• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembangunan Wilayah Berkelanjutan Di Provinsi Jambi Dan Implikasi Model Jamrud

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembangunan Wilayah Berkelanjutan Di Provinsi Jambi Dan Implikasi Model Jamrud"

Copied!
208
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBANGUNAN WILAYAH BERKELANJUTAN

DI PROVINSI JAMBI DAN IMPLIKASI MODEL JAMRUD

NOVITA ERLINDA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Pembangunan Wilayah Berkelanjutan di Provinsi Jambi dan Implikasi Model JAMRUD” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2016

(4)
(5)

NOVITA ERLINDA. Pembangunan Wilayah Berkelanjutan di Provinsi Jambi dan Implikasi Model JAMRUD. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI (Ketua), SLAMET SUTOMO (Anggota), dan EKA INTAN KUMALA PUTRI (Anggota)

Pembangunan berkelanjutan telah menjadi konsen nasional dan wilayah. Pencapaian pembangunan yang seimbang antara aspek ekonomi, sosial dan lingkungan telah menjadi perhatian pengambil kebijakan yakni bagaimana mencapai pembangunan berkelanjutan tersebut secara terukur dan layak. Belakangan konsern pembangunan berkelanjutan juga telah bergeser dari sekeder

konsern global atau internasional ke lebih lokal atau regional (Giaoutzi dan Nijkamp 1993, Nijkamp dan Vreeker 2000, Clement, Hansen, dan Bradley

2003, Patterson dan Theobold 1995). Nijkamp dan Vreeker (2000) menyatakan bahwa pergeseran ini diperkuat dengan fakta bahwa wilayah lebih memiliki demarkasi yang jelas sehingga pengukuran empiris pembangunan berkelanjutan lebih mudah dilakukan dan lebih relevan pada tinggat wilayah.

Perhatian pada integrasi pembanguann berkelanjutan pada tingkat regional telah memicu perkembangan kaidah pembangunan yang disebut sebagai Sustainable Regional Development atau SRD. Dengan demikian SRD pada prinsipnya adalah sebuah konsep yang mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam praktek pengembangan wilayah (Clement et al. 2003). Clement et al (2003) lebih jauh menyatakan bahwa SRD melibatkan berbagai aktivitas dan instrumen yang mendukung pembangunan berkelanjutan di tingkat wilayah. Sehingga integrasi pembangunan berkelanjutan ke pembangunan wilayah merupakan unsur yang penting dalam pembangunan wilayah secara keseluruhan. Schleicher-Tappeser and Lukesch (1999), menyatakan bahwa pembangunan wilayah bukanlah konsep singular yakni bukan hanya mementingkan aspek spasial semata, namun juga kebutuhan akan penilaian kualitatif dan kuantitatif dalam pembangunan wilayah. Dengan demikian SRD mengacu pada aspek konsep dan instrumen integrasi pembangunan (Haughton dan Councel 2004).

Situasi seperti ini dihadapi oleh Provinsi Jambi saat ini. Dengan penduduk lebih kurang 3 juta jiwa dan sebagian besar wilayahnya adalah wilayah konservasi, Provinsi Jambi memiliki target pembangunan yang cukup ambisius melalui agenda JAMBI EMAS (Ekonomi Maju Adil dan Sejahtera) dengan target pertumbuhan ekonomi sekitar 8% per tahun. Namun dalam agenda pembangunan ini, konsern lingkungan dan aspek pembangunan berkelanjutan belum sepenuhnya diakomodasi dalam agenda pembangunan. Jambi EMAS sendiri sudah berakhir pada tahun 2015 dan pada awal 2016, agenda pembangunan Jambi menuju pembangunan baru dengan pemerintahan yang baru. Dengan demikian menjadi penting dalam konteks ini bukan hanya untuk mengevaluasi pembangunan berkelanjutan yang sudah berjalan namun juga bagaimana menawarkan skenario pembangunan berkelanjutan di masa mendatang.

(6)

IDM yang dikembangkan oleh Danielson et al (2003). Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk 1) mengevaluasi tingkat keberlanjutan pembangunan di Provinsi Jambi melalui kerangka SRD, 2) mengembangkan model skenario pembangunan berkelanjutan di Provinsi Jambi dengan mempertimbangkan aspek risiko dan ketidakpastian, dan 3) Memberikan rekomendasi model dan implikasi kebijakan SRD di Provinsi Jambi bagi pembangunan di masa mendatang. Evaluasi keberlanjutan dilakukan dengan menggunakan tiga belas indikator yang meliputi aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Ketiga belas indikator ini kemudian dievaluasi melalui tiga rejim pembangunan berkelanjutan yakni strong, moderate dan weak serta empat skenario kebijakan pembanguann yakni Business as Ususal (BAU), Peningkatan Daya Saing (PDS), Memanfaatkan Sumber Daya Lokal (MSDL), dan pengembangan Ekonomi Non-Ekstraktif (ENE).

Hasil studi menunjukkan bawah pembangunan di Provinsi Jambi dengan skenario business as usual cenderung tidak akan berkelanjutan baik dengan menggunakan basis data perencanaan maupun basis data capaian pembangunan saat ini. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya frekuensi bendera kuning dan merah, bahkan hitam pada skenario BAU. Pembangunan berkelanjutan dengan banyaknya bendera hijau dicapai pada skenario strong progression yang mengindikasikan kuatnya pengendalian lingkungan. Hasil ini juga diperkuat dengan hasil analisis IDM yang menunjukkan bahwa skenario BAU cenderung memiliki risiko yang lebih tinggi, sementara risiko yang lebih kecil akan diperoleh pada skenario pembangunan dengan MSDL dan ENE. Hasil analisis tornado pada IDM juga menunjukkan bahwa beberapa variabel seperti pertumbuhan ekonomi, lahan kritis, hot spot dan kemiskinan cenderung mempengaruhi cukup penting bagi capaian pembangunan berkelanjutan di Provinsi Jambi.

Penelitian ini menawarkan paradigma pembangunan baru bagi pembangunan berkelanjutan di Provinsi Jambi dengan menawarkan model pembangunan yang disebut sebagai model JAMRUD (Jambi Regional sUstainable Development). Paradigma pembangunan ini didasarkan pada pertumbuhan inklusif yang bersifat pro poor dan sektor yang lebih luas serta didukung oleh basis ekonomi hijau. Studi ini menawarkan pula beberapa strategi pembangunan dengan model JAMRUD untuk mendukung skenario pembangunan PDS, MSDL dan ENE. Beberapa diantara skenario tersebut antara lain pengembangan skema Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL), penguatan UMKM yang mendorong pengembangan sumber daya lokal dan ekonomi non-ekstraktif, pengembangan eko-wisata. Selain itu di sektor primer perlu juga dikembangkan pertanian yang berkelanjutan, pengembangan solidarity alternative dan berbagai kebijakan yang didasarkan pada pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Paradigma pembangunan yang ditawarakan dari hasil studi ini juga sejalan dengan beberapa agenda pembangunan yang ditawarkan oleh pemerintah baru Provinsi Jambi yakni Jambi TUNTAS, dan juga mendukung beberapa tujuan dari agenda global terkait dengan Sustainable Development Goals (SDGs).

Keywords: Imprecise Decision Model, Model FLAG, Model JAMRUD,

(7)

NOVITA ERLINDA. Sustainable Regional Development in Jambi Province and Implication JAMRUD Model. Supervised by AKHMAD FAUZI (Chair of Committee), SLAMET SUTOMO (member), and EKA INTAN KUMALA PUTRI (member)

Sustainability has been the major concern of development at both the national and regional level. Achieving balanced economic, social and environmental goals has prompted policy makers to pursue measurable and feasible sustainable indicators of sustainable development. In recent years, concern regarding

sustainability has also shifted from mostly national and international agendas to more local or regional development (Giaoutzi and Nijkamp 1993, Nijkamp and

Vreeker 2000, Clement, Hansen, and Bradley 2003, Patterson & Theobold 1995). Nijkamp and Vreeker (2000) argue that the shift to a more regional development notion of sustainability is due to the fact that the region is properly demarcated: therefore, an empirical or operational measure of sustainability could be performed. In addition, in a region, control and administrative competence are usually regulated, making it more relevant to assess the sustainability of the policy delivered in the region.

Concern about integrating sustainable development into regional development has raised a new notion: Sustainable Regional Development or SRD. Therefore, SRD is the concept of development that integrates sustainable development

principles into regional development practice (Celement et al. 2003). Clement et al (2003) state that SRD encompasses all activities and instruments that

promote sustainable development within regional economic activities. The integration of sustainable development into regional development is arguably important for regional development as a whole. Schleicher-Tappeser & Lukesch (1999), for example, argue that regional development is not a singular concept. While regional development works at the spatial level, it needs qualitative assessment that can be filled with sustainable development concepts. Therefore, in essence, SRD encompasses both integrative concepts and integrative devices (Haughton and Councel 2004).

