Abstrak
Interaksi antara fungi mikoriza arbuskular (FMA) dan bakteri endosimbiotik mikoriza (bakteri yang diisolasi dari spora FMA) di daerah mikorizosfir telah terbukti dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan patogen akar. Hasil penelitian sebelumnya di dalam disertasi ini menemukan dual inokulasi FMA
dan bakteri endosimbiotik mikoriza Bacillus subtilis B10 mampu meningkatkan
daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman biotik patogen Ganoderma
boninense. Bakteri B. subtilis B10 pada penelitian sebelumnya diketahui
menghasilkan senyawa aktif yang memiliki daya hambat sangat besar terhadap patogen tular tanah G. boninense pada penelitian in vitro. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan profil kromatogram senyawa aktif dari akar kelapa sawit yang telah diinokulasi dengan FMA dan bakteri B. subtilis B10 sebagai ekspresi daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman biotik patogen G. boninense. Akar
bibit kelapa sawit yang sudah diberi perlakuan inokulasi FMA dan bakteri B.
subtilis B10 dimaserasi dengan etanol 70%. Ekstrak yang diperoleh kemudian
dianalisis dengan HPLC untuk mengetahui profil kromatogram senyawa yang dihasilkan dari akar kelapa sawit yang tidak ataupun diberi perlakuan inokulasi
FMA dan bakteri B. subtilisB10. Berdasarkan analisis semua profil kromatogram,
dapat dikemukakan bahwa dual inokulasi tersebut pada bibit kelapa sawit mampu
meningkatkan daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman biotik patogen G.
boninense. Diduga senyawa-senyawa yang dihasilkan pada waktu retensi tersebut
berfungsi sebagai elisitor dengan menginduksi keluarnya senyawa aktif dari
tanaman inang yang dapat menghambat invasi patogen G. boninense yang
menyebabkan penyakit busuk pangkal batang pada bibit kelapa sawit.
Kata kunci: fungi mikoriza arbuskular, Bacillus subtilis B10, profil kromatogram
HPLC, daya adaptasi, cekaman biotik Ganoderma boninense
Abstract
Interactions between arbuscular mycorrhizal fungi (AMF) and mycorrhizal endosymbiotic bacteria (bacteria isolated from AMF spores) in the
area of mycorrhizosphere has been shown to increase plant resistance against root pathogens. Results of our previous study in the part of this dissertation discovered
that dual inoculation of AMF and mycorrhizal endosymbiotic bacteria Bacillus
subtilis B10 were able to improve the adaptability of oil palm seedlings towards
biotic stress of fungal pathogen Ganoderma boninense. In our previous research,
mycorrhizal endosymbiotic bacteria B. subtilis B10 known to produce active
compounds which have inhibitory effect against soil borne pathogen of G.
boninense in vitro. This research was conducted to analyze the profiles of active
compounds as expression of oil palm seedlings adaptation against biotic stress of pathogen G. boninense inoculated with AMF and B. subtilis B10. Roots of oil palm seedlings were extracted using different polarity of organic solvent which are n-hexane, ethyl acetate and butanol. The root extracts were analyzed with HPLC to determine profiles of chromatogram of active compounds produced by
oil palm roots treated with AMF and B. subtilisB10. The results showed that dual
inoculation produced some active compounds which increased adaptability oil
palm seedlings toward biotic stress of pathogen G. boninense. Those compounds
might have an acting as elicitor by inducing or triggering the release of active substances of host plants that can inhibit the growth of G. boninense, the causal agent of basal stem rot disease in oil palm seedlings.
Keywords: arbuscular mycorrhizal fungi, Bacillus subtilis B10, chromatogram
profiles, adaptability, biotic stress Ganoderma boninense.
