REPRESENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DAN ESTETIKA BAHASA DALAM TRILOGI NOVEL
NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI (Kajian Sosiopragmatik dan Stilistika)
Oleh
Drs. Bahroni, M.Pd. NIP. 196408181994031004
PUSAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA 2014
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Drs. Bahroni, M.Pd.
NIP : 196408181994031004
Pangkat/Golongan : Pembina (IVa) / Lektor Kepala
menyatakan bahwa naskah penelitian dengan judul REPRESENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DAN ESTETIKA BAHASA DALAM TRILOGI NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI (Kajian Sosiopragmatik dan Stilistika), secara keseluruhan adalah hasil penelitian/karya saya sendiri, kecuali bagian-bagian yang dirujuk sumbernya dan telah saya susun sesuai dengan kaidah dan etika penelitian.
Salatiga, 19 Desember 2014
Yang Menyatakan
Drs. Bahroni, M.Pd.
ABSTRAK
Bahroni. 2014. Representasi Pendidikan Karakter dan Estetika Bahasa dalam Trilogi Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi (Kajian Sosiopragmatik dan Stilistika). Penelitian Unggulan. Konsultan: Dr.H.Sa’adi, M.Ag.
Kata kunci: pendidikan karakter, estetika bahasa
Pemberlakuan kurikulum 2013 pada dunia pendidikan di Indonesia didasari atas keprihatinan yang mendalam masyarakat Indonesia pada umumnya dan para pendidik pada khususnya terhadap semakin pudar dan merosotnya karakter generasi muda bangsa. Kurikulum 2013 ini lebih menekankan pada internalisasi nilai-nilai karakter yang baik ke dalam diri peseta didik, sehingga setelah mereka lulus dari jenjang pendidikan tertentu diharapkan memiliki kepribadian yang baik. Keberhasilan membentuk generasi muda bangsa yang berkepribadian baik sebagaimana diamanatkan kurikulum 2013 tentu tidak hanya menjadi tanggung jawab para pendidik, namun membutuhkan partisipasi dan kontribusi dari seluruh warga bangsa, termasuk para sastrawan. Oleh karena itu, para sastrawan diharapkan menciptakan karya sastra yang mengandung nilai-nilai kebaikan, terutama nilai-nilai pendidikan.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) bagaimanakah unsur-unsur intrinsik dalam trilogi novel Negeri 5 Menara?; (2) bagaimanakah representasi pendidikan karakter dalam trilogi novel Negeri 5 Menara?; dan (3) bagaimanakah estetika bahasa dalam trilogi novel Negeri 5 Menara? Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mendeskripsikan dan menjelaskan unsur-unsur intrinsik dalam trilogi novel Negeri 5 Menara; (2) mendeskripsikan dan menjelaskan representasi pendidikan karakter dalam trilogi novel Negeri 5 Menara; dan (3) mendeskripsikan dan menjelaskan estetika bahasa dalam trilogi novel Negeri 5 Menara.
analisis data. Berbagai tulisan dipilih yang mencerminkan pemakaian potensi bahasa yang khas.
Dalam penelitian ini, proses analisis data dilakukan dengan model interatif seperti yang dikemukakan oleh Miles & Hubermen (1984:23). Analisis data model interaktif menggunakan langkah-langkah: (1) reduksi data, (2) sajian data, (3) penarikan simpulan dan verifikasi data. Ketiga langkah tersebut dilakukan ketika pengumpulan data berlangsung dan dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data sebagai proses siklus dan terus-menerus hingga dicapai kesimpulan.
Kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam trilogi novel N5M meliputi: tema tentang pendidikan, alurnya maju-mundur atau campuran, tokoh utama: 'Aku'/Alif merupakan tokoh utama. Amanat: sebuah perenungan yang diberikan penulis bagi pembaca untuk tidak putus asa dalam hidup dan bermanfaat bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan agama. Selanjutnya, unsur-unsur intrinsik novel R3W meliputi: temanya adalah perjuangan dalam meraih cita-cita. Tokoh utama: Alif sebagai tokoh 'aku' dalam novel ini berasal dari Maninjau. Amanat: memotivasi untuk menggapai cita-cita dengan kerja keras, berdoa, dan berserah diri kepada Allah. Adapun unsur-unsur intrinsik novel R1M meliputi: temanya tentang cinta dan perjuangan. Tokoh utama: Alif Fikri atau Aku. Amanat: bersungguh-sungguhlah dalam meraih cita-cita.