(8)

agendas that are sustanaible for Jambi Province by taking into account several constraints of achieving the development targets. In this context, the sustainability regional development assessment approach is deemed sustainable for regional development in Jambi Province. It is the objective of this paper to address such an assessment.

This study aims to assess sustainable regional development in Jambi Province using two novel approaches i.e FLAG method (Nijkamp and Ouwersloot 1996) and Imprecise Decision Model (IDM) developed by Danielson et al. (2003). Specifically the study is aimed 1) to assess the state of sustainability, 2) to development policy scenarios for sustainable regional development in Jambi Province, and 3) to provide policy recommendation for suatainable development. Thirteen indicators which encompass economic, social and environmental dimensions were evaluated. The assessment was carried using three different sustainable regime namely strong, moderate and weak, and four policy scenarios i.e, Business as Usual (BAU), Increase competitiveness (PDS), utilizing local resources (MSDL), and development based on non-extractive activities (ENE).

Results from study indicate that existing development in Jambi Province both using planning based data and actual achievement data raised more yellow and red flags. It indicates that existing development will not be sustainable. The green flag, which indicates sustainability will be achieved under strong progression development and this can be achieved if Jambi adopts MSDL and ENE scenarios. These findings are also strengthened by IDM approach where risk and uncertainties were incorporated. The development policy using MSDL and ENE tend to be less riskier than business as usual. Results from Tornado analysis also indicates that certain economic variables such as economic growth and some environmental variables such critical land and hot spot are sensitive to the level of sustainability for Jambi Province.

The study offers new development scenario named as JAMRUD (Jambi Regional sUstainable Development) as a new development paradigm for Jambi Province. This paradigm is based on inclusive growth, green economy and low emission strategies supported by regulation, fiscal and community development. Several strategies are developed among four priority sectors such as developing Payment for Environmental Services (PES), developing small-holder enterprises, eco-tourism, efficient practice of agriculture, sustainable mining, solidarity alternatives for primary sectors, and many others. This paradigm offered from this study is also in line with new development paradigm set by the new provincial government namely, JAMBI TUNTAS and also in line with seventeen goals of Sustainable Development Goals (SDGs).

Keywords: Imprecise Decision Model, JAMRUD model, FLAG approach,

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

DI PROVINSI JAMBI DAN IMPLIKASI MODEL JAMRUD

NOVITA ERLINDA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Henry Bastaman, MES

Kepala Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

2. Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS

Departemen Sains Komunikasi dan

Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia

Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Henry Bastaman, MES

Kepala Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

2. Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS

Departemen Sains Komunikasi dan

Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia

(13)
(14)
(15)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Keberlanjutan Pembangunan Wilayah, dengan judul Pembangunam Wilayah Berkelanjutan di Provinsi Jambi dan Implikasi Model JAMRUD.

Penelitian ini terlaksana dengan baik berkat dukungan dari berbagai pihak,

terutama dari komisi pembimbing. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Akhmad Fauzi, MSc, Bapak Dr. Ir. Slamet Sutomo, MSi, dan Ibu Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS, selaku pembimbing, yang telah banyak

memberikan bimbingan sejak pembentukan ide, perumusan masalah, membangun pola pikir, mengarahkan dalam menentukan metode analisis hingga proses sintesis dan analisis, serta dukungan dan dorongan selama penelitian.

Ucapan terima kasih juga di sampaikan kepada:

1. Prof Dr Ir Bambang Juanda MS selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD).

2. Gubernur Jambi, atas kesempatan tugas belajar yang diberikan sehingga penulis dapat menempuh pendidikan doktor.

3. Kepala Biro Administrasi Pembangunan dan Kerjasama, yang telah memberi izin untuk mengajukan tugas belajar.

4. Ketua Bappeda Provinsi Jambi, yang telah memfasilitasi pelaksanakan FGD di Kantor Bappeda Provinsi Jambi. Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi, Kepala Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jambi, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Kepala Dinas Pertanian Provinsi Jambi, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, yang membantu penulis dalam melengkapi data, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah mensukseskan FGD penelitian penulis di Jambi.

5. Rekan-rekan mahasiswa PWD, khususnya angkatan 2011 atas kerjasama, kebersamaan dan persahabatan yang terjalin.

6. Seluruh staf sekretariat PWD atas bantuannya selama masa perkuliahan sampai selesainya disertasi ini.

7. Orang tuaku terkasih, ayahanda A. Karim, ibunda (Almarhumah) Rosmidar, dan Ibunda Rosmawati atas segala do’a terbaik, kasih sayang, dan dorongan semangat yang selalu menguatkan langkahku.

10.Adik-adikku terkasih Hendriyanto, SH, Santi Kartika, dan Norvatika, S,kom, atas pengertian, do’a yang tiada habisnya.

11.Anak-anakku tersayang M. Affif Muttaqin, dan Fajar Khairullah atas segala doa, pengertian dan kasih yang selalu menjadi penyemangat dan pendorong penulis dalam menjalani studi ini. Karya ini didedikasikan untuk ananda, semoga menjadi motivasi dalam menuntut ilmu.

Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih atas ide-ide para ahli yang tercantum di dalam daftar pustaka, karena tanpa mereka barangkali ide dan tulisan ini tidak akan ada. Penulis menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna, namun penulis tetap berharap semoga karya ini bermanfaat dan menjadi amal baik.

Bogor, April 2016

Novita Erlinda

(16)
(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iv

DAFTAR LAMPIRAN v

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 8

Manfaat Penelitian 8

Ruang Lingkup Penelitian 8

2 TINJAUAN PUSTAKA 9

Konsep Pembangunan Berkelanjutan 9

Kebijakan Pembangunan Ekonomi Regional 12

Multicriteria Analysis 14

Multi Criteria Analysis dengan Imprecise Decision Modeling (IDM) 17

Penelitian Terdahulu 18

Penelitian Sustainable Regional Development dan Multi Criteria Analysis 18

Kebaharuan Penelitian 20

Kerangka Pemikiran 20

Hipotesis 24

3 METODE PENELITIAN 25

Waktu dan Lokasi Penelitian 25

Jenis dan Teknik Pengumpulan Data 25

Rancangan Penelitian 25

Metode Analisis Data 28

Analisis FLAG 28

Analisis TOPSIS normalisasi Data 34

Analisis Imprecise Decision Modeling (IDM) 35

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 37

Kondisi Geografi Provinsi Jambi 37

Isu-isu Strategis Pembangunan di Provinsi Jambi 38

Pembangunan Ekonomi Regional Provinsi Jambi 41

Kondisi Sosial Provinsi Jambi 43

Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Provinsi Jambi 44

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 48

Analisis Keberlanjutan dengan Pendekatan FLAG 48

Baseline Aktual 49

Baseline Perencanaan 55

Analisis ImpreciseDecision Modeling (IDM) 63

Sensitivity Analysis 67

Diagram Tornado 69

Analisis Ambang Batas Keamanan (Security Threshold) 71

Urutan Prioritas 71

Sensitifitas Skenario Kebijakan 73

Analisis Risiko 76

(18)

6 IMPLIKASI DAN ARAH KEBIJAKAN SUSTAINABLE REGIONAL

DEVELOPMENT (SRD) DI PROVINSI JAMBI 82

7 SIMPULAN DAN SARAN 90

Simpulan 90

Saran 91

DAFTAR PUSTAKA 93

LAMPIRAN 97

(19)

DAFTAR TABEL

1 Matriks keputusan 14

2 Matrik penelitian 26

3 Deskripsi world cafe pembangunan wilayah Provinsi Jambi 27

4 Matriks analisis model FLAG 30

5 Matrik dampak kualitatif 30

6 Nilai CTV, CTVmin, dan CTVmax Aktual skenario keberlanjutan kuat 31

7 Nilai CTV, CTVmin, dan CTVmax Aktual skenario keberlanjutan sedang 32 8 Nilai CTV, CTVmin, dan CTVmax Aktual skenario keberlanjutan lemah 32 9 Nilai CTV, CTVmin, dan CTVmax Perencanaan skenario keberlanjutan kuat 33 10 Nilai CTV, CTVmin, dan CTVmax Perencanaan skenario keberlanjutan sedang 33 11 Nilai CTV, CTVmin, dan CTVmax Perencanaan skenario keberlanjutan lemah 34

12 FLAG capaian perencanaan dan capaian aktual 48

13 Tabulasi FLAG padaskenario keberlanjutan kuat baseline aktual 50 14 Perbandingan skenario kebijakan strong pada pada baseline aktual 51

15 Tabulasi FLAG pada skenario keberlanjutan sedang baseline aktual 52

16 Perbandingan skenario kebijakan moderate pada baseline Aktual 53

17 Tabulasi FLAG pada skenario keberlanjutan lemah baseline aktual 54

18 Perbandingan skenario kebijakan weak pada baseline aktual 55

19 Tabulasi FLAG pada skenario keberlanjutan kuat baseline pencanaan 56 20 Perbandingan skenario kebijakan strong pada baseline perencanaan 58 21 Tabulasi FLAG pada skenario keberlanjutan sedang baseline perencanaan 59 22 Perbandingan skenario kebijakanmoderatpada baseline perencanaan 60 23 Tabulasi FLAG pada skenario keberlanjutan lemah baseline perencanaan 61 24 Perbandingan skenario kebijakan weak pada baseline perencanaan 63