Pendahuluan
Sebagaimana umumnya tanaman berkayu, tanaman kelapa sawit mengandung lignin yang cukup tinggi. Struktur lignin sangat kompleks, terdiri dari minimal tiga unit monomer pembangun yang terikat dengan dua monomer lain dan membentuk struktur tiga dimensi yang sangat kompleks sehingga sulit didegradasi (Paterson 2007). Lignin melindungi selulosa dan hemiselulosa dari serangan enzim dengan membentuk ikatan kimia langsung. Lignin ini berfungsi sebagai penghalang bagi mikroba untuk masuk dan menyerang tanaman, memperkuat tanaman dan merupakan pelapis kedap air dari dinding sel di dalam jaringan xilem (Paterson 2007). Lebih lanjut Paterson ( 2007) menyimpulkan bahwa biodegradasi lignin merupakan bagian utama dari proses terjadinya penyakit busuk pangkal batang (BPB) pada kelapa sawit.
Ganoderma boninensepenyebab penyakit busuk pangkal batang termasuk
extraordinary organism yang memiliki kemampuan semata-mata mendegradasi
139
bagi fungiG. boninense setelah lignin didegradasi, walaupun karbohidrat lainnya
seperti pati dan pektin juga tersedia akan tetapi hanya memberikan kontribusi
yang kecil (Paterson et al.2000). Dalam menyerang tanaman, umumnya patogen
mengeluarkan senjata untuk dapat masuk dan mengkolonisasi tanaman. Senjata tersebut dapat berupa enzim, toksin dan hormon tumbuh. Sebagaimana halnya patogen dalam melakukan kolonisasi terhadap tanaman kelapa sawit, fungi
Ganoderma boninense mengeluarkan enzim yang dapat mendegradasi lignin yaitu
manganese peroksidase dan laccase (Corley & Tinker 2003). Infeksi oleh G.
boninenseterjadi melalui kontak akar dan dengan cepat mendegradasi pati, lignin
dan selulosa, yang menyebabkan pecahnya dinding sel korteks akar, sehingga terjadi kebocoran sel dan akhirnya tanaman akan mati (Rees 2005).
Fungi mikoriza arbuskular (FMA) merupakan komponen utama dari rizosfir kebanyakan tanaman yang berperan penting di dalam menurunkan kejadian penyakit pada tanaman (Akthar & Siddiqui 2008). Beberapa jenis FMA telah diketahui memiliki kemampuan mengendalikan penyakit tular tanah seperti
Fusarium, Rhizoctonia, Phytophthora, Aphanomyces (Harrier & Watson 2004).
Fungi mikoriza arbuskular Glomus mosseae telah terbukti dapat menurunkan
infeksi penyakit take all pada barley (Khaosaad et al. 2007). Linderman (1994) menyatakan bahwa interaksi akar tanaman dengan mikoriza meningkatkan aktivitas enzim kitinase yang efektif menahan serangan fungi patogen. Enzim hidrolitik seperti selulase, pektinase dan xyloglukanase terlibat dalam penetrasi dan perkembangan FMA dalam akar tanaman serta meningkatkan proteksi
terhadap patogen (Garcia Garrido 2000). Penelitian Morandi et al. (1984)
menemukan bahwa tanaman kedelai (Glycine max L.) dengan mikoriza mampu
meningkatkan konsentrasi fitoaleksin yang menyerupai senyawa isoflavon. Senyawa tersebut diyakini ikut berperan dalam meningkatkan resistensi tanaman kedelai terhadap serangan fungi patogen dan juga nematoda akar.
