• Tidak ada hasil yang ditemukan

URAIAN MATERI 1. Hakikat Prosa

Dalam dokumen 35. BAHASA INDONESIA SMA Bahan Sertifikasi (Halaman 170-188)

APRESIASI SASTRA INDONESIA

E. URAIAN MATERI 1. Hakikat Prosa

Prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi (fiction), yang berarti cerita rekaan (cerkan) atau “khayalan”. Hal itu disebabkan prosa (yang untuk pembicaraan selanjutnya disebut prosa fiksi) merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada kebenaran sejarah. Dengan kata lain, prosa fiksi merupakan karya imajinatif yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, atau sesuatu yang tidak terjadi sungguh-sungguh sehingga ia tidak perlu dicari kebenarannya

dalam dunia nyata. Jika dibandingkan dengan karya nonfiksi, tokoh, peristiwa, dan tempat yang disebut-sebut di dalam prosa fiksi bersifat imajinatif, sedangkan di dalam karya nonfiksi bersifat faktual.

Sebagai karya imajinatif, prosa fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkan kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya. Oleh karena itu, prosa fiksi, menurut Alterbern dan Lewis, diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajinatif, tetapi biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antarmanusia.

Prosa fiksi menampilkan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan, sesama, dirinya sendiri, dan Tuhan. Ia merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Walaupun berupa khayalan, prosa fiksi merupakan hasil penghayatan dan perenungan secara intens terhadap hakikat hidup dan kehidupan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Dengan demikian, prosa fiksi bukan sekadar hasil kerja lamunan.

Prosa fiksi menawarkan sebuah dunia yang dibangun melalui cerita, tokoh, peristiwa, dan latar yang semuanya tentu saja bersifat imajinatif. Meskipun demikian, 'dunia' dalam prosa fiksi dibuat mirip dengan dunia nyata lengkap dengan peristiwa-peristiwa faktualnya sehingga tampak seperti sungguh ada dan terjadi, akan tetapi semua itu berjalan dengan sistem dan koherensinya sendiri. Dengan demikian, kebenaran dalam prosa fiksi tidak sama dengan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari. Dapat dikatakan bahwa dunia dalam prosa fiksi merupakan 'dunia lain' di samping kenyataan, meskipun dalam beberapa aspek menunjukkan kesamaan.

2. Jenis Prosa Fiksi

Menurut sejarah perkembangannya, prosa fiksi dapat dibagi menjadi dua, yaitu prosa fiksi lama dan prosa fiksi baru.

a. Prosa Fiksi Lama

Yang termasuk prosa fiksi lama antara lain cerita rakyat dan hikayat.

1) Cerita Rakyat

Cerita rakyat merupakan cerita-cerita lisan yang berkembang sejak belum terdapat tradisi tulisan. Cerita rakyat dikenal dan diceritakan dalam kalangan masyarakat, dibacakan dan diteruskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya sehingga cerita itu dirasakan sebagai milik bersama. Oleh karena sifatnya yang demikian, pengarang cerita rakyat pada umumnya tidak dikenal serta ceritanya sangat mudah berubah dari waktu ke waktu.

Di dalam tradisi lisan terdapat berbagai jenis cerita rakyat, di antaranya adalah mite, legenda, dan dongeng.

Mite adalah cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang punya cerita. Mite ditokohi oleh para dewa, atau mkakhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi didunia lain, atau di dunia yang bukan seperti yang kt akenal sekarang dan terjadi di masa lampau. Mite pada umumnya mengisahkan alam semesta, dunia, manusia pertama, terjadinya maut, bentuk khas binatang, bentuk topografi, dan gejala alam. Mite juga mengisahkan petualangan, percintaan, hubungan kekerabatan, atau kisah perang para dewa. Contoh mite adalah cerita Dewi Sri dari Jawa dan Mado-Mado dari Pulau Nias.

Seperti halnya mite, legenda adalah cerita rakyat yang dianggaps ebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Hanya saja, berbeda dengan mite, kegenda bersifat keduniawian, terjadinya pada masa yang belum begitu lampau, dan bertempat di dunia seperti yang kita

kenal sekarang. Legenda ditokohi manusia, walaupun ada kalanya mempunyai sifat yang luar biasa, dan seraingkali dibantu oleh makhluk-makhluk ajaib. Contoh legenda adalah kisah terhadinya Rawa Pening, Tangkuban Perahu, asal mula terjadinya nama Banyu Wangi, dan cerita Batu Belah.