Kedua, representasi pendidikan karakter yang ada dalam trilogi novel N5M meliputi (1) nilai-nilai karakter yang dikembangkan dalam pendidikan di indonesia yang meliputi: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab; dan (2) nilai-nilai karakter yang lain, meliputi: semangat memotivasi, menghormati orangtua, berhemat, kekompakan, mengakui kelebihan orang lain, suka membantu atau menolong orang lain, rajin berdoa, berprasangka baik, optimis dan pantang menyerah, tekun, dan tabah.
yang terdapat dalam trilogi novel N5M yakni antitesis, okupasi, dan prolepsis/antisipasi; (4) majas sindiran yang terdapat dalam trilogi novel N5M yakni ironi dan sarkasme.
KEMENTERIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA PUSAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT Jl. Tentara Pelajar No.2 Telp. (0298) 323706, Fax 3233433
Salatiga 50721
http://www.stainsalatiga.ac.id e-mail: administrasi@stainsalatiga.ac.id
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : REPRESENTASI PENDIDIKAN KARAKTER
DAN ESTETIKA BAHASA DALAM TRILOGI NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI
(Kajian Sosiopragmatik dan Stilistika)
Peneliti : Drs. Bahroni, M.Pd.
NIP : 196408181994031004
Jenis Penelitian : Penelitian Unggulan
Salatiga, 19 Desember 2014
Konsultan Kepala P3M
Dr. H. Sa’adi, M.Ag. Mufiq, S.Ag, M.Phil
NIP. 196304201992031003 NIP.
196906171996031004
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, berkat rahmat Allah SWT dan kontribusi dari berbagai pihak, penyusunan laporan penelitian unggulan judul ”REPRESENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DAN ESTETIKA BAHASA DALAM TRILOGI NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI (Kajian Sosiopragmatik dan Stilistika) ” dapat terselesaikan dengan baik.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan rujukan dalam upaya memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang kajian sastra yang dikaitkan dengan ajaran Islam, pendidikan karakter, dan estetika bahasa.
Akhirnya, semua kebenaran mutlak dan kesempurnaan hanyalah milik Allah, segala kekurangan dan kesalahan tentu dari peneliti sebagai manusia biasa. Mudah-mudahan karya yang jauh dari kesempurnaan ini ada manfaatnya. Amin.
Salatiga, 19 Desember 2014
Peneliti
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ___1 B. Rumusan Masalah ___7 C. Tujuan Penelitian ___ 8 D. Manfaat Penelitian ___ 8 E. Metode Penelitian ___ 10
1. Pendekatan dan Strategi Penelitian ___ 10 2. Data dan Sumber Data Penelitian ___ 11 3. Teknik Pengumpulan Data ___12
4. Validitas Data ___ 12 5. Teknik Analisis Data ___12 BAB II : LANDASAN TEORI
A. Representasi ___ 15
B. Pendidikan Karakter ___16
1. Urgensi Pendidikan Karakter ___18 2. Hakikat Pendidikan Karakter ___ 22
3. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Karakter ___ 31 4. Nilai-niliai Pendidikan Karakter ___ 37
C. Sosiologi Sastra ___ 43 D. Pragmatika Sastra ___ 45
1. Definisi dan Permasalahan Umum Stilistika ___48 2. Sumber Objek Penelitian Stilistika ___52
3. Ruang Lingkup Penelitian Stilistika ___85
4. Karya Sastra sebagai Sasaran Kajian Stilistika ___62 5. Pendekatan Kajian Stilistika ___67
6. Jenis Gaya Bahasa ___69
7. Pemanfaatan Gaya Bahasa ___87 BAB III : UNSUR-UNSUR INTRINSIK NOVEL
