• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM PARA PIHAK DALAM SURAT

C. Upaya Penyelesaian Sengketa Masalah Pemberian Kuasa

Sengketa konstruksi dapat timbul antara lain karena klaim yang tidak dilayani misalnya keterlambatan pembayaran, keterlambatan penyelesaian pekerjaan, perbedaan penafsiran dokumen kontrak, ketidak mampuan baik teknis maupun manajerial dari para pihak. Selain itu sengketa konstruksi dapat pula terjadi apabila pengguna jasa ternyata tidak melaksanakan tugas-tugas pengelolaan dengan baik dan mungkin tidak memiliki dukungan dana yang cukup. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa sengketa konstruksi timbul karena salah satu pihak telah melakukan tindakan cidera(wanprestasi ataudefault).100

Sengketa jasa konstruksi terdiri dari 3 (tiga) bagian : (1) sengketa

precontractual yaitu sengketa yang terjadi sebelum adanya kesepakatan kontraktual, dan dalam tahap proses tawar menawar; (2) sengketacontractualyaitu sengketa yang terjadi pada saat berlangsungnya pekerjaan pelaksanaan konstruksi; dan (3) sengketa

100Nengah Tela dan Nursyam Saleh,Klaim Pada Kontrak Kerja Konstruksi Di Indonesia Dan Cara Penyelesaiannya, di download dari www.fab.utm.my/download/ConferenceSemiar/ ICCI2006S4PP10.pdf,pada tanggal 15 Agustus 2011.

pascacontractual yaitu sengketa yang terjadi setelah bangunan beroperasi atau dimanfaatkan selama 10 (sepuluh) tahun. Sengketa contractual terjadi pada saat pekerjaan pelaksanaan sedang berlangsung. Artinya tahapan kontraktual sudah selesai, disepakati, ditandatangani, dan dilaksanakan di lapangan. Sengketa terjadi manakala apa yang tertera dalam kontrak tidak sesuai dengan apa yang dilaksanakan di lapangan. Dalam istilah umum sering orang mengatakan bahwa pelaksanaan proyek di lapangan tidak sesuai dengan bestek, baik bestek tertulis (kontrak kerja) dan atau bestek gambar (lampiran-lampiran kontrak), ditambah perintah-perintah direksi/pengawas proyek (manakala bestek tertulis dan bestek gambar masih ada yang belum lengkap).101

Pelaksanaan pekerjaan proyek pembangunan jalan acap kali membutuhkan waktu yang amat panjang dan mempunyai kompleksitas yang tinggi. Walaupun para pihak telah saling setuju untuk saling mengikatkan diri dalam perjanjian. Dalam perjalanan waktu, seringkali para pihak menemukan kesulitan atau permasalahan. Permasalahan yang timbul apabila tidak ditangani dengan baik maka tidak mungkin akan memunculkan perselisihan atau sengketa antar pihak. Perselihan atau sengketa memang bukan hal yang tidak dapat dielakkan dalam lalu lintas industri konstruksi. Akibat selanjutnya, apabila sengketa tidak ditangani dengan baik maka penyelenggaraan pekerjaan konstruksi dapat tertunda atau yang terburuk dari semuaitu pekerjaan dapat berhenti total. Antisipasi untuk mengatasi hal yang tidak

101Bambang Poerdyatmono,Alternatif Penyelesaian Sengketa Jasa Konstruksi,Jurnal Teknik

diinginkan ialah para pihak akan memasukkan suatu klausul “Penyelesaian Sengketa atauDispute Settlement” dalam kontrak perjanjian.

Sama halnya dengan pelaksanaan pekerjaan atas pembebanan kuasa oleh direktur perusahaan PT. Aslan Karya Putra kepada pihak ketiga. Pihak penerima kuasa bertanggung jawab penuh terhadap permasalahan yang terjadi di dalam pelaksanaan pekerjaan proyek jalan tersebut. Tanggung jawab pihak ketiga adalah kepada pemberi kuasa dan juga kepada pihak pengguna jasa, dalam hal ini Dinas P.U Abdya.

