• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODOLOGI PENELITIAN

D. Metode Analisis Data

5. Uji Hipotesis Penelitian

Pengujuan hipotesis penelitian dilakukan melalui uji statistik t, uji statistik F (Fishier), dan uji koefisien determinan (Adjusted R2).

a. Uji statistik t (Uji Signifikansi Parsial)

Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel penjelas secara individual dalam menerangkan variabel-variabel terikat (Kuncoro, 2013 : 244). Uji t bertujuan untuk mengetahui pengaruh antara variabel independen dengan variabel dependen secara parsial. Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari variabel masing-masing independen yaitu: intensitas pemeriksaan pajak (tax audit), keadilan (tax fairness), kepatuhan Wajib Pajak (tax compliance), pengetahuan Wajib Pajak (tax knowledge), sistem perpajakan (tax system), diskriminasi (discrimination), dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan (fiscal fraud) terhadap suatu variabel dependen yaitu persepsi Wajib Pajak mengenai etika penggelapan pajak (Tax Evasion). Maka nilai Signifikan t dibandingkan dengan derajat kepercayaannya. Apabila Sig t lebih besar dari 0,05 maka H0 diterima. Demikian pula sebaliknya jika Sig t lebih kecil dari 0,05, maka H0

ditolak. Bila H0 ditolak ini berarti ada hubungan yang signifikan antara variabel independen terhadap variabel dependen (Ghozali, 2011 : 101). b. Uji Statistik F (Uji Signifikansi Simultan)

Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel bebas yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel terikat. Uji F bertujuan untuk mengetahui pengaruh antara variabel independen dengan variabel dependen secara simultan. Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari variabel masing-masing independen yaitu: intensitas pemeriksaan pajak (tax audit), keadilan (tax fairness), kepatuhan Wajib Pajak (tax compliance), pengetahuan Wajib Pajak

(tax knowledge), sistem perpajakan (tax system), diskriminasi

(discrimination), dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan (fiscal fraud) terhadap suatu variabel dependen yaitu persepsi Wajib Pajak mengenai etika penggelapan pajak (Tax Evasion). Secara bebas dengan Signifikan sebesar 0,05, dapat disimpulkan (Ghozali, 2011:98).

1. Jika nilai Signifikan < 0,05 maka Ha diterima dan H0 ditolak, ini berarti menyatakan bahwa semua variabel independen atau bebas tidak mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen atau terikat.

2. Jika nilai Signifikan > 0,05 maka Ha ditolak dan H0

diterima, ini berarti menyatakan bahwa semua variabel independen atau bebas mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen atau terikat.

Koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel terikat. Nilai koefisien determinasi adalah diantara 0 dan 1. Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen amat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen (Kuncoro, 2013 : 247). Insukindro menekankan bahwa koefisien determinasi hanyalah salah satu dan bukan satu-satunya kriteria memilih model yang baik. Alasannya, bisa suatu estimasi regresi linear menghasilkan koefisien determinasi yang tinggi, tetapi tidak konsisten dengan teori ekonomika yang dipilih oleh peneliti, atau tidak lolos dari uji asumsi regresi linear asumsi klasik, misalnya, maka model tersebut bukanlah model penaksir yang baik dan seharusnya tidak dipilih menjadi model empirik (Insukindro, 1998).

E. Operasionalisasi Variabel Penelitian

Pada bagian ini akan diuraikan penafsiran mengenai variabel yang dipilih oleh peneliti sekaligus dengan definisi operasional dan cara pengukurannya.

1. Variabel Independen

a. Intensitas Pemeriksaan Pajak (X1)

Pengertian pemeriksaan dirumuskan dalam Pasal 1 angka 24 sebagai berikut: pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk

mencari, mengumpulkan, dan mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan perpajakan. Dengan demikian, pemeriksaan pajak sebagai sarana untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap Wajib Pajak, selain mempunyai tujuan untuk menguji tingkat kepatuhan Wajib Pajak di dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, juga mempunyai tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan Perundang-Undangan Perpajakan.

