• Tidak ada hasil yang ditemukan

Achmad Rochliadi, Rifa Rachmah, Bambang Ari Wahjoedi Departemen Kimia, Institut Teknologi Bandung

Jl.Ganeca 10 Bandung-40132, Indonesia Corresponding e-mail : achmad@itb.ac.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengamati pengaruh temperatur dan mencoba dua senyawa anorganik sebagai inhibitor korosi, yaitu Natrium Nitrit (NaNO2) dan Natrium Asetat (CH3COONa), untuk spesimen baja karbon ASTM 106 Gr B pipa minyak Unocal Indonesia, Co. Terlihat bahwa ada perluasan bintik korosi pada spesimen baja karbon ASTM 106 Gr B sejalan dengan waktu baik pada pengukuran pada suhu 27oC, 50oC, 70oC dan 100oC. Perluasan bintik terbesar terjadi pada temperatur pengukuran 100oC. Perluasan ini diduga terjadi karena adanya molekul air dalam fasa uap pada permukaan spesimen baja karbon, dan semakin tinggi suhu maka jumlah molekul air dalam fasa uap semakin bertambah banyak yang akan mendorong proses korosi semakin cepat terjadi. Efektifitas inhibitor diukur dengan melihat tahanan polarisasi dari sistem sel elektrokimia yang ditambahkan dengan masing-masing inhibitor. Pada inhibitor NaNO2 inhibisi maksimum terjadi pada saat konsentrasi 0.1% dengan nilai Rp sebesar 2200.0 kohm.cm-2, dan inhibisi maksimum CH3COONa dicapai saat konsentrasinya 0.3% dengan nilai Rp 9350 kohm.cm-2. Secara ekonomi metoda pengukuran secara elektrokimia ini dianggap efektif. Mekanisme inhibisi dari kedua senyawa inhibitor anorganik ini diduga karena adanya lapis tipis yang terbentuk pada permukaan baja karbon tersebut yang akan mengurangi laju korosi, hal ini dapat dilihat dari tahanan polarisasi (Rp). Tahanan Polarisasi didapat dari Tafel Plot yang di peroleh dari pengukuran secara elektrokimia. Pada pengukuran digunakan elektroda kerja

baja karbon ASTM 106 Gr B, Saturated Calomel Electrode (SCE) sebagai elektroda

pembanding, dan Platina sebagai elektroda bantu.

Kata Kunci: Korosi, Inhibitor Anorganik, Bintik Korosi, Tafel Plot

1. Pendahuluan

Korosi berasal dari bahasa latin Corrodere yang artinya perusakan logam atau karat (Supardi 1997). Korosi adalah proses degradasi atau rusaknya material yang disebabkan pengaruh lingkungan sekitar. Proses korosi terjadi karena logam yang telah diekstraksi dari bijihnya di alam akan kembali menjadi oksidanya. Beberapa spesi-spesi kimia dapat mempercepat terjadinya korosi, spesi ini antara lain , oksigen, karbon dioksida, ammonia, asam, basa, garam asam, dan spesi-spesi oksidator (Jones 1992). Proses korosi adalah suatu proses alamiah yang tidak mungkin

dihindari. Yang dapat dilakukan adalah mengendalikan proses korosi sehingga kerugian yang muncul dapat dikurangi.

Dalam dunia industri korosi adalah suatu masalah yang umum terjadi terlebih pada industri perminyakan, sehingga korosi sering disebut sebagai suatu ‘penyakit’ (Jones 1992). Pada penelitian ini diamati proses korosi merata secara elektrokimia yang terjadi pada pipa minyak tipe ASTM 106 Gr B di Perusahaan minyak Unocal Indonesia Co.sebagai fungsi dari temperatur. Beberapa peneliti telah mengamati pengaruh temperatur ini terhadap laju korosi dan mekanisme

Departem en t of Chem istry ITB, J l. Gan esha 10 , Ban dun g 40 132, Phon e : +62 (22) 250 210 3 ext 10 1, Fax : +62 (22) 250 4154, H om epage : http:/ / www.chem .itb.ac.id/ jschem , E-m ail : jschem@chem .itb.ac.id

Achmad Rochliadi, Rifa Rachmah, Bambang Ari Wahjoedi

Proceeding of The 6th ITB-UKM Joint Seminar on Chemistry

72

korosinya untuk berbagai macam logam lainnya (Brook 1972, Azim dan Sanad 1972, Tortoreli dan Natesan 1998, Stott dan Shih 2000, Huang dkk 1984). Pengamatan dilakukan dengan melihat jumlah bintik korosi rata-rata dari contoh logam tersebut. Pengamatan juga dilakukan dengan menggunakan teknik elektrokimia yaitu dengan mengukur tahanan polarisasinya.