Dalam melaksanakan perjanjian pemborongan dapat timbul suatu sengketa. Sengketa tersebut terjadi apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan yang tercantum dalam perjanjian pemborongan sehingga pihak lain merasa dirugikan. Mengenai hal tersebut Irwandi selaku penerima kuasa atas nama PT. Aslan Karya Putra berpendapat bahwa apabila timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan kedua belah pihak yaitu pihak pemberi tugas dan pihak kontraktor akan berusaha untuk menyelesaikan secara musyawarah.102

Penyelesaikan suatu perselisihan atau sengketa, para pihak diberi kebebasan untuk memilih atau menentukan dengan cara apa sengketa itu akan diselesaikan yang tentunya dituangkan dalam perjanjian yang sebelumnya telah disepakati kedua belah pihak. Perjanjian tersebut berlaku menjadi undang-undang bagi pihak yang telah bersepakat. Hal ini sejalan dengan asasPacta Sunt Servanda yang diatur dalam pasal 1338 KUH Perdata. Mengenai asas Pacta Sunt Servanda juga diatur dalam Undang-

Undang Jasa Konstruksi pasal 36 ayat (1) yang menyebutkan “Penyelesaian sengketa jasa konstruksi dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa”.

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa dalam bidang perdata maupun pidana. Sedangkan penyelesaian diluar pengadilan hanya dapat menyelesaikan sengketa dalam ranah perdata saja. Hal ini ditegaskan dalam pasal 36 ayat (2) UU jasa Konstruksi “Penyelesaian sengketa diluar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana dalam penyelenggaraan jasa konstruksi sebagaimana diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Jasa Konstruksi pasal 36 ayat (3) menyebutkan “Jika dipilih upaya penyelesaian sengketa diluar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa”. Pasal ini menjelaskan apabila para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan, maka para pihak tidak dapat secara bersamaan menyelesaikannya melalui pengadilan secara bersamaan.

Penyelesaian melalui pengadilan hanya dapat dilakukan setelah para pihak tidak menemukan titik terang melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan.Para Pihak dalam industri konstruksi biasanya apabila berhadapan dengan sengketa akan memilih untuk merundingkan atau membicarakan permasalahan secara baik-baik terlebih dahulu. Apabila memang tidak dapat ditemukan jalan keluar maka mereka

akan memilih untuk menyelesaikan permasalahan sesuai yang telah disepakati bersama dalam kontrak.

Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa adalah sebagai berikut: 1. Litigasi.

Litigasi adalah salah satu cara penyelesaian sengketa yang dipilih pengguna jasa dan penyedia jasa yang diadakan di lembaga pengadilan. Putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan bersifat mengikat, yang berarti apabila salah satu pihak tidak melaksanakan putusannya maka pengadilan dapat melaksanakan eksekusi terhadap isi putusan dengan cara paksa. Penyelesaian melalui pengadilan kurang disukai tidak hanya pelaku jasa konstruksi tapi pelaku bisnis nasional maupun internasional.103

Peradilan dalam pandangan masyarakat oleh Suyud Margono masih berperan sebagai katup penekan atau pressure valve atas segala pelanggaran hukum, ketertiban masyarakat, dan pelanggaran ketertiban umum serta peran yang lain ialah sebagai last place (tempat terakhir) untuk mencari keadilan sehingga peradilan masih diharapkan sebagai badan yang menegakkan keadilan dan kebenaran. Peran peradilan tampaknya saat ini sudah tidak dikatakan ideal lagi. Mahalnya biaya berperkara dan lambatnya penanganan dalam sidang membuat masyarakat mencari alternatif penyelesaian sengketa lainnya. Alasan-alasan yang

103 Sudargo Gautama, Undang-Undang Arbitrase Baru, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,

menyebabkan pengadilan tidak disukai untuk dijadikan sebagai penyelesaian sengketa adalah sebagai berikut:104

a. Penyelesaian sengketa lambat.

Penyelesaian sengketa melalui litigasi pada umumnya berjalan amat sangat lambat yang menyebabkan proses pemeriksaan bersifat sangat formal dan sangat teknis.

b. biaya berperkara mahal.

