• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang akan dicapai peneliti dalam pengembangan modul adalah bergambar permainan tradisional anak kelas I SD tema 4 subtema:

1. Menjelaskan proses pengembangan modul pembelajaran menggunakan permainan tradisional anak untuk kelas I SD tema 4 subtema 3.

2. Mendeskripsikan kualitas modul pembelajaran menggunakan permainan tradisional anak untuk kelas I SD tema 4 subtema 3.

7 D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Mahasiswa

Melalui pengembangan modul pembelajaran menggunakan permainan tradisional anak, dapat menambah wawasan bagi mahasiswa yang nantinya menjadi seorang guru untuk mengembangkan bahan ajar dan menambah kreativitas dalam penyampaian materi ajar melalui permainan tradisonal.

2. Bagi Guru

Modul yang dikembangkan oleh peneliti diharapkan dapat membantu guru dalam menyampaikan materi dengan lebih kreatif. Selain materi pembelajaran dapat tersampaiakan sesuai tujuan, proses pembelajaran juga dapat terlaksana secara menarik dengan melakukan kegiatan berupa permainan anak tradisonal yang termuat dalam modul.

3. Bagi Siswa

Modul yang dikembangkan diharapkan dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran yang akan dicapai, dan proses pembelajaran terlaksana secara menarik dengan melakukan permainan tradisonal anak. Selain itu, siswa memperoleh pengalaman baru dalam belajar dengan permainan tradisional anak.

4. Bagi Sekolah

Pengembangan modul pembelajaran ini diharapkan dapat menambah media ajar yang menarik untuk proses belajar-mengajar, sekaligus pengembangan

8

modul ini dapat menjadi koleksi perpustakaan sekolah sebagai bahan literasi yang menarik bagi guru khususnya guru kelas I SD.

5. Bagi Prodi PGSD

Penelitian pengembangan modul ini dapat menjadi tambahan pustaka untuk prodi PGSD Universitas Sanata Dharma berupa modul permainan tradisonal anak untuk kelas I SD.

6. Bagi Peneliti

Pengembangan modul ini membantu peneliti dalam menambah wawasan tertutama dalam pembelajaran tematik dan pemanfaatan kegiatan permainan tradisonal anak yang dapat digunakan dalam proses penyampaian materi pembelajaran. Untuk itu, peneliti berharap dengan pengembangan modul pembelajaran menggunakan permainan tradisonal anak dapat membantu guru dalam menyampaikan materi pembelajaran dan siswa mampu memahami materi yang disampaikan.

E. Spesifikasi Produk

1. Pengembangan modul pembelajaran menggunakan permainan tradisional anak yang dihasilkan menyampaikan materi pembelajaran tematik.

2. Isi modul yang dihasilkan sesuai dengan materi pembelajaran yang termuat pada kelas I tema 4 subrema 3 pembelajaran 1 sampai 6.

3. Pengembangan modul pembelajaran menggunakan permainan tradisional anak yang dihasilkan dilengkapi dengan ilustrasi yang menarik sesuai dengan permainan tradisional anak.

9

4. Modul permainan tradisional anak mengadung komponen cover, kata pengantar, daftar isi, isi modul , daftar pustaka, dan biografi penulis.

F. Definisi Operasional

1. Modul pembelajaran merupakan bahan ajar yang dibuat secara menarik dan disusun secara sistematis sebagai sarana belajar-mengajar.

2. Permainan tradisional anak merupakan suatu bentuk kegiatan yang dapat dilakukan secara individu maupun kelompok yang berkembang berdasarkan ciri khas atau kebiasaan dari masyarakat tertentu.

3. Pembelajaran tematik merupakan pembelajaran yang disajikan dengan menggabungan beberapa mata pelajaran berdasarkan suatu tema yang telah ditentukan dan materi yang termuat dibahasa lebih mendalam melalui pembagian dari subtema.

4. Siswa kelas I sekolah dasar merupakan anak- anak berusia mulai dari 6 sampai 7 tahun yang sedang menempuh peroses pendidikan kelas bawah di sekolah dasar.