1. Unsur-unsur Intrinsik Novel Negeri 5 Menara (N5M) ___ 99
2. Unsur-unsur Intrinsik Novel Ranah 3 Warna (R3W) ___ 111 3. Unsur-unsur Intrinsik Novel Rantau 1 Muara (R1M) ___ 120 BAB IV : REPRESENTASI PENDIDIKAN KARAKTER
A. Nilai-nilai Karakter yang Dikembangkan dalam Pendidikan di Indonesia ___124
B. Nilai-nilai Karakter yang Lain ___147 BAB V : ESTETIKA BAHASA
A. Citraan (Imagery) ___ 157 B. Majas Penegasan ___ 163 C. Majas Perbandingan ___ 182 D. Majas Pertentangan ___ 196 E. Majas Sindiran 198 ___ BAB VI : PENUTUP
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemberlakuan kurikulum 2013 pada dunia pendidikan di
Indonesia didasari atas keprihatinan yang mendalam
masyarakat Indonesia pada umumnya dan para pendidik pada
khususnya terhadap semakin pudar dan merosotnya karakter
generasi muda bangsa. Kurikulum 2013 ini lebih menekankan
pada internalisasi nilai-nilai karakter yang baik ke dalam diri
peseta didik, sehingga setelah mereka lulus dari jenjang
pendidikan tertentu diharapkan memiliki kepribadian yang
baik.
Kurikulum 2013 dirancang untuk mengembangkan
kompetensi yang utuh antara sikap (afektif), keterampilan
(psikomotorik), dan pengetahuan (kognitif). Selain itu, peserta
didik diharapkan tidak hanya bertambah pengetahuan dan
wawasannya, tetapi juga semakin mulia karakter atau
kepribadiannya dan meningkat kecakapan dan
keterampilannya. Dengan kata lain, pemberlakuan kurikulum
2013 merupakan suatu ikhtiar perbaikan dari kurikulum
sebelumnya yang dirasakan masih terlalu dominan
sehingga lembaga pendidikan banyak menghasilkan lulusan
yang cerdas namun kurang berkarakter/berkepribadian baik.
Keberhasilan membentuk generasi muda bangsa yang
berkepribadian baik sebagaimana diamanatkan kurikulum
2013 tentu tidak hanya menjadi tanggung jawab para
pendidik, namun membutuhkan partisipasi dan kontribusi dari
seluruh warga bangsa, termasuk para sastrawan. Oleh karena
itu, para sastrawan diharapkan menciptakan karya sastra
yang mengandung nilai-nilai kebaikan, terutama nilai-nilai
pendidikan.
Nilai-nilai kebaikan yang terkandung dalam karya sastra
itu pun harus disampaikan dengan bahasa yang santun dan
indah (estetik) sehingga berdampak baik bagi pembaca atau
yang meresepsi karya sastra itu. Salah satu jenis karya sastra
yang cukup baik untuk menebarkan nilai-nilai kebaikan
kepada masyarakat terutama generasi muda adalah novel,
apalagi jika novel tersebut difilmkan sehingga nilai-nilai
kebaikan yang terkandung di dalamnya dapat tersebar luas.
Novel merupakan salah satu jenis karya sastra yang
menarik untuk dikaji. Kehadirannya dimaksudkan
mengungkapkan nilai-nilai estetis, dan diharapkan dapat
kehidupan masyarakat, seperti nilai-nilai agama, pendidikan,
kemanusiaan, moral, etika, dan lain-lain.
Kehadiran sebuah novel tentunya tidak bisa terlepas
dari latar belakang sosial budaya kehidupan dan ideologi
pengarang, lingkungan ketika terciptanya novel tersebut, dan
masyarakat pembaca yang akan mengapresiasi karya
tersebut. Pengarang menyodorkan karya satra sebagai
alternatif untuk menghadapi permasalahan yang ada
mengingat karya satra erat kaitannya dengan kehidupan
masyarakat. Hal ini sesuai dengan asumsi bahwa satra
diciptakan tidak dalam keadaan kekosongan budaya (Teeuw,
1988: 20).
