• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Tinjauan Pustaka

3. Tinjauan Tentang Pergaulan Peer Group

Pada hakekatnya disamping sebagai makhluk individu manusia juga sebagai makhluk sosial yang dituntut untuk dapat saling menjalin hubungan dengan orang lain, termasuk dengan teman sebaya. Pergaulan adalah istilah yang sering disebut-sebut orang untuk menjelakan tentang segala hal yang berkenaan dengan hal-hal yang berhubungan dengan teman atau disebut dengan persahabatan. Dalam pergaulan akan terjadi interaksi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok. Dengan kata lain pergaulan adalah hidup untuk berteman, kebersamaan atau bermasyarakat.

Soejono Soekamto (1991: 69), “Dalam pergaulan akan terjadi interaksi sosial dimana interaksi sosial itu berasal dari semua kehidupan sosial. Oleh karena

commit to user

itu tanpa interaksi sosial tidak ada kehidupan bersama”. Jadi pergaulan merupakan awal dari kehidupan sosial dalam masyarakat. “Kelompok sebaya adalah suatu kelompok yang anggotanya mempunyai persamaan usia dan status atau posisi soaial” (Slamet Santosa, 1999:81).

Menurut Havinghurst dalam ST Vembriarto, (1990: 57), “Chrologically, the peer group is the second major socializing”. Dari pendapat tersebut bahwa kelompok sebaya (peer group) merupakan institusi sosial kedua setelah keluarga. Ada sejumlah unsur pokok dalam pengertian kelompok sebaya (peer group) menurut Vembriarto (1990: 60), yaitu :

1). Kelompok sebaya adalah kelompok primer yang berhubungan diantara anggota intim, 2). Anggota kelompok sebaya terdiri atas sejumlah individu yang mempunyai persamaan usia atau status atau posisi sosial, 3). Istilah kelompok sebaya dapat merujuk kelompok anak-anak, kelompok remaja atau kelompok dewasa.

Bedasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan pengertian pergaulan Peer Group mengandung unsur :

1) Kelompok primer yang saling berhubungan antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok.

2) Terdiri atas sejumlah individu yang mempunyai persamaan usia atau status atau posisi sosial.

3) Istilah kelompok sebaya dapat merujuk kelompok anak-anak, kelompok remaja atau kelompok dewasa.

b. Karakteristik Pergaulan Peer Group

Pergaulan kelompok teman sebaya atau peer group merupakan suatu hubungan sosial antar individu atau antar kelompok yang memiliki persamaan usia atau status, dimana proses berlangsungnya atau proses interaksinya tidak berjalan dalam satu kali hubungan saja, tapi meliputi hubungan yang terjalin berulangkali dan saling mempengaruhi.

commit to user

Menurut Kandel dalam Syamsu Yusuf (2002: 60), “…Karakteristik persahabatan remaja adalah dipengaruhi oleh kesamaan usia, jenis kelamin dan ras“. Selain itu juga Syamsu Yusuf (2002: 60) telah mengkaji persahabatan di kalangan kelompok sebanya dan menyebutkan bahwa faktor utama yang menentukan daya tarik hubungan interpersonal diantara para remaja pada umumnya adalah adanya kesamaan dalam minat, nilai-nilai pendapat dan sifat- sifat kepribadian.

c. Ciri-ciri Pergaulan Peer Group

Kelompok sebaya atau Peer Group merupakan suatu hubungan sosial antar individu atau antar kelompok yang memiliki persamaan usia atau status. Ciri-ciri Kelompok sebaya atau peer group menurut Slameto Santoso (1999: 87- 88) yaitu: ”1). Tidak mempunyai struktur organisasi yang jelas, 2). Bersifat sementara, 3). Peer group mengajarkan individu tentang kebudayaan yang luas, 4). Anggotanya adalah individu yang sebaya”.

Berdasarkan ciri-ciri diatas dapat dijelaskan lebih rinci, yaitu : 1) Tidak mempunyai struktur organisasi yang jelas

Peer group atau kelompok sebaya terbentuk secara spontan, karena itu tidak memiliki struktur organisasi yang jelas serta semua anggota kelompoknya mempunyai kedudukan dan fungsi yang sama, tetapi tetap ada yang menjadi pemimpin dan biasanya yang paling disegani dan mendominasi dalam kelompok.