Intensitas pemeriksaan pajak merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan, mengingat sistem perpajakan yang diterapkan di Indonesia adalah Self Assesment System. Pemeriksaan pajak akan memberikan partisipasi aktif untuk mengontrol penghitungan pajak bahkan penyetoran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Instrumen pengukuran variabel ini menggunakan sejumlah pertanyaan yang dikembangkan oleh peneliti, dimana masing-masing pertanyaan menjelaskan masing-masing variabel. Setiap item pertanyaan menggunakan skala likert 5 poin yang terdiri dari (1) Sangat setuju, (2) Setuju, (3) Netral, (4) Tidak setuju, (5) Sangat tidak setuju.

b. Keadilan (X2)

Setiap Wajib Pajak berhak memperoleh keadilan yang sama dalam penerapan sistem perpajakan yang ada di Indonesia. Menurut Hidayat (2013 : 188) menyatakan bahwa “pemungutan pajak yang adil

berarti pajak yang dipungut harus adil dan merata sehingga harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak dan sesuai dengan manfaat yang diminta Wajib Pajak dari pemerintah”. Untuk mewujudkan pemungutan yang adil, pemungutan pajak harus dapat memberikan kepastian hukum bagi negara dan warga negaranya. Oleh karena itu, pemungutan pajak harus didasarkan atas Undang-Undang yang disahkan oleh lembaga legislatif. Untuk mewujudkannya, pemungutan pajak dilandaskan atas Undang-Undang Pasal 23 Ayat 2 UUD 1945. Instrumen pengukuran variabel ini menggunakan sejumlah pertanyaan yang dikembangkan oleh peneliti, dimana masing-masing pertanyaan menjelaskan masing-masing variabel. Setiap item pertanyaan menggunakan skala likert 5 poin yang terdiri dari (1) Sangat setuju, (2) Setuju, (3) Netral, (4) Tidak setuju, (5) Sangat tidak setuju.

c. Kepatuhan Wajib Pajak (X3)

Menurut Erard dan Feinstein yang di kutip oleh Chaizi Nasucha dan di kemukakan kembali oleh Kurnia (2006 : 111) pengertian kepatuhan Wajib Pajak adalah “rasa bersalah dan rasa malu, persepsi Wajib Pajak atas kewajaran dan keadilan beban pajak yang mereka tanggung, dan pengaruh kepuasan terhadap pelayanan pemerintah”. Setiap Wajib Pajak sangat diharapkan mampu mematuhi berbagai Peraturan Undang-Undang Perpajakan. Wajib Pajak yang patuh dan

taat dalam membayar pajak, maka sudah seharusnya memperoleh keadilan dari penerimaan perpajakan yang diperoleh pemerintah.

Kepatuhan Wajib Pajak merupakan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh pembayar pajak dalam rangka memberikan kontribusi bagi pembangunan dewasa ini yang diharapkan di dalam pemenuhannya diberikan secara sukarela. Kepatuhan Wajib Pajak menjadi aspek penting mengingat sistem perpajakan Indonesia menganut mutlak memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, membayar dan melapor kewajibannya.

Variabel kepatuhan Wajib Pajak menjadi tolok ukur untuk menentukan seberapa besar kemungkinan Wajib Pajak melakukan penggelapan pajak (tax evasion). Instrumen pengukuran variabel ini menggunakan sejumlah pertanyaan yang dikembangkan oleh peneliti, dimana masing-masing pertanyaan menjelaskan masing-masing variabel. Setiap item pertanyaan menggunakan skala likert 5 poin yang terdiri dari (1) Sangat setuju, (2) Setuju, (3) Netral, (4) Tidak setuju, (5) Sangat tidak setuju.

d. Pengetahuan Wajib Pajak (X4)

Dalam kaitannya dengan Wajib Pajak, kepatuhan dapat didefinisikan sebagai perilaku Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Perilaku tersebut sangat dipengaruhi oleh motivasi. Biasanya motivasi

akan berpengaruh terhadap intensitas perilaku (termotivasi, tanpa motivasi, dan apatis), dan kesesuaian dengan tujuan perilaku (efektif, tidak efektif).