Kini, kesadaran akan pentingnya penyebaran nilai-nilai
keagamaan, nilai-nilai pendidikan, dan nilai-nilai kebaikan
lainnya melalui penciptaan novel semakin menggembirakan
karena perkembangannya cukup pesat. Kondisi yang
demikian ini ditandai dengan terbitnya novel-novel inspiratif
yang isinya sarat dengan pesan-pesan kebaikan. Misalnya,
novel Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih karya
Habiburrahman El Shirazy, tetralogi novel Laskar Pelangi
karya Andrea Hirata, Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi,
Opera van Gontor karya Amroeh Adiwijaya, dan masih banyak
Hal yang menggembirakan juga adalah adanya
kesadaran masyarakat (pembaca karya sastra) yang cukup
berminat dan mengapresiasi novel-novel berkarakter tersebut
dengan membeli dan membacanya. Buktinya, novel-novel
tersebut masuk dalam kategori best seller dan bahkan ada
yang diangkat ke film layar lebar.
Sebelum hadirnya novel-novel berkarakter seperti
Ayat-ayat Cinta, Laskar Pelangi, dan Negeri 5 Menara, masyarakat
sudah jenuh dan jemu dengan sajian novel yang dinilai
kadang kurang mendidik, bahkan ada yang bercerita tentang
masalah seks secara vulgar. Oleh sebab itu, hadirnya
novel-novel bertersebut dinilai banyak memberikan pencerahan
baru terutama mengajarkan nilai-nilai pendidikan karakter
karena setelah membaca novel-novel tersebut, masyarakat
banyak yang mengalami perubahan ke arah kebaikan karena
tersentuh ajaran-ajaran yang ada di dalamnya.
Selama ini banyak novel yang berusaha memuat
nilai-nilai pendidikan karakter tetapi ternyata tidak membawa
perubahan kebaikan yang signifikan kepada masyarakat
karena nilai-nilai pendidikan karakter yang dimuat di
dalamnya diceritakan dengan tidak jelas atau samar-samar
sesuai dengan ideologi pengarang (Mahayana, 2008). Akan
Negeri 5 Menara yang disampaikan dengan bahasa yang
santun, indah, dan mengena (mudah dipahami pembaca)
ternyata mampu mengajarkan nilai-nilai pendidikan karakter
kepada masyarakat tanpa terkesan menggurui.
Selain itu, kesuksesan novel Negeri 5 Menara tidak dapat
dilepaskan dari faktor psikologis pembaca sastra Indonesia
yang sudah cukup lama disuguhi novel-novel karya
penulis-penulis wanita yang sebagian besar menceritakan masalah
percintaan dan perselingkuhan yang dibumbui dengan
perbincangan tentang seks secara vulgar, misalnya
karya-karya Ana Maryam, Dinar Rahayu, Maya Wulan, Riyanti Yusuf,
atau Djenar Maesa Ayu.
Novel Negeri 5 Menara hadir dengan menyuguhkan
nilai-nilai kebaikan untuk menyejukkan hati dan mencerahkan
pikiran pembaca (sastra Indonesia) yang mulai dihinggapi
kejemuan dan kejenuhan terhadap karya-karya yang
mengeksploitasi seksualitas dan tubuh wanita yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai pendidikan karakter dan ajaran Islam
yang notabene dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia.
Novel Negeri 5 Menara begitu khas, fenomenal, dan
merepresentasikan nilai-nilai pendidikan karakter yang
diwakili oleh tokoh-tokoh utamanya. Kekhasan itu didukung
kekayaan ungkapan-ungkapan Arab dan Inggris serta
penggunaan bahasa yang penuh dengan citraan (imagery)
dan berbagai jenis majas. Oleh karena itu, kehadiran novel ini
segera mendapat sambutan masyarakat luas.
Sebagai bukti sambutan positif dari masyarakat
terhadap novel tersebut, adalah adanya komentar-komentar
para tokoh dalam http://negeri5menara.com (diunduh pada 19
Februari 2014) sebagai berikut.
B.J. Habibie (Presiden RI ke-3), menyatakan bahwa
novel Negeri 5 Menara merupakan novel yang berkisah
tentang generasi muda bangsa ini penuh motivasi, bakat,
semangat, dan optimisme untuk maju dan tidak kenal
menyerah. Novel ini berisi pelajaran yang amat berharga
bukan saja sebagai karya seni, tetapi juga tentang proses
pendidikan dan pembudayaan untuk terciptanya sumberdaya
insani yang handal.