2) Bersifat sementara

Kelompok sebaya atau peer group kemungkinan tidak akan bertahan lama karena tidak terdapat struktur organisasi dan jika keinginan dari masing- masing berbeda dan tidak terdapat kesepakatan. Dapat juga dipisahkan oleh keadaan.

3) Peer group mengajarkan individu tentang kebudayaan yang luas

Setiap anggota dapat pula berasal dari dari lingkungan yang berbeda, untuk itu kemungkinan mempunyai kebudayan yang berbeda pula. Dalam kelompok

commit to user

sebaya atau peer group akan saling memperkenalkan kebiasaan dan akhrinya dapat dijadikan suatu kebiasaan.

4) Anggotanya adalah individu yang sebaya

Kelompok sebaya atau peer group yang terbentuk secara spontan beranggotakan individu-individu yang memiliki persamaan usia dan posisi sosial. Misalnya anak SMA yang memiliki tingkat usia, dan keinginan serta tujuan yang sama.

Bedasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan ciri-ciri pergaulan Peer Group yaitu :

1). Tidak mempunyai struktur organisasi yang jelas. 2). Bersifat sementara.

3). Peer group mengajarkan individu tentang kebudayaan yang luas. 4). Anggotanya adalah individu yang sebaya.

d. Latar Belakng Terbentuknya Peer Group

Menurut Slamet Santoso (1999: 83), “Latar belakang munculnya kelompok sebaya yaitu: 1) adanya perkembangan proses sosialisasi; 2) kebutuhan untuk menerima penghargaan; 3) perlu perhatian dari orang lain; 4) ingin menemukan dunianya”. Dari latar belakang tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Adanya perkembangan proses sosialisasi

Dalam usia remaja seorang individu sedang belajar memperoleh kemantapan dan mempersiapkan diri untuk menjadi dewasa. Sehingga akan mencari kawan yang memilliki perasaan, keinginan, dan kebutuhan yang sama. Dalam kelompok indivdu akan saling berinteraksi dan berusaha memahami serta mengerti satu sama lain agar dapat diterima dalam kelompok tersebut.

2) Kebutuhan untuk menerima penghargaan

Secara psikologis individu membutuhkan penghargaan dari orang lain agar mendapatkan kepuasan dari apa yang dicapainya. Oleh karena itu individu akan

commit to user

bergabung dengan kelompok sebayanya yang mempunyai kebutuhan psikologis yang sama.

3) Perlu perhatian dari orang lain

Pada masa remaja individu akan berusaha mencari perhatian dari lingkungannya, berusaha mendapatkan status dan peranan dalam organiasi remaja didesanya. Individu memerlukan perhatian dari orang lain yang merasa senasip dengannya. Hal ini dapat ditemui dalam kelompok sebaya dimana individu merasa sejajar dan tidak merasakan adanya perbedaan status jika bergabung dengan dunia orang dewasa.

4) Ingin menemukan dunianya.

Dalam kelompok sebaya individu akan menemukan dunianya sendiri yang berbeda dengan orang dewasa.

Bedasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan latar belakang terbentunya pergaulan Peer Group yaitu :

1) Adanya perkembangan proses sosialisasi. 2) Kebutuhan untuk menerima penghargaan. 3) Perlu perhatian dari orang lain.

4) Ingin menemukan dunianya.

e. Bentuk-bentuk Peer Group

Penggolongan kelompok remaja menurut Elizabeth Hurlock dalam Istiwidayanti (2000: 215) sebagai berikut :

1) Kelompok dekat 2) Kelompok kecil 3) Kelompok besar

4) Kelompok terorganisasi 5) Kelompok geng

Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut : 1) Kelompok dekat

Biasa disebut teman karib, terdiri dari dua orang atau tiga orang mempunyai jenis kelamin, minat, kemampuan hampir sama.

commit to user

2) Kelompok kecil

Terdiri dari beberapa teman dekat, pada mulanya terdiri dari jenis kelamin yang sama, namun kemundian meliputi jenis kelamin laki-laki dan perempuan. 3) Kelompok besar

Terdiri dari beberapa kelompok teman dekat dan kelompok kecil lalu berkembang dan meningkatkan minat dan interaksi antar mereka.

