• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Tinjauan Pustaka

Remaja melakukan suatu perbuatan untuk mencari identitas diri, ingin menunjukan kemampuannya pada orang lain. Remaja mengalami perkembangan mental dan pertumbuhan fisik yang belum stabil. Sejalan dengan hal itu remaja perlu sekali mendapatkan bimbingan dan arahan untuk menemukan jati dirinya dan meminimalkan perilaku yang menyimpang. Sementara dari sudut perkembangan fisik, remaja dikenal sebagai suatu tahap perkembangan fisik mencapai kematangannya. Ini berarti keadaan bentuk tubuh pada umumnya memperoleh bentuk yang sempurna dimana pada akhir peran perkembangan fisik seorang pria yang berotot dan mampu menghasilkan spermatozoa setiap kali berejakulasi dan bagi wanita bentuk badan juga sudah kelihatan terbentuk dengan

commit to user

perubahan pada payudara serta berpinggul besar setiap bulan mengeluarkan sel telur yang tidak disenyawakan. Masa puber bagi lelaki adalah ketika bermimpi basah yang pertama dan pada perempuan setelah haid. Rentangan usia remaja menurut Anonim (2000), mengemukakan batas-batas umur remaja menjadi dua periode, yaitu sebagai berikut :

1). Periode masa puber, usia 12-18 tahun.

a. Masa pra pubertas yaitu peralihan dari akhir masa kanak-kanak ke masa awal pubertas.

b. Masa pubertas atau masa remaja awal, usia 14-16 tahun. c. Masa akhir pubertas yaitu peralihan dari masa pubertas ke

masa adolescence, usia 17 -18 tahun.

2). Periode masa remaja, usia 19-21 tahun merupakan masa akhir remaja. Hurlock (1978) menulis bahwa jika dibagi berdasarkan bantuk-bentuk perkembangan dan pola-pola perilaku yang nampak khas bagi usia tertentu, maka ia menuliskan rentang usia remaja adalah:

a. Masa remaja awal, yaitu usia 13/14-17 tahun. b. Masa remaja akhir, yaitu usia 17-21 tahun.

Riyanti dkk (1996) mengungkapkan bahwa masa remaja terbagi menjadi dua, yaitu :

a. Periode remaja awal atau early adolescence : 13-17 tahun b. Periode remaja akhir atau late adolescence : 17-18 tahun.

commit to user

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa masa remaja berada pada rentang usia 13-21 tahun, dimana masa remaja ini dibagi lagi menjadi dua rentang usia yaitu masa remaja awal yang berada pada rentang usia 13-17 tahun dan masa remaja akhir pada usia 17-21 tahun (Indah Oktavianti, 2009)

Sedangkan menurut Granville S. Hall dalam buku Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja karangan Syamsu Yusuf, ciri-ciri khas remaja awal adalah ketidakstabilan keadaan perasaan dan emosi, pada masa ini perasaan remaja sangat peka, remaja mengalami badai dan topan dalam kehidupan, perasaan dan emosinya. Keadaan semacam ini diistilahkan sebagai “ storm and stress”. Sehingga sikap dan sifat remaja yang terlihat bersemangat tiba-tiba menjadi lesu, rasa percaya diri berubah menjadi keraguan yang berlebihan. Hal ini terjadi pada siswa SMP yang berusia sekitar 13-15 tahun. Sikap dan sifat mereka belum stabil dipengaruhi oleh emosi dan lingkungan disekitarnya. Pada usia yang tergolong masa remaja awal, mereka menuntut kebebasan tetapi mereka sering takut bertanggung jawab atas apa yang telah mereka perbuat. Perilaku membolos adalah hysteria massal yang terjadi pada akhir-akhir ini. Perilaku membolos merupakan suatu bentuk kenakalan remaja yang terjadi pada masa pertumbuhan mereka. Kenakalan remaja (juvenile delinquency) mempunyai arti yang khusus dan terbatas pada suatu masa tertentu yaitu masa remaja sekitar umur 13-21 tahun.