Kolonisasi akar oleh fungi mikoriza arbuskular (FMA) menginduksi perubahan biokimia dalam jaringan tanaman inang termasuk stimulasi pembentukan molekul fenilpropanoida yang merupakan komponen penyusun senyawa lignin (Morandi 1996), perubahan dalam level alifatik polyamine (El
meningkatkan aktivitas enzim hidrolitik (Dumas-Gaudot et al. 1992). Enzim hidrolitik tanaman seperti kitinase dan €-1,3-glukanase merupakan kandidat yang memiliki peranan yang potensial dalam bioproteksi tanaman. Oleh karena mayoritas dinding sel fungi termasuk fungi G. boninense mengandung kitin dan atau €-D-glukan sebagai komponen struktur utamanya (Wessels & Siestama 1981), maka enzim kitinase dan enzim €-1,3-glukanase digolongkan sebagai senyawa anti fungi yang potensial dalam pengendalian penyakit tanaman. Penelitian yang merupakan bagian kelima dari penelitian komprehensif ini bertujuan untuk melihat profil kromatogram senyawa yang dikeluarkan oleh hubungan tripartit FMA – bakteri endosimbiotik mikorizaB. subtilisB10 – kelapa sawit yang berperan dalam meningkatkan daya adaptasi tanaman kelapa sawit terhadap cekaman biotik G. boninense.
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Agromikrobiologi, Laboratorium Analitik dan Laboratorium Recovery Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT Serpong dari bulan Maret - September 2010.
Bahan dan Alat yang Digunakan
Bahan tanaman yang digunakan adalah akar bibit kelapa sawit yang telah berumur 52 MST dari hasil penelitian sebelumnya dalam disertasi ini (Peneitian 4). Alat yang digunakan adalah kertas label, oven, rotavapor, Detektor Photo Diode Array (PDA), UV 254 dan 366 nm, elektroforesis, High Performance
Liquid Chromatography(HPLC).
Pelaksanaan Penelitian Ekstraksi Akar
Akar bibit kelapa sawit yang telah dipanen pada umur 52 MST dipisahkan sesuai dengan kode perlakuannya dan dikeringkan dengan oven pada suhu 50 C sampai kering (‚ 2 – 3 hari). Akar bibit kelapa sawit yang telah kering, kemudian
141
dimaserasi dengan etanol 70 % selama 24 jam, dan disaring. Proses maserasi dengan etanol 70 % ini dilakukan secara berulang hingga warna pelarut etanol pada rendaman akar bibit kelapa sawit menjadi jernih. Fraksi etanol akar bibit kelapa sawit ini kemudian dipekatkan dengan evaporator sampai kering atau pekat.
Profil Kromatogram HPLC Senyawa Aktif.
Analisis ekstrak etanol akar bibit kelapa sawit dengan metode HPLC dilakukan dengan membuat konsentrasi sampel (ekstrak) 10.000 ppm dengan
melarutkan 2 mg ekstrak akar kelapa sawit dengan 200 µL metanol HPLC grade.
Hasil dan Pembahasan
Hasil
Akar bibit kelapa sawit yang telah diberi perlakuan ketiga faktor yaitu
inokulasi fungi mikoriza arbuskular (FMA), bakteri endosimbiotik mikoriza B.
subtilis B10 dan patogen G. boninense setelah 52 MST dipanen dan diekstrak
dengan maserasi menggunakan etanol 70%. Hasil ekstraksi akar kemudian dianalisis dengan menggunakan HPLC untuk melihat profil senyawa yang terkandung di dalam akar tersebut. Hasil analisis ekstrak senyawa akar berupa profil kromatogram HPLC dapat dilihat pada Gambar 35, 36, 37, 38 dan 39.
Metanol Etanol 70% dikeringkan
A U 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 M inutes 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 20.00 A U 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 M inutes 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 20.00
Pada Gambar 34 tidak muncul kromatogram dari fasa gerak (eluen) metanol yang digunakan dalam analisis HPLC. Profil ini dibutuhkan agar dapat
Gambar 34 Profil kromatogram metanol yang digunakan sebagai fasa
gerak dalam analisis ekstrak akar menggunakan HPLC. AU = Absorbance Unit.
membandingkan profil kromatogram yang muncul dari ekstrak akar tidak rancu dengan profil fasa gerak (eluen) yang digunakan untuk analisis dengan HPLC.