4) Kelompok terorganisasi

Kelompok ini mempunyai struktur organisasi atau kepengurusan yang jelas dan terwujud dalam organisasi sekolah atau masayarakat yang terbentuk untuk memenuhi kebutuhan sosial remaja.

5) Kelompok geng

Remaja yang tidak puas dengan kelompok organisasi akan mengikuti kelompok geng. Kelompok ini biasanya terdiri dari kelompok berjenis kelamin sama dan minat utama mereka adalah untuk menghadapi pergolakan teman-teman melalui perilaku anti sosial.

Bedasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bentuk-bentuk Peer Group yaitu : 1) Kelompok dekat 2) Kelompok kecil 3) Kelompok besar 4) Kelompok terorganisasi 5) Kelompok geng

f. Fungsi Peer Group

Dalam peer group seseorang berlatih untuk bersosialisasi dengan angota kelompoknya, bertukar informasi atau pengalaman hidupnya. Menurut Slameto Santoso (1999: 85-87), menyebutkan fungsi peer group :

1). Mengajarkan kebudayaan, 2). Mengajarkan mobilitas sosial, 3). Membentuk peranan sosial yang baru, 4). Peer group sebagai sumber informasi, 5). Dalam peer group seseorang mencapai ketergantungan satu sama lain, 6). Peer group mengajar moral orang dewasa, 7). Didalam peer

commit to user

group orang dapat mencapai kebebasan diri, 8). Didalam peer group anak- anak harus mempunyai organisasi-organisasi soaial yang baru.

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan fungsi Peer Group yaitu : 1) Mengajarkan kebudayaan

2) Mengajarkan mobilitas sosial 3) Peranan sosial yang baru 4) Sumber informasi

5) Ketergantungan satu sama lain 6) Mengajar moral orang dewasa 7) Dapat mencapai kebebasan diri

8) Mempunyai organisasi-organisasi soaial yang baru

g. Pengaruh Perkembangan Peer Group

Menurut Slamet Santoso (1999: 88) , “Pengaruh perkembangan peer group mengakibatkan munculnya ‘in group’ dan ‘out group’ dan adanya kelas- kelas sosial”. Pengaruh lain menurut Slamet Santoso, (1999: 89), “pengaruh lain dari perkembangan kelompok sebaya adalah positif dan ada yang negatif”.

Pengaruh positif dari kelompok sebaya, antara lain: 1) Akan lebih siap menghadapi kehidupan mendatang 2) Dapat mengembangkan solidaritas antar kawan

3) Setiap anggota dapat membentuk masyarakat yang akan direncanakan sesuai dengan kebudayaan yangdianggap baik

4) Dapat berlatih memperoleh pengetahuan, kecakapan, dan melatih bakatnya 5) Mendorong untuk bersikap mandiri

6) Menyalurkan perasaan dan pendapat demi kemajuan kelompoknya Pengaruh negatif dari kelompok sebaya, antara lain:

1) Sulit menerima seseorang yang tidak memiliki persamaan

2) Tertutup bagi individu lain yang tidak termasuk dalam kelompoknya

3) Menimbulkan rasa iri antar anggota lain yang tidak memiliki kesamaan dengannya

commit to user

4) Timbul persaingan antar kelompok

5) Timbulnya pertentangan antar kelompok

h. Validitas Pergaulan Peer Group

Pergaulan adalah istilah yang disebut-sebut orang untuk menjelaskan tentang segala hal yang berkenaan dengan hal-hal yang berhubungan dengan interaksi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok. Pergaulan adalah pertemanan, kebersamaan atau hidup bermasyarakat. Seperti yang diungkapkan Soejono Soekamto (1991: 69) ”Dalam pergaulan akan terjadi interaksi sosial dimana interkasi itu berasal dari kehidupan sosial. Oleh karena itu tanpa interaksi sosial tidak akan ada kehidupan bersama”. Jadi pergaulan merupakan awal dari kehidupan sosial dalam suatu masyarakat .