Salah satu unsur yang bisa ditekankan oleh aparat dalam meningkatkan kesadaran dan kepatuhan pajak adalah dengan cara mensosialisasikan peraturan pajak baik itu melalui penyuluhan, seruan moral baik dengan media billboard, baliho, maupun membuka situs peraturan pajak yang setiap saat bisa diakses Wajib Pajak. Sehingga dengan adanya sosialisasi tersebut pengetahuan Wajib Pajak terhadap kewajiban perpajakannya bertambah tinggi. Pengetahuan tentang peraturan perpajakan penting untuk menumbuhkan perilaku patuh, karena bagaimana mungkin Wajib Pajak disuruh patuh apabila mereka tidak mengetahui bagaimana peraturan perpajakan, artinya bagaimana Wajib Pajak disuruh untuk menyerahkan SPT tepat waktu jika mereka tidak tahu kapan waktu jatuh tempo penyerahan SPT.

Instrumen pengukuran variabel ini menggunakan sejumlah pertanyaan yang dikembangkan oleh peneliti, dimana masing-masing pertanyaan menjelaskan masing-masing variabel. Setiap item pertanyaan menggunakan skala likert 5 poin yang terdiri dari (1) Sangat setuju, (2) Setuju, (3) Netral, (4) Tidak setuju, (5) Sangat tidak setuju.

Sistem perpajakan di Indonesia diharapkan mampu meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak untuk menyetorkan pajak mereka. Sistem perpajakan di Indonesia, telah diterapkan sedemikian rupa dimana setiap Wajib Pajak harus menghitung, dan menyetorkan pajak mereka sendiri. Hal ini membuktikan bahwa pada dasarnya sistem perpajakan di Indonesia memberikan kepercayaan yang baik kepada setiap Wajib Pajak untuk turut serta dan menjadi Wajib Pajak yang aktif. Sedangkan yang menjadi kontrolnya adalah pihak fiskus, sistem ini disebut dengan Self Assesment System. Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat''.

Dengan demikian, sistem perpajakan di Indonesia diharapkan dapat memberikan motivasi untuk setiap Wajib Pajak bahwa pihak Ditjen pajak tidak akan menerapkan sebuah sistem yang ribet dan merepotkan. Analoginya, sebuah sistem perpajakan yang baik akan memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk membayarkan kewajiban pajak mereka. Maka dari itu, Instrumen pengukuran variabel ini menggunakan sejumlah pertanyaan yang dikembangkan

oleh peneliti, dimana masing pertanyaan menjelaskan masing-masing variabel. Setiap item pertanyaan menggunakan skala likert 5 poin yang terdiri dari (1) Sangat setuju, (2) Setuju, (3) Netral, (4) Tidak setuju, (5) Sangat tidak setuju.

f. Diskriminasi (X6)

Pengertian diskriminasi dalam ruang lingkup hukum hak asasi manusia Indonesia (human rights law) dapat dilihat dalam Pasal 1 Ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi, “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung atau tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya”.

Sedangkan yang dimaksudkan diskriminasi di dalam bidang perpajakan adalah adanya suatu perlakuan yang beda yang disebabkan oleh hal-hal tertentu terhadap Wajib Pajak. Mulai dari perbedaan perlakuan dalam bentuk pelayanan, perbedaan tarif perpajakan, dan

bahkan adanya sikap memberikan peluang untuk melakukan penggelapan pajak. Oleh karena itu, sebuah sikap ataupun tindakan diskriminasi menyebabkan etika penggelapan pajak semakin tinggi. Maka dari itu, Instrumen pengukuran variabel ini menggunakan sejumlah pertanyaan yang dikembangkan oleh peneliti, dimana masing-masing pertanyaan menjelaskan masing-masing variabel. Setiap item pertanyaan menggunakan skala likert 5 poin yang terdiri dari (1) Sangat setuju, (2) Setuju, (3) Netral, (4) Tidak setuju, (5) Sangat tidak setuju.

