• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRANSFORMASI PRAKTIK PENGELOLAAN ZAKAT DI INDONESIA

Sejarah Perkembangan Pengelolaan Zakat di Indonesia Sejarah panjang pengelolaan zakat di Indonesia di awali semenjak hadirnya Islam di Indonesia pada abad ke-13 masehi, yang dilakukan oleh kesultanan Islam. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam menurut Mas’udi (1991), zakat merupakan upeti atau pajak sehingga menjadi sarana yang efektif bagi pemerataan dan penyejahteraan kaum miskin. Pada saat itu zakat diwajibkan bagi setiap warga negara. Beberapa kerajaan Islam di Indonesia pada saat itu memiliki pola pengelolaan zakat yang sama walaupun praktiknya berbeda. Kerajaan Aceh mewajibkan zakat kepada setiap warganya dan kerajaan berperan aktif mengumpulkan zakat dengan membentuk badan khusus yang ditangani pejabat kerajaan dan bertempat di masjid-masjid serta menunjuk imam dan penghulu yang berperan dalam mengelola keuangan masjid yang bersumber dari dana zakat, infak dan sedekah (Azra, 2006). Sedangkan Kerajaan Banjar zakat dikelola oleh pejabat kerajaan yang disebut mantri Bumi yang berasal dari warga kerajaan biasa namun memiliki kemampuan dan keahlian yang mumpuni di bidangnya (Rass, 1968).

Namun semenjak lenyapnya kerajaan Islam oleh kolonialisme, pengelolaan zakat dilakukan oleh masjid-masjid dan ulama di tingkat lokal. Penjajah Belanda memandang zakat sebagai potensi ancaman dan sumber kekuatan pejuang muslim dalam melawan penjajah dengan munculnya wacana jihad yang berkorespondesi dengan ruh zakat yang difahami untuk syiar dan penguatan agama (Malik, 2010). Pemerintah kolonial pada 1905 mengeluarkan peraturan yang melarang keras kepala desa sampai bupati turut campur dalam pengumpulan zakat sehingga penduduk menjadi tidak memberikannya kepada penghulu dan naib, melainkan kepada ahli agama yang dihormati, yaitu kyai atau guru mengaji (Faisal, 2011).

“...pengelolaan zakat sebelum kemerdekaan dikelola oleh masyarakat karena penjajah Belanda menghapus segala hal yang berkaitan dengan

22

agama berbeda dengan penjajahan Inggris yang masih memberikan kesempatan para sultan Malaysia mengelola zakat sehingga selama beratus-ratus tahun zakat dikelola oleh maysarakat dan menjadi budaya... ” (IS (38) akademisi Ekonomi Syariah)

Pada periode inilah sejarah zakat dikelola secara individual oleh umat Islam. Masing-masing individu melaksanakan kewajiban zakat sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki masing-masing secara lokal, terbatas dan kurang teratur.

Pada masa pendudukan Jepang, pemerintah penjajahan menghidupkan kembali institusi Majelis Islam A`la Indonesia (MIAI), suatu federasi partai politik dan organisasi massa Islam yang telah hidup sebelum Perang Dunia II (Malik, 2010). Lembaga MIAI kemudian mengambil inisiatif untuk membangun baitul maal di Jawa pada tahun 1943. Namun upaya ini akhirnya gagal karena MIAI dibubarkan pemerintah Jepang pada akhir tahun 1943.

Setelah kemerdekaan Republik Indonesia pengelolaan zakat di Indonesia masih belum menjadi perhatian pemerintah karena kondisi sosial, ekonomi, dan politik Indonesia yang masih belum stabil (IZDR, 2009) dan mengalami hambatan politis karena tidak didukung berbagai pihak baik legislatif maupun eksekutif. Pasca proklamasi kemerdekaan, pada tahun 1950 banyak desakan dari elit muslim agar pengelolaan zakat menjadi salah satu komponen sistem perekonomian keuangan Negara dan diatur dengan perundang-undangan (Ali, 1988). Namun karena ada sikap curiga terhadap kekuatan agama yang selalu berbenturan dengan kelompok partai komunis saat itu, maka pemerintah melalui Kementerian Agama pada tanggal 8 Desember 1951, yang menyatakan bahwa pemerintah tidak mencampuri rakyat yang beragama Islam dalam mengumpulkan dan mengelola zakat fitrah (Malik, 2010).