Kelompok sebanya merupakan suatu proses penting bagi pendewasaan remaja. Hal ini disebabkan karena kelompok sebanya merupakan wadah untuk tumbuh dan berkmbang suatu kepentingan atau maslah bersama, mengembangkan kecakapan. Ada sejumlah unsur pokok dalam pengertian kelompok sebaya (peer group) menurut Vembriarto (1990: 60), yaitu :

Kelompok sebaya adalah kelompok primer yang berhubungan diantara anggota intim, 2. Anggota kelompok sebaya terdiri atas sejumlah individu yang mempunyai persamaan usia atau status atau posisi sosial, 3. Istilah kelompok sebaya dapat merujuk kelompok anak-anak, kelompok remaja atau kelompok dewasa.

Menurut Havinghurst dalam ST Vembriarto, (1990: 57), “Chrologically, the peer group is the second major socializing”. Dari pendapat tersebut bahwa kelompok sebaya atau peer group merupakan institusi sosial kedua setelah keluarga. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Khomsan dalam jurnal pendidikan dan kebudayaan (200: 73) “Pada masa remaja pengaruh kelompok atau atau rekan sebaya lebih menonjol dari pada keluarga”. Kandel dalam (Syamsu Yusuf, 2002:

commit to user

60), “…Karakteristik persahabatan remaja adalah dipengaruhi oleh kesamaan usia, jenis kelamin dan ras“.

i. Indikator Pergaulan Peer Group

Dalam penelitian ini variabel yang digunakan yaitu peer group dengan indikator-indikatornya sebagai berikut:

1) Pergaulan disekolah

2) Pergaulan dengan teman bermain

3) Pergaulan dalam organisasi Karang Taruna

Jadi yang dimaksud pergaulan peer group atau pergaulan kelompok sebaya remaja yang terjadi dengan teman disekolah, dengan teman bermain, dalam organisasi karang taruna.

B. Hasil Penelitian Yang Relevan

1. Siti Maryam (2002)

Judul : Peer Group dan Aktivitas Harian (Belajar) pengaruhnya Terhadap Prestasi Belajar Remaja Studi Kasus Pada SMU Bina Bangsa Sejahtera Plus di Kota Bogor Tahun 2002.

Bedasarkan penelitian tersebut variabel X1 Peer group, X2 Aktivitas Harian

(Belajar), dan Y Prestasi Belajar Remaja. Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mengidentifikasi karakteristik keluarga prestasi belajar remaja; dan (2) menganalisis peer group dan aktifitas harian (belajar) serta hubungannya dengan prestasi belajar remaja. Uji korelasi Spearman antara peer group dengan prestasi belajar memperlihatkan hubungan positif pada selang kepercayaan 90% (rs = 0,261; p = 0,104). Sedangkan aktifitas belajar dengan prestasi belajar siswa tidak memperlihatkan hubungan yang signifikan pada selang kepercayaan 95% (rs = 0,197; p = 0,223).

commit to user

Judul : Hubungan Antara Kesan Anak Tentang Pola Asuh Orang Tua, Sikap Sosial, Minat Karier, dan Pilihan Karier : Pengujian Teori Roe Dalam Konteks Sosial-kultural Indonesia.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tersebut (1) hubungan antara kesan anak tentang pola asuh orang tua dan sikap sosial anak, (2) hubungan antara sikap sosial dan pilihan karier, (3) hubungan kesan anak tentang pola asuh orang tua dan pilihan karier, (4) hubungan antara sikap sosial dan minat karier, (5) hubungan antara kesan anak tentang pola asuh orang tua dengan minat karier, (6) hubungan yang signifikan antara minat karier dan pilihan karier. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif, tetapi juga dapat dikatagorikan penelitian expost fakto atau causal comparative. Pengumpulan data dengan metode wawancara, tes, dan angket. Analisis data dengan korelasi product moment pearson untuk menguji hipotesis, analisis t untuk hipotesis kedua, ketiga, kelima, dan keenam. Analias X2 digunakan untuk menguji hipotesis keempat. Dari hasil penelitian tersebut (1) ada hubungan antara kesan anak tentang pola asuh orang tua dan sikap sosial anak, (2) tidak ada hubungan antara sikap sosial dan pilihan karier, (3) tidak ada hubungan kesan anak tentang pola asuh orang tua dan pilihan karier, (4) tidak ada hubungan antara sikap sosial dan minat karier, (5) tidak ada hubungan antara kesan anak tentang pola asuh orang tua dengan minat karier, (6) ada hubungan yang signifikan antara minat karier dan pilihan karier.