A U 0 .0 0 0 .0 5 0 .1 0 0 .1 5 0 .2 0 0 .2 5 M in u te s 0 .0 0 2 .0 0 4 .0 0 6 .0 0 8 .0 0 1 0 .0 0 1 2 .0 0 1 4 .0 0 1 6 .0 0 1 8 .0 0 2 0 .0 0
Hasil analisis ekstrak akar bibit kelapa sawit yang tidak diberi perlakuan inokulasi ketiga faktor (FMA, bakteri B. subtilis B10 dan G. boninense) dengan menggunakan HPLC dapat dilihat pada Gambar 35. Dari Gambar 35 terlihat pada
waktu retensi 10 menit (bulatan biru) muncul peak (puncak) dari senyawa yang
terkandung di dalam akar dengan luas area 1.403.237,37. Puncak yang muncul di waktu retensi 2-6 kemungkinan adalah puncak dari etanol 70% yang digunakan untuk perendaman akar bibit kelapa sawit. Pada waktu retensi 12-18 menit (bulatan merah) muncul kumpulan puncak dengan total luas area 8.703.120,60. Luas area puncak menggambarkan konsentrasi dari senyawa-senyawa pada puncak tersebut. Perlu dilakukan analisis lebih lanjut untuk menentukan senyawa-senyawa yang terdapat dalam kumpulan peak tersebut.
Akar bibit kelapa sawit yang diberi perlakuan inokulasi cekaman biotik
patogen G. boninense tanpa diberi perlakuan inokulasi FMA dan bakteri B.
subtilis B10, setelah dianalisis dengan HPLC memberikan profil kromatogram
seperti pada Gambar 36. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa pada waktu
retensi 10 menit (bulatan biru) juga muncul peak (puncak) yang sama dengan
puncak pada perlakuan M0B0G0 seperti pada Gambar 35, hanya puncaknya memiliki luas area kurang lebih 1,5 kali lebih besar, yaitu 2.181.438,54.
Gambar 35 Profil kromatogram ekstrak akar bibit kelapa sawit yang
tidak diinokulasi FMA, bakteri B. subtilis B10 dan G.
boninense(M0B0G0) hasil analisis menggunakan HPLC.
Luas area total = 1,403,237.37
143 A U 0 .0 0 0 .0 5 0 .1 0 0 .1 5 0 .2 0 0 .2 5 M in u te s 0 .0 0 2 .0 0 4 .0 0 6 .0 0 8 .0 0 1 0 .0 0 1 2 .0 0 1 4 .0 0 1 6 .0 0 1 8 .0 0 2 0 .0 0
Hal ini berarti konsentrasi senyawa akar yang mendapat perlakuan cekaman biotik patogen G. boninense jauh lebih tinggi pada waktu retensi yang sama dibandingkan dengan akar yang tidak diberi perlakuan apapun (kontrol). Pada waktu retensi 12-18 menit (bulatan merah) muncul kumpulan puncak dengan total luas area 23.117.085,20. Area pada waktu retensi tersebut sangat luas yang mencapai 3 kali luas area pada perlakuan kontrol (M0B0G0), yang artinya kumpulan senyawa pada akar bibit kelapa sawit yang diberi perlakuan cekaman
biotik patogen G. boninensememiliki konsentrasi yang sangat tinggi. Kumpulan
senyawa pada puncak retensi 10 dan 12-18 menit tersebut dikeluarkan oleh akar
bibit kelapa sawit dalam mekanisme perlawanan terhadap patogen G. boninense,
meskipun perlawanannya kurang efektif. Hal ini sesuai dengan pengamatan visual penyakit pada penelitian sebelumnya, dimana pada perlakuan M0B0G1 persentase indeks keparahan penyakit (KP) tajuk dan luas nekrotik akar memiliki persentase tertinggi dengan nilai 42,5% dan 57,5% secara berurutan.