Dongeng adalah cerita rakyat yang dianggap tidak benar-benar terjadi dan tidak terikat oleh waktu dan tempat. Dongeng biasanya diceritakan untuk hiburan, walaupun banyak yang juga melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral) atau sindiran, misalnya dongeng-dongeng binatang. Contoh dongeng-dongeng adalah Timun Emas, Kancil dan Buaya, dan Bawang Merah Bawang Putih.

2) Hikayat

Hikayat adalah bentuk cerita fiksi yang lain dalam kesusasteraan lama. Meskipun hikayat sebenarnya bentuk asli kesusasteraan Indonesia, pada perkembangannya kemudian tercampur dan terjalin dengan cerita-cerita asing.

Hikayat umumnya menceritakan riwayat ajaib tentang putera dan puteri raja, di dalamnya bercampur aduk antara lukisan Melayu asli dan dewa-dewa Hindu yang menjelma, nabi-nabi Islam, kepercayaan Hindu, sejarah, dan sebagainya.

Berdasarkan asal ceritanya, hikayat dapat dibedakan menjadi (a) hikayat asli Melayu, misalnya Hikayat Srang Manyang dan Hikayat Malim Deman, (b) hikayat yang mendapat pengaruh dari jawa, misalnya Hikayat Panji Semirang dan Hikayat Damar Wulan, (c) hikayat yang mendapat pengaruh Hindu, misalnya Hikayat Perang Pandawa Lima dan Hikayat Sang Boma, (d) hikayat yanag mendapat pengaruh dari Persia, misalnya Hikayat Bayan Budiman dan Hikayat Bachtiar, dan (d) hikayat yang mendapat pengaruh Arab, misalnya Hikayat Nabi Sulaiman dan Hikayat Raja-Raja Pasai.

Secara garis besar, prosa fiksi baru dibagi menjadi dua jenis yaitu novel dan cerpen.

1) Novel

Dalam arti luas, novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas. Ukuran yang luas di sini dapat berarti cerita dengan alur yang kompleks, karakter yang banyak, tema atau permasalahan yang luas ruang lingkupnya, suasana cerita yang beragam, dan latar yang beragam pula. Tetapi, ukuran luas disini tidak mutlak sifatnya.

Karena keluasannya, dalam novel dimungkinkan adanya degresi, suatu hal yang tidak mungkin terjadi pada cerita rekaan yang lain, yakni cerpen. Degresi atau lanturan adalah masuknya masalah yang tidak begitu integral dalam cerita yang kehadirannya hanya sebagai pelengkap saja, dan ketidakhadirannya tidak akan mengganggu keutuhan cerita.

Di samping novel, di Indonesia juga dikenal istilah roman. Sebenarnya kedua bentuk cerita itu pada hakikatnya sama, baik dilihat dari segi teknik berceritanya maupun isi yang diungkapkan pengarang. Tetapi karena keduanya berasal dari sumber yang berbeda dan masuk ke Indonesia dalam kurun waktu yang juga berbeda, kemudian dicari-cari perbedaannya.

Berdasarkan isi dan tujuan serta maksud pengarang yang mendominasi novel yang ditulisnya, novel dibedakan menjadi (1) novel bertendens, (2) novel sejarah, (3) novel adat, (4) novel anak-anak, (5) novel politik, (6) novel psikologis, dan (7) novel percintaan.

Penggolongan lain dilakukan oleh Mochtar Lubis yang membagi novel menjadi 6 jenis, yaitu novel avontur, psikologis, ditektif, sosial, politik, dan kolektif. Di samping itu ada yang membagi novel menjadi dua, yakni novel serius dan novel populer yang masing-masing memiliki karakter sendiri-sendiri.

Cerita pendek atau cerpen adalah cerita berbentuk prosa yang relatif pendek. Predikat pendek di sini bukan ditentukan oleh banyaknya halaman untuk mewujudkan cerita itu, atau sedikitnya tokoh yang terdapat di dalamnya, melainkan lebih disebabkan oleh ruang lingkup permasalahan yang ingin disampaikan lewat bentuk karya itu.