Perjuangan memasukkan tatakelola zakat dalam ruang negara berjalan cukup alot hingga pada tahun 1964, Kementerian Agama menyusun RUU zakat dan Recana Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (RPPPUU) tentang Pelaksanaan Pengumpulan dan Pembagian serta Pembentukan bait al-mal, namun kembali mengalami penolakan. Pada tahun 1967 kembali dilakukan upaya namun tetap gagal dan kegagalan ini menunjukkan kalau dalam tubuh pemerintahan kala itu ada konflik internal dari kubu Islam dan kubu pendukung Partai Komunitas bersama Partai Nasionalis sekuler. Penolakan merupakan wujud dari rasa curiga terhadap kekompok Islam yang selalu dilihat sebagai upaya mendirikan Negara Islam di Indonesia (Malik, 2010).

Selama era kolonial sampai dengan orde lama pengelolaan zakat di Indonesia tidak berkembang. Ratusan tahun pemerintah kolonial memisahkan pengelolaan zakat dengan Negara sehingga sudah menjadi budaya masyarakat bahwa zakat merupakan urusan pribadi masing-masing. Hal ini pun berlanjut pada era orde lama dengan alasan pemerintah tidak mencampuri urusan agama masyarakat sehingga pengelolaan zakat tetap menjadi urusan pribadi masing-masing warga negara. Secara akademis pun tidak ada penelitian yang menunjukkan berapa banyak zakat dapat dihimpun dan seberapa besar zakat memberikan kontribusi dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan.

23 Pada era orde baru zakat mulai dilirik oleh pemerintah secara formal semenjak tahun 1968, ketika Presiden Soeharto berpidato dalam perayaan Isra’ Mi’raj di Istrana Negara mengenai pentingnya pelaksanaan zakat secara efektif dan efisien (Departemen Agama RI, 1982). Hasil pidato ini kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Agama tentang pembentukkan Badan Amil Zakat dan Baitul Maal di tingkat Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kotamadya.

“...Presiden Soeharto pada masa itu mendeklarasikan diri sebagai amil

tingkat nasional diikuti oleh kepala-kepala daerah hingga tingkat kelurahan...” (IS (38) akademisi Ekonomi Syariah)

Sebagai tindak lanjut dari pemerintah pusat pada tanggal 5 Desember 1968, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin mendirikan Badan Amil Zakat (BAZ) pada dengan yang kemudian diikuti beberapa daerah lainnya seperti Aceh, Sumatra Barat, Lampung, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan Selatan yang tampil dalam nama dan konsep yang berbeda-beda bergantung dengan masing-masing daerah (Rahardjo, 1986) sehingga dari lembaga-lembaga tersebut dapat ditarik tiga pola, yaitu (1) Lembaga yang fokus dalam pengumpulan zakat fitrah saja seperti di Jawa Barat, (2) Lembaga yang menitik beratkan zakat maal, ditambah infak dan sedekah, seperti BAZIS DKI Jakarta, dan (3) Lembaga yang ingin mencakup semua jenis harta benda Islam, ini mengarah kepada pembentukkan lembaga Baitul Maal.

Pada tahun 1982, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila (YABMP) didirikan Presiden Soeharto dengan tujuan pembiayaan rumah Ibadah di daerah-daerah terpencil dan lingkungan miskin. Yayasan tersebut mengumpulkan dana dari sumbangan Instansi Pemerintah yang ditarik dari potongan gaji pegawai negeri sipil dan ABRI-POLRI yang beragama Islam, Badan Usaha Negara dan Swasta, amal jariah, shadaqah dan hibah (Thaba dalam Malik, 2010). Hal ini merupakan cikal bakal zakat menjadi bagian dari Sumbangan dari Pegawai Negari Sipil, ABRI dan POLRI. Pemanfaatan dana tersebut terkonsentrasi pada pembangunan Masjid yang dikenal dengan Masjid Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila.

