teknik dominance. Teknik ini menilai secara sederhana kriteria yang dominan

diantara kriteria-kriteria yang lain. Jika informasi terkait atribut tersedia, maka penentuan preferensi dilakukan dengan beberapa metode antara lain metode

Weighted Sum Method (WSM), Weighted Product Method (WPM) atau metode yang lebih kompleks seperti TOPSIS (Technique of Ordering Preference

Similarity Under Ideal Solution) atau ELECTRE (Gibson 2006, Shmelev dan Rodriguez-Labajos 2009, Cinelli et al. 2014).

Metode WSM adalah metode yang paling sederhana dimana penentuan ranking atau preferensi merupakan penjumlahan linier antara multi atribut dan bobot dari kriteria atau secara matematik ditulis sebagai

1

untuk

1, 2...

n i ij j i

p

a w

i

n



(2.1) dimana adalah nilai dan keputusan (atribut) dari pilihan atau alternatif dengan

kriteria dan adalah bobot untuk setiap kriteria ke .

Pendekatan MCA sederhana yang lain adalah dengan Weihgted Product Method (WPM) dimana penentuan ranking atau preferensi lebih didasarkan pada perkalian rasio antara alternatif dipangkatkan dengan bobot dari kriteria ke atau secara matematik ditulis

1 j w n p pj j q qj

A

a

R

A

a



(2.2)

dimana adalah alternatif p (misalnya alternatif 1) dan adalah alternatif q (misalnya alternatif 2 atau alternatif 3). Nilai dan menyatakan nilai dan matrik keputusan alternatif p dan q, sementara adalah bobot dari kriteria j.

Selain kedua metode sederhana diatas, beberapa pendekatan penilaian preferensi telah banyak dikembangkan. Salah satu pendekatan ini adalah TOPSIS (Technique of Ordering Preference Similarity Under Ideal Solution). TOPSIS pertama kali dikembangkan oleh Hwang dan Yoon pada tahun 1981 merupakan metode MCA dengan cara memilih jarak terdekat terhadap solusi ideal yang positif dan jarak terjauh dari solusi ideal negatif. Solusi positif ideal adalah solusi yang memaksimumkan kriteria manfaat dan meminimumkan kriteria biaya. Sementara solusi ideal negatif adalah solusi sebaliknya yakni solusi yang memaksimumkan kriteria biaya dan meminimumkan kriteria manfat (Behzdian et al. 2012).

Menurut Behzadian et al. (2012), penggunaan MCA dengan TOPSIS melibatkan lima tahapan yakni : 1. Konstruksi matrik keputusan yang sudah

dinormalisasikan; 2. Konstruksi pembobotan matrik keputusan ternormalisasi; 3. Menentukan solusi ideal positif dan solusi ideal negatif; 4. Menghitung pemisalan

positif dan negatif serta solusi ideal; 5. Menghitung jarak kedekatan relatif terhadap solusi ideal.

Studi dari Behzedian et al. (2012) menunjukan aplikasi yang beragam dalam penggunaan TOPSIS dari aspek tekhnik sampai sosial dan lingkungan termasuk aplikasi pada aspek pembangunan berkelanjutan.

Multi Criteria Analysis (MCA) dan sustainable development

Pencapaian pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses

pengambilan keputusan. Keberhasilan pengambilan keputusan akan sangat

tergantung pada analisis keputusan atau instrumen pengambilan keputusan. Salah satu instrumen tersebut adalah multi criteria aalysis. Sutter (2003)