Ruang lingkup permasalahan yang diungkapkan di dalam cerpen adalah sebagian kecil dari kehidupan tokoh yang paling menarik perhatian pengarang. Cerpen hanya memusatkan perhatian pada tokoh utama dan permasalahannya yang paling menonjol yang menjadi pokok cerita. Oleh karena itu, kepaduan merupakan syarat utama sebuah cerpen.

Cerpen mempunyai kecenderungan berukuran pendek dan pekat. Dalam kesingkatannya, cerpen hanya mempunyai efek tunggal, karakter, alur, dan latar yang terbatas, tidak beragam, dan tidak kompleks. Dengan demikian, dalam cerpen tidak mungkin muncul degresi atau lanturan sebagaimana yang biasa terjadi dalam novel. Yang perlu diingat adalah bahwa dalam kesingkatannya, cerpen merupakan karya sastra yang lengkap dan selesai sebagai suatu bentuk karya rekaan.

3. Unsur Pembangun Prosa Fiksi

Prosa fiksi terdiri atas unsur bentuk dan isi. Unsur bentuk adalah cara yang digunakan pengarang untuk menyampaikan isi, sedangkan unsur isi adalah sesuatu yang disampaikan melalui bentuk tertentu.

Pembagian lain dikemukakan oleh Stanton (1965). Ia membedakan unsur pembangun prosa fiksi menjadi tiga bagian, yakni fakta cerita, sarana cerita, dan tema cerita. Fakta cerita merupakan hal-hal yang akan diceritakan di dalam prosa fiksi yang meliputi unsur alur, tokoh, dan latar. Sarana cerita merupakan hal-hal yang dimanfaatkan pengarang dalam memilih dan menata detil-detil cerita. Sarana cerita itu meliputi unsur judul, sudut pandang, serta gaya (bahasa).

Sebuah cerita selalu berawal dan berakhir. Peristiwa-peristiwa yang jalin menjalin dari awal sampai akhir cerita disebut alur. Dengan kata lain, alur adalah jalinan peristiwa secara beruntun dalam sebuah prosa fiksi yang memperhatikan hubungan sebab akibat sehingga cerita itu merupakan keseluruhan yang padu, bulat, dan utuh.

Sebagai sebuah rangkaian peristiwa, alur selalu menampilkan konflik-konflik, dari konflik kecil sampai konflik yang besar. Bahkan, dalam alur akan dijumpai puncak-puncak konflik. Konflik-konflik itu dapat berupa konflik internal (konflik batin/konflik diri), yaitu konflik yang dirasakan oleh seorang tokoh, dapat pula berupa konflik eksternal, yaitu konflik antara tokoh dengan hal lain di luar dirinya, misalnya antara manusia dengan manusia lain, manusia dengan alam, atau manusia dengan Tuhan.

Tahap awal biasanya disebut tahap perkenalan. Tahap ini umumnya berisi sejumlah informasi penting sehubungan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap berikutnya, misalnya, berupa pengenalan tentang waktu dan tempat terjadinya peristiwa dan pengenalan tokoh cerita. Pada tahap awal cerita konflik sedikit demi sedikit mulai dimunculkan.

Tahap tengah atau pertikaian menampilkan peningkatan konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap awal. Konflik yang dikisahkan dapat berupa konflik internal, konflik eksternal, atau kedua-duanya sekaligus. Dalam tahap tengah inilah klimaks dimunculkan, yaitu ketika konflik telah mencapai intensitas tertinggi.

Adapun tahap akhir atau peleraian menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Jadi, bagian ini menunjukkan bagaimanakah akhir sebuah cerita yang penyelesaiannya bisa bersifat tertutup dan bisa juga terbuka.

Peristiwa dalam prosa fiksi dapat disusun dengan mengikuti garis lurus. Peristiwa A merupakan awal cerita, diikuti oleh peristiwa B yang

merupakan inti cerita, dan berakhir dengan peristiwa C sebagai penutup cerita. Urutan peristiwa seperti itu disebut alur lurus.

Ada pula prosa fiksi yang disusun sebaliknya. Peristiwa tidak disusun secara urut dari peristiwa awal sampai peristiwa akhir, melainkan dari peristiwa akhir kemudian baru dikisahkan peristiwa yang mendahuluinya. Urutan seperti itu dinamakan alur sorot baik. Dalam membaca urutan cerita yang demikian pembaca seolah-olah diajak untuk mengenang peristiwa masa lalu. Contoh cerita yang menggunakan susunan seperti itu adalah Atheis karya Achdiat Kartamiharja.