g. Kemungkinan Terdeteksi Kecurangan (X7) G. Jack Bologna, Robert J. Lindquist dan Joseph T. Wells mendifinisikan kecurangan “ Fraud is criminal deception intended to financially benefit the deceiver ( 1993 : 3 )” yaitu kecurangan adalah penipuan kriminal yang bermaksud untuk memberi manfaat keuangan kepada si penipu. Kriminal disini berarti setiap tindakan kesalahan serius yang dilakukan dengan maksud jahat. Dan dari tindakan jahat tersebut ia memperoleh manfaat dan merugikan korbannya secara finansial. Biasanya kecurangan mencakup tiga langkah yaitu (1) tindakan/the act (2) Penyembunyian/the concealment dan (3) konversi/the conversion.

Dalam bidang perpajakan, yang dimaksudkan dengan kecurangan adalah adanya perlakuan untuk melakukan penggelapan pajak, meminimalisir pajak secara ilegal dan bahkan tidak

mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak. Instrumen pengukuran variabel ini menggunakan sejumlah pertanyaan yang dikembangkan oleh peneliti, dimana masing pertanyaan menjelaskan masing-masing variabel. Setiap item pertanyaan menggunakan skala likert 5 poin yang terdiri dari (1) Sangat setuju, (2) Setuju, (3) Netral, (4) Tidak setuju, (5) Sangat tidak setuju.

2. Variabel Dependen

a. Etika Penggelapan Pajak (Y)

Salah satu upaya yang dilakukan Wajib Pajak dalam meminimalisir pajaknya adalah dengan melakukan penggelapan pajak (tax evasion). Tax evasion adalah perbuatan melanggar Undang-Undang Perpajakan, misalnya menyampaikan di dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) jumlah penghasilan yang lebih rendah daripada yang sebenarnya (understatement of income) di satu pihak dan atau melaporkan biaya yang lebih besar daripada yang sebenarnya (overstatement of the deductions) di lain pihak. Bentuk tax evasion yang lebih parah adalah apabila Wajib Pajak (WP) sama sekali tidak melaporkan penghasilannya (non-reporting of income). Adanya perlakuan tax evasion dipengaruhi oleh berbagai hal seperti tarif pajak terlalu tinggi, kurang informasinya fiskus kepada WP tentang hak dan kewajibannya dalam membayar pajak, kurangnya ketegasan pemerintah dalam menanggapi kecurangan dalam pembayaran pajak sehingga WP mempunyai peluang untuk melakukan tax evasion.

Penggelapan pajak pada dasarnya dimotivasi oleh tarif yang terlalu tinggi, tetapi tidak hanya itu melainkan setiap Wajib Pajak tidak ingin membagi penghasilannya kepada pihak lain. Terlebih lagi apabila laba yang diperoleh perusahaannya besar, maka pajaknya juga akan semakin besar. Hal inilah yang menyebabkan setiap Wajib Pajak berusaha untuk melakukan penggelapan pajak. Instrumen pengukuran variabel ini menggunakan sejumlah pertanyaan yang dikembangkan oleh peneliti, dimana masing pertanyaan menjelaskan masing-masing variabel. Setiap item pertanyaan menggunakan skala likert 5 poin yang terdiri dari (1) Sangat setuju, (2) Setuju, (3) Netral, (4) Tidak setuju, (5) Sangat tidak setuju.

Tabel 3.1

Operasional Variabel penelitian

Variabel Sub Variabel Indikator

P Intensitas Pemeriksaan Pajak (X1) (Sumber: Hidayat (2013)). 1. Pengertian pemeriksaan pajak. 1. Penerapan

pemeriksaan pajak untuk mencegah penggelapan pajak.