Lamanya penyelesaian sengketa melalui litigasi mengakibatkan makin tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh para pihak seperti biaya resmi dan biaya pengacara yang harus ditanggung.

c. Peradilan tidak tanggap

Pengadilan dirasa kurang tanggap dan tidak responsive dalam bentuk perilaku. Tidak tanggapnya pengadilan dalam bentuk membela dan melindungi kepentingan umum serta sering mengabaikan perlindungan umum dan kebutuhan masyarakat. Pengadilan dalam memberikan pelayanan dianggap hanya memberikannya kepada kalangan yang berkuasa dan mempunyai uang, sehingga masyarakat menganggap pengadilan tidak lagi adil.

d. Kemampuan para hakim bersifat generalis atau umum.

Para hakim dalam litigasi dianggap hanya memiliki pengetahuan hukum secara umum. Di luar itu seperti masalah konstruksi misalnya, pengetahuan mereka hanya bersifatgeneralis.

2. Arbitrase

Pengadilan sesuai dengan penjelasan di atas kurang disukai untuk menyelesaikan suatu sengketa konstruksi. Waktu yang relatif lama, biaya yang amat sangat tidak sedikit dan kemampuan para hakim yang kurang mendalami hukum konstruksi, membuat para pelaku jasa konstruksi mencari alternative penyelesaian sengketa lainnya. Salah satu dengan menggunakan arbitrase. Penyelesaian sengketa konstruksi dapat menggunakan arbitrase, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengenai Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Lainnya.

Arbitrase menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 merupakan “Suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa”. Bentuk perjanjian arbitrase dibuat secara tertulis. Perjanjian arbitrase merupakan suatu kesepakatan berupa klausula arbitase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis. Perjanjian tertulis tersebut dapat dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (pacta de compromittendo) maupun perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat setelah timbul sengketa (akta kompromis).105

Arbitrase terdapat dua macam, yang pertama arbitrase ad hoc atau bisa disebut dengan arbitrase yang bersifat sementara (tidak permanent) dan arbitrase institusional seperti yang tersebut dalam PP No. 59 Tahun 2010 mengenai

Penyelenggaraan Jasa Konstruksi pasal 1 butir b “Penyelesaian sengketa dalam penyelenggaraan jasa konstruksi di luar pengadilan dapat dilakukan dengan cara arbitrase melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad Hoc”. Institusi arbitrase yang bersifat permanent seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). Penyelesaian sengketa melalui arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan melalui pengadilan antara lain:106 a. Pada arbitrase, bebas dan otonom dalam menentukan peraturan dan institusi

arbitrase, sementara pada pengadilan mutlak terikat pada hukum acara yang berlaku.

b. Pada arbitrase, untuk menghindari ketidakpastian (uncertainty) akibat perbedaan sistem hukum dengan negara tempat sengketa diperiksa, maupun kemungkinan adanya keputusan hakim yang tidak adil dengan maksud apapun, termasuk melindungi kepentingan domestik yang terlibat sengketa sedangkan dalam pengadilan yang berlaku mutlak adalah sistem hukum dari negara tempat sengketa diperiksa.

c. Keleluasaan memilih arbiter professional, pakar dalam bidang yang menjadi objek sengketa, dan independent dalam memeriksa sengketa sedang dalam pengadilan Majelis hakim belum tentu menguasai secara mendasar bidang yang dipersengketakan. Persepsinya terpaksa dibantu oleh saksi ahli.

106 Hamid Shahab, Aspek Hukum dalam Sengketa Bidang Konstruksi, (Jakarta: Djembatan,

d. Waktu prosedur, dan biaya arbitrase lebih efisien. Putusan bersifat final dan mengikat dan tertutup upaya hukum lainnya seperti banding maupun kasasi sementara dalam pengadilan Proses pengadilan pada umumnya menuntut waktu yang cukup lama. Biaya penyelesaian sengketa, terutama untuk kompensasi pengacara-pengacara akan cukup tinggi.

e. Persidangan tertutup (non-publicity), dan karenanya memberi perlindungan untuk informasi dan atau usaha yang bersifat rahasia atau tidak boleh diketahui umum, sedangkan dalam pengadilan lebih Terbuka untuk umum, sehingga kerahasiaannya dan nama baik sering kali dirugikan.

f. Pertimbangan hukum lebih mengutamakan aspek privat dengan win-win solution, sehingga hubungan antar pihak yang bersengketa lebih terjaga, sedangkan dalam pengadilan. Pola pertimbangan pengadilan dan putusan hakim adalah win loose, yang kadang membuat hubungan antar pihak yang bersengketa menjadi tidak baik.