mengklasifikasikan MCA pada dua kategori umum: 1) Multi-Criteria Attribute Decision Making (MADM), dan 2) Multi-Objective Decision Making (MODM). MCA memiliki karakteristik yang sesuai untuk analisis keberlanjutan karena mampu menangani aspek multi dimensi, ukuran kualitatif dan kumulatif, serta informasi yang tidak sempurna (Omann 2004). Didalam multi criteria analysis untuk analisis keberlanjutan mengandung unsur-unsur yang sesual dengan konteks pembangunan berkelanjutan yakni : 1. Opsi, yakni tujuan dari pembangunan berkelanjutan. Opsi ini tidak harus feasible karena MCA kemudian akan mencari opsi yang feasible. Terminologi lain dari opsi adalah alternatif, skenario atau alasan/penggunaan; 2. Aktor, yakni pengambil keputusan yang berkaitan dengan pembangunan

berkelanjutan seperti kepala daerah, masyarakat, dan lembaga-lembaga terkait; 3. Analisis, yakni fihak yang berkompeten terhadap analisis keberlanjutan seperti

peneliti, perguruan tinggi dan sebagainya; 3. Kriteria, yakni kaidah-kaidah keberlanjutan seperti ambang batas, toleransi dan lain sebagainya; 4. Indikator, yakni instrumen yang mensintesis aspek kualitatif dan kuantitatif, serta tujuan pembangunan berkelanjutan.

Lebih lanjut Omann (2004) mengutip pendapat Munda (1995) menyatakan bahwa analisi MCA pada hakekatnya melibatkan tujuh tahapan seperti terlihat pada gambar 3 berikut ini.

Sebagaimana terlihat pada Gambar 3 tahapan analisis MCA untuk pembangunan berkelanjutan tidak mengukur pola linier, namun kadang mengikuti pola paralel atau kembali ke langkah sebelumnya ketika kriteria baru timbul dan harus di integrasikan.

Multi Criteria Analysis dengan Imprecise Decision Modeling (IDM)

Pada bagian di atas telah diuraikan beberapa tinjauan pustaka terkait dengan teknik analisis multi kriteria. Salah satu yang menjadi kendala dalam analisis MCA adalah sebagian keputusan bersifat subjektif sehingga didalamnya terkandung aspek ketidakpastian dan ketidaksempurnaan informasi. Untuk mengatasi hal tersebut di atas sebagian teknik MCA mengadopsi teknik Fuzzy atau pendekatan Bayesian yang relative lebih kompleks. Salah satu pendekatan baru yang ditawarkan oleh Danielson dan Ekenberg (1998), Danielson (2004) serta Idefedlt dan Danielson (2006) adalah dengan mengembangkan model MCA yang disebut sebagai Imprecision Decision Model atau IDM yang mampu menangani aspek ketidakpastian dan ketidaksempurnaan informasi.

Menurut Danielson (2004) ketidaksempurnan informasi ini bisa timbul dari berbagai hal. Pertama adalah ketidakpastian juga tergantung dan terkait dengan variabel yang tidak terukur. Ketidakpastian yang terukur sering disebut risiko (risk) dan dapat diwakili oleh peluang yang relatif lebih pasti (precise probability). Sementara ketidakpastian yang tidak terukur terjadi diantara situasi konsekuensi

tinggi relatif terhadap frekwensi kemunculan yang rendah. Kedua

ketidaksempurnaan informasi juga bisa muncul karena ketidaksempurnaan menghitung peluang (imprecise probability). Ketiga, ketidaksempurnan informasi

bisa muncul karena faktor ketidaksempurnan mengukur utilitas atau manfaat (imprecise utility). Misalnya seorang perencana mengambil keputusan berdasarkan

ramalan (forecast), namun nilai ramalan ini juga tergantung dari kesalahan dalam peramalan (forecast error). Disisi lain, pengambilan keputusan juga sering melibatkan pengukuran utility atau manfaat yang tidak termoneterkan sehingga sering harus di proxy dalam skala interval, alasannya akan menghasilkan pengukuran utilitas yang tidak sempurna (imprecise utility).