25 Data normalisasi TOPSIS 64

(20)

DAFTAR GAMBAR

1 Definisi pembangunan berkelanjutan 10

2 Tujuan SDGs 11

3 Tahapan MCA 16

4 Kerangka pikir penelitian 23

5 Struktur model penelitian 28

6 CTVs Model FLAG (Nijkamp dan Vreeker 2000) 29

7 Peta wilayah administratif Provinsi Jambi 37

8 Laju pertumbuhan ekonomi Jambi dibandingkan dengan rataan nasional 42

9 Sebaran FLAG perencanaan (plan) dan aktual (ak) 48

10 Visualisasi Total FLAG skenario strong dengan baseline aktual 50 11 Visualisasi sebaran FLAG skenario strong dengan baseline aktual 50

12 Visualisasi Total FLAG skenario moderat baseline aktual 52

13 Visualisasi sebaran FLAG skenario moderat baseline aktualaktual 52

14 Visualisasi Total FLAG skenario weak baseline aktual 54

15 Visualisasi sebaran FLAG skenario lemah (weak) baseline aktual 54

16 Visualisasi Total FLAG skenario srtong baseline perencanaan 56

17 Visualisasi sebaran FLAG skenario strong baseline perencanaan 57

18 Visualisasi Total FLAG skenario mederat baseline perencanaan 59

19 Visualisasi sebaran FLAG skenario moderatebaseline perencanaan 59

20 Visualisasi Total FLAG skenario weak baseline perencanaan 61

21 Visualisasi sebaran FLAG skenario weak baseline perencanaan 62

22 Struktur model IDM SRD Provinsi Jambi skenario moderate 65

23 Perbandingan nilai harapan (expected valued) Alt 1 vs Alt 2, Alt 3, Alt 4 66 24 Perbandingan nilai harapan (expected valued) Alt 2 vs Alt 3, Alt 4, dan

Alt 3 vs Alt 4 67

25 Sensitifitas pengambilan keputusan pada skenario moderate 67

26 Profil risiko penuh pada skenario moderate sustainablity 68

27 Profil risiko alternatif kebijakan (middle graph) 68

28 Probability Tornado diagram SRD Jambi pada strong skenario 69

29 Tornado value diagram SRD Jambi pada strong skenario 70

30 Analisis security threshold SRD Jambi pada strong skenario 71

31 Rangking ordinal alternatif kebijakan 71

32 Rangking kardinal alternatif kebijakan SRD Jambi 72

33 Urutan preferensi dari alternatif dan kriteria kebijakan SRD Jambi 73

34 Struktur model IDM SRD Jambi skenario keberlanjutan kuat 74

35 Perbandingan nilai harapan pada strong sustainability (Alt1 vs Alt 2, Alt 3

& Alt 4) 75

36 Perbandiangan nilai harapan pada strong sustainability (Alt 1 vs lainnya) 75 37 Sensitivitas pengambilan keputusan pada skenario strong sustainability 76 38 Profil risiko penuh pada skenario keberlanjutan kuat (strong sustainablity) 76

39 Profil risiko tengah pada skenario keberlanjutan kuat 77

40 Tornado peluang sensitivitas alternatif kebijakan pada skenario 78

41 Tornado nilai sensitivitas alternatif kebijakan pada skenario 79

42 Security threshold alternatif kebijakan pada skenario keberlanjutan kuat 80

(21)

44 Urutan Ordinal hasil sensitivitas alternatif kebijakan pada skenario 81

45 Urutan preferensi dari alternatif dan kriteria kebijakan SRD 81

46 Model Jambi RegionalsUstainable Development (JAMRUD) 85

47 Hubungan strategi kebijakan JAMRUD, Jambi TUNTAS, dan SDGs 89

DAFTAR LAMPIRAN

1 Indikator makro pembangunan berkelanjutan 98

2 Output Multicriteria Analysis : Tools TOPSIS 100

3 Output tools samisoft Model FLAG 102

(22)
(23)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan pada hakekatnya adalah suatu proses menuju ke arah perubahan yang lebih baik, dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang terdistribusi secara adil dan merata. Paradigma pembangunan saat ini diarahkan kepada tercapainya pemerataan (equity), pertumbuhan yang efisien (growth eficiency), dan keberlanjutan (sustainability) yang berimbang dalam pembangunan ekonomi.

Diantara ketiga aspek di atas, aspek keberlanjutan seringkali menjadi tujuan jangka panjang karena menyangkut aspek antar generasi. Sebagaimana dicetuskan oleh World Comission on Economic and Development (WCED) pada tahun 1987, pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Menurut Hersh (2006) pengertian pembangunan berkelanjutan di atas menyatukan tiga faktor utama yakni : 1) Pembangunan yang memenuhi kebutuhan manusia; 2) Perlindungan dan konservasi sumber daya alam dan lingkungan; 3) Pemeliharaan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Sejak dideklarasikannya konsep pembangunan berkelanjutan melalui Rio Declaration pada tahun 1992, berbagai negara kemudian mengadopsi kerangka pembangunan berkelanjutan tersebut dalam agenda pembangunan jangka panjang mereka, melalui agenda pembangunan yang disepakati secara global yakni Millenium Development Goals (MDGs) yang merupakan agenda pembanguan lima belas tahun sejak tahun 2000 sampai tahun 2015. Banyak hal yang telah dicapai dalam agenda MDGs tersebut namun tidak seluruh negara mampu mencapai target MDGs tersebut termasuk Indonesia, dimana hanya sebagian dari tujuan MDGs tersebut dapat dicapai. Dari laporan yang dipublikasi oleh Bappenas terkait dengan capaian Millenieum Development di Indonesia hanya tujuan 1 (pengurangan separuh bagi porsi penduduk berpendapatan kurang dari $1 per kapita per hari), tujuan 3 (rasio APM perempuan terhadap laki-laki) dan tujuan 6 (pengendalian penyebaran dan penurunan penyakit tuberkolosis) dimana Indonesia sudah mencapai target, selebihnya merupakan progres yang signifikan dan bahkan belum tercapai khususnya yang berkaitan dengan aspek lingkungan (Bappenas 2012).

(24)

Komponen Partnership merupakan upaya kerjasama global untuk mewujudkan agenda pembangunan berkelanjutan tersebut. Komponen lima P SDGs ini kemudian diterjemahkan secara rinci ke dalam 17 agenda pembangunan yang mewakili kelima aspek di atas.

Agenda pembangunan baru yakni Sustainable Development Goals atau SDGs yang berlaku sejak 2015 sampai dengan 2030 yang akan datang ini jelas mengedepankan aspek keberlanjutan dari berbagai dimensi yakni ekonomi, sosial dan lingkungan. Indonesia sendiri telah berkomitmen untuk mencapai pembangunan berkelanjutan ini yang telah dituangkan dalam kerangka Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Indonesia (RPJPN) dimana salah satu tujuan

pembangunan Indonesia adalah menuju Indonesia yang hijau dan lestari (UU 17/2007). Namun demikian tantangan menuju tujuan pembangunan

berkelanjutan itu sendiri tidaklah mudah. Sebagaimana dirilis oleh laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI 2014), meski Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang positif, namun kerusakan lingkungan dan deplesi sumber daya alam masih cukup besar. Laporan SLHI 2014 misalnya menyebutkan bahwa degradasi lingkungan dan bencana alam menunjukkan kecenderungan yang meningkat belakangan ini. Pada tahun 2013, Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB) mencatat setidaknya 1.387 kejadian bencana di tahun 2013 dengan tidak kurang dari 800 jiwa meninggal. Sampai akhir Februari 2014 lalu sudah terjadi 372 kejadian bencana dengan 40 diantaranya merupakan bencana banjir. Dari laporan yang dirilis oleh Leitman et al. 2009 dalam Fauzi (2014) degradasi lingkungan dan kerusakan sumber daya alam Indonesia telah dan akan menggerus pendapatan nasional Indonesia antara 0.2% sampai 7% terhadap PDB. Dari beberapa catatan di atas nampak bahwa mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan pada tingkat nasional masih banyak menemui tantangan dan hambatan. Namun demikian komitmen ini tetap menjadi agenda nasional dan bahkan kini telah menjadi agenda pembangunan di daerah.