Profil kromatogram hasil analisis HPLC untuk perlakuan inokulasi FMA secara tunggal tanpa diberi perlakuan bakteri B. subtilis B10 akan tetapi diberi
perlakuan cekaman biotik patogen G. boninense (M1B0G1) dapat dilihat pada
Gambar 37. Dari Gambar tersebut terlihat bahwa luas area pada waktu retensi 10 menit mencapai 950.806,19, yang luas areanya jauh lebih kecil dibandingkan
kontrol (M0B0G0) dan perlakuan cekaman biotik patogen G. boninense
Gambar 36 Profil kromatogram ekstrak akar bibit kelapa sawit yang
tidak diinokulasi FMA, bakteri B. subtilis B10 akan tetapi
diinfeksi patogen G. boninense (M0B0G1) hasil analisis
menggunakan HPLC. Luas area total = 2,181,438.54
(M0B0G1). Akan tetapi luas area pada waktu retensi 12-18 menit mencapai 9.758.240,86 yang sedikit lebih besar daripada luas area kontrol (M0B0G0) pada waktu retensi yang sama. Kecilnya luas area pada waktu retensi tersebut diduga karena FMA meningkatkan daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman
biotik patogen G. boninese. Hal ini dapat dilihat dari pengamatan penyakit secara
visual pada penelitian sebelumnya dalam disertasi ini, dimana nilai KP tajuk dan luas nekrotik akar untuk perlakuan M1B0G1 masih cukup rendah, yaitu 20% dan luas nekrotik akar 27,5% secara berurutan, sementara untuk perlakuan M0B0G1 mencapai 42,5% dan 57,5% masing-masing
A U 0 .0 0 0 .0 5 0 .1 0 0 .1 5 0 .2 0 0 .2 5 M in u te s 0 .0 0 2 .0 0 4 .0 0 6 .0 0 8 .0 0 1 0 .0 0 1 2 .0 0 1 4 .0 0 1 6 .0 0 1 8 .0 0 2 0 .0 0
Analisis HPLC untuk perlakuan inokulasi bakteri B. subtilis B10 tanpa
inokulasi FMA dan diberi perlakuan cekaman biotik G. boninense (M0B1G1)
memberikan hasil kromatogram seperti yang ditunjukan pada Gambar 38. Luas area pada waktu retensi 10 menit mencapai 1.858.942,18 dan pada waktu retensi 18 menit mencapai 6.302.336,25. Walaupun luas area pada waktu retensi 12-18 menit jauh lebih kecil daripada luas area pada perlakuan kontrol (M0B0G0)
maupun perlakuan cekaman biotik patogen G. boninense (M0B0G1) akan tetapi
luas area pada waktu retensi 10 menit jauh lebih tinggi dibandingkan dengan luas area perlakuan kontrol (M0B0G0) pada waktu retensi yang sama, namun lebih
kecil dibandingkan luas area pada perlakuan cekaman biotik patogen G.
Gambar 37 Profil kromatogram ekstrak akar bibit kelapa sawit yang
diinokulasi FMA dan diinfeksi G. boninense (M1B0G1)
hasil analisis menggunakan HPLC.