Selain pemerintah, lembaga zakat dikalangan masyarakat pun mulai bergeliat, yaitu dengan berdirinya lembaga pengelolaan zakat berbentuk Yayasan di Surabaya yang dinamakan Yayasan Dana Sosial Al Falah (YDSF) pada 1 maret 1987 (Hafidhudin dan Juwaini, 2007).

“....Sejarah terbentuknya YDSF berawal dari berkumpulnya para

pemimpin perusahaan yang sedang berkumpul di masjid Al Falah Surabaya yang peduli pada kondisi sosial ekonomi masyarakat sehingga mereka bermaksud menghimpun dana untuk dapat

memberikan bantuan kepada masyarakat....” (SL (32) manajer Corsec

Dompet Dhuafa).

Walaupun pada era Orde Baru telah ada peran negara dan masyarakat (masjid, pesantren, tokoh masyarakat dan yayasan) dalam pengelolaan zakat, tetapi pengelolaan zakat tetap tidak berkembang dan stagnan. Zakat belum memberikan kontribusi yang signifikan dalam mengatasi kemiskinan di Indonesia.

24

“...pengelolaan zakat sebelum tahun 1990-an belum berkembang

walaupun sudah ada perhatian negara karena pengelolaan zakat yang dilakukan pemerintah pada saat itu tertutup dan YDSF sebagai pioner lembaga zakat masyarakat hanya mengelola dana zakat fitrah, infak dan sedekah, selain itu letak YSDF jauh dari pusat ibu kota sehingga tidak memiliki pengaruh yang signifikan...” (AJ (46) Presiden Direktur Dompet Dhuafa)

“...permasalahannya ketika semua pejabat (dari presiden hingga kepala

daerah mengdeklarasikan diri menjadi amil, sehingga hasil penghimpunan zakat 80 persen diambil oleh amil akibatnya masyarakat tidak percaya sehingga pengelolaan zakat mengalami stagnasi...” (IS (38) akademisi Ekonomi Syariah)

Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perkembangan yang berarti dari pengelolaan zakat pada sebelum tahun 1990-an. Hal ini ditambah dengan peran serta negara dalam pengelolaan zakat justru menimbulkan polemik tersendiri. Hak amil yang terlalu besar dan tidak adanya akuntabilitas (pengelolaan tertutup) mengakibatkan masyarakat tidak percaya pada peran Negara dalam mengelola zakat. Keberadaan YDSF pun tidak memberikan pengaruh terhadap pengelolaan zakat di Indonesia karena kiprahnya yang lokal dan terbatas di Jawa Timur. Ditambah lagi di Indonesia pengelolaan zakat belum diberikan ruang dalam kebijakan perekonomian.

Hal ini sejalan dengan uraian Hafidhudin dan Juwaini (2007) mengenai ciri-ciri pengelolaan zakat di Indonesia sebelum tahun 1990-an zakat, yaitu:

1. Zakat masih dikelola secara tradisional dengan pengelolaan sekedarnya, dikelola oleh orang-orang yg tidak kompeten, secara musiman dan insidental

2. Zakat pada umumnya diberikan langsung oleh muzaki kepada mustahik tanpa melalui amil

3. Harta obyek zakat hanya terbatas pada harta-harta yang secara eksplisit disebutkan secara rinci oleh Al Qur’an, misalnya zakat fitrah, zakat pertanian, zakat emas

4. Zakat yang diberikan bersifat konsumtif untuk keperluan sesaat

Berdasarkan uraian diatas menunjukkan bahwa sebelum tahun 1990- an obyek harta zakat terbatas, seperti zakat fitrah yang pengumpulannya hanya satu tahun sekali, zakat mal (harta) berupa kepemilikan emas, zakat pertanian, hasil laut, peternakan dan kebun. Dapat dikatakan bahwa petani, nelayan, peternak dikenakan wajib zakat. Sedangkan profesi lainnya seperti dokter, insinyur, pegawai, guru, dosen, pengusaha dan berbagai profesi lainnya pada perekonomian modern tidak menjadi wajib zakat kecuali membayar zakat fitrah. Padahal di Indonesia penghasilan petani, nelayan dan peternak relatif rendah. Bahkan nelayan termasuk kepada golongan masyarakat miskin di Indonesia. Menurut data sosial ekonomi (2014) jumlah penduduk miskin perdesaan berjumlah 14 juta jiwa lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk miskin perkotaan sebesar 8 juta jiwa. Padahal penduduk perdesaan cenderung berprofesi sebagai petani dan nelayan. Selain itu penghasilan sektor pertanian menurut data sosial ekonomi (2014) rata-rata pendapatan pertanian tahun 2013 sebesar Rp 1,03 juta per bulan. Hal ini