K.H. Hasan A. Sahal (Pimpinan Pondok Modern Gontor)
menyatakan bahwa novel Negeri 5 Menara (N5M)
mengisahkan tentang “pesantren kemasyarakatan” yang
bebas mendidik anak bangsa dalam keislaman dan keilmuan.
Alumninya dengan menumpang “perahu moral” bisa melesat
hanya dimanfaatkan. Beliau berharap, semoga pembaca
cerdas dan jujur dapat menggali nilai-nilai fitri manusiawi dari
novel tersebut.
Emha Ainun Nadjib juga mengapresiasi novel N5M
dengan menyatakan bahwa masyarakat dunia, khususnya
Indonesia, sedang mengolah kekayaan alam, kreativitas
pengetahuan dan inovasi teknologi menjadi sampah
kebudayaan, kekonyolan mental, kehinaan moral dan
kekerdilan kemanusiaan. Ahmad Fuadi melakukan yang
sebaliknya: dengan novelnya ini ia mengolah
sampah-sampah masa silam kehidupannya menjadi emas permata
masa depan.
Senada dengan pernyataa-pernyataan tersebut, Bill
Liddle, profesor ilmu politik, Ohio State University, Columbus
Ohio, A.S., mengemukakan bahwa pada masa Orde Baru,
jutaan anak santri bermimpi dan berjuang untuk menjadi
orang modern yang mampu hidup di mana-mana. Melalui
kisah enam teman sekelas di sebuah pondok modern yang
terinspirasi kisah nyata, Ahmad Fuadi berhasil menciptakan
kembali ciri-ciri khas budaya masa itu, terutama
kepercayaannya bahwa kunci sukses pribadi adalah
Demikian pula, Arief Rachman, Guru Besar Universitas
Negeri Jakarta menyatakan bahwa novel N5M merupakan
tulisan yang sangat inspiratif dan dianjurkan untuk dibaca
oleh masyarakat pendidikan. Dari novel N5M dapat dirasakan
kekuatan pandangan hidup yang mendasari bangkitnya
semangat untuk mencapai harga diri, prestasi dan martabat
diri. Keterikatan, peleburan, dan pencerahan diri dari
kekuatan Allah SWT telah mendasari semua kegiatan menjadi
ibadah dan keberkahan.
Di samping itu, trilogi novel N5M memiliki beberapa
keunikan sebagai berikut. Pertama, dari segi pemilihan judul,
ketiga judul novel itu menggunakan angka ganjil. Dimulai dari
angka 5, 3, lalu 1: Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, dan
Rantau 1 Muara. Kedua, dari sisi waktu penerbitan. Penerbit
memilih tahun ganjil, dimulai dari tahun 2009, 2011, lalu
2013. Keunikan ketiga terletak pada penggunaan “semboyan
pembangun jiwa” yang digunakan di ketiga novel.
Semboyan-semboyan itu diambil dari pelajaran Mahfudzot (hafalan
kalimat-kalimat bijak berbahasa Arab) yang diajarkan di
Pondok Modern Gontor, Jawa Timur. Semboyan-semboyan
yang sangat memotivasi bagi para pelajar/santri agar sukses
siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil), man shabara
zhafira (siapa yang bersabar akan beruntung), dan man saara
ala darbi washala (barang siapa berjalan di jalannya akan
sampai tujuan).
Berdasarkan sejumlah fakta sebagaimana diekspresikan
dalam komentar sejumlah tokoh tersebut, maka penelitian
tentang representasi pendidikan karakter dan estetika bahasa
dalam trilogi novel N5M karya Ahmad Fuadi dari segi sosiologi
dan pragmatika sastra (sosiopragmatik) dan stilistika layak
untuk dilakukan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah unsur-unsur intrinsik dalam trilogi novel
Negeri 5 Menara?
2. Bagaimanakah representasi pendidikan karakter dalam
trilogi novel Negeri 5 Menara?
