• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TINJAUAN TENTANG SIFAT FISIKOKIMIA

2.1.3 Tinjauan Tentang Koefisien partisi

Koefisien partisi (P) merupakan ukuran lipofilisitas suatu senyawa. Lipofilisitas berkenaan dengan kemampuan molekul obat berpartisi antara dua larutan yang tidak campur, seperti air dan minyak. Koefisien partisi dapat diukur dengan menentukan konsentrasi kesetimbangan suatu obat dalam fase berair (umumnya air) dan fase minyak (umumnya oktanol atau kloroform) yang akan kontak satu dengan yang lain pada suhu dan tekanan konstan. Koefisien partisi dinyatakan dengan persamaan 2.3 di bawah ini.

P = [Cminyak]/ [Cair] ………... (2.3) dengan P adalah koefisien partisi, Cminyak adalah konsentrasi molekul obat dalam fase minyak dan Cair adalah konsentrasi molekul obat dalam fase air. Harga koefisien partisi (P) merupakan ukuran afinitas relatif molekul obat terhadap fase air dan fase non air (minyak). Semakin besar harga P maka semakin besar kelarutan molekul obat dalam minyak (Sinko, 2011; Aulton, 1988).

Membran biologi secara alami bersifat lipoid yang memegang peranan penting dalam transpor obat. Kemampuan suatu molekul obat melintasi membran pada tempat absorbsi dapat dihubungkan dengan koefisien partisi minyak-air suatu obat. Permeabilitas merupakan kemampuan suatu obat melintasi membran biologi yang tersusun atas fosfolipid bilayer. Permeabilitas obat melewati membran biologi tergantung pada lipofilisitas dan koefisien difusi. Senyawa obat yang sangat larut dalam air maka kecepatan permeasi melewati membran biologi merupakan tahap penentu kecepatan absorbsi, sedangkan senyawa obat dengan lipofilisitas yang tinggi atau mempunyai kelarutan besar dalam minyak pada umumnya mempunyai kemampuan melintasi membran biologis dengan baik dibandingkan dengan obat-obat yang bersifat hidrofilik (Shargel et al., 2005; Aulton, 1988).

Khusus untuk obat-obat yang mempunyai tempat aksi di otak, maka obat harus dapat melewati membran biologi yaitu dengan menembus sawar darah-otak (Blood Brain Barrier = BBB). Sawar darah-otak terutama tersusun atas sel-sel kapiler endotelial, yang berbeda dibandingkan dengan jaringan lainnya. Sel-sel kapiler endotelial otak tersambung satu

dengan yang lain dengan rapat sehingga merupakan barrier bagi obat-obat yang bersifat hidrofilik. Untuk dapat menembus sawar darah-otak, suatu obat harus relatif kecil (ukuran molekul kurang dari 500 Da), memiliki koefisien partisi yang tinggi (larut minyak), tetap tidak terion pada pH cairan tubuh dan mampu membentuk ikatan hidrogen kurang dari 8 dengan air (Shargel et al., 2005; Rautiobet al., 2008).

2.2.TINJAUAN TENTANG BIOAVAILABILITAS

Rute pemakaian secara oral merupakan rute umum dan nyaman digunakan untuk bahan obat yang dikehendaki memiliki efek sistemik. Pemberian obat secara oral memiliki beberapa keuntungan seperti kenyamanan dan keamanan pemakaian. Akan tetapi rute oral bukanlah rute yang sederhana, oleh karena barier saluran cerna menyebabkan kadar obat dalam tubuh setelah pemakaian lebih bervariasi dibandingkan pemakaian secara parenteral. Kadar obat dalam tubuh yang bervariasi terutama bagi obat yang sukar larut dalam air menyebabkan penurunan bioavailabilitas dan bioavailabilitas yang berubah-ubah atau tidak sempurna (Shargel et al., 2005; Alavijeh et al., 2012).