25 menguatkan pendapat bahwa petani dan nelayan masuk dalam golongan masyarakat miskin.

Hal ini menunjukkan bahwa obyek harta zakat yang terbatas pada kondisi kekinian menjadi tidak adil, karena petani dan nelayan yang berpenghasilan kecil berkewajiban membayar zakat sedangkan profesi lain yang lebih besar pendapatannya tidak dikenakan wajib zakat. Selain itu dengan obyek harta zakat yang terbatas, potensi zakat pun tidak dapat dikalkulasikan. Hal ini menurut Hafidhuddin dan Juwaini (2006) dipicu karena (1) belum meratanya keberadaan lembaga zakat di berbagai daerah, (2) rendahnya kepercayaan masyarakat pada amil zakat, (3) profesi amil zakat masih dianggap sebagai profesi sambilan dan (4) kurangnya sosialisasi tentang zakat (urgensi, hikmah, tujuan, tata cara pelaksanaan, harta obyek zakat, dan keterkaitan zakat dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Proses Transformasi Pengelolaan Zakat di Indonesia

Berdasarkan uraian sebelumnya bahwa pengelolaan zakat hingga era orde baru tidak mengalami perkembangan dan stagnan. Hal ini disebabkan tertutupnya dan penyalahgunaan pengelolaan zakat yang dilakukan pemerintah. Selain itu menurut Hafidhudin dan Juwaini (2006) bahwa stagnasi pengelolaan zakat sebelum tahun 1990-an dikarenakan zakat dikelola secara tradisional.

“... kelompok masyarakat di awal tahun 1990-an mengorganisir diri

mereka dengan membentuk Dompet Dhuafa di Jakarta dan dielaborasi dengan perkembangan konsep (fiqh) zakat. Pada tahun 1997 atas inisiasi Dompet Dhuafa beberapa lembaga zakat membentuk Forum Zakat (FOZ) yang kemudian FOZ mendorong pembuatan UU zakat…”. (IS (38) akademisi Ekonomi Syariah)

Perkembangan pengelolaan zakat yang dianggap stagnan oleh sekelompok masyarakat mendorong gerakan transformasi pengelolaan zakat pada tahun

1990-an, yang diawali dengan berdirinya lembaga zakat Dompet Dhuafa.

“…Dompet Dhuafa yang lahir dari rahim Harian Umum Republika

(perusahaan media yang telah menerapkan manajemen organisasi profesional), melekat pula nilai-nilai/ kultur bisnis dan manajemen modern yang profesional dalam pengelolaan organisasi Dompet Dhuafa, misalnya Dompet Dhuafa menerapkan aturan kepegawaian yang sama dengan Republika, full time, memiliki gaji yang ditentukan dan bekerja sesuai dengan struktur, tugas dan fungsi yang telah ditentukan. Walaupun pada awal berdirinya Dompet Dhuafa merupakan organisasi sederhana dengan ruang lingkup yang terbatas…”(AJ (46) Presiden Direktur Dompet Dhuafa)

“…Pada tahun 1994 Dompet Dhuafa mulai berinovasi dalam program penyaluran dana zis dalam bidang pengembangan ekonomi dengan mendirikan dan melakukan pelatihan pembinaan BMT (Baitul Mal wa Tamwil) atau lembaga keuangan mikro syariah yang memberikan modal usaha kepada mustahik/ penerima manfaat dari pengusaha mikro dan UKM. Namun dalam memberikan modal usahanya Dompet Dhuafa belum

26

memberikan pendampingan kepada penerima modal usaha (penerima

manfaat)…”(AJ (46) Presiden Direktur Dompet Dhuafa)

Uraian di atas menunjukkan, Dompet Dhuafa yang lahir pada tahun 1993 melalui harian umum Republika menerapkan inovasi dengan menerapkan prinsip organisasi modern dan program pengelolaan zakat yang menggunakan pendekatan pengembangan ekonomi melalui BMT/ lembaga keuangan mikro syariah.