145
boninense(M0B0G1), yang artinya daya adaptasi bibit kelapa sawit belum cukup
efektif sehingga menyebabkan bibit kelapa sawit mengalami gejala penyakit busuk pangkal batang. Jika dihubungkan dengan pengamatan visual penyakit busuk pangkal batang pada penelitian sebelumnya dalam disertasi ini, perlakuan M0B1G1 memiliki persentase KP tajuk dan luas nekrotik akar yang masih tinggi yaitu 37,5% dan 42,5%. A U 0 .0 0 0 .0 5 0 .1 0 0 .1 5 0 .2 0 0 .2 5 M in u te s 0 .0 0 2 .0 0 4 .0 0 6 .0 0 8 .0 0 1 0 .0 0 1 2 .0 0 1 4 .0 0 1 6 .0 0 1 8 .0 0 2 0 .0 0
Berbeda dengan perlakuan lainnya, analisis HPLC untuk perlakuan dual
inokulasi FMA dan bakteri B. subtilis B10 yang mendapat cekaman biotik
patogen G. boninense (M1B1G1) memberikan profil kromatogram yang berbeda
untuk waktu retensi yang sama (Gambar 39). Dari profil kromatogram tersebut, terlihat area pada waktu retensi 10 menit memiliki luas yang paling kecil dibandingkan kontrol (M0B0G0). Hal yang sama juga terjadi pada waktu retensi 12-18 menit, dimana luas area hanya 4.264.624,93 yang sangat kecil dibandingkan dengan kontrol. Jika dibandingkan dengan luas area pada perlakuan
cekaman biotik patogen G. boninense (M0B0G1), pada waktu retensi 10 menit
luas area pada perlakuan M1B1G1 hanya sepertiga dari luas area pada perlakuan M0B0G1. Hal yang sama juga terjadi pada waktu retensi 12-18 menit, dimana luas area untuk perlakuan M1B1G1 hanya seperlima dari luas area pada perlakuan M0B0G1.
Gambar 38 Profil kromatogram ekstrak akar bibit kelapa sawit yang
diinokulasi bakteri B. subtilis B10 dan diinfeksi G.
boninense(M0B1G1) hasil analisis menggunakan HPLC.
Luas area total = 1.858.942,18
A U 0 .0 0 0 .0 5 0 .1 0 0 .1 5 0 .2 0 0 .2 5 M in u te s 0 .0 0 2 .0 0 4 .0 0 6 .0 0 8 .0 0 1 0 .0 0 1 2 .0 0 1 4 .0 0 1 6 .0 0 1 8 .0 0 2 0 .0 0
Berdasarkan hasil tersebut, dapat dikatakan bahwa perlakuan inokulasi FMA dan bakteri B. subtilis B10 memberikan luas area paling rendah di antara semua perlakuan dan jika dibandingkan dengan pengamatan penyakit secara visual pada penelitian sebelumnya dalam disertasi ini, perlakuan M1B1G1 memiliki nilai KP tajuk dan luas nekrotik akar paling rendah yaitu 5% dan 10%. Senyawa-senyawa yang dihasilkan pada waktu retensi 10 menit dan 12-18 menit dalam prrofil kromatogram HPLC yang dideteksi pada panjang gelombang λ = 254 nm, diduga sebagai elisitor dari akar bibit kelapa sawit yang berfungsi dalam mekanisme perlawanan terhadap patogen sebagai bentuk adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman biotik patogenG. boninense. Diduga dual inokulasi FMA dengan bakteri B. subtilis B10 menghasilkan senyawa-senyawa yang dapat meningkatkan daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman biotik patogen
G. boninense, sehingga bibit kelapa sawit tumbuh lebih sehat dengan keragaan
lebih baik walaupun tercekam patogen G. boninense. Akan tetapi pada penelitian ini masih belum dapat ditentukan mekanisme reaksi dan jenis senyawa yang dihasilkan oleh dual inokulasi FMA dan bakteri B. subtilis B10 tersebut yang memiliki kemampuan untuk menginduksi peningkatan produksi senyawa-senyawa aktif oleh bibit kelapa sawit yang digunakan untuk melawan infeksi G.
boninense sebagai bentuk daya adaptasi bibit kelapa sawit apabila mendapat
cekaman biotik patogen.
Gambar 39 Profil kromatogram ekstrak akar bibit kelapa sawit yang diinokulasi FMA, bakteri B. subtilis B10 dan diinfeksi G.
boninense(M1B1G1) hasil analisis menggunakan HPLC.