Cara yang lain adalah dengan menggabungkan dua cara di atas. Melalui cara itu, pertama, pembaca langsung diajak masuk ke dalam peristiwa pokok. Ketika sedang berada pada peristiwa pokok, tiba-tiba pembaca dibawa mengenang peristiwa masa lalu. Setelah kenangan itu habis, pembaca dibawa kembali ke inti cerita, dan berangsur-angsur diajak mengikuti peristiwa berikutnya untuk menuju peristiwa akhir.

Dalam membentuk alur tertentu, pengarang memiliki kebebasan kreativitas. Namun demikian, ada semacam ketentuan atau kaidah yang perlu dipertimbangkan. Kaidah yang dimaksud meliputi masalah kemasukakalan (plausibility), kejutan (surprise), dan ketidaktentuan (suspense).

b. Tokoh dan Penokohan

Tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam cerita. Tokoh pada umumnya berwujud manusia, meskipun dapat juga berwujud binatang, atau benda yang diinsankan, misalnya dalam Tinjaulah Dunia Sana karya Maria Amin.

Ditinjau dari segi keterlibatannya dalam keseluruhan cerita, tokoh prosa fiksi dibedakan menjadi dua, yaitu (1) tokoh sentral atau tokoh utama dan (2) tokoh periferal atau tokoh tambahan (bawahan). Tokoh sentral atau tokoh utama yang disebut juga pelaku pokok ialah pelaku yang perikehidupannya menjadi pokok cerita atau yang menyebabkan

cerita itu ada, dantokoh periferal atau tokoh tambahan (bawahan) ialah tokoh yang tidak sentral dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama. Yang termasuk tokoh bawahan misalnya tokoh andalan.

Karena sebuah prosa fiksi biasanya melibatkan beberapa tokoh, perlu bagi pembaca untuk menentukan tokoh sentralnya. Biasanya tokoh sentral merupakan tokoh yang mengambil bagian terbesar dalam peristiwa dalam cerita. Peristiwa atau kejadian-kejadian itu menyebabkan terjadina perubahan sikap terhadap diri tokoh dan perubahan pandangan kita sebagai pembaca terhadap cerita tersebut. Jelasnya, tokoh utama atau tokoh sentral suatu prosa fiksi dapat ditentukan dengan paling tidak tiga cara, yaitu (1) tokoh itu yang paling terlibat dengan makna atau tema, (2) tokoh itu yang paling banyak berhubungan dengan tokoh lain, dan (3) tokoh itu yang paling banyak memerlukan waktu penceritaan.

Berdasarkan cara menampilkan tokoh dalam cerita dijumpai adanya tokoh datar/sederhana/pipih yang wataknya tidak berkembang dan tokoh bulat/kompleks/ bundar yang wataknya berkembang dan kompleks sehingga terlihat kelemahan dan kelebihannya dan dapat dibedakan dari watak tokoh lain.

Yang ingin diungkapkan pengarang melalui cerkan adalah manusia dan kehidupannya. Agar manusia yang perikehidupannya diceritakan itu lebih jelas bagi pembaca, pengarang berusaha menyajikan sosok tokoh cerita itu di hadapan pembaca. Penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh itulah yang disebut penokohan.

Penulis yang berhasil menghidupkan watak tokoh-tokoh ceritanya, yang berhasil mengisinya dengan darah dan daging akan dengan sendirinya meyakinkan kebenaran ceritanya.

Bagaimana kita pembaca mengenali watak tokoh-tokoh cerita? Ada beberapa cara yang dapat membawa pembaca sampai pada sebuah simpulan tentang watak tokoh, antara lain dengan mencermati:

1. apa yang diperbuatnya, tindakan-tindakannya, terutama bagaimana ia bersikap dalam situasi kritis. Situasi kritis di sini tidak perlu mengandung bahaya, tetapi situasi yang mengharuskan dia mengambil keputusan dengan segera.

2. ucapan-ucapannya. Dari apa yang diucapkan oleh seorang tokoh cerita, kita dapat mengenali apakah ia orang tua, orang dengan pendidikan rendah atau tinggi, sukunya, wanita atau pria, orang berbudi halus atau kasar, dan sebagainya.