Sebagaimana telah disebutkan di atas menerapkan kaidah pembangunan berkelanjutan adalah suatu keniscayaan dalam rangka mencapai pembangunan yang berkeadilan. Dalam konteks pembangunan wilayah, kaidah keberlanjutan selain penting dalam mencapai pembangunan daerah yang berkelanjutan juga telah menjadi komitmen pemerintah pusat maupun daerah. Sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 54 tahun 2010 tentang tata cara penyusunan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah, maka baik rencana pembangunan daerah jangka panjang maupun jangka menengah harus diarahkan untuk mewujudkan kehidupan adil dan makmur tanpa harus menimbulkan kerusakan lingkungan yang berkelanjutan dalam mengoptimalkan manfaat sumber daya alam dan sumber daya manusia, dengan cara menserasikan aktivitas manusia dengan kemampuan sumber daya alam yang menopangnya (Permendagri 54/2010 pasal 5 ayat 9). Dari konteks regulasi ini jelas bahwa pembangunan daerah bukan hanya harus sejalan dengan rencana pembangunan nasional namun juga tetap harus mengedepankan aspek keberlanjutan dengan berusaha mengurangi kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari pembangunan daerah. Dengan demikian pembangunan daerah baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka menengah tetap harus mengedepankan aspek keberlanjutan.

(25)

pembangunan daerah dengan konsep yang disebut Sustainable Regional Development atau SRD (Giaoutzi dan Nijkamp 1993, Clement et al. 2003, Patterson dan Theobold 1995, Nijkamp dan Vreeker 2000). Penggerakan menuju SRD ini berdasarkan pertimbangan bahwa daerah atau wilayah memiliki demarkasi yang jelas dan kompetensi administrasi yang lebih terkelola, sehingga implementasi pembangunan berkelanjutan bisa lebih oprasional (Nijkamp 1999).

SRD adalah konsep yang mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam praktek-praktek pembangunan dan perencanaan di daerah

(Clement et al. 2003). Integrasi konsep pembanguanan berkelanjutan ke dalam pembangunan wiayah dan daerah ini sangat penting secara keseluruhan.

Schleicher-Tappeser et al. (1999) menyatakan bahwa pembangunan daerah atau pembangunan wilayah bukanlah konsep tunggal, karena meski pembangunan wilayah sering bergerak pada dimensi spasial namun memerlukan assessment kualitatif dan kuantitatif yang dapat diisi dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian Sustainable Regional Development atau SRD pada hakekatnya merupakan konsep dan perangkat integratif (Haughton dan Councel 2004).

Namun demikian salah satu tantangan dalam implementasi SRD adalah kompleksitas pengukuran pembangunan berkelanjutan yang bersifat multi dimensi dan multi atribut (Fauzi dan Oxtavianus 2014, Lancker dan Nijkamp 2000, Nijkamp 1999, Patterson dan Theobold 1995, Smelev dan Rodriquez-Labajos 2009). Meskipun berbagai penelitian terkait SRD telah banyak dilakukan, kompleksitas assessment keberlanjutan di daerah masih menjadi tantangan tersendiri karena tingkat heterogenitas dan kompleksitas indikator yang harus diukur (Fauzi dan Oxtavianus 2014, Lacker dan Nijkamp 2010, Nijkamp 2009, Patterson dan Theobald 1995, Smelev dan Rodriguez-Labajos 2009).

Masalah seperti ini dihadapi oleh hampir semua provinsi di Indonesia. Setiap daerah mengahadapi berbagai pilihan kebijakan antara pertumbuhan ekonomi, pertimbangan sosial serta pertimbangan lingkungan. Demikian pula halnya dengan Provinsi Jambi. Sebagai salah satu provinsi yang memiliki lokasi strategis di Pulau

Sumatera. Provinsi ini menghadapi trade off pambangunan wilayahnya antara tujuan-tujuan ekonomi, sosial dan lingkungan. Jika dilihat dari IKLH nasional pada

posisi ranking yang menurun dari tahun 2009-2011, masing-masing rangking 7 untuk tahun 2009, ranking 17 untuk Tahun 2010, dan ranking 18 untuk Tahun 2011. IKLH Provinsi Jambi berfluktuatif, namun masih berada diatas rata-rata IKLH nasional. Masing-masing dengan indeks 75,04 (Tahun 2009), 62,82 (Tahun 2010), dan 64,92 (Tahun 2011).

(26)

bahkan pada tahun 2011 laju pertumbuhan ekonomi Jambi berada 2% di atas rata-rata nasional.

Demikian juga halnya jika melihat posisi IPM Jambi terhadap rataan nasional, sebagaimana terlihat pada Lampiran 3 nampak bahwa IPM Jambi selalu berada di atas rataan IPM nasioanal. Namun demikian jika dilihat dari indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH) posisi Jambi memang berfluktuasi terhadap rataan nasional, namun pada tahun 2013 IKLH Jambi kembali berada di atas nasional. Namun demikian perlu dicatat bahwa IKLH ini berfluktuasi karena ada perubahan metode perhitungan terkait dengan komponen IKLH nasional.

Gambaran indikator parsial di atas belum sepenuhnya menggambarkan tingkat keberlanjutan pembangunan Provinsi Jambi karena sebagaiman terlihat bahwa meski laju pertumbuhan ekonomi relatif meningkat selama periode 2010-2014 misalnya, indeks kualitas lingkungan justru cenderung menurun pada periode yang sama. Demikian juga sebaliknya ketika pertumbuhan ekonomi menurun pada periode 2011-2012, indeks kualitas lingkungan Jambi justru meningkat pada periode tersebut. Hal ini menggambarkan bahwa analisis parsial seperti di atas tidak sepenuhnya menggambarkan derajat keberlanjutan pembangunan di Provinsi Jambi.

Gambaran ini kemudian diperkuat oleh studi yang dilakukan oleh Fauzi dan Oxtavianus (2014). Dengan menggunakan indeks komposit yakni menggabungkan ketiga indikator ekonomi, sosial dan lingkungan di atas melalui indeks yang disebut Indeks Pembangunan Berkelanjutan (IPB) nampak bahwa Indeks Pembangunan Berkelanjutan Jambi berfluktuatif dari 66.94 pada tahun 2009 turun menjadi 63.31 pada tahun 2010, dan sedikit naik pada tahun 2011 menjadi 64.66. Dengan kata lain Indeks Pembangunan Jambi pada dua tahun terakhir berada dibawah rata-rata nasional yakni 68.09 pada tahun 2010 dan 68.81 pada tahun 2011 (Lampiran 5).

Dari uraian di atas nampak bahwa penggunaan ukuran pembangunan berkelanjutan secara parsial memiliki kekurangan dan tidak sepenuhnya menggambarkan tingkat keberlanjutan pembangunan di Provinsi Jambi. Oleh karenanya analisis pembangunan berkelanjutan yang lebih komprehensif diperlukan untuk memotret pembangunan Jambi, bukan hanya pada kondisi eksiting namun juga skenario pembangunan Jambi yang berkelanjutan di masa mendatang.

Rumusan Masalah

(27)

Kompleksitas pengukuran tersebut akan dihadapi pula oleh pengambil kebijakan pada tingkat daerah. Sebagaimana dinyatakan oleh Nijkamp dan Vreeker (2000) pembangunan daerah sering menghadapi trade off yang tidak mudah antara fokus pembangunan ekonomi serta sosial dan lingkungan. Pada tatanan daerah, karakteristik wilayah seperti ketersediaan sumber daya alam, kapasitas sumber daya manusia dan pada modal sosial sering tidak menunjang satu sama lain dalam mencapai tujuan pembangunan daerah. Dengan demikian sebagaimana disampaikan oleh Lancker dan Nijkamp (2000) diperlukan suatu penilaian indikator keberlanjutan baik secara kuantitatif maupun kualitatif yang mampu membantu pengambil keputusan tentang apa yang sudah dan sedang terjadi (revealed) dan kemungkinan skenario pembangunan ke depan yang lebih berkelanjutan. Analisis indikator keberlanjutan ini juga sejatinya dapat digunakan untuk meramal (forcasting) terkait dengan hasil-hasil yang telah dicapai sebelumnya dari asessment yang dilakukan.

Situasi tersebut diatas kini dihadapi pula oleh Provinsi Jambi. Secara ekonomi struktur perekonomian Jambi memang lebih banyak ditunjang oleh sektor primer. Sebagaiman terlihat pada Lampiran 1, sektor primer berkontribusi antara 35% sampai 46% terhadap PDRB Jambi. Sektor ini lebih mengandalkan sumber daya alam melalui ekstraksi langsung maupun tidak langsung. Meski sebagian sumber daya alam ini bersifat dapat diperbaharui namun ekstraksi yang melebihi daya dukungnya akan mengancam keberlajutan sumber daya alam tersebut dan pada akhirnya akan berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi dan dampak sosial yang ditimbulkan.

Di sisi lain, Jambi juga memiliki Taman Nasional yang merupakan kawasan strategis yang berfungsi menjadi ekosistem di Jambi itu sendiri namun juga ekosistim regional sumatera dan mungkin ekosistim kawasan Asia tenggara. Kawasan taman nasional ini merupakan kawasan konservasi yang nilai ekonominya sering tidak terlihat (intangible) sehingga rentan terhadap gangguan berupa illegal loging, pembakaran lahan dan berbagai gangguan ekosistem lainnya. Dengan demikian Provinsi Jambi juga selain penting menjaga pertumbuhan ekonominya, juga memiliki mandat yang cukup berat untuk menjaga kawasan konservasinya.