3. Bagaimanakah estetika bahasa dalam trilogi novel Negeri
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Mendeskripsikan dan menjelaskan unsur-unsur intrinsik
dalam trilogi novel Negeri 5 Menara.
2. Mendeskripsikan dan menjelaskan representasi pendidikan
karakter dalam trilogi novel Negeri 5 Menara.
3. Mendeskripsikan dan menjelaskan estetika bahasa dalam
trilogi novel Negeri 5 Menara.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya
khazanah ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang kajian
sosiologi dan pragmatika sastra (sosiopragmatik) dan
stilistika yang terkait dengan ajaran Islam dan pendidikan
karakter.
2. Manfaat Praktis.
a. Bagi Dunia Pendidikan
Nilai-nilai pendidikan karakter yang dideskripsikan dan
dijelaskan dalam penelitian ini diharapkan dapat:
1) Menjadi acuan alternatif bagi para pendidik dalam
memilih model pendidikan karakter yang lebih sesuai
dengan kondisi sosiologis peserta didik di Indonesia
pendidikan karakter yang dikembangkan di Indonesia
dewasa ini lebih cenderung merujuk pada teori-teori
pendidikan karakter dari Barat yang belum tentu
sesuai dengan karakteristik peserta didik tersebut.
2) Menjadi acuan alternatif bagi para pendidik dan
peserta didik dalam memilih materi pembelajaran
bahasa dan sastra Indonesia seiring dengan kesadaran
masyarakat tentang pentingnya aktivitas
pembelajaran yang bermuara pada penguatan
karakter seluruh warganegara yang berbasis pada
nilai-nilai agama.
3) Menumbuhkan kecintaan pendidik dan peserta didik
untuk lebih mencintai dan mengapresiasi karya sastra
yang berkarakter karena dapat memberikan nilai-nilai
pendidikan yang sangat berguna bagi kehidupan
karena selama ini pembelajaran sastra kurang
mendapatkan perhatian intens dibandingkan
pembelajaran bahasa.
4) Menumbuhkan semangat belajar dan kegigihan dalam
berikhtiar bagi peserta didik dengan semboyan man
jadda wajada (barang siapa yang bersungguh-sungguh
bersabar akan beruntung), dan man saara ala darbi
washala (barang siapa berjalan di jalannya akan
sampai tujuan).
b. Bagi Masyarakat
1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
apresiasi yang mendalam terhadap karya sastra
Indonesia kontemporer, khususnya trilogi novel
Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi yang
merepresentasikan nilai-nilai pendidikan karakter yang
sangat diperlukan untuk membangun manusia yang
memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan
spiritual.
2) Dengan mengetahui dan mengamalkan nilai-nilai
pendidikan karakter yang terdapat dalam trilogi novel
Negeri 5 Menara dapat meningkatkan keimanan dan
ketakwaan kepada Allah SWT dan semangat hidup
yang pantang putus asa dalam berikhtiar untuk
memperbaiki kualitas kehidupan.
3) Para tokoh Islam dapat menjadikan trilogi novel
4) Para pengarang novel dapat menjadikan trilogi novel
Negeri 5 Menara sebagai contoh untuk menulis
karya-karya yang berkualitas dan best seller.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Strategi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif-deskriptif, yakni bertujuan untuk mengungkapkan berbagai
informasi kualitatif dengan pendeskripsian yang teliti dan
penuh nuansa untuk menggambarkan secara cermat
sifat-sifat suatu hal, keadaan, fenomena, dan tidak terbatas
pada pengumpulan data, tetapi meliputi analisis dan
interpretasi data tersebut (Sutopo, 2002:111). Penelitian ini
berusaha mendeskripsikan secara kualitatif representasi
ajaran Islam, pendidikan karakter, serta latar sosiohistoris
pengarang novel N5M, kondisi realitas sosial ketika novel
N5M diciptakan, dan tanggapan pembaca terhadap novel
N5M yang dikaji dengan sosiologi sastra dan pragmatika
sastra (sosiopragmatik). Adapun kekhasan gaya bahasa
dalam novel N5M yang dikaji dengan metode stilistika
genetik. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah studi kasus terpancang (embedded case study)
mengingat fokus utama penelitian adalah unsur-unsur
novel N5M sudah ditentukan sejak awal untuk membimbing
arah penelitian.