Namun tidak selalu arbitrase mempunyai keunggulan dibandingkan dengan pengadilan, arbitrase juga mempunyai kelemahan-kelemahan antara lain:107 a. Honorarium arbiter, panitera dan administrasi relatif lebih mahal. Tolak ukur

jumlah umumnya ditentukan oleh nilai klaim (sengketa). Apabila biaya ditolak atau tidak dibayar oleh salah satu pihak, pihak yang lain wajib membayarnya lebih dulu agar sengketa diperiksa oleh arbitrase. Sedangkan di pengadilan biaya perkara relatif lebih murah dan telah ditentukan oleh MARI. 107Ibid., hal. 21-23

b. Arbitrase bisa memakan waktu yang lama dan akhirnya sengketa dilimpahkan melalui litigasi. Hal ini dapat terjadi apabila arbiternya kurang menguasai bidang hukum. Sedangkan pada pengadilan sengketa yang masalah intinya terletak pada masalah pengertian hukum, proses penyelesaian sengketa relatif lebih cepat.

c. Tidak memiliki juru sita sendiri sehingga menghambat penerapan prosedur dan mekanisme arbitrase secara efektif. Sedangkan pada pengadilan memiliki juru sita dan atau sarana pelaksanaan prosedur hukum acara.

d. Putusan arbitrase tidak memiliki daya paksa yang efektif, dan sangat bergantung kepada pengadilan jika putusan tidak dijalankan secara sukarela108 Sedangkan pada pengadilan pelaksanaan putusan dapat dipaksakan secara efektif terhadap pihak yang kalah dalam perkara.

e. Eksekusi putusan arbitrase cenderung mudah untuk diintervensi pihak yang kalah melalui lembaga peradilan sehingga waktu realisasi pembayaran ganti rugi menjadi relatif lebih lama. Sedang pada pengadilan eksekusi putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti, dapat dilaksanakan meskipun kemudian muncul bantahan atauverzet.

3. Alternative Dispute Resolution(ADR)

Proses penyelesaian sengketa dalam masyarakat mengalami perubahan dan perkembangan. Muncul suatu cara penyelesaian sengketa alternatif yang disebut

108 Lihat Pasal 61 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

dengan ADR (alternative Dispute Resolution). Bentuk ini menekankan pada pengembangan metode penyelesaian konflik yang bersifat kooperatif di luar pengadilan. Alternatif penyelesaian sengketa dapat berbentuk negosiasi, mediasi dan konsiliasi.109

a. Negosiasi

Salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang mudah dan murah adalah negosiasi. Cara ini menekankan komunikasi 2 arah antara pihak yang bersengketa untuk duduk bersama dan membicarakan apa yang merupakan pangkal permasalahan dan bagaimana cara penyelesaiannya secara mufakat, biasanya hasil kesepakatan dituangkan secara tertulis. Para pihak yang bersengketa diharapkan menyebutkan agar sengketa dapat diselesaikan melalui negosiasi dalam kontrak yang telah disepakati sebelumnya. Hal ini bertujuan agar hubungan para pihak yang bersengketa tetap terjalin dengan baik, selain itu agar pengerjaan proyek yang tengah berlangsung tetap dapat berjalan lancar.

b. Mediasi

Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui penengah atau yang biasa disebut dengan mediator, yang ditunjuk oleh pihak yang saling bersengketa. Mediator tidak dapat memutuskan sengketa tapi membimbing para pihak dalam berunding untuk mencari suatu penyelesaian. Mediator

