• Tidak ada hasil yang ditemukan

T UJUAN A KUNTANSI S YARI ’ AH

Dalam dokumen Materi Ajar Akuntansi Syariah (Halaman 30-38)

Dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasulllah SAW. menempatkan keadilan sebagai tujuan utama dalam syariah Islami. Al Qur’an Surah 57 ayat 25, menciptakan keadilan merupakan tujuan utama mengapa Allah SWT mengirimkan Rasul-Nya ke muka bumi sebagai

khalifatullah. Di mana posisi keadilan hampir menduduki posisi yang sama dengan kadar taqwa (Al Qur’an, 5: 8). Dalam sejarah Islami bahwa unsur keadilan merupakan faktor utama yang tidak dapat dipisahkan dalam muhasabah dan muamallah. Abu Yusuf dalam salah satu riwayat meletakkan penekanan yang kuat mengenai keadilan dalam suratnya kepada Khlalifah Harun al-Rasyid; dengan menyatakan, “Berikanlah keadilan bagi mereka yang teraniaya dan hapuskanlah ketidakadilan, tingkatkanlah penerimaan pajak, selaraskan pembangunan dalam negara dan terimalah rahmat Allah sebagai ganjarannya di hari akhir nanti.” Karena itu, sebagai khalifatullah tersebut manusia harus memiliki akhlak tiga dimensi yang saling berhubungan dan dibutuhkan agar tercipta keseimbangan yang hakiki, yaitu:

Tuhan

Alam Manusia

2) berakhlak kepada sesama manusia; dan 3) berakhlak kepada alam.

Gambar 1: Dimensi akhlak manusia

Dalam konteks yang lebih luas, Islami memandang hubungan atau interaksi antar makhluk hidup, baik manusia, hewan ataupun alam tidak terlepas dari hubungan sosial ekonomi ataupun politik. Hal ini merupakan perwujudan dari konsep hubungan sesama manusia dalam skala yang lebih luas.

Dalam bidang ekonomi, keadilan dan kesimbangan di sini dapat diwujudkan terhadap terhadap pengelolaan sumber daya, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia dengan cara yang baik dan berpegang pada prinsip kemanusiaan. Karena dengan keadilan dan keseimbangan akan dapat dicapai tingkat pertumbuhan optimal, pemerataan distribusi pendapatan dan kesejahteraan serta terwujudnya stabilitas ekonomi yang mantap. Sehingga diperlukan strategi tertentu untuk mewujudkannya, salah satu satunya adalah dengan memasukkan dimensi akhlak (moral) yang menggantikan orientasi yang bersifat materialitas dan hedonis dalam kapitalisme sistem ekonomi barat.

Oleh karena itu, salah satu dimensi tersebut adalah perwujudan rasa kebersamaan dan pengelolaan asset atau kekayaan yang menuju pada keridhaan Allah SWT. Hal tersebut tercermin dalam penetapan terhadap harta yang dimilikii maupun keuntungan bisnis, hendaknya dapat dikelola dan dihitung secara baik, agar dapat menentukan besarnya kewajiban yang harus ditunaikan melalui zakat atau pun pajak kepada negara.

Sehingga berdasarkan uraian tersebut di atas pada dasarnya tujuan akuntansi syariah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a) Dasar dalam perhitungan besarnya zakat.

b) Dasar pembagian keuntungan, (berdasarkan revenue sharing dan atau profit and loss sharing), dan distribusi kesejahteraan dan pengungkapan secara memadai.

c) Agar usaha (bisnis) dapat berjalan secara islamii. 2) CIRI-CIRI AKUNTANSI SYARI’AH

Dalam ekonomi yang berbasis syariah maka kegiatan bisnis merupakan bagian dari muamallah yang berkaitan erat dengan aqidah dan akhlak. Al Qur’an (Ibrahim: 24-26), yang artinya:

Akhla k

“Manusia akan dinyatakan berakhlak, kalau dia mampu

menjankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya secara konsisten dan berkeadilan”.

“Sehingga tercapai keseimbangan dan keadilan bagi umat manusia dalam

memperlakukan manusia dan alam, secara bijaksana, profesional, dan

bertanggungjawab, sebagai wujud khalitullah di muka bumi. Pandai

mengelola dan pandai pula memelihara. Terciptanya konsep keseimbangan yang

Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seijin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat buruk seperti pohon yang buruk, yang telh dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tegak sedikitpun.”