commit to user

Faktor yang dapat mempengaruhi anak menjadi nakal dan liar berasal dari kondisi keluarga yang kurang harmonis dan status sosial ekonomi yang rendah. Remaja yang berasal dari status sosial ekonomi rendah merasa tidak bisa mendapatkan obyek yang sangat diinginkannya sehingga mereka mengalami frustasi dan tekanan batin. Karena banyaknya rintangan, tekanan batin dan frustasi tersebut para remaja lalu menolak etika masyarakat dan segala norma sosial serta hukum yang dianggapnya sebagai tidak adil ( Kartono, 2003)

W.A Gerungan (2002) mengatakan bahwa keadaan status sosial ekonomi keluarga mempunyai peranan terhadap perkembangan anak-anaknya. Dengan adanya pengasilan yang cukup, lingkungan material yang dihadapi anak didalam keluarganya akan lebih memadahi, sehingga ia mendapat kesempatan yang lebih luas untuk mengembangkan bermacam-macam kecakapan. Hubungan sosial dengan orang tuanya pun agak berlainan coraknya bila orang tuanya hidup dalam status ekonomi serba cukup dan kurang mengalami tekanan-tekanan fundamental seperti dalam hal memperoleh nafkah hidup yang memadai. Orang tuanya dapat mencurahkan perhatian yang lebih mendukung kepada masalah pendidikan anak-anaknya dan tidak dibebani dengan masalah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer dalam keluarga.

Warner dkk dalam Soekanto (1990) mengatakan bahwa perilaku sosial para remaja secara fungsional berhubungan dengan posisi keluarganya dalam struktur sosial ekonomi mereka. Keluarga yang lebih

commit to user

kecil mempunyai kemungkinan lebih besar untuk memperlakukan anaknya secara demokratis dan lebih baik untuk kelekatan anak dengan orangtua (Hurlock, 1978). Dan seorang anak yang dilahirkan pada sebuah keluarga yang berstatus sosial ekonomi tinggi akan mengalami pola latihan yang berbeda dengan yang diberikan terhadap anak yang dilahirkan dalam keluarga yang berstatus ekonomi kurang. Hal ini dikarenakan perbedaan dalam skala kehidupan misalnya dalam hal jumlah dan kualitas barang serta jasa yang dikonsumsi. Oleh karena itu pola kebutuhan dan keinginan anak yang berasal dari keluarga berstatus ekonomi tinggi akan berbeda dengan anak-anak dari keluarga yang berstatus ekonomi rendah.

Menurut Chabib Thoha (1996:109) mengemukakan bahwa pola asuh orang tua adalah suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada anak. Pengaruh keluarga dalam pembentukan dan perkembangan kepribadian anak mempunyai pengaruh yang besar. Jika pendidikan keluarga dapat berlangsung dengan baik maka mampu menumbuhkan perkembangan kepribadian anak menjadi manusia dewasa. Orang tua dalam mengasuh anaknya orang tua dipengaruhi oleh budaya yang ada di lingkungannya. Di samping itu, orang tua juga dipengaruhi oleh sikap-sikap tertentu dalam memelihara, membimbing, dan mengarahkan putra-putrinya. Sikap tersebut tercermin dalam pola pengasuhan kepada anaknya yang berbeda-beda, karena orang tua mempunyai pola pengasuhan

commit to user

tertentu. Pola asuhan itu menurut Stewart dan Koch (1983: 178) terdiri dari tiga kecenderungan.

a. Pola asuh otoriter :

Pola asuh yang otoriter akan terjadi komunikasi satu arah (hanya orang tua yang berbicara). Orang tua akan menentukan aturan-aturan dan mengadakan pembatasan-pembatasan terhadap perilaku anak yang boleh dan tidak boleh dilaksanakannya. Anak harus tunduk dan patuh terhadap orang tuanya, anak tidak dapat mempunyai pilihan lain. Orang tua memerintah dan memaksa tanpa kompromi. Anak melakukan perintah orang tua karena takut, bukan karena suatu kesadaran bahwa apa yang dikerjakan itu akan bermanfaat bagi kehidupannya kelak. Orang tua memberikan tugas dan menentukan berbagai aturan tanpa memperhitungkan keadaan anak, keinginan anak, keadaan khusus yang melekat pada individu anak yang berbeda-beda antara anak yang satu dengan yang lain. Perintah yang diberikan berorientasi pada sikap keras orang tua, sikap keras merupakan suatu keharusan bagi orang tua. Sebab tanpa sikap keras ini anak tidak akan melaksanakan tugas dan kewajibannya.

