• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEOR

B. Pendidikan Karakter

1. Urgensi Pendidikan Karakter

Penguatan pendidikan karakter dalam konteks sekarang ini sangat urgen untuk mengatasi krisis moral yang sedang terjadi di negara kita. Diakui atau tidak, saat ini sedang terjadi krisis atau berbagai penyimpangan yang nyata dan sangat mengkhawatirkan dalam masyarakat dengan

melibatkan generasi penerus bangsa: anak-anak/peserta didik. Krisis itu, menurut Sugiri Syarif sebagaimana dikutip Zubaedi (2011:1-2) antara lain berupa meningkatnya pergaulan seks bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja (tawuran), kejahatan terhadap teman, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan obat-obatan (narkoba), pornografi dan pornoaksi, pemerkosaan, serta aborsi. Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana karena perilaku menyimpang ini telah menjurus tindakan kriminal.

Kenakalan remaja semacam itu, pada dasarnya secara langsung atau tidak langsung juga disebabkan oleh

“kenakalan orangtua”, yaitu perilaku para orangtua yang tidak bisa dijadikan teladan: senang dengan konflik dan tindak kekerasan, perselingkuhan, dan ketidakjujuran yang ditandai semakin maraknya korupsi yang dilakukan pejabat publik baik di pusat maupun di daerah. Terkait hal itu, Zuhdi (2009:39-40) mengemukakan bahwa telah terjadi krisis moral di tengah-tengah masyarakat Indonesia saat ini, yaitu krisis kejujuran, krisis tanggung jawab, tidak berpikir jauh ke depan, krisis kedisiplinan, krisis kebersamaan, dan krisis keadilan. Agaknya tidak terlalu salah jika banyak orang berpendapat bahwa kondisi masyarakat dan bangsa yang

mengalami berbagai krisis tersebut diduga bersumber dari apa yang dihasilkan dunia pendidikan. Menurut Hidayatullah (2010:15), demoralisasi tersebut terjadi karena dua hal, yakni (1) sistem pendidikan yang kurang menekankan

pembentukan karakter, tetapi masih lebih menekankan pengembangan intelektual, misalnya sistem evaluasi pendidikan lebih cenderung menekankan aspek

kognitif/akademik, seperti Ujian Nasional (UN), dan (2) kondisi lingkungan yang kurang mendukung pembangunan karakter yang baik. Senada Hidayatullah, Zubaedi (2011:3)

mengemukakan bahwa dalam konteks pendidikan formal di sekolah, bisa jadi salah satu penyebab terjadinya krisis moral adalah karena pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau kognitif semata,

sedangkan aspek soft skill atau nonakademik sebagai unsur utama pendidikan karakter belum diperhatikan secara

optimal bahkan cenderung diabaikan.

Hal yang sama juga terjadi dalam pendidikan agama dimana materi yang diajarkan oleh pendidikan agama

termasuk di dalamnya bahan ajar akhlak, cenderung terfokus pada pengayaan pengetahuan (kognitif), sedangkan

pembentukan sikap (afektif) dan pembiasaan (psikomotorik) belum diperhatikan dan diikhtiari secara serius. Dengan kata

lain, praktik pendidikan yang semestinya memperkuat aspek karakter atau nilai-nilai kebaikan sejauh ini hanya mampu menghasilkan berbagai sikap dan perilaku manusia yang nyata-nyata justru bertolak belakang dengan apa yang diterima dalam pembelajaran di sekolah.

Oleh karena itu, kini sudah saatnya para pengambil kebijakan, para pendidik, orang tua dan masyarakat

senantiasa memperkaya persepsi bahwa ukuran keberhasilan tak melulu dilihat dari prestasi yang berupa angka-angka. Hendaknya institusi sekolah menjadi tempat yang senantiasa menciptakan pengalaman pengalaman bagi siswa untuk membangun dan membentuk karakter unggul.

Mengapa pendidikan karakter itu sangat penting dan mendesak bagi bangsa Indonesia? Ya, karena bangsa kita telah lama memiliki kebiasaan-kebiasaan yang kurang kondusif untuk membangun karakter bangsa yang unggul, meskipun harus diakui masih cukup banyak juga warga bangsa kita yang memiliki kebiasaan positif atau karakter yang baik. Ryan Sugiarto dalam Hidayatullah (2010) mengemukakan sejumlah kebiasaan kecil yang dapat menghancurkan bangsa sebagai berikut.

Pertama, kebiasaan-kebiasaan dalam memperlakukan diri sendiri, meliputi: meremehkan waktu, bangun kesiangan,

terlambat masuk kantor, tidak disiplin, suka menunda, melanggar janji, menyontek, ngrasani, kebiasaan meminta, menganggap berat setiap masalah, pesimis terhadap diri sendiri, terbiasa mengeluh, merasa hebat, meremehkan orang lain, tidak sarapan, tidak terbiasa antri, banyak tidur, banyak nonton TV, dan terlena dengan kenyamanan/takut berubah.

Kedua, kebiasaan-kebiasaan dalam memperlakukan lingkungan, meliputi: merokok di sembarang tempat, membuang sampah di sembarang tempat, corat-

coret/vandalism, kendaraan mengotori udara, jalan bertabur iklan, konsumsi plastik berlebihan, tidak terbiasa

mengindahkan aturan pakai, abai dengan pohon, dan menganggap daur ulang.

Ketiga, kebiasaan-kebiasaan yang merugikan ekonomi, melipiti: konsumtif, pamer, silau dengan kepemilikan orang lain, boros listrik, kecanduan game, tidak menyusun rencana- rencana kehidupan, tidak biasa berpikir kreatif, dan

mengabaikan peluang.

Keempat, kebiasaan-kebiasaan dalam bersosial,

meliputi: tak mau membaca, tak mau mendengar pendapat orang lain, nepotisme, suap-menyuap, politik balik modal, canggung dengan perbedaan, beragama secara sempit, lupa

sejarah, unjukrasa pesanan/bayaran, tawuran, tidak belajar dari pengalaman, birokratif, provokatif dan mudah

terprovokasi, tidak berani berkata “tidak”, dan berambisi menguasai.

Mengingat pentingnya karakter dalam membangun sumber daya manusia yang kuat, maka menurut Hidayatullah (2010:23) diperlukan pendidikan karakter yang dilakukan dengan tepat. Dapat dikatakan bahwa pembentukan karakter merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari

kehidupan. Oleh karena itu, pendidikan karakter harus menyertai semua aspek kehidupan termasuk di lembaga pendidikan. Sebaiknya pembentukan atau pendidikan

karakter diintegrasikan ke semua aspek kehidupan sekolah. Lembag pendidikan, khususnya sekolah dipandang sebagai tempat yang strategis untuk membentuk karakter siswa. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik dalam segala ucapan, sikap, dan perilakunya mencerminkan karakter yang baik dan kuat. Dengan pendidikan karakter yang efektif, diharapkan sekolah dapat menghasilkan lulusan orang ”pandai” dan ”baik” dalam arti luas. Jangan sampai lembaga pendidikan menghasilkan orang “pandai” tetapi “tidak baik”. Orang yang pandai tetapi tidak baik jauh lebih “berbahaya” karena

menyebabkan kerusakan dan kehancuran. Masih lebih baik lembaga pendidikan menghasilkan orang yang kurang pandai tetapi baik, karena paling tidak masih tetap memberikan suasana kondusif bagi kehidupan.