10 BAB II LANDASAN TEORI

Pada Bab II ini akan membahas (1) kajian pustaka, (2) penelitian yang relevan, (3) kerangka berpikir, dan 4) pertanyaan penelitian.

A. Kajian Pustaka

1. Teori yang Mendukung 1.1 Teori Perkembangan Anak

Perkembangan merupakan suatu proses yang pasti dialami individu selama hidupnya. Menurut (Dahlan, 2009: 15) perkembangan merupakan perubahan-perubahan yang dialami setiap individu atau organisme menuju pada tahap kedewasaan atau kematangan (maturation) berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan, baik menyangkut fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah). Pendapat tersebut dapat dijelaskan bahwa individu secara terus-menerus mengelami perkembangan dan perubahan yang dipengaruhi oleh pengalaman atau belajar sepanjang hidupnya. Perkembangan tersebut berlangsung secara terus-menerus sejak masa konsepsi sampai mencapai kematangan atau masa tua. Dalam ruang lingkup perkembangan, banyak tokoh yang membahas mengenai teori perkembangan anak. Pada penelitian ini peneliti mengambil teori perkembangan anak oleh Jean Piaget yang membahas perkembangan kognitif dan Vygotsky membahas perkembangan sosial. Alasan peneliti mengambil teori perkembangan dua tokoh tersebut karena pada penelitian ini peneliti mengembangkan bahan ajar sebagai sumber refrensi atau pegangan guru yang di dalamnya terdapat cara belajar siswa memahami materi menyangkut dalam

11

(kognitif), dan mengajarkan siswa untuk berinteraksi dengan lingkungannya (perkembangan sosial).

1. Teori Perkembangan Kognitif Piaget

Perkembangan anak merupakan tahap utama kemampuan anak untuk berpikir. Menurut (Susanto, 2011: 48) menyatakan bahwa kognitif adalah proses berpikir, yaitu kemampuan individu untuk menghubungkan, menilai, dan mempertimbangkan suatu kejadian atau peristiwa. Menurut Piaget (dalam Suparno, 2013: 39) terdapat empat tahap perkembangan kognitif anak berdasarkan usianya.

Berikut empat tahap perkembangan kognitif anak berdasarkan usianya:

1. Tahap Sensorimotor (0-2 tahun)

Pada tahapan ini bayi pemahaman duni dengan mengkoordinasikan pada tindakan inderawi anak terhadap lingkungannya seperti melihat, meraba, menjamah, mendengar, membau, dan lain-lain. Pada tahapan ini anak belum dapat berbicara dengan bahasa. Perkembangan pikiran anak pada tahap ini dimulai dengan reaksi refleks anak terhadap rangsangan dari luar.

2. Tahap Pra-operasional (2-7 tahun)

Tahap ini dicirikan dengan adanya fungsi semiotik, yaitu penggunaan simbol atau tanda untuk menyatakan suatu objek yang saat itu tidak berada bersama si subjek. Pada tahap ini anak-anak sudah mulai menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Dengan penggunaan bahasa, seorang anak dapat mengungkapkan suatu hal yang tidak sedang dilihat.

3. Tahap operasional konkret (7-11)

Tahap ini dicirikan oleh perkembangan sistem pemikiran yang didasarkan pada aturan-aturan tertentu yang logis. Selain itu, anak dalam tahap sudah

12

dapat mengurutkan dan mengklasifikasikan terhadap suatu hal yang ditemuinya. Tahap operasional konkret ditandai dengan adanya sistem operasi terhadap objek konkret/nyata. Anak masih menerapkan logika berpikir pada benda-benda yang konkret, belum bersifat abstrak apalagi hipotesis sehingga mereka masih punya kesulitan untuk memecahkan persoalan yang mempunyai banyak variabel.

4. Tahap Operasi Formal (11 tahun ke atas)

Pada tahap ini anak sudah dapat berpikir logis, berpikir dengan pemikiran teoritis formal berdasarkan proposisi-proposisi dan hipotesis, dan dapat mengambil kesimpulan lepas dari apa yang dapat diamati saat ini. Cara berpikir yang abstrak mulai dimengerti dan juga pemikirannya sudah melampaui ruang dan waktu.