2. Data dan Sumber Data Penelitian a. Data Penelitian
Data penelitian kebahasaan adalah fenomena
lingual khusus yang berkaitan langsung dengan masalah
penelitian (Sudaryanto, 2002:5-6). Data penelitian ini
terdiri atas dua kelompok. Pertama, data yang berupa
data kebahasaan, yakni wujud formal pemakaian kata,
kalimat, wacana, bahasa figuratif, dan citraan dalam
N5M. Kedua, data yang berupa informasi mengenai
unsur-unsur novel dan representasi pendidikan karakter.
b. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian berupa dokumen yakni
trilogi novel N5M, R3W, dan R1M. Unsur-unsur novel,
pendidikan karakter, dan estetika bahasa dideskripsikan
dengan menelaah novel-novel tersebut, novel-novel lain
yang relevan misalnya novel Opera van Gontor karya
Amroeh Adiwijaya (2010), dan opini publik yang berupa
tulisan-tulisan di media tentang tanggapan pembaca
terhadap isi trilogi novel N5M.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan teknik pustaka, yakni teknik pengambilan
data dari berbagai sumber tertulis beserta konteks
lingual yang mendukung analisis data. Berbagai tulisan
dipilih yang mencerminkan pemakaian potensi bahasa
yang khas (Subroto,1992:42).
4. Validitas Data
Agar data yang diperoleh dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah dan dapat menjadi landasan
dalam penarikan kesimpulan, maka sebelum informasi
dijadikan data penelitian perlu dicermati validitas dan
reliabiltasnya. Untuk menjamin keabsahan dan
kredibilitas data penelitian, digunakan tekni trianggulasi,
yang lazim dipakai dalam penelitian kualitatif.
Teknik trianggulasi adalah teknik pemeriksaan
validitas data dengan memanfaatkan sarana di luar data
itu (Moleong, 1995:178). Menurut Patton dalam Sutopo
(2002:78-85), teknik trianggulasi meliputi empat macam
yakni: (1) trianggulasi data (data triangulation), (2)
trianggualsi peneliti (investigator triangulation), (3)
trianggulasi metode (methodological triangulation), dan
(4) triangulasi teori (theoretical triangulation).
Pengumpulan data Reduksi data
Display data
Penarikan Simpulan a. Model Interaktif
Dalam penelitian ini, proses analisis data
dilakukan dengan model interatif seperti yang
dikemukakan oleh Miles & Hubermen (1984:23).
Analisis data model interaktif menggunakan
langkah-langkah: (1) reduksi data, (2) sajian data, (3)
penarikan simpulan dan verifikasi data. Ketiga langkah
tersebut dilakukan ketika pengumpulan data
berlangsung, baik dalam teks trilogi novel N5M
maupun di lapangan, dan aktivitasnya dilakukan
dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan
data sebagai proses siklus dan terus-menerus hingga
dicapai kesimpulan. Adapun proses analisis dengan
model interaktif tersebut dapat digambarkan sebagai
b. Metode Pembacaan Model Semiotik
Selanjutnya, dalam rangka pengungkapan
makna stilistika N5M sebagai sarana sastra, secara
umum teknik analisis data dilaksanakan melalui
metode pembacaan model semiotik, yakni pembacaan
heuristik dan pembacaan hermeneutik atau retro aktif.
Pembacaan heuristik adalah pembacaan menurut
konvesi atau struktur bahasa (pembacaan semiotik
tingkat pertama). Adapun pembacaan hermeneutik
adalah pembacaan ulang dengan memberikan
interpretasi berdasarkan konvensi sastra (pembacaan
semiotik tingkat kedua) (Riffaterre dalam Al-Ma’ruf,
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Representasi
Ratna (2005:612) mengemukakan bahwa representasi
adalah merekonstruksi serta menampilkan berbagai fakta
sebuah objek sehingga eksplorasi makna dapat dilakukan
dengan maksimal. Jika dikaitkan dengan bidang sastra, maka
representasi dalam karya sastra merupakan penggambaran
karya sastra terhadap suatu fenomena sosial. Penggambaran
ini tentu saja melalui pengarang sebagai kreator.