Dompet Dhuafa merupakan lembaga zakat yang lahir dari koran Harian Republika, pada bulan april tahun 1993. Dompet Dhuafa awalnya merupakan organisasi sederhana yang menjadi bagian aksi sosial dari koran republika yang bernama Ikatan Sosial Republika (ISR). Seiring antusiasme dan dukungan masyarakat dengan besarnya sumbangan dana sosial, ISR berganti nama menjadi Dompet Dhuafa Republika dan mendirikan Yayasan Dompet Dhuafa Republika pada tahun 1994.5

Kemandirian organisasi Dompet Dhuafa diawali dengan berdirinya Yayasan Dompet Dhuafa pada 4 September 1994, dengan legalitas yang tercatat Departemen Sosial RI pada September 1994 dengan Parni Hadi, Haidar Bagir, S. Sinansari Ecip, dan Eri Sudewo sebagai Dewan Pendirinya.6 Erie Sudewo ditunjuk menjadi Ketua Yayasan Dompet Dhuafa yang bertugas mengumpulkan dan menyalurkan dana zakat, infak dan sedekah dalam berbagai program kemanusiaan, antara lain untuk kebutuhan kedaruratan, bantuan ekonomi, kesehatan, dan pendidikan bagi kalangan dhuafa/ oleh karena itu dapat dikatakan bahwa misi utama Dompet Dhuafa adalah memberdayakan masyarakat melalui pengelolaan dana ZIS.

Dalam mengembangkan organisasinya Dompet Dhuafa terus belajar dan bersinergi dengan lembaga-lembaga lainnya dalam meningkatkan kapasitas organisasinya. Hal ini ditunjukkan oleh pernyataan AJ (46), yaitu

5

Ringkasan dari http://dompetdhuafa.org/about/ sejarah [20 Oktober 2014] dan thesis (Herry Bazhrizal Tanjung. Analisis Usaha Tani Padi Sawah dengan Memanfaatkan Dana Zakat di Lamongan, Jawa Timur, Tesis, Program Pasca Sarjana, IPB, 1998, hlm 45

Seiring dengan aktifnya aksi sosial Republika, April 1993, Koran Republika yang baru terbit tiga bulan menyelenggarakan promosi surat kabar di stadion Kridosono, Yogyakarta pada tahun 1993 yang dikemas sebagai gabungan antara dakwah dan entertainment untuk menarik pelanggan baru dan menarik minat masyarakat membeli saham koran, yang dihadiri Pemred Republika Parni Hadi, (alm) Zainuddin MZ dan Rhoma Irama dan awak pemasaran Republika. Setelah acara tersebut rombongan Republika bertemu sejumlah mahasiswa Yogyakarta yang bergabung dalam corp dakwah pedesaan (CDP) dan aktif pada kegiatan dakwah di tempat terpencil dan miskin di Yogyakarta, seperti Gunung Kidul dan Lereng Merapi yang memerlukan dana untuk pengembangan masyarakat sehingga menggugah pemimpin Harian Umum Republika untuk menugaskan sekretaris redaksi, Eri Sudewo sebagai koordinator pengumpul zakat para karyawan untuk menyalurkan zakat melalui CDP. Ketika banyak pembaca Republika yang antusias menyalurkan zis sehingga ISR mengganti namanya menjadi Dompet Dhuafa untuk menjangkau pembaca lebih luas yang dipublikasikan pertama kali di Harian Republika pada 2 juli 1993 dan mendapat sambutan luar biasa, ditandai dengan adanya kemajuan yang signifikan dari pengumpulan dana masyarakat.