Rute pemakaian obat memengaruhi bioavailabilitas obat, oleh karena itu memengaruhi mula kerja dan lama efek farmakologi. Bila suatu obat diberikan melalui rute oral maka obat harus terlarut secara molekuler sebelum diabsorbsi ke dalam sirkulasi sistemik. Obat dalam keadaan terlarut akan berdifusi atau ditranspor ke tempat aksi dan bila konsentrasi obat pada tempat aksi melebihi konsentrasi efektif minimum maka akan dihasilkan suatu respon farmakologis (Shargel et al., 2005)

Gambar 2.6. Proses absorbsi sistemik suatu obat (Shargel et al., 2012)

Absorbsi sistemik dari suatu obat (Gambar 2.6) terdiri dari suatu rangkaian proses laju, meliputi disintegrasi, disolusi dan absorbsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik. Kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi ditentukan oleh tahapan yang paling

Obat dalam produk obat Partikel obat padat Obat dalam larutan Obat dalam tubuh disintegrasi disolusi absorbsi

lambat dalam rangkaian di atas. Bagi obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju disolusi obat seringkali merupakan tahap yang paling lambat, sehingga merupakan tahap penentu kecepatan (rate-limiting step) terhadap bioavailabilitas obat. Sebaliknya bagi obat yang mempunyai kelarutan besar dalam air, laju disolusinya cepat sedangkan laju melintasi membran merupakan tahap paling lambat atau tahap penentu kecepatan (Shargel et al., 2005).

Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia formulasi obat terhadap bioavailabilitas obat. Ukuran dari laju dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi umum atau tempat aksi. Memahami prinsip biofarmasetika merupakan hal penting oleh karena biofarmasetika bertujuan untuk mengatur pelepasan obat sedemikian rupa ke sirkulasi sistemik. Biopharmaceutical classification system (BCS) merupakan kerangka ilmiah untuk membagi senyawa obat berdasarkan kelarutan dalam air dan permeabilitas melalui usus. Tabel 2.3. menyatakan pembagian biofarmasetika suatu obat berdasarkan sifat kelarutan dan permeabilitas. BCS telah ditetapkan Food and Drug Administration (FDA) pada tahun 1995 dengan tujuan untuk membantu memperkirakan hubungan antara disolusi in vitro dengan bioavailabilitas in vivo (Amidon et al.,1995).

Tabel 2.3. Sistem pembagian biofarmasetika obat (Amidon et al., 1995)

Kelas Kelarutan/Permeabilitas Sifat-sifat

I Tinggi/Tinggi -Obat diabsorbsi baik

-Disolusi dan pengosongan lambung merupakan

tahap penentu kecepatan absorbsi

II Rendah/Tinggi -Disolusi merupakan tahap penentu

kecepatan Absorbsi

III Tinggi/Rendah - Permeabilitas merupakan tahap penentu kecepatan absorbsi

IV Rendah/Rendah -Masalah-masalah efektivitas penghantaran obat melalui oral

Bioavailabilitas obat dapat diprediksi dengan memilih rute pemberian obat secara teliti dan rancangan bentuk sediaan yang tepat. Suatu obat dapat diberikan dalam berbagai rute dan tetap menghasilkan aktivitas yang ekivalen, akan tetapi lama dan mula kerja obat mungkin sangat berbeda karena perubahan farmakokinetika yang disebabkan oleh rute pemberian. Perubahan fisiologik dan fisikokimia yang mungkin disebabkan oleh perubahan bentuk sediaan merupakan hal penting untuk dipertimbangkan (Shargel et al., 2005).

Rute pemakaian secara oral merupakan rute umum dan nyaman digunakan untuk pengobatan penderita. Akan tetapi rute oral bukanlah rute yang sederhana, oleh karena barier saluran cerna menyebabkan kadar obat setelah pemakaian lebih bervariasi dibandingkan pemakaian parenteral. Bila bahan obat mempunyai kelarutan kecil dalam air (< 0,1 mg/mL) maka disolusi obat merupakan tahap penentu kecepatan absorbsi obat dalam saluran cerna (Aulton, 1988).