Sehingga dalam sistem akuntansi syariah hanya dapat dipakai secara sempurna bila didukung ekonomi islamii yang berbasis syariah pula. Hal ini dapat dilihat dari karakteristiknya yang berbeda dengan individualisme dan kapitalisme, dan berbeda pula dengan sosialisme-komunisme. Karena akuntansi syariah dibangunan berdasarkan konsep ekonomi islamii dengan menggunakan empat landasan filosofis pokok yaitu:

a) Tauhid (ilahiyah); b) Keadilan;

c) Kebebasan; dan

d) Pertanggungjawaban. Empat hal tersebut bila dijabarkan adalah:

Tauhid; berarti mengesakan Allah SWT, tauhid dijadikan sebagai fondasi yang kokoh bagi muslim, bahwa semua yang ada adalah ciptaan dan milik-Nya dan hanya Dialah yang mengatur segalanya. Oleh karena itu, dalam praktik bisnis yang berbasis syariah tujuan utama hendaknya mencapai keridhaan Allah untuk menuju taqwallah. Sebagai sarana penunjang tercapainya taqwallah tersebut adalah melalui kegiatan ekonomi yang tidak bertentangan dengan syariat-Nya. Sehingga prinsip, etika, dan nilai-nilai islami adalah sebuah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dan sudah menjadi suatu kebutuhan yang mendesak agar manusia (khususnya kaum muslim) dapat ‘kembali ke jalan yang benar’.

Atau hijrah untuk mengelola sumber daya secara profesional , adil, dan berakhlak dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya secara berkeadilan dan bertanggunjawab sesuai dengan tuntunan Ilaihiyah dan Sunah Rasulullahi SAW.

Keadilan; adalah kunci dan dasar dari kesejahteraan hidup masyarakat. Keadilan merupakan sarana yang tepat dan terdekat untuk mencapai taqwallah yang merupakan cerminan dari ketinggian akhlak seseorang (Al Maidah: 8). Kemudian Surah Luqman: 13, bahwa tauhid sebagai fondasi ajaran islami merupakan makna dari keadilan sebagaimana kemusyrikan adalah suatu bentuk kedzaliman. Nilai keadilan dalam Al Qura’an dan hadits nabi SAW bahkan bukan menjadi salah satu tujuan pokok syariah (An-Nahl: 90). Keadilan dalam kegiatan ekonomi, oleh para ulama telah ditetapkan dalam kaidah fiqih, yang bertujuan untuk membantu merealisasikan kesejahteraan dan kemaslahatan umat. Salah satu kaidah yang dirumuskan tersebut adalah, bahwa pengorbanan atau kerugian pribadi mungkin harus dilakukan untuk mengamankan pengorbanan atau kerugian masyarakat dan manfaat yang lebih kecil mungkin harus dikorbankan untuk merealisasikan manfaat yang lebih besar (Ibnu Khaldun).

Kebebasan; bahwa manusia bebas melakukan seluruh aktivtas ekonomi sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dan hukum Allah SWT. Karena itu inovasi dan kreativitas merupakan suatu keharusan. Pilar terpenting dalam keyakinan seorang muslim adalah kepercayaan bahwa manusia itu diciptakan oleh Allahu Rabbul ‘Alamin. Ia tidak tunduk kepada siapapun kecuali tunduk dan patuh semata-mata karena Allah (Ar Ra’ad: 36). Bahwa pada hakekatnya kebebasan individu dibatasi oleh kebebasan individu lainnya. Oleh karena itu, berkaitan dengan masalah hak individu dalam kaitannya dengan

masyarakat. Para sarjana muslim (kaum cendikia) bersepakat bahwa:

- Kepentingan masyarakat luas harus didahulukan di atas kepentingan pribadi.

- Melepas kesulitan harus diprioritaskan dibandingkan memberi manfaat, meskipun keduanya sama-sama merupakan tujuan dalam syariah.

- Kerugian lebih kecil dibolehkan untuk menciptakan keuntungan lebih besar sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

Pertanggunjawaban; bahwa manusia sebagai pemegang amanah memikul tanggungjawab atas segala keputusan dan perbuatannya, meskipun hanya sekecil biji jarah. Karena itu dalam akuntansi syariah hal ini menjadi salah satu prinsip yang harus dilaksanakan, tanpa memandang tingkatan dan derajat manusianya. Bahwa manusia yang terpuji dan mulia di sisi Allah adalah manusia yang bertaqwa kepada-Nya. Nilai-nilai taqwa tersebut hanya dapat dimiliki oleh manusia yang mempunyai nilai etika moral dan memandang semua ini hanya bersifat sementara sebagai titipan atau amanah dari Allah SWT. Sehingga dalam ekonomi islami antara ekonomi dan islami merupakan dua hal yang menyatu dan tidak dapat dipisahkan, sebagaimana ibadah juga merupakan hal yang tidak dapat dihindari dan harus dilakukan oleh manusia. Ibadah dapat diwujudkan dalam bentuk ritual keagamaan maupun dalam kegiatan atau kehidupan sehari-hari (muamallah), asalkan mengikuti tuntutan-Nya dan Sunah Rasulullah SAW. Selain itu akhlak merupakan daging dan urat nadi kehidupan islamii, karena risalah akhlaq sehingga Rasulullah SAW bersabda, “ Sesungguhnunya tiadalah aku diutus, melainkan hanya untuk menyempurnakan akhlak.” Secara lebih tegas Yuwono, (1997, 35) dan Akram (1992); berpendapat bahwa ciri-ciri akuntansi syariah dalam praktik bisnis (maumallah al muhasabah) adalah:

a) menggunakan nilai etika sebagai dasar akuntansi, b) memberikan arah dan stimulasi perilaku etis, c) adil dalam implementasinya,

d) keseimbangan antara nilai eqoistik dan altruistik, e) peduli atau ramah lingkungan,

f) penentuan bagi hasil (sharing) yang tepat dan

g) pelaporan dan pertanggujawaban secara transparan, akuntabel, dan jujur. 3) PRINSIP AKUNTANSI SYARI’AH

Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan “double entry”. Menurut sejarah yang diketahui secara umum dan terdapat dalam berbagai buku “Teori Akuntansi”, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita”

dalam salah satu satu bab dari buku tersebut memuat masalah “Double Entry Accounting System”. Mungkin kalau dulu orang mendengar kata ”Akuntansi Syariah” atau “Akuntansi Islami”, masyarakat akan mengernyitkan dahi seraya berpikir bahwa hal itu apakah memang mungkin untuk diterapkan, apakah tidak berlebihan dan mengada-ada? Padahal kalau kita mau membuka sejarah, bahwa akuntansi yang berpola syariah sejak dulu telah diterapkan dalam kegiatan bisnis.

Hal tersebut terbukti bila kita pelajari “Sejarah Islami”. Di sana ditemukan bahwa munculnya Islami di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin sudah ada dan terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk

perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islami menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang, yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi- fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya. Seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus diterapkan dalam hal tersebut. Sebagaimana difirmankan pada awal ayat tersebut menyatakan “Hai, orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya………”

Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islami lebih dahulu mengenal sistem akuntansi. Karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494.

Dari sisi ilmu pengetahuan, akuntansi adalah suatu ilmu atau seni untuk memberikan informasi kepada pemakai dari bukti transaksi dan data menjadi informasi yang bermanfaat dan relevan dalam pengambilan keputusan ekonomi. Yaitu dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam akun, perkiraan atau pos keuangan seperti aset, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syura ayat 181-184 yang berbunyi:”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”

Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar/menimbang) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan. Sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang objektif dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh suatu manajemen. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan keuangannya sesuai dengan motivasi dan kepentingannya. Sehingga dikhawatirkan dia akan menyusun laporan keuangan sesuai kepentingannya. Untuk itulah diperlukan jasa Akuntan, yaitu Auditor Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini akan dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing.

Dalam Islami, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Dari paparan di atas, dapat diarik suatu kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah (Islami) dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku, yang bersumber dari prinsip syariah (Islami) dan digunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan (auditor independen) dalam melaksanakan pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun memberikan penjelasan dalam laporannya. Dan menjadi dasar dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa sesuuai dengan ketentuan atau kode etik profesinya.

Dasar hukum utama dalam Akuntansi Syariah adalah Al Quran dan Sunah Nabi SAW, Sedangkan Ijma (kesepakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islami sebagai pelengkap, agar tidak terjadi keraguan dalam penerapannya. Kaidah-kaidah akuntansi syariah, memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan kaidah akuntansi konvensional. Kaidah-kaidah akuntansi syariah selalu sesuai dengan norma-norma islamii, dan hokum lainnya, dimana akuntansi syariah adalah bagian dari ilmu sosial (humaniora) yang berfungsi sebagai media atau alat bagi masyarakat dalam penerapan Akuntansi tersebut. Persamaan antara kaidah akuntansi syariah dan akuntansi konvensional terdapat pada hal- hal sebagai berikut:

1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;

2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;

3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;

4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;

5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan

cost (biaya);

6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan; dan 7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.

Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah (2007), dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islami, antara lain terdapat pada hal-hal berikut:

1. Para ahli akuntansi moderen berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islami menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam lingkup perusahaan yang kontinuitas;

2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aset tetap) dan modal yang beredar (aset lancar), sedangkan di dalam konsep Islami barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan

barang dagang;

3. Dalam konsep Islami, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;

4. Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islami sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan risiko;

5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islami dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;

6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islami memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh. Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem akuntansi syariah dengan akuntansi konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.

Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamiic Accounting”, Akuntansi Barat (konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapitalisme dengan berpedoman pada filsafat kapitaliasme, sedangkan dalam Akuntansi Islami ada

“meta rule” yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia. Dan Akuntansi Syariah sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawabkan semua tindakannya di hadapan Tuhan, yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan dan perbuatan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya.

Jadi, dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep Akuntansi Islami jauh lebih dahulu dari konsep akuntansi konvensional, dan bahkan Islami telah membuat serangkaian kaidah yang belum terpikirkan oleh pakar-pakar akuntansi konvensional. Sebagaimana yang terjadi juga pada berbagai ilmu pengetahuan lainnya, yang ternyata sudah diindikasikan melalui wahyu Allah dalam Al Qur’an. “… Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS.An-Nahl/16:89), Merza Gamal (2009).(dikutip dari http://finance.groups.yahoo.com/group/ekonomi-syariah).

adalah sebagai berikut:

a. Prinsip Pertanggungjawaban (responsibility principles)

Berkaitan secara langsung dengan amanah, yaitu wujud pertanggungjawaban terhadap dana yang dikelola (mudharib) untuk dilaporkan kepada pemilik dana (shahibul maal) dan stakeholder lainya. Laporan ini merupakan perwujudan hubungan antar manusia dengan manusia lainnya dan antar manusia dengan Sang Pencipta Al Khaliq (hablumminallah), karena manusia sebagai khalifah di muka bumi, suatu saat di akhirat akan dimintai pertangungjawabannya di hadapan pengadilan Tuhan.

Secara lebih spesifik dalam bidang muamallah ini (khususnya bisnis/pencatatan/akuntansi) dapat dilakukan dalam bentuk pembuatan laporan keuangan sebagai wujud pertanggungjawaban kepada sesama manusia (hablumminannas)

b. Prinsip Keadilan (equity principles)

Dasarnya adalah keadilan dalam bertransaksi; yang mengandung unsur etika sosial yang melekat pada diri manusia sebagai manusia yang suci dan kaffah. Karena, pada dasarnya manusia mempunyai kapasitas dan kekuatan untuk berlaku adil, terutama dalam bisnis untuk menuju bisnis yang berbasis syariah dan selalu diridhai oleh Allah SWT, dan selalu berlandaskan pada:

Landasan moral: integritas dan kejujuran (al amin) Landasan fundamental: nilai-nilai etika dan syariah Landasan operasional: muamallah (muhasabah)

c. Prinsip Kebenaran (truth principles)

Berkaitan erat dengan prinsip keadilan, terutama dalam hal pengakuan, pengukuran, dan pelaporan, yang objektif dan relevan. Tidak didasarkan pada hawa nafsu. Berorientasi tidak mencari keuntungan (oriented profit) semata, tetapi mengakui, mengukur, dan melaporkan sebagai wujud muamallah untuk mewujudkan taqwallah dalam kehidupan. HISAB MUAMALLAH (AL MUHASABAH)

Hisab ini, dalam akuntansi, diwujudkan dalam proses menghitung (to compute), mengukur

(to measure), dan melaporkan (to report), sehingga memerlukan seorang atau lebih juru tulis/sekretaris (muhtasib). Hal ini diwujudkan dalam kegiatan berupa hasaba; yahsaba

(mencatat, menghitung, mengukur, dan melaporkan melalui persaksian). Sehingga akan didapatkan pelaporan (akuntansi) yang sesuai dengan dalil naqli (nash-nash dalam Al Qur’anul Karim dan Sunah Rasulullah SAW) dan dalil aqli (hukum fikih dan qiyas para ulama). Oleh karena itu, ciri-ciri pelaporan akuntansi tersebut hendaknya memuat informasi sebagai berikut:

Tabel 1 Ciri-ciri Pelaporan

Makna Laporan Surah/Ayat dalam Al Quran

1 Dilaporkan secara benar QS: 10:5

2 Cepat dan tepat pelaporannya QS: 2:202; 24:39; 3:19; 38:16; 5:4; 13:41; 40:17; dan 14:51 3 Dibuat oleh ahlinya (akuntan) QS:13:21; 13:40; 23:117: dan 88:26

4 Terang, jelas, tegas, dan informatif QS: 17:21; 14:41; dan 84:48 5 Memuat informasi menyeluruh (full disclousure) QS: 6:52; dan 39:10

6 Informasi disampaikan secara vertikal dan horizontal QS: 2:212: 3:27; 3:37; 13:18; 13:40; 24:38; 38:39, dan 69:26

7 Terperinci dan teliti QS: 65:8

9 Dilakukan secara kontinyu (tidak lalai) QS: 21:1; dan 38:26

Dalam dokumen Materi Ajar Akuntansi Syariah (Halaman 30-38)