3. penggambaran fisik tokoh. Penulis sering membuat deskripsi tentang bentuk tubuh dan wajah tokoh-tokohnya: tentang cara berpakaiannya, bentuk tubuhnya, ciri-ciri fisiknya yang dapat menunjukkan watak tokoh yang bersangkutan.

4. pikiran-pikirannya. Melukiskan apa yang dipikirkan oleh seorang tokoh adalah cara penting untuk menggambarkan watak tokoh. Dengan cara ini pembaca dapat mengetahui alasan-alasan tindakannya.

5. gambaran latar atau lingkungan tempat tinggal tokoh. 6. pandangan tokoh lain terhadap tokoh yang bersangkutan.

7. penerangan langsung. Dalam hal ini penulis memberitahukan panjang lebar watak tokoh secara langsung, misalnya pengarang menjelaskan bahwa tokoh A adalah orang yang jujur, sabar, dan baik hati.

c. Latar

Cerita merupakan lukisan peristiwa yang dialami oleh satu atau beberapa orang pada suatu waktu di suatu tempat dan dalam suasana tertentu. Waktu, tempat, dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita disebut latar atau setting. Jadi, latar meliputi segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan tempat, waktu, dan lingkungan terjadinya peristiwa dalam cerita.

Secara terinci, latar meliputi penggambaran (1) lokasi geografis, pemandangan, sampai pada rincian sebuah ruangan, (2) waktu terjadinya

peristiwa, sejarahnya, musim terjadinya, dan (3) lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan emosional para tokoh cerita.

Kegunaan latar biasanya bukan semata-mata sebagai petunjuk kapan dan di mana cerita itu terjadi, melainkan juga sebagai tempat pengambilan nilai-nilai, misalnya nilai kebenaran, cinta kasih, dan keagungan Tuhan yang akan diungkap pengarang melalui cerita tersebut, untuk memperkenalkan adat istiadat suatu daerah, atau menunjukkan sifat-sifat manusia pada suatu saat di suatu tempat. Karena itu, biasanya pengarang tidak akan sembarangan dalam menentukan latar cerita. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa latar bukan sekadar background cerita. Dalam prosa fiksi, latar hendaknya mempunyai fungsi untuk menggarap alur, tema, dan penokohan. Dari latar wilayah tertentu harus dihasilkan watak tertentu, suasana tertentu, dan atau tema tertentu. Cerita dengan latar perang, misalnya, dapat berbicara soal-soal khusus seperti pelarian, dendam, pengkhianatan, patriotisme, dan kemanusiaan.

Hudson membedakan latar menjadi latar sosial dan latar fisik (material). Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa dan lain-lain yang melatari peristiwa. Adapun Latar fisik adalah tempat dalam wujud fisiknya, yaitu bangunan, daerah, dan sebagainya.

Latar fisik yang menimbulkan dugaan atau tautan pikiran tertentu disebut latar spiritual. Misalnya dalam cerpen "Jakarta", latar kota Jakarta menyiratkan sejumlah informasi dan nilai-nilai tertentu: suasana kota besar dengan hubungan antarmanusia yang renggang yang menyebabkan orang mudah merasa terasing. Sebaliknya, latar yang hanya berfungsi sebagai pelengkap cerita, artinya hanya sekadar memberi petunjuk bahwa peristiwa dalam cerita itu terjadi di suatu tempat pada waktu dan suasana tertentu, disebut latar netral.

Sudut pandang atau point of vieuw merupakan cara memandang yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita. Dengan demikian, pada hakikatnya sudut pandang merupakan strategi, teknik, atau siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.

Sudut pandang dibagi menjadi dua, yakni sudut pandang Orang Pertama (Pencerita Akuan) dan sudut pandang Orang Ketiga (Pencerita Diaan). Dalam sudut pandang Orang Pertama, yang juga disebut pencerita "Akuan", pencerita sebagai salah satu tokoh dalam cerita dalam berkisah mengacu pada dirinya sendiri dengan sebutan aku atau saya. Apabila dalam cerita itu pencerita bertindak sebagai tokoh utama disebut sudut pandang Orang Pertama Tokoh Utama atau Akuan-Sertaan, sedangkan apabila pencerita menjadi tokoh bawahan disebut sudut pandang Orang Pertama Tokoh Bawahan atau Akuan-Taksertaan.