109 Lihat Pasal 1 angka (10) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

dapat menentukan kekurangan atau kelebihan suatu perkara, kemudian disusun dalam proposal yang kemudian dibicarakan kepada para pihak secara langsung. Peran mediasi ini cukup penting karena harus dapat menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif sehingga para pihak yang besengketa dapat berkompromi dan menghasilkan penyelesaian yang saling menguntungkan di antara para pihak yang bersengketa.

c. Konsiliasi

Konsiliasi merupakan upaya penyelesaian sengketa dengan cara mempertemukan keinginan para pihak dengan menyerahkannya kepada suatu komisi/pihak ketiga yang ditunjuk atas kesepakatan para pihak yang disebut konsiliator. Yang membedakan antara konsiliasi dengan mediasi dan negosiasi adalah konsiliator dapat memaksakan resolusi penyelesaian sengketa yang akan diambil. Konsiliasi juga diatur dalam Pasal 51 PP Nomor 59 Tahun 2010.

Apabila timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan kedua belah pihak yaitu pihak pemberi tugas dan pihak kontraktor akan berusaha untuk menyelesaikan masalahnya kepada Badan Arbitrase yang terdiri dari wakil pihak pemberi tugas dan wakil pihak kontraktor masing-masing satu orang dan satu orang lagi dari pihak netral yang ditunjuk oleh kedua belah pihak. Penyelesaian perselisihan lewat jalur hukum dapat ditempuh sebagai langkah terakhir yaitu meminta penyelesaian ke Pengadilan Negeri.

Sebagai akibat dari wanprestasi pemborong, makabouwheer sebagai kreditur dapat mengajukan tuntutan:

1. Supaya pekerjaan tetap dilaksanakan 2. Supaya perjanjian diputuskan

3. Ganti kerugian

4. Pembiayaan selanjutnya karena pekerjaan dilanjutkan oleh pihak ketiga.

Dalam hal kontraktor tidak dapat menyelesaikan pekerjaan menurut waktu yang ditetapkan atau menyerahkan pekerjaan dengan tidak baik, maka atas gugatan dari si pemberi tugas dapat memutuskan perjanjian tersebut sebagian atau seluruhnya beserta segala akibatnya. Yang dimaksud dengan akibat pemutusan perjanjian disini ialah pemutusan untuk waktu yang akan datang dalam arti bahwa mengenai pekerjaan yang telah diselesaikan/dikerjakan akan tetap dibayar, namun mengenai pekerjaan yang belum dikerjakan itu yang diputuskan. Dengan adanya pemutusan perjanjian demikian perikatannya bukan berhenti sama sekali seperti seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan sama sekali, dan wajib dipulihkan ke keadaan semula, melainkan dalam keadaan tersebut diatas si pemberi tugas dapat menyuruh orang lain untuk menyelesaikan pemborongan itu sesuai dengan anggaran yang telah ditetapkan, atau jika telah terlanjur dibayar kepada pemborong atas biaya yang harus ditanggung oleh pemborong sesuai dengan pembayaran yang diterimanya. Jika terjadi pemutusan perjanjian, sipemborong selain wajib membayar denda-denda yang telah

diperjanjikan juga wajib membayar kerugian yang berupa ongkos-ongkos, kerugian yang diderita dan bunga yang harus dibayar.110

Jika dengan jalan musyawarah tidak tercapai kata sepakat maka dibentuk panitia Arbitrase yang terdiri dari seorang wakil pihak kesatu dan seorang wakil pihak kedua, kemudian mengangkat seorang ahli yang pengangkatannya disetujui oleh kedua belah pihak. Selanjutnya penyelesaian perselisihan akan diteruskanmelalui pengadilan, apabila melalui cara tersebut diatas tidak dicapai penyelesaian.111 Keputusan panitia Arbitrase ini mengikat kedua belah pihak, dan biaya penyelesaian perselisihan yang dikeluarkan akan dipikul bersama.

Selanjutnya dalam Pasal 37 Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 disebutkan apabila:

1. Penyelesaian sengketa jasa konstruksi diluar pengadilan dapat ditempuh untuk masalah-masalah yang timbul dalam kegiatan pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, serta dalam hal terjadi kegagalan bangunan.