2. Dasar

Hukum Pemeriksaan Pajak.

1. Pemeriksaan

pajak dilakukan atas dasar hukum yang telah ada dan seharusnya dipatuhi.

3. Kebijakan

Umum Pemeriksaan Pajak.

1. Pemeriksan

pajak dilakukan atas dasar sebuah kebijakan yang seharusnya dilaksanakan secara jujur. Keadilan Pajak (X2) (Sumber: 1. Pengertian keadilan. 1. Prinsip

keadilan harus di terapkan di dalam bidang perpajakan.

Herry (2010) dan Hidayat (2013)).

2. Setiap

Wajib Pajak mengharapkan realisasi dari pajak yang mereka setorkan

2. Parameter

Penerapan Keadilan dalam Perpajakan.

1. Salah satu

yang menjadi parameter di dalam penerapan keadilan tersebut adalah pemberlakuan tarif yang sesuai terhadap setiap Wajib Pajak.

2. Keadilan

yang merupakan hak bagi Wajib Pajak sering sekali menjadi sebuah

permasalahan karena adanya kasus penggelapan pajak oleh pihak fiskus, seperti korupsi. Kepatuhan Perpajakan (X3) (sumber: (Andriani (2012)). 1. Pengertian Kepatuhan Perpajakan. 1. Kepatuhan

Wajib Pajak diharapkan mampu

meningkatkan penerimaan negara dalam sektor perpajakan.

2. Pentingnya

Kepatuhan Wajib Pajak.

1. Sosialisasi

yang diberikan oleh pihak KPP diharapkan mampu memberikan

motivasi untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.

2. Pelayanan

yang baik dari pihak Ditjen Pajak akan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Pengetahuan Wajib Pajak (X4) (Sumber: Palil (2005)). 1. Pengetahuan Wajib Pajak. 1. Setiap

Wajib Pajak harus memiliki pengetahuan yang baik mengenai perpajakan.

2. Pengetahuan

Wajib Pajak yang cukup baik, akan mampu menghindari penggelapan pajak. Sistem Perpajakan (X5) 1. Asas-asas Pemungutan Pajak. 1. Setiap

Wajib Pajak perlu mengetahui asas-asas perpajakan agar mereka memahami

(Sumber: Waluyo (2010)).

pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara.

2. Sistem

Pemungutan Pajak.

1. Sistem

pemungutan pajak yang diterapkan di Indonesia membutuhkan kontrol yang ketat. Diskriminasi (X6) (Sumber: Wikipedia (2010)). 1. Pengertian Diskriminasi. 1. Diskriminasi

dapat menyebabkan penggelapan pajak akan semakin marak untuk dilakukan.

2. Diskriminasi

Dalam Bidang Perpajakan.

1. Diskriminasi

dalam bidang perpajakan disebabkan oleh tindakan fiskus yang memberikan perlakuan yang berbeda-beda kepada setiap Wajib Pajak.

2. Diskriminasi

menyebabkan Wajib Pajak enggan untuk membayar pajak dan tidak percaya lagi kepada pihak fiskus.

Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan (X7) (Sumber: Tuanakota 2013)). 1. Kecurangan

Dalam Bidang Perpajakan.

1. Kecurangan

dalam bidang perpajakan salah satunya adalah melakukan penggelapan pajak.

2. Kecurangan

dalam bidang perpajakan sangat mudah dilakukan karena sistem perpajakan di Indonesia memberikan kebebasan kepada Wajib Pajak untuk menghitung jumlah hutang pajaknya.

Etika Penggelapan Pajak (Y) (Sumber: Hidayat (2013)). 1. Etika

penggelapan pajak sangat bergantung pada kinerja fiskus.

2. Penerapan

hukum di dalam bidang perpajakan, akan sangat mempengaruhi etika penggelapan pajak.

3. Penggelapan

dan rendahnya keadilan yang diterapkan.

BAB IV