Luas area total = 808.670,64
147
Pembahasan
Beberapa mikrooganisme seperti bakteri, yeast dan cendawan banyak dieksplorasi sebagai agen pengendali hayati, baik yang digunakan secara tunggal maupun dikombinasi dengan mikroorganisme ataupun senyawa lainnya menggantikan fungisida sintetik yang sudah mulai dikurangi pemakaiannya
karena merusak lingkungan (Mercier & Smilanick 2005; Yu et al. 2006).
Senyawa natural yang dihasilkan oleh bakteri antagonis tersebut umumnya dianggap sebagai sumber biopestisida termasuk biofungisida (antifungi) yang
potensial. Bakteri tanah Bacillus sp termasuk Bacillus subtilis merupakan bakteri
yang banyak ditemukan di mana-mana yang memiliki peranan penting dalam degradasi senyawa organik di dalam tanah (Emmert & Handelsman 1999). Tidak seperti halnya Serratia sp, bakteri B. subtilis tidak bersifat patogen terhadap
manusia (Leelasuphakul et al. 2008). Bakteri tersebut menghasilkan spora
(endospora) yang sangat tahan terhadap panas, iradiasi UV dan pelarut organik.
Bacillus sp telah dikenal memiliki kemampuan mengendalikan berbagai
fungi patogen tanaman melalui produksi senyawa antibiotik (seperti fengycin iturin, surfactin), enzim yang mendegradasi struktur dinding sel fungi (misalnya kitinase, ß-1,3 glukanase), dan senyawa antifungi yang mudah menguap
(Fiddaman & Rossall 1993; Knoxet al.2000; Pinchuket al.2002; Leelasuphakul
et al. 2006). Sadfi et al. (2002) juga menemukan senyawa antifungi yang
Gambar 40 Ekstrak akar bibit kelapa sawit untuk analisis HPLC. Ekstrak akar dari perlakuan inokulasi FMA dengan cekaman biotik
patogen G. boninense(M1B0G1) (kiri). Ekstrak akar dari dual
inokulasi FMA dan bakteri B. subtiis B10 dengan cekaman
dihasilkan oleh bakteri Bacillus cereus X16 memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan miselia fungi patogen Fusarium roseum var sambucinum dan
Cladosporium. Senyawa yang dihasilkan oleh bakteri tersebut bersifat stabil
terhadap panas dengan kisaran pH aktif 3,0 – 9,0. Menurut Wang et al. (2010), dalam kontrol penyakit pasca panen pada buah melon bakteri B. subtilis strains EXWB1 melakukan aksinya dengan mensekresi biosurfaktan yang menghalangi patogen Alternaria alternatauntuk kontak pada permukaan buah melon, sehingga mengurangi nekrotik yang disebabkan oleh patogen tersebut.
Asosiasi antara FMA dengan bakteri rizosfir yang bersifat menguntungkan telah banyak dibahas oleh para peneliti. Bakteri yang berasosiasi dengan FMA (bakteri endosimbiotik mikoriza) juga berpotensi meningkatkan ketahanan terhadap patogen. Aktivitas biokontrol yang dilakukan oleh FMA di dalam tanah terutama daerah rizosfir berkaitan dengan bakteri yang berasosiasi dengan FMA (Cruz et al. 2008). Keberadaan bakteri endosimbiotik mikoriza dalam interaksi antara FMA dan tanaman bermanfaat dalam meningkatkan produksi tanaman dan sekaligus melindungi tanaman dari patogen akar (Frey-Klettet al.2007).