Selain itu, Jambi memiliki posisi strategis dalam kawasan Sumatera dan kedekatannya dengan pusat pertumbuhan lain seperti Singapore dan Malaysia. Dengan berkembangnya pasar bebas ASEAN melalui MEA (Masyarakat Ekonomi Asean), maka posisi Jambi tentu akan sangat berperan penting ke depan bukan hanya dalam konteks pembangunan Provinsi Jambi itu sendiri namun juga dalam konteks pembangunan nasional. Disamping itu Jambi juga harus berkompetisi terhadap povinsi di wilayah sumatera yang relatif lebih berkembang. Dari hasil studi Kementrian keuangan tentang indeks daya saing 13 provinsi di Indoensia, nampak bahwa Indeks Daya Saing Provinsi Jambi masih berada di bawah Riau dan Bangka belitung, namun sedikit di atas Provinsi Sumatera Utara dan Bengkulu. Dengan demikian menjadi tantangan tersendiri bagi Provinsi Jambi untuk meningkatkan daya saing secara ekonomi namun juga memiliki wilayah konservasi yang cukup luas di antara provinsi lain di wilayah Sumatera.

(28)

Pertama yang menyangkut alih fungsi lahan. Dari sebuah situs lingkugan hidup1, diketahui bahwa pengelolaan lingkungan di Provinsi Jambi masih dikalahkan oleh ekstraksi sumber daya alam khususnya yang berkaitan alih fungsi lahan untuk perkebunan sawit. Masalah yang cukup dominan di bidang lingkungan misalnya terkait dengan pembalakan liar, kebakaran hutan, konflik manusia dengan satwa, hingga terganggunya hak-hak penduduk asli. Masalah ini terus berlanjut sepanjang tahun, bahkan sebagaimana diberitakan oleh harian Kompas2 pada tanggal 2 April 2016 lalu, pembukaan jalan yang menembus taman nasional dikhawatirkan akan menambah permasalahan lingkungan dengan makin terancamnya keaneka ragaman hayati serta fungsi hutan lindung sebagai penyangga ekosistim, ekonomi, dan lingkungan.

Salah satu penyebab konlfik ekonomi dan lingkungan di Provinsi Jambi adalah terjadinya kesenjangan kepemilikan atau penguasaan lahan antara korporasi dengan masyarakat. Sebagaiamana disebutkan oleh LSM KKI Warsi di Jambi, pengusaaan lahan di Provinsi Jambi oleh HTI sudah mencapai 687.234 hektar dan HPH 72.095 hektar. HGU Untuk perkebunan kepala sawit mencapai 171.08,421 hektar. Sedangkan untuk pengakuan hak kelola masyarakat melalui skema hutan desa yang sudah disahkan menteri baru 54 ribu hektar. Kesenjangan ini yang kemudian memicu konflik lingkungan di Jambi selain dari berbagai aspek yang diantaranya seperti disebutkan di atas.

Pembalakan liar misalnya, data yang tercatata sampai tahun 2012 mencapai 38 kasus dengan perkiraan kerugian mencapai Rp 12,1 milyar. Demikian juga halnya dengan kebakaran hutan dan lahan yang telah mencapai 2282 hotspot dengan luas kebakaran mencapai 1300 kawasan. Kebakaran hutan ini bukan saja merugikan ekosistim hutan itu sendiri namun juga menimbulkan kerugian ekonomi dan sosial yang berdampak lebih luas. Kualitas udara yang buruk menyebabkan meningkatnya penderita ISPA hingga mencapai 1.685.126 kasus. Demikian juga kerugian ekonomi yang diderita akibat asap ini melebar ke sektor penerbangan dan kegiatan ekonomi lainnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan terjadinya shock pada laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jambi pada tahun 2015. Walaupun selama kurun waktu empat

tahun terakhir (2011-2014), laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jambi berada rata-rata diatas 7%, dan mencapai puncaknya pada tahun 2011 lalu yakni 8.54%.

Namun apa yang terjadi di tahun 2015, diluar dugaan capaian pertumbuhan ekonomi Jambi yang ditargetkan dalam RPJM 2010-2015 sebesar 8% hanya tercapai sebesar 4.21%. Hal ini diduga terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan nasional . Selain itu kemarau panjang dan bencana asap yang masif di tahun 2015 lalu diduga berpengaruh dalam memperlambat perputaran ekonomi di Provinsi Jambi. Kejadian ini menunjukkan bahwa perencanaan juga tidak luput dari risiko dan ketidakpastian (Erlinda, 2016b)3.

Akibat dari permasalahan diatas, pemerintah harus mengeluarkan anggaran yang cukup besar untuk menangani masalah gangguan terhadap lingkungan. Pada Tahun 2012 diperkirakan Pemda Jambi mengeluarkan lebih dari Rp 3 milyar untuk penebaran benih hujan. Dana ini merupakan biaya korbanan yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kegiatan produktif lainnya. Permasalah lingkungan lain juga

1

www.mongabay.co.id

2

Arief Tongkagie, Harian Kompas 2 April 2016

2

Arief Tongkagie, Harian Kompas 2 April 2016

3

(29)

muncul dengan meningkatnya bencana banjir dan longsor yang sampai tahun 2012 tercatat 23 kasus banjir dan 9 kasus losngsor. Sementara konflik manusia dengan satwa mencapai lebih dari 20 kasus (KK Warsi, 2012).

Dari uraian di atas, nampak bahwa perencanaan yang mengedepankan aspek ekonomi semata dengan tidak memperhatikan aspek keberlanjutan akan menimbulkan ongkos pembangunan yang cukup mahal bagi Provinsi Jambi itu sendiri, yakni berupa ongkos sosial dan lingkungan yang harus dibayar dari uang pajak. Kesemuanya ini merupakan eksternalitas negatif dari perencanaan pembangunan yang terlalu mengedepankan aspek ekonomi.

Pada kerangka pembangunan Jangka Menengah 2010-2015, Provinsi Jambi telah menggulirkan Slogan Pembangunan “JAMBI EMAS” (Ekonomi Maju Masyarakat Adil dan Sejahtera), namun demikian sampai berakhirnya agenda pembangunan tersebut, target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% sulit dicapai. Demikian juga dengan indikator sosial seperti tingkat kemiskinan yang masih relatif besar (7,92%) dan indeks kualitas lingkungan yang tidak tercapai sesuai dengan target yang diinginkan.

Program JAMBI EMAS sendiri telah berakhir pada tahun 2015 dan agenda pembangunan baru untuk lima tahun ke depan terbingkai dalam visi Jambi TUNTAS. Agenda pembangunan baru ini selain harus lebih realistis harus pula mengacu pada kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan terutama adopsi konsep SRD ke dalam pembangunan Jambi di masa mendatang. Selain itu kepentingan pembangunan lima tahun ke depan juga harus didasarkan pada kepentingan stake holder dan indikator pembangunan berkelanjutan yang lebih komprehensif. Berdasarkan kerangka pikir tersebut maka analisis tentang pembangunan di Provinsi Jambi dilakukan. Selain itu meskipun analisis keberlanjutan yang menggunakan indeks komposit seperti yang telah dilakukan oleh Fauzi dan Oxtavianus (2014), indeks komposit ini baru menggambarkan tiga indikator utama pilar pembangunan berkelanjutan yakni pertumbuhan ekonomi, IPM dan IKLH. Dengan demikian

diperlukan pengukuran pembangunan yang lebih komprehensif dengan

menggunakan indikator pembangunan yang lebih luas. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jambi telah dicanangkan beberapa indikator yang ingin dicapai dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungan serta tata kelola pemerintahan. Indikator-indikator ini perlu di analisis sejauh mana dapat dicapai dan apakah pencapaiannya (aktual) sesuai dengan apa yang direncanakan atau tidak. Penelitian semacam ini belum pernah dilakukan baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat regional dan khususnya untuk Provinsi Jambi sendiri.

Disertasi ini mencoba menjawab permasalah di atas dengan terlebih dahulu menguji tingkat keberlanjutan dan menawarakan opsi-opsi kebijakan baru yang lebih berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan selain untuk mengetahui tingkat keberlanjutan pembangunan wilayah di Provinsi Jambi dengan mengunakan indikator dari pembangunan berkelanjutan juga diharapkan dapat membantu pengambil keputusan di tingkat provinsi untuk mengembangkan skenario kebijakan pembangunan yang lebih berkelanjutan di masa mendatang.

Berdasarkan uraian diatas, dilakukan penelitian dengan judul

“PEMBANGUNAN WILAYAH BERKELANJUTAN DI PROVINSI JAMBI DAN

(30)

1. Bagaimana tingkat keberlanjutan pembangunan wilayah di Provinsi Jambi ditinjau dari Sustainable Regional Development (SRD) framework?