Jean Piaget meyakini bahwa belajar adalah proses mempelajari kembali dan anak akan menumbuhkan sendiri perasaan mereka terhadap suatu hal yang nyata (Suparno, 2013: 39). Menurut Piaget, pikir manusia mempunyai struktur yang disebut dengan skema atau skemata (jamak) yang sering disebut struktur kognitif.

Dengan menggunakan skemata itu seseorang mengadaptasi dan mengkoordinasi lingkungannya sehingga terbentuk skemata yang baru, yaitu melalui proses asimilasi dan akomodasi. Proses belajar sesungguhnya terdiri dari 3 tahapan, yaitu asimilasi, akomodasi, hubungan tahap ini dengan penelitian yang dilakukan ialah melalui permainan tradisional anak siswa dapat memperoleh suatu area yang digunakan untuk mempelajari materi pembelajaran yang dikaitkan dengan permainan tradisional sehingga siswa mampu mengetahui pembahasan dan inti dari materi tersebut, dan equilibrasi (penyeimbangan) (Sugihartono, 2013: 109-110).

13

1. Asimilasi merupakan proses penyatuan suatu informasi (pengetahuan) baru dikenalkan kepada seseorang dan pengetahuan itu cocok dengan skema/skemata (struktur kognitif) yang telah dimilikinya, maka pengetahuan itu akan diadaptasi sehingga terbentuklah pengetahuan baru.

2. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif pada situasi yang baru.

Proses restrukturisasi skemata sudah ada sebagai akibat adanya informasi dan pengalaman baru yang tidak dapat secara langsung diasimilasi pada skemata tersebut. Pada akomodasi terjadi proses belajar yang baru dan merefleksikan perubahan kualitatif pada skemata disebut perkembangan (development).

3. Disequilibrium dan Equilibrium yaitu penyesuaian berkesinambungan anatara asimilasi dan akomodasi. Proses akomodasi dimulai saat pengetahuan baru yang dikenakan tidak cocok dengan struktur kognitif yang sudah ada, maka akan terjadi disequilibrium, kemudian struktur kognitif tersebut direstukturisasi kembali agar dapat disesuaikan dengan pengetahuan baru atau terjadi equilibrium, sehingga pengetahuan baru itu dapat diakomodasi dan selanjutnya diasimilasikan menjadi pengetahuan skemata baru.

2. Teori Perkembangan Sosial Vygotsky

Perkembangan sosioemosi merupakan pencapaian individu terhadap kemampuan perilaku/sikap dengan harapan sosial yang sesuai di lingkungan sosialnya. Sejalan dengan hal tersebut, perkembangan sosioemosi adalah kemampuan anak dalam menyesuaikan diri terhadap dunia sosial dalam ruang lingkung yang lebih luas. Namun, pada kenyataannya yang terjadi dalam

14

lingkungan sekolah untuk melakukan penyesuain diri tersebut tentu siswa membutuhkan orang lain agar siswa tersebut dapat beradaptasi baik dengan lingkungan sosialnya. Pada perkembangan sosioemosi Vygotsky beranggapan bahwa suatu perkembangan langsung dipengaruhi dengan adanya perkembangan sosial dalam memahami budaya, interaksi sosial, peranan bahasa, dan perkembangan kognitif. Dalam penyamapaiannya istilah yang digunakan ialah scaffolding dan zone of proximal development (ZPD) (Sugihartono. 2013: 113).

Menurut Vygotsky (dalam Mutiah, 2010: 81-82) Pembelajaraan berdasarkan scaffolding merupakan upaya untuk menumbuhkan keterampilan siswa dalam memecahkan suatu masalah untuk mencapai keberhasilan. Hal tersebut tentunya menekankan pentingnya guru sebagai fasilitator dalam perkembangan potensi siswa dengan tujuan siswa mampu teralisir menjadi aktual. Dalam pelaksanaannya peran guru bertugas untuk mengawasi dan memberikan apresiasi ketika siswa sedang melakukan akvitas dalam memecahkan sebuah masalah dengan harapan siswa mampu mencapai keberhasilan. Selain itu, guru bertugas memberikan bantuan kepada siswa ketika siswa belum mengetahui atau lupa mengenai hal yang mesti siswa lakukan. Oleh karena itu, pembelajaraan berdasarkan scaffolding dapat memotivasi siswa merespon dengan antusias, melatih siswa dalam mengambil resiko, meningkatkan rasa ingin tahu siswa terhadap suatu hal, dan membantu siswa untuk mengakui keberhasilan yang telah diperoleh.