Pada absorbsi obat sistemik setelah pemberian secara oral, molekul obat harus melintasi epitel intestinal melalui suatu sel epitel untuk mencapai sirkulasi sistemik. Permeabilitas suatu obat pada tempat absorbsi berkaitan dengan struktur molekul obat dan sifat fisik dan biokimia membran sel. Ketika obat berada dalam plasma, maka obat harus melintasi membran biologis yang bertindak sebagai sawar pelepasan obat untuk mencapai tempat aksi (Shargel et al., 2005).

Membran merupakan struktur utama dalam sel, mengelilingi keseluruhan sel (membran plasma) dan bertindak sebagai antara sel dan cairan interstisial. Secara fungsional membran sel merupakan partisi semipermiabel yang bertindak sebagai sawar selektif untuk lintasan molekul. Beberapa molekul kecil dan molekul larut lemak melewati membran, sedangkan molekul bermuatan dan molekul besar seperti protein dan molekul terikat protein tidak dapat melewatinya.

Ada beberapa teori tentang struktur membran sel. Teori lipid bilayer menggambarkan membran plasma sel terutama tersusun dari fosfolipid dalam bentuk dua lapis yang terpisahkan dengan gugus karbohidrat dan protein. Teori yang diajukan Davson dan Danielli (1952) ini menganggap gugus "kepala" hidrofilik dari fosfolipid menghadap lapisan protein dan gugus "ekor" hidrofobik dari fosfolipid berposisi di bagian dalam.

Dengan struktur membran sel yang demikian, teori ini menjelaskan bahwa obat larut lemak cenderung untuk penetrasi ke membran sel lebih mudah daripada molekul polar. Akan tetapi teori struktur membran sel dua lapis tidak menjelaskan difusi air, molekul dengan berat molekul kecil seperti urea dan ion muatan tertentu.

Teori membran plasma yang diajukan Singer dan Nicolson (1972), menggambarkan membran plasma sebagai model fluid mosaic dapat dilihat pada Gambar 2.7. Menurut model ini, membran sel terdiri atas protein globular yang tertanam dalam suatu matriks cairan dinamik (dynamic fluid), lipid bilayer. Protein tersebut memberi suatu jalur transpor selektif dari molekul polar tertentu dan ion bermuatan melalui sawar lipid. Protein membran tersebar ke seluruh membran dan pada membran tersebut terdapat dua tipe pori berukuran 10 nm dan berukuran 50 sampai 70 nm. Pori-pori kecil ini memberi suatu kanal yang dapat dilewati oleh air, ion-ion dan obat terlarut seperti urea.

Senyawa obat dapat melintasi membran sel melalui dua mekanisme utama, yaitu difusi pasif (passive diffusion) dan pengangkutan dengan pembawa (carrier mediated transport). Selain mekanisme transpor tersebut, terdapat mekanisme transpor yang lain yaitu transpor vesikular, yang merupakan proses pemindahan molekul secara spesifik ke dalam dan ke luar sel (endositosis dan eksositosis). Transpor obat melewati membran terdiri dari satu atau lebih proses (Shargel et al., 2005, Alavijeh et al., 2005).

Gambar 2.7. Model membran plasma fluid mosaic (Shargel, et al., 2012)

Difusi pasif merupakan proses perpindahan molekul obat secara spontan dari daerah dengan kadar tinggi ke daerah dengan kadar rendah. Proses berjalan pasif karena tidak memerlukan energi dari luar. Difusi pasif merupakan proses absorbsi utama untuk sebagian

besar obat dan dapat digambarkan melalui persamaan Fick's (persamaan 2.4) sebagai berikut (Shargel et al., 2005):

) (CGI CP h DAK dt dQ ... (2.4) dengan dt

dQ = laju difusi; D = koefisien difusi; K = koefisien partisi lemak:air senyawa obat; A= luas permukaan membran; h = tebal membran dan CGI - Cp = perbedaan antara kadar obat dalam saluran cerna dan dalam plasma.