Senyawa anorganik dapat digunakan untuk mengendalikan laju korosi. Dalam penelitian ini dipilih Natrium Nitrit (NaNO2), dan Natrium Asetat (CH3COONa) untuk mengendalikan korosi dari spesimen yang diamati. Senyawa-senyawa ini akan berinteraksi dengan permukaan baja karbon membentuk lapis tipis melalui mekanisme adsorpsi (Dai 1997, Sastri dan Elboujdaini, 1996).

2. Peralatan

Pengukuran secara elektrokimia dilakukan dengan Potensiostat dan Galvanostat Volta Lab PG2-301. Pengukuran secara kuantitatif ini dilakukan dengan sel elektrokimia, menggunakan baja karbon ASTM 106 Gr B sebagai elektroda kerja, Saturated Calomel Electrode sebagai elektroda pembanding, dan platina sebagai elektroda bantu. Alat-alat gelas umum, seperti gelas kimia, pipet tetes, batang pengaduk, juga digunakan dalam penelitian ini.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Pengaruh temperatur pada spesimen logam ASTM 106 Gr B

Temperatur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya bintik korosi pada permukaan material, hal ini dapat dilihat pada Tabel 1. Pada temperatur tinggi, 100oC, jumlah bintik korosi meningkat, ditunjukkan dengan perluasan area yang ditempati oleh bintik-bintik korosi. Perluasan ini disebabkan adanya molekul air pada permukaan spesimen baja karbon. Air mencapai titik didihnya pada 100oC. Pada suhu ini terjadi perubahan fasa air dari fasa cair ke fasa uap. Peningkatan jumlah molekul air dalam fasa uap menyebabkan jumlah material awal pembentuk lapisan tipis elektrolit di permukaan material bertambah. Terbentuknya lapisan tipis, mendorong proses korosi semakin cepat terjadi, terlihat dari meningkatnya jumlah bintik korosi rata-rata dan meluasnya bintik-bintik korosi pada permukaan baja karbon.

Pertambahan rata-rata bintik korosi akibat temperatur ditunjukkan pada Gambar 1

3.2 Pengukuran dengan menggunakan metoda elektrokimia

Hasil pengukuran sampel dengan menggunakan metoda elektrokimia akan memberikan kurva Tafel seperti yang terlihat pada Gambar 2. Kurva pada Gambar 2 ini diperoleh dari hasil pengukuran untuk sampel ASTM 106 Gr B yang telah terinhibisi NaNO2 pada pH 7.5 dan temperatur 27oC, dengan kondisi sel elektrokimia ter-aerasi. Kurva pada Gambar 2 ini dikenal sebagai Kurva Tafel (Tafel Plot). Dalam penelitian ini pengukuran dengan menggunakan elektrokimia dilakukan untuk mengamati pengaruh inhibitor yang memberikan perlindungan terbaik terhadap logam dalam mengurangi laju korosi.

3.3 Hasil Pengukuran Tahanan Polarisasi

Pada pengukuran Tafel, besarnya tahanan polarisasi (Polarisation Resistance, Rp) dihitung secara otomatis oleh komputer. Dengan pemakaian 2 jenis inhibitor dan variasi konsentrasi inhibitor maka diperoleh besarnya tahanan polarisasi dan laju korosi (corrosion rate, CR) yang di tampilkan pada Tabel 2. Kurva Tahanan Polarisasi terhadap konsentrasi inhibitor dapat dilihat pada Gambar 3.

Nilai tahanan polarisasi tersebut di atas dipengaruhi oleh lapis tipis yang terbentuk dari masing-masing senyawa pada saat proses pemaparan. Dari Gambar 3 terlihat bahwa nilai terbesar Rp dihasilkan oleh NaNO2 pada konsentrasi 0.1% dan CH3COONa 0.3%. Hal tersebut dikarenakan pada konsentrasi- konsentrasi tersebut inhibitor bekerja secara maksimal dalam membentuk lapis tipis pada permukaan baja karbon.