b. Pola asuh demokratis :

Pola asuh ini berpijak pada dua kenyataan bahwa anak adalah subjek yang bebas dan anak sebagai makhluk yang masih lemah dan butuh bantuan untuk mengembangkan diri. Orang tua bersikap responsive terhadap kebutuhan anak dan mendorong anak untuk

commit to user

menyatakan pendapat atau pertanyaan. Sehingga anak memiliki rasa percaya diri dan mampu mengendalikan diri (self control). Proses membentuk pribadi anak berjalan dengan lancar jika cinta kasih selalu tersirat dalam proses tersebut. Dalam suasana yang diliputi oleh rasa cinta kasih akan menimbulkan pertemuan sahabat karib, dalam pertemuan dua saudara. Dalam pertemuan itu dua pribadi bersatu padu. Dalam pertemuan yang bersatu padu akan timbul suasana keterbukaan. Dalam suasana yang demikian ini maka akan terjadi pertumbuhan dan pengembangan bakat-bakat anak yang dimiliki oleh anak dengan subur.

c. Pola asuh bebas :

Pola asuh bebas (permisif) berorientasi bahwa anak itu makhluk hidup yang berpribadi bebas. Anak adalah subyek yang dapat bertindak dan berbuat menurut hati nuraninya. Seorang anak yang lapar, ia harus memasukan nasi ke dalam mulutnya sendiri, mengunyah sendiri dan menelan sendiri. Tidak mungkin orang tua yang mengunyah dan memasukkan makanan ke dalam perut anaknya. Orang tua membiarkan anaknya mencari dan menemukan sendiri apa yang diperlukan untuk hidupnya. Anak telah terbiasa mengatur dan menentukan sendiri apa yang dianggap baik. Orang tua sering mempercayakan anaknya kepada orang lain, sebab orang tua terlalu sibuk dalam pekerjaan, organisasi sosial dan sebagainya. Orang tua hanya bertindak sebagai polisi yang mengawasi permainan menegur

commit to user

dan mungkin memarahi. Orang tua kurang bergaul dengan anak-anaknya, hubungan tidak akrab dan anak harus tahu sendiri tugas apa yang harus dikerjakan. Jika diperhatikan dua pola asuh (otoriter dan permisif) tersebut di atas kita dapat mengetahui bahwa pola asuh otoriter, memandang anak tidak ada pilihan lain kecuali mengikuti perintah dari orang tua. Pada pola asuh permisif, anak dipandang sebagai subjek yang diperbolehkan berbuat menurut pilihannya sendiri. Sikap orang tua juga berpengaruh terhadap keharmonisan keluarga terutama hubungan orang tua dengan anak-anaknya. Orang tua dengan pola asuh yang otoriter akan membuat suasana dalam keluarga menjadi tegang dan anak merasa tertekan. Anak tidak diberi kebebasan untuk mengeluarkan pendapatnya, semua keputusan ada ditangan orang tua. Sehingga membuat remaja itu merasa tidak mempunyai peran dan merasa kurang dihargai dan kurang kasih sayang serta memandang orang tuanya tidak bijaksana. Orang tua yang permisif cenderung mendidik anak terlalu bebas dan tidak terkontrol karena apa yang dilakukan anak tidak pernah mendapat bimbingan dari orang tua. Kedua sikap tersebut cenderung memberikan peluang yang besar untuk menjadikan anak berperilaku menyimpang, sedangkan orang tua yang bersikap demokratis dapat menjadi pendorong perkembangan anak ke arah yang lebih positif.