Menurut persamaan difusi Fick's, laju difusi pasif obat terutama dipengaruhi oleh perbedaan kadar obat antar membran dan koefisien partisi senyawa obat. Kadar obat yang lebih tinggi dalam saluran cerna dibandingkan dalam darah menjadi tenaga pendorong dalam difusi pasif. Demikian juga harga koefisien partisi, K dari senyawa obat yang lebih besar menyatakan partisi obat dalam lemak-air dari obat lebih besar untuk melintasi membran mukosa. Obat-obat yang lebih larut dalam lemak cenderung melintasi membran lebih mudah dibandingkan molekul yang kurang larut dalam lemak atau molekul yang lebih larut dalam air (Shargel et al., 2005).

Keberhasilan proses absorbsi suatu senyawa obat ke dalam sirkulasi sistemik bergantung pada sifat fisikokimia senyawa obat, bentuk sediaan, dan anatomi maupun fisiologi (faktor biologi) tempat absorbsi. Sifat fisikokimia obat selain memengaruhi disolusi senyawa obat pada akhirnya juga memengaruhi keberhasilan proses absorbsi dan akan berdampak terhadap bioavailabilitasnya. Beberapa sifat fisikokimia senyawa obat yang memengaruhi proses absorbsi di antaranya:

1. Lipofilisitas

Lipofilisitas merupakan salah satu sifat fisikokimia yang sangat berperan dalam proses absorsi. Lipofilisitas suatu senyawa berkaitan dengan koefisien partisi (P), yang merupakan perbandingan kadar obat dalam pelarut oktanol dan air pada suhu konstan. Lipofilisitas senyawa obat sangat menentukan terhadap kemampuan molekul obat dalam menembus

membran melalui proses difusi pasif. Pada umumnya, senyawa obat yang memiliki koefisien partisi yang baik (log P besar), lebih mudah melintasi membran mukosa sehigga proses absorbsi berjalan dengan baik (Shargel et al., 2005; Sinko, 2011).

2.Kelarutan dan Disolusi Bahan Obat

Kelarutan menyatakan massa solut yang melarut dalam satu volume tertentu dalam keadaan jenuh pada suhu tertentu. Disolusi merupakan proses solut terlarut dalam suatu pelarut. Kelarutan bersifat statik sedangkan disolusi bersifat dinamik. Kelarutan dalam air merupakan salah satu sifat fisikokimia yang berpengaruh terhadap bioavailabilitas obat. Obat yang sukar larut dalam air akan menyebabkan masalah secara in vivo, karena obat diabsorbsi tidak sempurna ketika diberikan secara oral sehingga menyebabkan bioavailabilitasnya tidak menentu. Kelarutan obat dalam saluran cerna yang tinggi akan memberikan gradien konsentrasi yang mendorong absorbsi ketika obat diberikan melalui rute oral dan distribusi menuju tempat aksi sebelum memberikan respon farmakologi (Waterbeemd, 2009). Dalam sistem biologi, disolusi obat dalam media air merupakan bagian sangat penting dalam proses absorbsi. Dalam saluran cerna, laju disolusi obat-obat dengan kelarutan dalam air sangat kecil seringkali mengendalikan laju absorbsi sistemik obat. Uji disolusi suatu senyawa obat atau sediaan obat seringkali dapat digunakan untuk meramalkan bioavailabilitasnya (Shargel et al., 2005).

3. Derajat ionisasi obat

Tingkat ionisasi molekul obat memengaruhi laju transpor obat. Obat-obat yang bersifat elektrolit lemah (asam atau basa lemah) akan terionisasi bergantung pada harga pKa obat dan pH media senyawa obat terlarut. Spesies obat terionisasi mengandung suatu muatan dan lebih larut air dibandingkan spesies obat tak terionisasi yang lebih larut dalam lipid (Sinko, 2011).

Beberapa faktor biologi memengaruhi absorbsi obat seperti struktur saluran cerna, pH saluran cerna, motilitas saluran cerna, waktu pengosongan lambung, dan aliran saluran cerna. Selain faktor-faktor tersebut, proses absorbsi obat juga dipengaruhi oleh makanan, interaksi obat dengan senyawa lain dan faktor individu seperti umur dan adanya penyakit tertentu (Shargel et al., 2005).