3.4 Pembentukan lapis tipis pada permukaan baja karbon

Ketika logam dipapar ke sistem larutan yang mengandung senyawa aktif, maka akan terbentuk besi karbonat. Selain itu pada permukaan logam juga terbentuk lapis tipis yang merupakan selaput pelindung terhadap korosi. Lapis tipis ini terbentuk karena adsorpsi senyawa aktif di permukaan logam dan akan membatasi interaksi logam dengan lingkungan.larutannya Pembatasan ini

th

ditunjukkan dengan naiknya tahanan polarisasi ketika logam dipapar ke dalam sistem. Tahanan polarisasi tersebut dibandingkan dengan nilai tahanan polarisasi ketika logam mengalami proses pra-korosi.

3.4.1 Lapisan Senyawa Natrium Nitrit (NaNO2)

Senyawa Natrium Nitrit (NaNO2), dengan struktur pada Gambar 4(i) dapat teradsorpsi pada permukaan baja karbon. Adsorpsi terjadi karena ada sumbangan pasangan elektron bebas terhadap orbital d kosong pada baja karbon. Peristiwa tumpang tindih elektron dapat dilihat pada Gambar 5.

Akibat adsorpsi NaNO2 pada permukaan baja karbon, akan terbentuk lapis tipis. Pembentukan lapis tipis ini dapat terjadi karena adanya tumpang tindih elektron dari besi karbonat dengan elektron bebas atom N dari NaNO2 karena pori permukaan baja karbon tidak cukup luas untuk dilapisi oleh NaNO2 saja. Gambar 6 dan 7 memberikan ilustrasi untuk proses pembentukan lapis tipis.

3.4.2. Lapisan Senyawa Natrium Asetat (CH3COONa)

Struktur Natrium Asetat (CH3COONa) dapat dilihat pada Gambar 4(ii). Sama halnya dengan proses pembentukan lapis tipis oleh NaNO2, maka CH3COONa juga dapat teradsorpsi pada permukaan baja karbon. Namun tumpang tindih yang terjadi pada natirum asetat adalah akibat interaksi elektron bebas dari atom O dengan orbital d kosong dari lapisan besi karbonat. Kemungkinan mekanisme yang terjadi juga mirip dengan NaNO2, yaitu terjadi lapis tipis yang menutupi lapis besi karbonat. Gambar 8 memberikan ilustrasi adsorpsi pada permukaan baja karbon.

3.5. Kajian Lapis Tipis yang Terbentuk

Lapis tipis yang terbentuk dari kedua senyawa Natrium memiliki kemungkinan mekanisme pembentukan yang sama. Proteksi yang berbeda diukur oleh nilai tahanan polarisasi yang berbeda dari kedua senyawa Natrium ini. Hal tersebut disebabkan oleh karakteristik lapis tipis yang terbentuk berbeda pada tiap-tiap senyawa.

Lapis tipis yang terbentuk oleh Natrium Nitrit pada konsentrasi 0.1% memberikan perlindungan maksimal, hal ini diduga karena sifat ion nitrit yang memiliki pasangan elektron bebas pada atom N mengisi kekosongan pada

orbital d kosong dari permukaan baja karbon. Ikatan sigma (σ) dari NO2- terbentuk karena overlap orbital sp2 antara atom N dan O dari 2 ikatan tunggal N-O. Gambar 9 memberikan skema ikatan σ dan adanya pasangan elektron bebas dari ion nitrit

Sama halnya dengan proses adsorpsi oleh NaNO2, maka untuk CH3COONa terdapat satu atom dengan pasangan elektron bebas yang dapat mengisi orbital d kosong pada permukaan baja karbon, namun yang membedakannya adalah keberadaan gugus metil (-CH3). Gugus metil merupakan gugus pendorong elektron, berarti pada senyawa ini gugus metil akan mengimbas pasangan elektron bebas pada atom O untuk lebih bertumpang tindih dengan orbital d kosong pada permukaan baja karbon.

Kekuatan penempelan lapis tipis dipengaruhi oleh kemampuan senyawa pembentuk lapis tipis untuk mendonorkan pasangan elektron bebasnya ke orbital d kosong pada permukaan baja karbon.

3.6 Pengaruh Potensial Elektroda

Potensial setimbang (Estb), yaitu potensial yang dicapai saat logam berinteraksi dengan pelarutnya dan nilai arus katodik akan sama dengan arus anodik. Pada keadaan ini lah korosi akan terjadi. Saat ditambahkan larutan NO2- ke dalam larutan maka Estb awal akan berubah, dalam hal ini EoNO2- akan memperkecil nilai Estb awal tersebut, sehingga seperti diketahui bahwa Estb yang nilainya lebih kecil daripada Eo logam (EoM) akan bersifat menginhibisi logam dan memperlambat terbentuknya oksida logam atau terjadi korosi.