2. Bagaimana skenario pembangunan berkelanjutan di Provinsi Jambi dengan mempertimbangkan aspek risiko dan ketidakpastian?

3. Bagaimana model dan implikasi kebijakan SRD di Provinsi Jambi bagi pembangunan di masa yang mendatang?

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah melakukan assessment pembangunan di Provinsi Jambi dalam kerangka pembangunan daerah berkelanjutan. Secara khusus, penelitian ini bertujuan :

1. Mengevaluasi tingkat keberlanjutan pembangunan di Provinsi Jambi melalui Sustainable Regional Development (SRD) framework.

2. Mengembangkan model skenario pembangunan berkelanjutan di Provinsi Jambi dengan mempertimbangkan aspek risiko dan ketidakpastian.

3. Memberikan rekomendasi model dan implikasi kebijakan SRD di Provinsi Jambi bagi pembangunan di masa yang mendatang.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam menentukan arah dan prioritas kebijakan ekonomi regional dalam Sustainable Regional Development (SRD) framework. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran kepada :

1. Ilmu Pengetahuan

Sebagai referensi dalam melakukan assessment pembangunan wilayah

berkelanjutan dengan pendekatan Model FLAG, khususnya tentang opsi kebijakan dalam implementasi Sustainable Regional Development (SRD) framework. Disamping itu juga perlunya mempertimbangkan risiko dan ketidakpastian dalam perencanaan dan existing pembangunan wilayah berkelanjutan dengan pendekatan Imprecise Dicition Modeling (IDM).

2. Praktisi

Sebagai pertimbangan dalam menentukan prioritas aksi untuk memasukkan biaya kerusakan lingkungan dalam neraca ekonomi regional.

3. Stakeholders

Sebagai sumber informasi dalam memilih kebijakan untuk pembangunan yang lebih berkelanjutan dimasa yang akan datang.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dilakukan di level regional Provinsi Jambi sebagai unit analisis. Cakupan aspek indikator yang diukur dibatasi pada indikator-indikator ekonomi,

sosial dan lingkungan yang telah dicanangkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jambi selama periode llima tahun

(31)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan sudah dikenalkan sejak abad 18 ketika Thomas Robert Malthus pada tahun 1798 mengajukan hipotesis antara pertumbuhan penduduk dan keterbatasan lahan. Konsep ini kemudian mengemuka dengan terbitnya buku “The Limit to Growth” pada tahun 1972 (Meadows et al. 1972), kemudian mendorong perhatian lebih serius tentang adanya “batas dari pertumbuhan”. Respon terhadap Limit to Growth ini kemudian melahirkan teori pertumbuhan baru yang mengakomodasi keterbatasan sumber daya alam dan dampaknya terhadap lingkungan (Dasgupta dan Heal 1974). Pada saat yang sama terbit pula artikel tentang pertumbuhan dan keterbatasan sumber daya alam tidak punah beserta ekstraksi optimalnya (Stiglitz 1974). Paper Stiglitz ini kemudian disusul pula oleh paper “Intergenerational Equitty and Exhaustible Resources” (Solow 1974). Ketiga paper tersebut membentuk fondasi awal tentang keberlanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan telah menjadi agenda pembangunan global sejak dideklarasikan oleh Brundlandt Commision atau dikenal dengan dokumen Our Common Future yang diterbitkan pada tahun 1987. Defisini pembangunan berkelanjutan dalam dokumen ini diartikan sebagai “ development that meets the need of the present generation without compromising the ability of future

generation to meets their own needs” (pembangunan yang memenuhi kebutuhan

generasi saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang). Dalam konteks ini pembangunan berkelanjutan memiliki dua dimensi yakni dimensi needs atau kebutuhan dan keterbatasan yang dihadapi baik secara teknologi maupun lingkungan. Kates et al. (2005) menjelaskan bahwa meski definisi Our Common Future tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan pembangunan dan keterbatasan lingkungan namun dalam dokumen diperjelas bahwa kebutuhan manusia adalah hal yang mendasar dan konsep pembangunan berkelanjutan berimplikasi adanya batasan (bukan batasan mutlak) namun batasan yang dihadapi berkaitan dengan teknologi, organisasi sosial dan sumber daya alam dan lingkungan.

Menurut Amekudzi et al. (2015) memenuhi mandat pembangunan

berkelanjutan bukan hanya melibatkan sumber daya manusia namun juga sumber daya atau modal lainnya termasuk didalamnya modal lingkungan, modal ekonomi, teknologi, politik dan modal sosial. Dengan demikian dalam konteks kapital atau modal, pembangunan berkelanjutan dapat pula diartikan sebagai pembangunan sumber daya manusia dan modal lainnya termasuk kapasitas modal tersebut dalam menunjang pembangunan dengan dibatasi daya dukung yang ada. Amekudzi et al. (2015) kemudian menjelaskan pula bahwa pembangunan berkelanjutan dapat pula diartikan sebagai “seperangkat kondisi lingkungan, ekonomi, dan sosial dimana seluruh masyarakat memiliki kapasitas dan kesempatan untuk memelihara, memperbaiki kualitas hidupnya tanpa merusak (degradasi) kualitas sumber daya alam dan lingkungan”. Dengan demikian menurut Amekudzi et al. (2015) konsep pembangunan berkelanjutan mempertimbangkan aspek kualitas dan kuantitas dari kehidupan manusia atau kesejahteraan manusia.

(32)
[image:32.595.43.494.179.487.2]

harus diberlanjutkan, untuk berapa lama dan apa yang harus dikembangkan. Dalam konteks ini yang harus diberlanjutkan bisa saja menyangkut sumber daya alam seperti ekosistim, keaneka ragaman hayati, masyarakat dan juga jasa pendukung kehidupan, sementara yang harus dikembangkan atau dibangun terkait dengan manusia, ekonomi dan masyarakat. Secara lebih rinci pertanyaan tersebut terlihat dalam Gambar 1 berikut ini.

Gambar 1 Definisi pembangunan berkelanjutan

(33)
[image:33.595.108.509.243.509.2]

Sejak dideklarasikan melalui WCED tahun 1987, konsep pembangunan berkelanjutan terus berkembang melalui implementasi agenda pembangunan global seperti Millenium Development Goals yang sudah berakhir tahun 2015 dan kini melalui Sustainable Development Goals atau SDGs. SDGs merupakan agenda yang telah disepakati oleh seluruh dunia melalui resolusi PBB Nomor A/Res/70/1 dimana lima pertimbangan utama yakni People, Planet, Proesperity, Peace dan Partnership menjadi pertimbangan utama dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Kelima aspek di atas kemudian diterjemahkan ke dalam 17 tujuan atau Goals yang dikenal dengan penomoran dan ikon SDGs sebagaimana tertera pada Gambar 2 di bawah ini.

Gambar 2 Tujuan SDGs

Pertumbuhan Inklusif

Konsep pembangunan berkelanjutan telah banyak berrkembang dengan berkembangnya konsep-konsep turunan. Salah satu konsep turunan ini adalah Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif atau sering dikenal dengan inclusive growth. Inklusif diartikan sebagai pertumbuhan yang bersifat inklusif yakni melibatkan peran masyarakat yang lebih luas dan harus bersifat broad based sector (sektor yang lebih luas) (Ianchovichina dan Lundstrom 2009). Pertumbuhan inklusif menjembatani antara variabel makro pertumbuhan dan variabel mikro petumbuhan. Konsep pertumbuhan inklusif menekankan pada aspek kesetaraan (equity), kesempatan kerja yang sama serta pada pasar dan tenaga kerja pada proses transisinya.

(34)

Pengukuran Pembangunan Berkelanjutan

Konsep pembanguan berkelanjutan selain mengandung kebutuhan dan keterbatasan juga mencakup tujuan (goals) dan value atau nilai (Kates et al. 2005). Untuk mencapai kedua hal tersebut yang menjadi tantangan adalah terkait dengan pengukuran. Kates et al. (2005) mengatakan bahwa meski konsep pembangunan berkelanjutan sering bersifat ambigu namun yang paling serius adalah mendefiniskan dan mengukur indikator pembangunan berkelanjutan itu sendiri. Saat ini secara global ada berbagai pendekatan yang digunakan untuk mengukur pembangunan berkelanjutan tersebut diantaranya adalah Wellbeing Index, Environmental Sustainability Index, Ecological Footprint. Di sisi lain ada juga ukuran yang dikaitkan dengan indikator-indikator makro ekonomi seperti Genuine Progress Indikator, Genuine Saving dan berbagai indikator makro lainnya. Pengukuran indikator ini juga sering dikaitkan dengan tujuan pembangunan jangka menengah dan jangka panjang. Misalnya saja Millenium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan PBB terkait jangka waktu 15 tahun dan pengganti MDGs yang sudah berakhir tahun 2015 ini dengan konsep yang disebut Sustainable Development Goals atau SDGs yang merupakan agenda pembangunan sampai tahun 2030 mendatang.