(Muazar Habibi, 2008 )

Pendidikan dalam lingkungan keluarga merupakan suatu persiapan awal yang sangat baik dalam kehidupan moral. Keluarga merupakan

commit to user

kelompok kecil orang-orang yang satu sama lain saling mengenal baik dan saling berhubungan dengan erat. Suatu hal esensial adalah semangat disiplin, yaitu hormat pada aturan jarang dikembangkan dalam lingkungan keluarga. Hal ini akan berdampak ketika anak masuk dalam institusi pendidikan atau sekolah. Kurang mematuhi peraturan dan tidak mematuhi tata tertib atau dengan kata lain tidak disiplin. Siswa yang membolos merupakan siswa yang tidak disiplin karena melanggar peraturan dan tata tertib sekolah.

Disiplin sekolah adalah usaha sekolah untuk memelihara perilaku siswa agar tidak menyimpang dan dapat mendorong siswa untuk berperilaku sesuai dengan norma, peraturan dan tata tertib yang berlaku di sekolah. Disiplin sekolah atau school discipline “refers to students complying with a code of behavior often known as the school rules”. Yang dimaksud dengan aturan sekolah (school rule) tersebut, seperti aturan tentang standar berpakaian (standards of clothing), ketepatan waktu, perilaku sosial dan etika belajar (Akhmad Sudrajat, 2008). Membicarakan tentang disiplin sekolah tidak bisa dilepaskan dengan persoalan perilaku negatif siswa. Perilaku negatif yang terjadi dikalangan siswa dalam lingkungan sekolah yaitu pelanggaran terhadap berbagai aturan dan tata tertib. Pelanggaran dari tingkat yang ringan sampai dengan pelanggaran tingkat tinggi, contoh perilaku negatif tersebut seperti: kasus bolos, perkelahian, menyontek, pemalakan, pencurian, dan bentuk-bentuk

commit to user

penyimpangan perilaku lainnya. Sehingga perlu upaya pencegahan dan penanggulangan, dan disinilah arti penting disiplin sekolah.

Kelompok teman sebaya sebagai lingkungan sosial bagi remaja (siswa) mempunyai peranan yang cukup penting bagi perkembangan kepribadiannya. Peranannya itu semakin penting, terutama pada saat terjadinya perubahan dalam struktur masyarakat pada beberapa dekade terakhir ini, yaitu: (1) perubahan struktur keluarga, dari keluarga besar ke keluarga kecil, (2) kesenjangan antara generasi tua dan generasi muda, (3) ekspansi jaringan komunikasi di antara kawula muda, dan (4) panjangnya masa atau penundaan memasuki lingkungan masyarakat

Kebutuhan akan adanya penyesuaian diri remaja dalam kelompok teman sebaya, muncul sebagai akibat adanya keinginan bergaul remaja dengan teman sebaya mereka. Dalam hal ini, remaja sering dihadapkan pada persoalan penerimaan atau penolakan teman sebaya terhadap kehadirannya dalam pergaulan. Para ahli psikologi menyebutkan ada 5 jenis kelompok yang terbentuk dalam masa remaja, antara lain adalah :

a. Kelompok “Chums” (sahabat karib)

Chums yaitu kelompok dimana remaja bersahabat karib dengan ikatan persahabatan sangat kuat. Anggota kelompok biasanya terdiri dari 2-3 remaja dengan jenis kelamin sama, memiliki minat, kemampuan dan kemauan yang mirip. Beberapa kemiripan itu membuat mereka sangat akrab, walaupun kadang

commit to user

terjadi perselisihan, tetapi dengan mudah mereka melupakannya.

b. Kelompok “Cliques” (komplotan sahabat)

Cliques biasanya terdiri dari 5-6 remaja yang memiliki minat, kemampuan dan kemauan yang relative sama. Cliques biasanya terjadi dari penyatuan dua pasang sahabat karib atau dua Chums yang terjadi pada tahun-tahun pertama masa remaja awal. Jenis kelamin dalam Cliques umumnya sama, seorang remaja putri bersahabat karib dengan remaja putri lainnya, seorang remaja putra bersahabat karib dengan remaja putra lainnya. Dalam Cliques inilah remaja mulai banyak melakukan kegiatan-kegiatan bersama, rekreasi, pesta, saling menelpon, dan menghabiskan waktu bersama sehingga sering menjadi sebab pertentangan dengan orang tua mereka.