6dari http://dompetdhuafa.org/about/ sejarah [20 Oktober 2014]

Legalitas Dompet Dhuafa Republika tercatat di sebagai organisasi yang berbentuk Yayasan yang dilakukan di hadapan Notaris H. Abu Yusuf, SH tanggal 14 September 1994, diumumkan dalam Berita Negara RI No. 163/ A.YAY.HKM/ 1996/ PNJAKSEL dan diperbaharui oleh Dirjen Administrasi Hukum No. C-HT.01.09-88, tertanggal 21 September 2004.

27

“…Dalam rangka mengembangkan organisasi, saya ditunjuk oleh Pak Erie pada saat itu (tahun 1995-1996) untuk datang studi banding ke YDSF sehingga dapat belajar dari pengalaman praktek pengelolaan ZIS YDSF sebagai masukan dalam merancang program-program Dompet Dhuafa kedepan…” (AJ (46) Presiden Direktur Dompet Dhuafa)

Proses transformasi berlanjut pada Tahun 1997 hingga 1999 ketika peralihan era antara orde baru menuju reformasi walapun situasi politik, ekonomi dan keamanan yang tidak stabil. Kehadiran Yusuf Qhardawi yang diundang Bank Indonesia untuk berbicara terkait ekonomi syari’ah pada 1997, menandakan bahwa Bank Indonesia yang bermazhab ekonomi konvensional (umum) mulai mengakui keberadaan ekonomi syari’ah (Sudewo, 2012). Hal ini merupakan cikal bakal berkembangan ekonomi syariah di Indonesia pada era reformasi. Zakat merupakan salah satu pilar ekonomi syariah, sehingga perkembangan ekonomi syariah di Indonesia merupakan habitat tumbuh suburnya pengelolaan zis, seperti yang dinyatakan oleh Hafidhuddin (2013).7

Tahapan proses transformasi selanjutnya adalah berdirinya FOZ pada tahun 1997 yang berawal dari kegiatan seminar zakat profesi yang diadakan oleh Dompet Dhuafa dengan Ahmad Juwaini (AJ) sebagai ketua panitianya.

“…Saat itu saya ditunjuk Pak Erie sebagai penanggungjawab seminar bertemu pimpinan lembaga-lembaga tersebut dalam rangka mengajak beberapa lembaga untuk berpartisipasi dan berkontribusi dalam kegiatan. Setiap pimpinan lembaga yang ditemui menyampaikan permasalahan- permasalahan yang relatif sama satu sama lain dalam pengelolaan zakat, yaitu penyaluran dana ZIS ganda pada satu mustahik sehingga saya terinspirasi dalam menggagas berdirinya FOZ, agar masing-masing organisasi pengelola zakat dapat saling berkoordinasi dan sinergi...” (AJ (46) Presiden Direktur Dompet Dhuafa)

Seminar inilah yang menjadi momentum didirikannya FOZ oleh Dompet Dhuafa dan lembaga-lembaga zakat lainnya Hal ini pun dikuatkan oleh Hafidhudin dan Juwaini (2006) bahwa Dompet Dhuafalah yang memiliki peran besar dalam membidani terbentuknya asosiasi organisasi pengelola zakat FOZ.

“...FOZlah yang mendorong penyusunan hingga disahkannya UU pengelolaan zakat no.38 Tahun 1999. Hal ini merupakan babak baru dalam pengelolaan zakat di Indonesia, karena zakat telah menjadi elemen penting dalam kehidupan bangsa Indonesia dan telah memasuki wilayah formal

kenegaraan...”. (SL manager CORSEC Dompet Dhuafa)

FOZ berupaya melegalisasi pengelolaan zakat di Indonesia dengan mendorong pemerintah untuk membuat UU yang mengatur pengelolaan zakat. Hal ini dilakukan sebagai upaya membawa pengelolaan zakat infak sedekah (ZIS) menjadi bagian penting dari Negara dan keberadaan zakat dianggap penting oleh seluruh elemen masyarakat sehingga tujuan pengelolaan zakat dapat tercapai dengan optimal.