Menurut Amekudzi et al. (2015) banyaknya keragaman dalam mengukur pembangunan berkelanjutan tersebut karena setiap pendekatan mungkin lebih sesuai digunakan untuk tujuan tertentu dengan demikian tidak ada pendekatan yang sesuai untuk semua aspek. Namun demikian setiap pendekatan pengukuran pembangunan berkelanjutan yang efektif selayaknya memenuhi beberapa kaidah dari kaidah-kaidah berikut ini:

1. Memenuhi definisi keberlanjutan yang jelas dengan tujuan yang terukur. 2. Bersifat interdisiplin (ekonomi, sosial, lingkungan, dlsb).

3. Kemampuan membahas aspek jangka panjang atau konsern antar generasi. 4. Kemampuan untuk mengelola ketidakpastian.

5. Kemampuan untuk membahas interaksi lokal-global.

6. Kemampuan untuk mengakomodasi partisipasi stakeholder (pemangku kepentingan).

7. Kemampuan untuk mengadopsi baik process-based atau outome-based atau aspek statik dan aspek dinamik dari pembangunan berkelanjutan.

Idealnya memang seluruh kaidah tersebut di atas dapat dipenuhi, namun kendala ruang dan waktu sulit memungkinkan terpenuhinya semua kaidah di atas, sehingga memenuhi beberapa kaidah dari tujuh kaidah di atas sudah mencukupi untuk mengukur pembangunan berkelanjutan.

Kebijakan Pembangunan Ekonomi Regional

Kebijakan ekonomi secara umum bertujuan untuk mendapatkan

(35)

keterkaitan ekonomi antar sektor (Nugraha dan Dahuri 2012). Menurut Firdaus (2013), bahwa kerangka pembangunan wilayah merupakan proses pembangunan yang dapat mengidentifikasi berbagai faktor dalam meningkatkan kapasitas lokal.

Sektor ekonomi suatu wilayah dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu sektor basis dan sektor non-basis. Sektor basis, dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan menyebabkan tersedianya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Intinya industri sektor basis akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar diluar wilayah. Sektor non-basis, adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di daerahnya sendiri, dan kapasitas ekspor daerah belum berkembang (Rustiadi et al. 2011). Lebih lanjut Rustiadi menjelaskan bahwa, kemampuan memacu pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau negara tergantung dari daya saing sektor-sektor ekonomi wilayah dimaksud. Kemudian, nilai strategis setiap sektor menjadi pendorong utama (prime mover) pertumbuhan ekonomi wilayah berbeda.

Pembangunan Regional Berkelanjutan

Sebagaimana telah disebutkan di atas pembangunan berkelanjutan dan pembangunan regional yang bertumpu pada aspek kewilayahan dan aspek ekonomi harus dipadukan menjadi pembangunan wilayah yang berkelanjutan. Integrasi kedua konsep ini menghasilkan konsep pembangunan yang disebut sebagai Sustainable Regional Development atau SRD. Menurut Clement et al. (2003) konsep SRD mengacu pada penggabungan (integrasi) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam pembangunan wilayah. Dengan demikian menurut Clement et al. (2003) SRD melibatkan kegiatan dan instrumen yang mempromosikan pembangunan berkelanjutan ke dalam inisiatif pembangunan wilayah. Fokus pembangunan berkelanjutan pada level wilayah ini didasarkan pada pentingnya peran wilayah sebagai perantara antara kepentingan nasional dan lokal dan berkembangnya konsensus bahwa keberlanjutan merupakan komponen esensial dari pembangunan wilayah di masa mendatang.

Pentingnya perhatian terkait dengan pembangunan berkelanjutan juga didasarkan pada pemikiran bahwa pembangunan wilayah memberikan kontribusi yang cukup besar pada pembangunan nasional. Bahkan pembangunan nasional merupakan resultant atau agregasi dari pembangunan wilayah. Namun demikian pembangunan wilayah tidak semerta-merta kemudian harus dipicu pada aspek ekonomi semata tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan. Dengan demikian harapan pada pembangunan wilayah yang berkelanjutan juga menjadi penting dalam konteks pembangunan nasional secara keseluruhan (Hiding-Reydevik et al. 2004).

Pengukuran Keragaan Pembangunan Wilayah Berkelanjutan

(36)

ekonomi, pengguaan indeks komposit, dan penggunaan Dashboard Sustainability (Antunes et al. 2012). Setiap pendekatan ini tentu memiliki berbagai kelebihan dan kekurangan. Namun satu hal yang penting adalah pengukuran tersebut didasarkan pada indikator-indikator yang relevan dengan konteks pembangunan wilayah.

Untuk mengakomodasi kompleksitas pengukuran dan beragamnya indikator yang digunakan, maka pendekatan Multi Criteria Analasis (MCA) atau Multi Criteria Decision Making (MCDM) sering digunakan sebagai metode yang relatif sederhana namun cukup komprehensif dalam mengukur aspek keberlanjutan pembangunan daerah. Pendekatan MCA misalnya sudah digunakan secara komprehensif untuk mengukur pembangunan wilayah berkelanjutan di Eropa dan negara-negar Nordik (Antunes et al. 2012). Demikian juga dalam konteks evaluasi

keberlanjutan di beberapa negara berkembang seperti Thailand dan Nepal, MCA telah digunakan sebagai instrumen untuk mengevaluasi keberlanjutan melalui pendekatan FLAG (Nijkamp dan Vreeker 2003). Di bawah ini diuraikan

prinsip-prinsip pendekatan Multicriteria Analysis.

Multicriteria Analysis

Multicriteria Analysis (MCA) adalah salah satu metode yang paling sering digunakan di bidang ekonomi ekologi (Huang et al. 2011). Pilihan untuk menggabungkan kriteria ekonomi, ekologis dan sosial yang cocok untuk menjawab permasalahan lingkungan interdisipliner dan kompleks. Teknik pengambilan keputusan multi-variabel berbasis non-parametrik yang melibatkan multi kriteria, maka pembobotan menjadi krusial dalam teknik MCA, selain kriteria juga melibatkan alternatif atau pilihan. MCA merupakan alat analisis kebijakan yang menyangkut berbagai aspek, khususnya untuk alaisis keberrlanjutan. Pendekatan MCA mengakomodasi berbagai kriteria yang dihadapi namun relevan dalam mengambil keputusan tanpa harus mengkonversi ke pengukuran moneter dan proses normalisasi.

Sebuah fitur standar analisis multi-kriteria adalah matriks kinerja, atau matrik konsekuensi, di mana setiap baris menjelaskan pilihan dan masing-masing kolom menggambarkan kinerja dari opsi terhadap setiap kriteria. Penilaian kinerja individu secara numerik, tetapi juga mungkin dinyatakan sebagai poin-poin nilai atau kode warna(Joerin et al. 2000). Matrik kinerja dengan kriteria dan atribut, disajikan dalam matrik keputusan sebagaimana Tabel 1.

(37)

Tahapan berikutnya dari MCA adalah menentukan preferensi atau urutan pilihan atau alternatif yang terbaik. Secara prinsip penentuan urutan ini didasarkan pada ketersediaan informasi akan kriteria atau atribut yang dinilai. Jika informasi tersebut tidak tersedia, maka penentun preferensi didasarkan oleh metode sederhana yakni teknik dominance. Teknik ini menilai secara sederhana kriteria yang dominan

diantara kriteria-kriteria yang lain. Jika informasi terkait atribut tersedia, maka penentuan preferensi dilakukan dengan beberapa metode antara lain metode

Weighted Sum Method (WSM), Weighted Product Method (WPM) atau metode yang lebih kompleks seperti TOPSIS (Technique of Ordering Preference

Similarity Under Ideal Solution) atau ELECTRE (Gibson 2006, Shmelev dan Rodriguez-Labajos 2009, Cinelli et al. 2014).

Metode WSM adalah metode yang paling sederhana dimana penentuan ranking atau preferensi merupakan penjumlahan linier antara multi atribut dan bobot dari kriteria atau secara matematik ditulis sebagai

1

untuk

1, 2...

n

i ij j

i

p

a w

i

n

(2.1)

dimana adalah nilai dan keputusan (atribut) dari pilihan atau alternatif dengan

kriteria dan adalah bobot untuk setiap kriteria ke .

Pendekatan MCA sederhana yang lain adalah dengan Weihgted Product Method (WPM) dimana penentuan ranking atau preferensi lebih didasarkan pada perkalian rasio antara alternatif dipangkatkan dengan bobot dari kriteria ke atau secara matematik ditulis

1 j w n p pj j q qj

A

a

R

A

a

(2.2)

dimana adalah alternatif p (misalnya alternatif 1) dan adalah alternatif q (misalnya alternatif 2 atau alternatif 3). Nilai dan menyatakan nilai dan matrik keputusan alternatif p dan q, sementara adalah bobot dari kriteria j.