Pada penelitian sebelumnya di dalam disertasi ini telah dilakukan uji in vivo
terhadap dual inokulasi bakteri endosimbiotik mikoriza B. subtilis B10 dan fungi mikoriza arbuskular (FMA) dengan hasilnya dual inokulasi tersebut meningkatkan daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman biotik patogen G. boninense
penyebab penyakit busuk pangkal batang pada kelapa sawit. Maka pada penelitian ini dilakukan ekstraksi dan analisis profil kromatogram senyawa-senyawa yang dihasilkan oleh akar bibit kelapa sawit dalam kondisi tanpa maupun dengan cekaman biotik patogen, serta dalam kondisi dual inokulasi FMA dan bakteri endosimbiotik mikoriza terhadap cekaman biotik patogen G. boninense. Profil kromatogram hasil analisis HPLC menunjukkan dual inokulasi FMA dan bakteri B.
subtilis B10 berdampak pada berkurangnya konsentrasi kumpulan senyawa yang
berfungsi sebagai elisitor bagi daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman biotik patogen G. boninense, walaupun senyawa-senyawa yang dihasilkan untuk melawan patogen tersebut belum dapat diketahui jenisnya. Dugaan ini terlihat dari turunnya puncak kumpulan senyawa aktif ketika bibit kelapa sawit diinokulasi oleh FMA (M1B0G1) dan bakteri endosimbiotik mikoriza (M0B1G1), baik secara
149
tunggal maupun kombinasi keduanya (M1B1G1). Sejalan dengan hasil tersebut,
penelitian yang dilakukan oleh Siasou et al.(2009) juga menemukan bakteri rizosfir
Pseudomonas fluorescens menghasilkan senyawa antibiotik 2,4
diacetylphloroglucinol (DAPG) yang melindungi tanaman gandum dari patogen
Gaemannomyces graminis var tritici dan senyawa DAPG tersebut hanya dihasilkan
oleh bakteri P. fluorescens apabila terdapat karbon terlarut dalam tanah yang
mengandung FMA Glomus intraradices. Penelitian lain menyebutkan akar tanaman
red clover dalam kondisi defisiensi Fe mengeluarkan eksudat berupa senyawa aktif
fenolik yang dapat mempengaruhi struktur komunitas mikroba terutama mikroba
penghasil siderofor (Bharadwaj et al. 2008). Siderofor yang dihasilkan dapat
dimanfaatkan untuk mengangkut Fe (besi) ke dalam sel-sel bakteri dapat menyerap Fe (III), sehingga mengurangi ketersediaan Fe bagi patogen (Yang & Crowley 2000).
Tanggap tanaman inang terhadap inokulasi FMA dan bakteri endosimbiotik mikoriza melibatkan aktivasi temporal dan spasial beberapa mekanisme ketahanan yang berbeda (Garcia-Garrido & Ocampo 2002). Beberapa mekanisme pengaturan respon ketahanan tanaman inang telah dijelaskan selama pembentukan simbiosis FMA dengan tanaman inang, termasuk degradasi elisitor, mengatur nutrisi dan hormonal ketahanan tanaman; dan aktivasi ekspresi gen yang mengatur simbiosis FMA dan tanaman (Garcia-Garrido & Ocampo 2002). Kolonisasi akar tanaman oleh FMA membawa perubahan biokimia di dalam jaringan tanaman. Perubahan biokimia yang terjadi meliputi: stimulasi jalur fenilpropanoid (Harrison & Dixon 1993); perubahan kadar alifatik poliamin (El Ghachtouli et al. 1995); aktivasi gen
ketahanan terkait (Dumas-Gaudot et al. 2000); peningkatan aktivitas enzim
hidrolitik tertentu (Dumas-Gaudot et al. 1996); sintesis protein yang tidak diketahui
fungsinya (Dumas-Gaudot et al. 2000); elisitasi enzim kitinase tanaman dan ß-1,3 glukanase (Blee & Anderson 1996) yang merupakan antifungi terhadap patogen tanah dan patogen tular akar; induksi enzim kitinase isoform oleh FMA. Enzim-enzim kitinase tersebut melepaskan elisitor oligosakarida dari kitin dinding sel FMA yang pada akhirnya akan menstimulasi respon ketahanan tanaman (Dumas-Gaudot 1996); meningkatkan produksi etilen dan DNA metilasi oleh akar bermikoriza.