Scaffolding dan zone of proximal development (ZPD) adalah daerah yan telah dilakukan siswa sendiri menuju pada tahap tingkat potensial yang dapat didefinisikan sebagi kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dengan bimbingan orang yang lebih dewasa atau teman sebaya yang memilki kemampuan

15

yang lebih kompeten. Oleh karena itu, terdapat empat prinsip yang mendasari pendekatan Vygotsky yaitu: 1) anak mengkonstruk pengetahuan, 2) pengembangan diri anak tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial, 3) pembelajaran dapat membantu pengembangan diri, 4) bahasa memainkan peran vital dalam pengembangan mental (Mutiah, 2010: 83).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, perkembangan kognitif dan anak memiliki kaitan yang sangat kuat. Hal tersebut dapat dilihat dari usia anak sekolah dasar yang berada pada tahap operasional konkrit dimana anak mulai mengenal benda-benda nyata sebagai sumber untuk memiliki pengetahuan yang baru serta anak usia sekolah dasar sudah mampu menyampaikan suatu hal yang ingin disampaikan menggunakan bahasa.

1.2 Teori Perkembangan Anak SD Usia Bawah

Usia anak untuk masuk SD umunya berusia 6/7 tahun. Pada masa tingkatan SD anak harus melewati 6 kelas yang dibagi menjadi dua bagian yaitu kelas atas dan kelas bawah. Untuk kelas bawah anak duduk di kelas I dengan usia (6/7 tahun) hingga naik kelas III (9/10 tahun) sedangkan anak–anak yang berada di tahapan kelas atas yaitu pada kelas IV memiliki kisaran usia (9/10 tahun) hingga kelas VI usia (12/13 tahun). Anak usia SD masuk pada tahap operasional konkret. Sejalan dengan hal tersebut, menurut Piaget (dalam Suparno, 2011: 24) mengungkapkan bahwa anak sekolah dasar berada tahap operasional konkret, sehingga konsep yang tertanam pada tahap ini ialah konsep yang samar-samar dan sekarang lebih konkret.

Umunya, dalam lingkungan sekolah pada tahap ini siswa sudah memiliki pemikirannya sendiri. Namun agar lebih optimal dalam proses pengembangan

16

potensi dibutuhkan dorongan dan dukungan dari orang-orang dewasa yang ada di sekitar mereka.

Anak usia SD tentu memiliki karakterisitik khusus sesuai dengan tahap perkembangannya. Berikut merupakan karakteristik khusus anak usia SD menurut (Hosnan, 2016: 58-60) yaitu: 1) senang bermain, 2) senang melakukan aktivitas, 3) senang melakukan kerja dalam sebuah kelompok, 4) senang merasakan atau melakukan, mempergerakan seatu hal secara langsung, 5) suka menangis, 6) sulit memahami apa yang disampaikan oleh orang lain, 7) senang memperoleh perhatian dari orang lain, 8) suka meniru yang dilakukan oleh teman sebayanya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa anak usia sekolah dasar berada pada tahap operasional konkret (usia 6-11 tahun). Pada tahap ini anak belum mampu berfikir secara abstrak, sehingga anak membutuhkan benda-benda yang bersifat konkret atau nyata untuk menumbuhkan pengetahuan baru. Selain itu, dalam karakteristik khusus anak pada usia SD dapat disimpulkan bahwa anak banyak melakukan aktivitas dan dapat belajar dari lingkungannya. Dari kesimpulan tersebut peneliti tertarik untuk mengembangkan bahan ajar berupa pengembangan modul pembelajaran menggunakan permainan tradisonal anak untuk menyampaikan materi ajar sebagai sumber refrensi atau pegangan guru. Hal tersebut didukung dengan tahap operasional konkret anak yang belajar menggunakan benda nyata dan dalam tahapan ini anak belajar melalui lingkungannya yang dapat dilakukan dengan melakukan permainan tradisional sehingga anak mampu memahami materi sesuai dengan tujuan pembelajaran.