“…Habibie merupakan presiden yang berani dan kongkrit dalam mendukung pengelolaan zakat di Indonesia dengan mengesahkan UU

28

pengelolaan zakat no.38 Tahun 1999, walaupun situasi sosial, politik dan ekonomi tidak stabil..” (IS (38) akademisi Ekonomi Syariah)

Pengesahan UU pengelolaan zakat No.38 Tahun 1999 pada 23 September 1999 oleh pemerintah8 merupakan awal dilegalkannya kembali pengelolaan zakat oleh negara. Dukungan dan keberanian Presiden BJ Habiebie pada saat itu juga menjadi salah satu faktor berhasilnya UU tersebut disahkan. Dengan diberlakukannya UU ini, terutama pada satu dekade terakhir pasca reformasi, pengelolaan zakat di Indonesia berkembang dengan pesat.

Keberadaan UU pengelolaan zakat Tahun 1999, berimplikasi pada dibentuknya Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) sebagai lembaga pengelola zakat pemerintah tingkat nasional yang pertama pada tahun 2001. BAZNAS lahir sebagai bentuk implementasi dari UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengeloaan zakat dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2001 yang berdampak pada dilepasnya fungsi pengelolaan zakat oleh Kementrian Agama walaupun pada Kementrian agama fungsi pengelolaan zakat masih ada, yaitu pada direktorat pemberdayaan zakat (HH (28) Litbang BAZNAS). BAZNAS memiliki fungsi melakukan penghimpunan dan pendayagunaan dana zakat, infak dan sedekah.

Menurut HH (28) secara resmi BAZNAS lahir pada 17 Januari 2001 dengan ditetapkannya Ketua Umum BAZNAS pertama, Drs. H. Achmad Subianto yang merupakan Sesmen Kementrian BUMN beserta pengurus BAZNAS periode 2001-2004 yang terdiri Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, MSc. sebagai Ketua Dewan Pertimbangan, dan H. Muchtar Zarkasyi, SH sebagai Ketua Komisi Pengawas. Beserta para personil lainnya yang duduk di dalam kepengurusan seperti ulama, birokrat, profesional dan tokoh nasional yang dinilai memiliki integritas dan kredibilitas tinggi terutama di bidang pengelolaan zakat.

Pada awal berdirinya, BAZNAS belum memiliki kelengkapan organisasi untuk menjalankan segala tugas dan fungsi organisasi dengan optimal.

“...Dapat dikatakan bahwa Presiden Abdurrahman Wahid mendirikan BAZNAS tanpa menyiapkan kelengkapan organisasinya sehingga BAZNAS harus mengkoordinasikan sendiri dengan berbagai pihak (lembaga dan kementrian terkait) dalam memenuhi kebutuhan organisasinya...” (IS(38) akademisi Ekonomi Syariah)

Hal ini menunjukkan bahwa sebagai organisasi yang baru terbentuk, BAZNAS minim sumberdaya organisasi, seperti modal operasional, sumberdaya manusia (staf/ amil) dan kantor karena tanpa ketersediaan dana operasional dan sumberdaya manusia yang memadai, maka aktifitas organisasi tidak berjalan dengan optimal. Pada Surat Keputusan Presiden telah tertulis megenai anggaran operasional BAZNAS yang berasal dari APBN tetapi realisasi dalam pencairannya tidak mudah. Oleh karena itulah Periode pertama kepengurusan BAZNAS Pada tahun 2001 sampai dengan 2003 berfokus pada pembentukkan dan menyiapkan infrastruktur dan sumberdaya organisasi.

29 Menurut HH (28) langkah awal BAZNAS dalam menghimpun dana sebagai modal operasional, dengan membangun kerjasama bersama perbankan, yaitu membuka rekening penerimaan dana zis dengan nomor unik yaitu berakhiran 555 untuk zakat dan 777 untuk infak. Kemudian langkah kedua, dibantu oleh Kementerian Agama, BAZNAS menyurati lembaga pemerintah serta luar negeri untuk membayar zakat ke BAZNAS sehingga berhasil menghimpun dana sebesar Rp 100 juta. Dalam memenuhi kebutuhan dana dan sumberdaya manusia yang berkualitas, langkah strategis BAZNAS bekerjasama dengan PT. Permodalan Nasional Madani (PT PNM) yang merupakan BUMN yang bergerak di bidang pembiayaan usaha kecil, mikro,

Dokumen terkait