Dalam sudut pandang Orang Ketiga, pencerita berada di luar cerita. Dalam kisahannya pencerita mengacu kepada tokoh-tokoh cerita dengan menggunakan kata ganti Orang Ketiga (ia, dia), atau menyebut nama tokoh. Sudut Pandang Orang Ketiga memiliki dua kemungkinan. Yang pertama, Orang Ketiga Mahatahu apabila pencerita mengetahui dan dapat menceritakan segala sesuatu tentang tokoh dan peristiwa yang berlaku dalam cerita, bahkan mampu mengungkap pikiran. Yang kedua, Orang Ketiga Terbatas apabila pencerita hanya dapat menceritakan apa yang dapat diamati dari luar.

Di samping jenis-jenis sudut pandang di atas, sering kita jumpai prosa fiksi yang menggunakan sudut pandang campuran, misalnya, dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Bagian pertama novel disajikan dengan menggunakan sudut pandang Diaan Serba Tahu. Seperti dalang, Ahmad Tohari mendongeng tentang Dukuh Paruk, dari alam, tradisi, tatanan sampai mitos sejarahnya. Akan tetapi mulai bagian kedua, Ronggeng

Dukuh Paruk disajikan dengan menggunakan sudut pandang Akuan Sertaan. Cerita tersaji melalui mulut tokoh Aku, yakni Rasus.

Perubahan sudut pandang dalam sebuah prosa fiksi biasanya memiliki nilai-nilai tertentu. Dalam Ronggeng Dukuh Paruk, perubahan sudut pandang diaan ke akuan mengisyaratkan adanya sebuah kesan “meninggalkan” negeri dongeng, dan kemudian pembaca semakin dekat dengan peristiwa yang disajikan dalam cerita. Di samping itu, perubahan sudut pandang dalam novel itu juga berkaitan dengan perubahan karakter tokoh Rasus, dari pola pemikiran tradisional menuju ke pemikiran yang modern.

Ditinjau dari penangkapan dan pemahaman cerita oleh pembaca, relevansinya dengan sifat cerita, dan pembaca, setiap sudut pandang ada kelebihan dan kekurangannya.

Sudut pandang Orang Pertama cepat membina keakraban antara cerita dan pembaca, tetapi ada keterbatasan karena sudut pandangnya bersifat sepihak. “Aku” secara langsung dan dengan bebas dapat emnyatakan sikap, pikiran, dan perasaannya sendiri kepada pembaca, tetapi tentang tokoh lain ia hanya dapat memberikan pandangan dari pihaknya sendiri. Ia tidak dapat menduga dalam-dalam pikiran dan sikap tokoh lain. Tetapi karena ia harus membatasi penceritaan dengan cara memandang segala sesuatu dari satu sudut, ceritanya menjadi sangat padu. Di samping itu, pencerita tidak dapat memperkenalkan apa yang berlangsung pada waktu yang bersamaan di tempat lain. Berdasarkan kekurangan dan kelebihannya itu, sudut pandang Orang Pertama cocok untuk cerita dengan kecenderungan psikologis.

Di lain pihak, penggunaan sudut pandang Orang Ketiga dapat menceritakan beberapa tokoh secara serempak dalam waktu yang bersamaan. Apabila digunakan sudut pandang diaan terbatas, ceritanya menjadi lebih bersifat objektif. Apabila digunakan sudut pandang diaan serba-tahu, dia dapat mengamati segala sesuatu yang terjadi, bahkan

dapat menembusi pikiran dan perasaan tokoh. Ia dapat berkomentar dan memberikan penilaian subjektifnya terhadap apa yang dikisahkannya. Akan tetapi kelemahannya, penggunaan sudut pandang diaan serba tahu bertentangan dengan kenyataan hidup yang sebenarnya.

e. Gaya dan Nada

Gaya merupakan cara pengungkapan seorang pengarang yang khas. Gaya seorang pengarang tidak akan sama bila dibandingkan dengan gaya pengarang lain. Seorang pengarang selalu menyajikan hal-hal yang berhubungan erat dengan selera pribadinya dan kepekaannya

Dalam dokumen 35. BAHASA INDONESIA SMA Bahan Sertifikasi (Halaman 170-188)