Multi Criterian Analysis dengan IDM pada prinsipnya menghitung nilai harapan dari suatu tujuan dengan mengalikannya dengan peluang kejadian atau

1 1

( i) sk mj ij ij

EV A

wk

P V (2.3)

Dimana

v

ij adalah nilai dari atribut ke I dari alternatif j,

p

ij adalah peluang dari

atribut i dengan alternatif j dan

w

k adalah bobot untuk kriteria ke k . Perhitungan

peringkat atau keputusna yang terbaik dari model IDM didasarkan pada metode delta atau Delta method yang merupakan selisih dari dua nilai harapan di atas yakni

( ) ( )

ij EV Ai EV Aj

   (2.4)

Model IDM kemudian menganalisis kekuatan relatif dari nilai delta di atas dengan cara mencari rataan nilai maksimum dan minimum.

( ) max( ) min( ) / 2 [max( ) max( )] / 2 ij ij ij ij ji rel           (2.5)

Model analisis MCA dengan IDM telah banyak diterapkan di bidang teknik dan ekonomi seperti keputusan terkait dengan investasi (Danielson et al. 2003), analysis terkait dengan keberlanjutan usaha pertambangan di Rosia Montana di Romania (Mihai et al. 2015) dan di bidang kesehatan di Uganda oleh Kivunike et al. (2015). Untuk analisis keberlanjutan di bidang ekonomi regional sampai saat ini masih sedikit atau belum ditemukan, sehingga penelitian ini mungkin bisa dianggap yang pertama yang menggunakan teknik IDM untuk analisis keberlanjutan di bidang pembangunan wilayah.

Penelitian Terdahulu

Penelitian Sustainable Regional Development dan Multi Criteria Analysis

Peneltian-penelitian yang terkait dengan sustainable regional development

memang selama ini tidak banyak. Bahkan untuk Indonesia sampai saat ini belum banyak ditemukan. Oxtavianus (2014) meneliti pembangunan berkelanjutan di Indonesia dalam kaitannya dengan modal sosial, dengan menggunakan data provinsi di Indonesia. Oxtavianus menganalisis tingkat keberlanjutan pembangunan daerah melalui pengukuran indeks komposit untuk 33 provinsi di Indonesia. Hasil analisis Oxtavianus (2014) menggunakan beberapa indikator yang signifikan terhadap capaian keberlanjutan antara lain PDRB perkapita, angka harapan hidup, dan IKLH (Indeks Kualitas Lingkungan Hidup). Selanjutnya Fauzi dan Oxtavianus meneliti tentang pembangunan berkelanjutan pada tingkat provinsi namun dengan kerangka nasional dalam konteks indeks pembangunan berkelanjutan. Fauzi dan Oxtavianus (2014) mengembangkan indeks komposit pembangunan berkelanjutan dengan unit analisis pada tingkat provinsi. Hasil yang ditemukan adalah perbedaan yang mendasar antara menggunakan pengukuran tunggal seperti IPM dan IKLH dengan pengukuran indeks komposit.

Analisis Sustinable Regional Development atau SRD memang lebih banyak

dilakukan di negara-negara maju sebagaimana dikompilasi oleh Hilding-Rydevik

et al. (2004) yang mengkompilasi praktik-praktik sustainable regional development

di negara-negara Nordik. Hilding-Rydevik lebih melihat pembelajaran terkait dengan SRD yang dilakukan oleh negara-negara Nordik kemudian mengembangkan instrument evaluasi SRD dengan berbagai metode dimana salah satu metode yang umum digunakan adalah pendekatan Multi Criteria Analisis (MCA).

Penelitian terkait dengan pembangunan wilayah yang menggunakan MCA juga pernah dilakukan oleh Shmelev dan Rodriquez-Labajos (2009) untuk kasus Austria. Penelitian menggunakan data pada tingkat makro dan data antar waktu.

Shmelev dan Rodriquez-Labajos (2009) menggunakan teknik NAIADE

(Novel Approach to Imprecise and Decision Environment) yang hampir setara dengan teknik IDM, dimana data yang diperoleh bersifat tidak sempurna. Shmelev