c. Kelompok “Crowd” (kelompok banyak remaja)

Crowds biasanya terdiri dari banyak remaja, lebih besar dibanding dengan Cliques. Karena banyaknya anggota kelompok, maka jarak emosi antara anggota juga agak renggang. Kelompok “Crowd” dapat dikatakan sebagai kerumunan dengan jumlahnya yang relatif banyak dan terdapat perbedaan jenis kelamin serta keragaman kemampuan, minat, dan kemauan diantara para anggota Crowd.

commit to user d. Kelompok yang Diorganisir

Kelompok yang diorganisir merupakan kelompok yang sengaja dibentuk dan diorganisir oleh orang dewasa yang biasanya melalui lembaga-lembaga tertentu. Kelompok yang diorganisir terbentuk secara sengaja dan terbuka bagi semua remaja yang sudah memiliki kelompok maupun remaja yang belum memiliki kelompok.

e. Kelompok “Gang”

Gang merupakan kelompok yang terbentuk dengan sendirinya yang pada umumnya merupakan akibat pelarian dari empat jenis kelompok tersebut diatas. Remaja yang tidak dapat menyesuaikan diri, merasa ditolak dan tidak puas dengan kelompok sebelumnya akan membentuk kelompok sendiri yang dikenal dengan “Gang”. Anggota Gang dapat berlainan jenis kelamin dan dapat pula sama. Kebanyakan remaja anggota Gang menghabiskan waktu menganggur dan kadang-kadang mengganggu remaja lain dengan menunjukkan tingkah laku agresif. (Sumber: Buku Psikologi Remaja, Drs Andi Mappiare, 1982)

Bagi remaja, kelompok sebaya terdiri dari anggota tertentu dari teman-temannya yang dapat menerimanya. Seperti yang dikutip dalam jurnal internasional dibawah ini :

commit to user

“ Most adolescents have good quality friendships: they receive support from their friends, can count on them to talk about their problems and have fun spending time with them” (Ciairano et al, 2007)

Yang artinya, sebagian besar remaja memiliki kualitas persahabatan yang baik, mereka menerima dukungan dari temannya, mempercayai mereka untuk membicarakan tentang masalahnya dan menghabiskan waktu untuk bersenang-senang bersama mereka.

Menghabiskan waktu bersama teman-temannya dengan bersenang-senang membuat siswa tidak bisa membagi waktu antara bersama teman-temannya, belajar, dan waktu bersama keluarga. Sehingga peran orang tua dalam mengarahkan dan membimbing anaknya sangat dibutuhkan agar anak dapat mengatur waktunya dengan tepat. Komunikasi yang baik antara orang tua dan anak dapat membuat hubungan antara orang tua dan anak menjadi harmonis. Judith Brook dkk mengemukakan bahwa hubungan orang tua dan remaja yang sehat dapat melindungi remaja tersebut dari pengaruh teman sebaya yang tidak sehat (Sigelman&Shaffer,1995:380).

Kelompok sebaya cenderung memberikan pengaruh negatif bagi perilaku masing-masing anggota gangs, misalnya terlibat dalam perkelahian antar pelajar. Seperti yang dikutip dalam jurnal berikut :

“ gang members are more likely to experience violent victimization, as well as greater frequency of victimization, than do non-gang members” .

(Taylor et al, 2007)

Yang artinya, bahwa anggota geng lebih mungkin mengalami kekerasan, serta frekuensi yang lebih besar menjadi korban, dibandingkan bukan anggota geng.

commit to user

Siswa yang menjadi anggota gang sering mendapat tekanan dari anggota gangs lain karena biasanya terjadi persaingan antar kelompok gangs satu dengan lainnya, hal ini memicu konflik yang berujung pada perkelahian dan pada akhirnya menjadi korban kekerasan.

Dokumen terkait