2. Penyelesaian sengketa jasa konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan pihak ketiga, yang disepakati oleh para pihak.

3. Pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dibentuk oleh pemerintah dan/atau masyarakat jasa konstruksi.

110Sri Soedewi, Mascjun Sofwan.Op. Cit. hal 82 111Ibid. hal 89

Dalam prakteknya selama ini, setiap perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan dapat diselesaikan secara musyawarah dan mufakat diantara para pihak dan belum pernah diselesaikan melalui pengadilan.112

Secara yuridis pola penyelesaian sengketa dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

1. Melalui pengadilan

2. Alternatif penyelesaian sengketa 3. Musyawarah

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah suatu pola penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak yang diselesaikan oleh pengadilan dan putusannya bersifat mengikat. Sedangkan penyelesaian sengeketa melalui alternatif penyelesaian sengketa (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak yakni penyelesaian diluar pengadilan (Pasal 1 ayat (10) UU No.30 Tahun 1999) maka cara penyelesaian sengketa melalui ADR dibagi menjadi lima cara. Yaitu: Konsultasi, Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi atau Peniliaan Hukum.113

Pelaksanaan pekerjaan pemborongan yang tidak sesuai dengan bestek adalah kasus yang cukup banyak terjadi dalam praktek pemborongan. Hal ini dikarenakan beberapa faktor:

112Wawancaradengan Irwandi (penerima kuasa), pada tanggal 23 Juni 2011 113Salim HS.Op. Cit.,hal 140

1. Kenaikan bahan-bahan material yang dipergunakan dalam pembangunan proyek yang telah disepakati dalam kontrak kerja, sehingga pihak pemborong memakai material yang harganya tidak sesuaibestekuntuk menghindari kerugian.

2. Kesengajaan dalam arti pemborong sengaja untuk melanggar bestek agar mendapat keuntungan yang lebih besar.

3. Kesalahan teknis pemborong dalam menafsirkan bestek yang dibuat perencana proyek.

Sanksi denda dan pemutusan kontrak tidak diterapkan oleh pihak pengguna jasa pemborongan dalam hal ini pihak pemberi pekerjaan borongan terhadap PT. Aslan Karya Putra dengan tegas, sesuai ketentuan yang telah diatur dalam perjanjian pemborongan. Sebelumnya pemborong akan diminta atau diberikan kesempatan untuk terlebih dahulu memperbaiki dan atau melengkapi kekurangan pekerjaan sebagaimana yang diisyaratkan dalam kontrak

Selama ini pelaksanaan proyek pembangunan jalan oleh penerima kuasa yang mengatasnamakan PT. Aslan Karya Putra belum pernah terdapat kasus sampai ke pengadilan ataupun pemutusan kontrak. Hal ini dikarenakan pihak pengguna jasa memberikan kesempatan terlebih dahulu pada pihak pemborong untuk memperbaiki dan atau melengkapi kekurangan pekerjaan sebagaimana yang diisyaratkan dalam kontrak.

Jika terjadi pelanggaran dalam hubungan kerja dengan pengguna jasa, maka juga telah terjadi pelanggaran terhadap perjanjian yang telah dikuasakan kepada

pelaksana kuasa. Karena klausul yang terdapat pada perjanjian kuasa mengatur mengenai pelaksanaan pekerjaan proyek pembangunan jalan.

Walaupun penyelesaian secara musyawarah sering digunakan, namun ada satu hal yang sulit untuk mewujudkan tercapainya musyawarah/mufakat dalam suatu sengketa. Hal tersebut adalah para pihak pada umumnya mengganggap remeh hal-hal yang kelihatannya sepele. Justru hal-hal yang dianggap sepele oleh satu pihak, malah dianggap hal yang sangat materiil oleh pihak lainnya. Selain itu hal-hal sepele itu apabila tidak segera diselesaikan akan berakibat pada membesarnya masalah tadi, sehingga terjadilah sengketa yang hampir tidak mungkin diselesaikan dengan musyawarah mufakat.