17 1.3 Kurikulum

Kurikulum merupakan kunci utama dalam sebuah pendidikan, karena pada dasarnya kurikulum dipandang sebagai suatu rencana yang telah disusun dengan tujuan melancarkan proses belajar-mengajar di bawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau suatu lembaga pendidikan serta seluruh anggota pengajaranya.

Menurut (Syaodih, 2009: 5) mengungkapkan bahwa kurikulum merupakan suatu rencanan yang memberikan dasar sebagai suatu pedoman yang digunakan dalam kegiatan belajar-mengajar. Pengertian tersebut juga sejalan dengan (Arifin, 2011:

1) mengungkapkan bahwa kurikulum merupakan suatu pedoman atau pegangan yang digunakan untuk mencapai cita-cita pendidikan sekaligus dasar dalam melaksanakan proses pembelajaran pada seluruh aspek dan jenjang pendidikan.

Dengan kata lain dapat dijelaskan bahwa kurikulum memberikan gambaran yang sangat kompleks, serta kurikulum disusun untuk memudahkan guru dalam menyampaikan sebuah materi pembelajaran agar siswa dapat memahami materi tersebut sesuai dengan tujuan pendidikan. Berdasarkan ke dua pendapat ahli tersebut tentunya dapat diperjelas bahwa kurikulum memiliki suatu fungsi dan tujuan untuk mengembangkan kualitas pendidikan dan sumber daya manusia sebagai generasi bangsa.

1.4 Kurikulum 2013

Kurikulum 2013 merupakan salah satu pembaharuan kurikulum di Indonesia, Indonesia telah mengalami beberapa pembaharuan dalam kurikulum mulai dari tahun 1947 hingga sekarang. Adapun perubahan atau pembaharuan kurikulum tersebut dimaksudkan baik dalam pemahaman seluruh masyarakat Indonesia mengenai kurikulum itu sendiri, hingga penerapan kurikulum dalam

18

dunia pendidikan dan upaya kurikulum untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Kurikulum 2013 pada saat ini sudah diterapkan di beberapa sekolah sesuai masing-masing tingkatan, salah satunya tingkat sekolah dasar. Seperti yang telah diketahui bersama manfaat penerapan kurikulum 2013 ditingkat sekolah dasar selain dapat meningkatkan ranah pengetahuan dan keterampilan siswa, siswa juga dapat meningkatkan interaksi mereka dengan siswa lain serta lingkungannya.

Berdasarkan pemaparan mengenai kurikulum 2013 tersebut juga diperkuat dengan pendapat menurut (Fadillah, 2013: 16) mengungkapkan bahwa kurikulum 2013 dapat diartikan sebagai konsep utama dalam sebuah kurikulum untuk menumbuhkan kemampuan dalam hal soft skills dan hard skilss, yang berupa sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Pendapat tersebut sejalan dengan (Mulyasa, 2013:

68) dengan pendapatnya yaitu kurikulum 2013 ialah kurikulum yang mengharuskan terhadap pengembangan kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas dengan standar yang telah ditetapkan, sehingga hasilnya dapat diterima oleh peserta didik, berupa penugasan terhadap seperangkat kompetensi tertentu.

Dengan demikian, berdasarkan ke dua pendapat ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang mengembangkan peserta didik dalam hal soft skills dan hard skilss sesuai dengan serangkain standar yang telah ditetapkan, yang berguna untuk meningkatkan kuliatas peserta didik dan mutu pendidikan.