3. Irzan Tahar dan Enceng (2003)

Judul : Hubungan Kemandirian Belajar dan Hasil Belajar Pada Pendidikan Jarak Jauh.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kemandirian belajar dengan hasil belajar mata kuliah Manajemen Keuangan pada pendidikan jarak jauh. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif antara kemandirian belajar dengan hasil belajar mata kuliah Manajemen Keuangan (ry=0,80), dengan persamaan garis regresi X 0,15 7,89 - Yˆ = + (signifikan pada α = 0,05). Koefisien determinasi yang mengindikasikan 63,91%

commit to user

variansi yang terjadi pada hasil belajar peserta ajar dapat dijelaskan melalui kemandirian belajar mereka.

4. Teresa D. LaFromboise, Dan R. Hoyt, Lisa Oliver & Les B. Whitbeck (2006). Judul : Family, Community, and School Influences on Resilience Among American Indian Adolescents in the Upper Midwest.

This study examines resilience among a sample of American Indian adolescents living on or near reservations in the upper Midwest. Data are from a baseline survey of 212 youth (115 boys and 97 girls) who were enrolled in the 5th through 8th grades. Based upon the definition of resilience, latent class analyses were conducted to identify youth who displayed pro-social outcomes (60.5%) as opposed to problem behavior outcomes. A measure of family adversity was also developed that indicated only 38.4 percent of the youth lived in ‘low adversity’ households. Defining resilience in the context of positive outcomes in the face of adversity, logistic regression was used to examine the predictors of pro-social outcomes among youth who lived in moderate to high adversity households. The analyses identified key risk and protective factors. A primary risk factor appeared to be perceived discrimination. Protective factors were from multiple contexts: family, community and culture. Having a warm and supportive mother, perceiving community support, and exhibiting higher levels of enculturation were each associated with increased likelihood of pro-social outcomes.

5. Tuppett M. Yates, A Jelena Obradovic , and Byron Egeland

Judul : Transactional Relations Across Contextual Strain, Parenting Quality, And Early Childhood Regulation And Adaptation In A High-Risk Sample.

This investigation examined transactional relations across contextual strain, parenting quality, and child adjustment in 209 mothers and children at 24, 42, and 72 months of age. Independent ratings of mothers’ stressful life events, social support, and relationship quality provided an objective measure of maternal contextual strain. Observers evaluated parenting quality during parent–child interactions at each time point. Child regulatory functioning during laboratory tasks at 24 and 42 months was evaluated by independent observers based on both

commit to user

behavioral (e.g., noncompliance, distractibility) and emotional (e.g., frustration, anger) indices. At 72 months, teachers reported on children’s externalizing behaviors, and children completed objective measures of academic achievement. Nested path analyses were used to evaluate increasingly complex models of influence, including transactional relations between child and parent, effects from contextual strain to parenting and child adaptation, and reciprocal effects from child and parent behavior to contextual strain. Over and above stability within each domain and cross-sectional cross-domain covariation, significant paths emerged from maternal contextual strain to subsequent child adjustment. Bidirectional relations between parenting and child adjustment were especially prominent among boys. These findings counter unidirectional models of parent- mediated contextual effects by highlighting the direct influences of contextual strain and parent–child transactions on early childhood behavioral and academic adjustment, respectively.

Dokumen terkait