Selain kedua metode sederhana diatas, beberapa pendekatan penilaian preferensi telah banyak dikembangkan. Salah satu pendekatan ini adalah TOPSIS (Technique of Ordering Preference Similarity Under Ideal Solution). TOPSIS pertama kali dikembangkan oleh Hwang dan Yoon pada tahun 1981 merupakan metode MCA dengan cara memilih jarak terdekat terhadap solusi ideal yang positif dan jarak terjauh dari solusi ideal negatif. Solusi positif ideal adalah solusi yang memaksimumkan kriteria manfaat dan meminimumkan kriteria biaya. Sementara solusi ideal negatif adalah solusi sebaliknya yakni solusi yang memaksimumkan kriteria biaya dan meminimumkan kriteria manfat (Behzdian et al. 2012).

Menurut Behzadian et al. (2012), penggunaan MCA dengan TOPSIS melibatkan lima tahapan yakni : 1. Konstruksi matrik keputusan yang sudah

dinormalisasikan; 2. Konstruksi pembobotan matrik keputusan ternormalisasi; 3. Menentukan solusi ideal positif dan solusi ideal negatif; 4. Menghitung pemisalan

(38)

Studi dari Behzedian et al. (2012) menunjukan aplikasi yang beragam dalam penggunaan TOPSIS dari aspek tekhnik sampai sosial dan lingkungan termasuk aplikasi pada aspek pembangunan berkelanjutan.

Multi Criteria Analysis (MCA) dan sustainable development

Pencapaian pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses

pengambilan keputusan. Keberhasilan pengambilan keputusan akan sangat

tergantung pada analisis keputusan atau instrumen pengambilan keputusan. Salah satu instrumen tersebut adalah multi criteria aalysis. Sutter (2003)

mengklasifikasikan MCA pada dua kategori umum: 1) Multi-Criteria Attribute Decision Making (MADM), dan 2) Multi-Objective Decision Making (MODM). MCA memiliki karakteristik yang sesuai untuk analisis keberlanjutan karena mampu menangani aspek multi dimensi, ukuran kualitatif dan kumulatif, serta informasi yang tidak sempurna (Omann 2004). Didalam multi criteria analysis untuk analisis keberlanjutan mengandung unsur-unsur yang sesual dengan konteks pembangunan berkelanjutan yakni : 1. Opsi, yakni tujuan dari pembangunan berkelanjutan. Opsi ini tidak harus feasible karena MCA kemudian akan mencari opsi yang feasible. Terminologi lain dari opsi adalah alternatif, skenario atau alasan/penggunaan; 2. Aktor, yakni pengambil keputusan yang berkaitan dengan pembangunan

berkelanjutan seperti kepala daerah, masyarakat, dan lembaga-lembaga terkait; 3. Analisis, yakni fihak yang berkompeten terhadap analisis keberlanjutan seperti

peneliti, perguruan tinggi dan sebagainya; 3. Kriteria, yakni kaidah-kaidah keberlanjutan seperti ambang batas, toleransi dan lain sebagainya; 4. Indikator, yakni instrumen yang mensintesis aspek kualitatif dan kuantitatif, serta tujuan pembangunan berkelanjutan.

Lebih lanjut Omann (2004) mengutip pendapat Munda (1995) menyatakan bahwa analisi MCA pada hakekatnya melibatkan tujuh tahapan seperti terlihat pada gambar 3 berikut ini.

(39)

Sebagaimana terlihat pada Gambar 3 tahapan analisis MCA untuk pembangunan berkelanjutan tidak mengukur pola linier, namun kadang mengikuti pola paralel atau kembali ke langkah sebelumnya ketika kriteria baru timbul dan harus di integrasikan.

Multi Criteria Analysis dengan Imprecise Decision Modeling (IDM)

Pada bagian di atas telah diuraikan beberapa tinjauan pustaka terkait dengan teknik analisis multi kriteria. Salah satu yang menjadi kendala dalam analisis MCA adalah sebagian keputusan bersifat subjektif sehingga didalamnya terkandung aspek ketidakpastian dan ketidaksempurnaan informasi. Untuk mengatasi hal tersebut di atas sebagian teknik MCA mengadopsi teknik Fuzzy atau pendekatan Bayesian yang relative lebih kompleks. Salah satu pendekatan baru yang ditawarkan oleh Danielson dan Ekenberg (1998), Danielson (2004) serta Idefedlt dan Danielson (2006) adalah dengan mengembangkan model MCA yang disebut sebagai Imprecision Decision Model atau IDM yang mampu menangani aspek ketidakpastian dan ketidaksempurnaan informasi.

Menurut Danielson (2004) ketidaksempurnan informasi ini bisa timbul dari berbagai hal. Pertama adalah ketidakpastian juga tergantung dan terkait dengan variabel yang tidak terukur. Ketidakpastian yang terukur sering disebut risiko (risk) dan dapat diwakili oleh peluang yang relatif lebih pasti (precise probability). Sementara ketidakpastian yang tidak terukur terjadi diantara situasi konsekuensi

tinggi relatif terhadap frekwensi kemunculan yang rendah. Kedua

ketidaksempurnaan informasi juga bisa muncul karena ketidaksempurnaan menghitung peluang (imprecise probability). Ketiga, ketidaksempurnan informasi

bisa muncul karena faktor ketidaksempurnan mengukur utilitas atau manfaat (imprecise utility). Misalnya seorang perencana mengambil keputusan berdasarkan

ramalan (forecast), namun nilai ramalan ini juga tergantung dari kesalahan dalam peramalan (forecast error). Disisi lain, pengambilan keputusan juga sering melibatkan pengukuran utility atau manfaat yang tidak termoneterkan sehingga sering harus di proxy dalam skala interval, alasannya akan menghasilkan pengukuran utilitas yang tidak sempurna (imprecise utility).

Multi Criterian Analysis dengan IDM pada prinsipnya menghitung nilai harapan dari suatu tujuan dengan mengalikannya dengan peluang kejadian atau

1 1

( i) sk mj ij ij

EV A

wk

P V (2.3)

Dimana

v

ij adalah nilai dari atribut ke I dari alternatif j,

p

ij adalah peluang dari

atribut i dengan alternatif j dan

w

k adalah bobot untuk kriteria ke k . Perhitungan

peringkat atau keputusna yang terbaik dari model IDM didasarkan pada metode delta atau Delta method yang merupakan selisih dari dua nilai harapan di atas yakni

( ) ( )

ij EV Ai EV Aj

   (2.4)

(40)

( ) max( ) min( ) / 2

[max( ) max( )] / 2

ij ij ij

ij ji

rel   

 

 

  (2.5)

Model analisis MCA dengan IDM telah banyak diterapkan di bidang teknik dan ekonomi seperti keputusan terkait dengan investasi (Danielson et al. 2003), analysis terkait dengan keberlanjutan usaha pertambangan di Rosia Montana di Romania (Mihai et al. 2015) dan di bidang kesehatan di Uganda oleh Kivunike et al. (2015). Untuk analisis keberlanjutan di bidang ekonomi regional sampai saat ini masih sedikit atau belum ditemukan, sehingga penelitian ini mungkin bisa dianggap yang pertama

Gambar

Gambar 1 Definisi pembangunan berkelanjutan
Gambar 2 Tujuan SDGs
Gambar 4 Kerangka pikir penelitian
Tabel 2 Matrik penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk hasil uji simultan, hipotesis menunjukkan bahwa bukti fisik, kehandalan, daya tanggap, empati dan jaminan juga secara bersama-sama memiliki pengaruh

Hasil dari menggunakan Regresi Multinomial logistic di dapatkan tidak ada variabel yang signifikan mempengaruhi cakupan K4 dimana Sig > α (0,05) sehingga tidak ada satupun variabel

Kecelakaan ditempat kerja bisa disebabkan oleh dua faktor yaitu tindak perbuatan manusia yang tidak memenuhi keselamatan dan keadaan lingkungan yang tidak

Hal inilah salah satunya yang menjadi alasan Fakultas Ekonomi Universitas Insan Cendekia Mandiri (UICM) Bandung melaksanakan kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat

Fogli (2006, dalam Kazi Omar Siddiqi 2011 : 13) mendefinisikan kualitas layanan sebagai "penghakiman global atau sikap berkaitan dengan layanan tertentu, keseluruhan

Kentang yang cocok untuk industri keripik harus mempunyai kandungan gula <0,05%, bobot kering >20%, kandungan bahan padatnya tinggi ( ≥ 16,7%), bentuk umbi baik, dan

Sekolah Dasar Negeri (SDN) Bandungsari Kecamatan Sukodadi Kabupaten Lamongan adalah salah satu instansi pemerintah dan merupakan Sekolah Berstandar Nasional ( SSN ) yang

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah penelitian yang mengungkapkan secara rasional tentang keresahan-keresahan yang ditemui penulis dalam langkah diplomasi