19 1.5 Karakteristik Kurikulum 2013

Dalam pengembangan kurikulum 2013 tentunya memiliki karakteristik yang dijadikan pedoman di dalamnya, adapun ketetapan dari kemendikbud (dalam Widyastono, 2014: 131) mengungkapan karakteristik 2013 ialah sebagai berikut:

a. Mengembangkan sikap spiritual dan sosial, rasa ingin tahu, kreativitas, kerja sama dengan kemampuan intelektual dan psikomotorik secara seimbang.

b. Memberikan pengalaman belajar terencana ketika peserta didik menerapkan apa yang dipelajari di sekolah ke masyarakat dan memanfaatkan masyarakat sebagai bahan ajar secara seimbang.

c. Mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan serta menerapkannya dalam berbagai situasi di sekolah maupun masyarakat.

d. Memberi waktu yang cukup leluasa untuk mengembangkan berbagai sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

e. Kompetensi dinyatakan dalam bentuk kompetensi inti kelas yang dirinci lebih lanjut dalam kompetensi dasar mata pelajaran.

f. Kompetensi inti kelas menjadi unsur perorganisasian kompetensi dasar, di mana semua kompetensi dasar dan proses pembelajaran dikembangkan untuk mencapai kompetensi yang dinyatakan dalam kompetensi inti.

g. Kompetensi dasar dikembangkan berdasarkan pada prinsip akumulatif, saling memperkuat (reinforced) dan memperkaya (enriched) antara mata pelajaran dan jenjang pendidikan.

Berdasarkan dari ketujuh karakteristik kurikulum 2013 tersebut dapat disimpulkan bahwa di dalam kurikulum 2013 memberikan suatu wadah dengan tujuan menciptakan proses pembelajaran lebih inovatif dengan tujuan menciptkan

20

peserta didik yang berkualitas untuk melanjtkan ke jenjang lebih tinggi dan meningkatan mutu pendidikan.

1.6 Pembelajaran Tematik-integratif

Pembelajaran tematik merupakan serangkain kegiatan pembelajaran yang akan memberikan suatu wadah ataupun peluang dalam sebuah pembelajaran terpadu untuk menekankan keterlibatan siswa dalam hal belajar serta mengembangkan diri siswa melalui sebuah pengalaman yang bermakna. Hal tersebut sejalan dengan pendapat (Prastowo, 2014: 54) pembelajaran tematik adalah model pembelajaran dalam pelakasanaannya menggunakan suatu pendekatan tematik serta menggabungkan beberapa mata pelajaran dengan tujuan memberikan pengalaman bermakna bagi peserta didik. Pembelajaran ini tentunya memberikan peluang bagi siswa karena dalam melaksanakan proses pembelajaran siswa baik individu maupun kelompok menjadi lebih aktif. Selain itu, siswa dapat menemukan secara langsung jawaban dari persoalan berdasarkan materi yang dipelajari melalui pengalaman siswa. Melalui serangkaian kegiatan pembelajaran tersebut diharapkan siswa mampu memahami materi dari beberapa mata pelajaran yang dikemas dalam sebuah tema.

Menurut (Ahmadi, 2014: 225) mengungkapkan bahwa metode tematik adalah sebuah pembelajaran yang menggunakan tema sebagai suatu wadah yang digunakan untuk mengaitkan beberapa materi ajar dengan tujuan dapat memberikan pengalaman bermakna pada peserta didik. Sedangkan menurut (Daryanto, 2014:

81) menjelaskan bahwa pendekatan tematik merupakan pendekatan yang digunakan dalam sebuah pembelajaran dengan menggabungkan kompetensi dari berbagai mata pelajaran dengan tujuan memberikan suatu pemahaman bagi siswa

21

secara menyeluruh dan mendasar yang dikemas dalam berbagai tema. Adapun yang dimaksud dengan tema ialah sebuah gagasan utama dalam sebuah pembicaraan ataupun topik. Tema dalam hal ini dapat diartikan sebagai wadah pemersatu materi yang beragam dari gabungan beberapa mata pelajaran. Dengan tujuan siswa mampu mempelajari materi ajar dari gabungan mata pelajaran tersebut secara bersama.

Selain itu, melalui sebuah tema dapat menghantarkan proses pembelajaran siswa secara lebih kreatif dan inovatif, karena pada dasarnya tema-tema yang diangkat merupakan kegiatan sehari-hari yang dekat dengan lingkungan siswa.