4. Kesimpulan

Dari hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa temperatur mempunyai pengaruh terhadap laju pembentukkan bintik korosi. Semakin tinggi temperatur pada lingkungan sample, semakin cepat juga terbentuknya bintik korosi. Semakin tinggi suhu lingkungan menyebabkan semakin banyak juga molekul air berada pada fasa uapnya. Peningkatan jumlah molekul air dalam fasa uap ini akan menyebabkan jumlah materi lapisan tipis elektrolit pada permukaan material makin bertambah yang pada akhirnya akan mempercepat proses laju korosi.

Mekanisme inhibisi korosi oleh inhibitor anorganik terjadi karena terbentuknya lapis tipis

Achmad Rochliadi, Rifa Rachmah, Bambang Ari Wahjoedi

Proceeding of The 6th ITB-UKM Joint Seminar on Chemistry

74

lapis tipis yang merupakan selaput pelindung terhadap korosi. Lapis tipis ini terbentuk karena adsorpsi senyawa aktif di permukaan logam dan akan membatasi interaksi logam dengan

lingkungan.larutannya. Mekanisme pembentukkan lapis tipis ini karena adanya

tumpng tindih awah elektron orbital d dari logam besi dengan pasangan elektron bebas pada NaNO2 dan CH3COOH.

5. Daftar Pustaka

A. ABDUL AZIM and S. H. SANAD (1972), Effects of acid concentration c-content and temperature on the corrosion rate of steel in HCl, Corrosion Science, 1972, Vol. 12, pp. 313 to 324. Brook, P.A. (1972) Potential pH diagrams at elevated temperatures, Corrosion Science, 1972, Vol 12, pp. 297 to 306.

Dai, Z (1997), Effect of filming corrosion inhibitors an anodic behaviour of armico iron in neutral solution, Materials Protection. Vol. 30, no. 12, pp. 1-3. 1997

F. H. Stott1 dan C. Y. Shih (2000), High- Temperature Corrosion of Iron–Chromium Alloys in Oxidizing–Chloridizing Conditions, Oxidation of Metals, Volume 54, Numbers 5-6, Pages: 425 - 443

Huang, T T; Peterson, B; Shores, D A; Pfender, E (1984), XPS and AES Studies of the High Temperature Corrosion Mechanism of Fe-30Cr Alloy, Corrosion Science. Vol. 24, no. 3, pp. 167- 183. 1984

Huheey J.E., Keiter E.A., Keiter R.L., (1999). Inorganic Chemistry : Principles of Structure and

Reactivity. Benjamin Cummings, 4th Edition. 91

Jones, D.A. (1992). Principles and Prevention of Corrosion. McMillan Publishing, Co. New York. 28-29, 91-94, 165

Roberge, P.R. (2000). Handbook of Corrosion Engineering. McGraw-Hill. 833-837

Sastri, V.S., and Elboujdaini, M (1996), Surface analysis of inhibitor films formed in hydrogen sulfide medium, Corrosion. Vol. 52, no. 6, pp. 447- 452. June 1996

Supardi, Rachmat. (1997). Korosi. PT.Gramedia Pustaka. 67-69, 100-103, 114

Tortorelli, P F dan Natesan, K (1998), Critical factors affecting the high-temperature corrosion performance of iron aluminides, Materials Science and Engineering A. Vol. 258, no. 1-2, pp. 115-125. 31

APPENDIX

Tabel 1. Pengaruh temperatur terhadap persentase perluasan bintik korosi rata-rata Persentase perluasan bintik korosi (%) Baja Karbon ASTM 106 Gr B Waktu paparan (menit) Temperatur 27oC Temperatur 50oC Temperatur 70 o C Temperatur 100 o C 0 0,00 0,00 0,00 0,00 60 1,00 1,00 1,00 1,20 90 2,20 3,75 10,10 18,20 120 4,50 4,20 12,20 18,00 180 5,20 8,00 13,75 20,60

th

Tabel 2 Nilai Rp dan CR untuk kedua inhibitor pada tiap konsentrasi

Baja karbon Konsentrasi NaNO2 (%) Konsentrasi CH3COONa (%)

0.05 0.1 0.3 0.4 0.5 0.05 0.1 0.3 0.4 0.5

CR

(mm/year) 2.784 0.00 0.001 2.544 0.998 0.640 0.001 0.00 0.307 0.015

Rp

(kohm.cm-2) 100.93 2200.0 1450.0 109.44 125.72 417.35 138.71 9350.0 121.39 261.79

Kurva Pertambahan Luas Bintik Korosi