Dari beberapa pembahasan di atas, tentunya pembelajaran tematik-integratif memiliki manfaat sendiri dalam pelaksanaannya adapun manfaat menurut (Ahmadi, 2014: 224) ialah sebagai berikut: 1) kebebasaan dalam proses pemanfaatan waktu dan disesuaikan dengan kebutuhan siswa, 2) menggabungkan pembelajaran siswa, dengan melakukan keseimbangan dalam penyampaian materi agar tidak terjadi timpang tindih antar mata pelajaran, mengulas kembali setiap keadaan antara situasi yang dihadapi anak di rumah dan lingkungannya, sesuai dengan proses anak berfikir, dan sesuai dengan cara anak menangkap setiap informasi yang diperoleh.

Dengan demikian berdasarkan ulasan mengenai pendekatan tematik-integratif dan manfaat pendekatan tematik-tematik-integratif dapat disimpulkan bahwa pendekatan tematik-integratif merupakan proses pembelajaran yang menghantarkan siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran baik secara individu maupun kelompok, dan menciptakan kegiatan pembelajaran secara lebih kreatif dan inovatif.

22 1.7 Modul

Modul merupakan salah satu bahan ajar yang digunakan sebagai pengorganisasian untuk mencapai tujuan pendidikan. Menurut (Prastowo, 2014:

138) mengungkapkan bahwa modul adalah bahan ajar yang mengandung seperangkat materi yang disusun secara sistematis, baik tertulis maupun tidak, sehingga tercipta suatu lingkungan untuk belajar. Sedangkan menurut (Yuliawati 2013: 3) mengungkapkan bahwa modul merupakan suatu alat atau sarana pembelajaran yang memuat materi, metode, batasan-batasan dan cara mengevaluasi yang telah dirancang secara sistematis sesuai dengan tingkat kompleksitasnya.

Modul dalam ini dimaksudkan sebagai bahan ajar yang berikasan informasi, alat, teks, yang digunakan oleh pendidik dalam perencanaan dan penelaahan penelahan implementasi pembelajaran.

Adapun fungsi modul menurut (Prastowo, 2014: 139) bagi pendidik ialah:

1) menghemat waktu pendidik dalam mengajar, 2) mengubah peran pendidik dalam mengajar, 3) meningkatkan proses pembelajaran menjadi lebih efektif dan interaktif, 4) pedoman bagi pendidik yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran dan merupakan substansi kompetensi yang semestinya diajarkan kepada peserta didik, dan 5) alat evaluasi pencapaian atau penguasaan hasil pembelajaran.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa modul merupakan bahan ajar yang dikembangkan secara utuh dan sistematis, yang dapat membantu pendidik dalam perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran.

23 1.8 Pembelajaran

Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (dalam Karwono dan Heni, 2017: 23) mengungkapkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi antara pendidik dengan peserta didik dengan sumber belajar pada lingkungan belajar. Dengan kata lain, pembelajaran dapat diartikan bahwa bantuan yang diberikan oleh pendidik dalam pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penggalian potensi, serta pembentukan sikap dan kepercayaan kepada peserta didik. Sejalan dengan hal tersebut, didukung dengan pendapat (Saefuddin dan Ika, 2014: 8) yang mengungkapkan bahwa pembelajaran adalah kegiatan yang dilaksanakan seseorang secara sadar yang didesain untuk ikut serta pada interaksi tertentu dan keadaan tertentu untuk menciptakan perubahan dan pengetahuan baru yang berdampak

Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (dalam Karwono dan Heni, 2017: 23) mengungkapkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi antara pendidik dengan peserta didik dengan sumber belajar pada lingkungan belajar. Dengan kata lain, pembelajaran dapat diartikan bahwa bantuan yang diberikan oleh pendidik dalam pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penggalian potensi, serta pembentukan sikap dan kepercayaan kepada peserta didik. Sejalan dengan hal tersebut, didukung dengan pendapat (Saefuddin dan Ika, 2014: 8) yang mengungkapkan bahwa pembelajaran adalah kegiatan yang dilaksanakan seseorang secara sadar yang didesain untuk ikut serta pada interaksi tertentu dan keadaan tertentu untuk menciptakan perubahan dan pengetahuan baru yang berdampak