Representasi dalam sastra muncul sehubungan dengan
adanya pandangan atau keyakinan bahwa karya sastra
sebetulnya hanyalah merupakan cermin, gambaran,
bayangan, atau tiruan kenyataan. Dalam hal ini, Teeuw
(1984:220) menyatakan bahwa karya sastra dipandang
sebagai penggambaran yang melambangkan kenyataan
(mimesis).
Plato dalam Teeuw (1984:220) mengungkapkan bahwa
seni (sastra) melalui mimesis melakukan penggambaran
melalui ide pendekatan sehingga apa yang dihasilkan tidak
sama persis dengan kenyataan. Seni hanya dapat
kenyataan, seni berdiri di bawah kenyataan itu sendiri.
Demikian pula Aristoteles dalam Teeuw (1984:222)
mengungkapkan bahwa seni melalui mimesis melakukan
proses representasi fakta-fakta sosial. Proses representasi
yang terjadi dalam seni tidak semata-mata meniru kenyataan
seperti pantulan gambar cermin, tetapi melibatkan renungan
yang kompleks atas kenyataan alam.
Sesuatu yang direpresentasikan dalam suatu karya sastra
oleh pengarang bukan merupakan sesuatu sebagaimana
adanya, tetapi dipahami menurut sudut pandang yang
beragam dari para pengarangnya. Dengan kata lain,
representasi juga dapat berarti kemiripan dan imitasi yang
menjadi representasi citra aktual dan mental. Citra mental
tersebut dibentuk oleh individu yang berbeda-beda sehingga
menghasilkan penafsiran yang berbeda pula. Bentuk
representasi tersebut didasarkan pada pesan ideologi tertentu
sehingga tidak terlepas dari sosial politik kekuasaan (Ratna,
2008:122-123).
Representasi dalam dunia sastra bukan hanya sekadar
penggambaran fenomena sosial sebuah masyarakat dalam
kurun waktu tertentu, melainkan lebih mengarah kepada
penggambaran yang bermakna atas masyarakat dan
dipengaruhi oleh ras, saat, serta lingkungan yang
melatarbelakanginya.
Representasi merupakan bagian dari tradisi sastra biografi
panjang dan sering memiliki tujuan untuk menanamkan ide-ide
yang diwujudkan dalam tokoh atau individu sebagai cermin
sikap bangsa (Paul, 2010). Oleh sebab itu, pengarang
merepresentasikan dunia kenyataan ke dalam karya sastra
yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai agar suatu karya
yang merupakan cermin dari kehidupan nyata yang dapat
digunakan untuk pembelajaran dan penanaman nilai-nilai
kehidupan.
B. Pendidikan Karakter
Rumusan fungsi dan tujuan pendidikan nasional dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) bab II pasal 3 adalah
sebagai berikut: "Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Depag. RI,
2006).
Dalam UU Sisdiknas di atas dinyatakan secara eksplisit
bahwa tujuan pendidikan nasional yang menempati urutan
pertama adalah untuk membentuk warganegara Indonesia
yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah swt.), dan
urutan yang kedua adalah membentuk warganegara
Indonesia yang berakhlak mulia. Penempatan kata "takwa"
dan "akhlak mulia" di urutan paling awal dalam rumusan
tujuan pendidikan nasional ini seharusnya dipahami oleh
semua pakar dan praktisi pendidikan di negeri ini bahwa
semangat UU Sisdiknas tersebut adalah ingin mewujudkan
warganegara Indonesia yang bertakwa dan berakhlak mulia.
Artinya, semua aktivitas pendidikan nasional, mulai dari
filosofi, perencanaan, pelaksanaan, dan model-model
evaluasinya semestinya diarahkan dalam rangka mewujudkan
tujuan utama tersebut. Dengan kata lain,
pendidikan/pembinaan karakter merupakan fungsi pokok dari
pendidikan, baik yang dilaksanakan pada jalur pendidikan
informal, formal, maupun nonformal.
Dalam Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter
nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan
watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta
didik untuk member keputusan baik-buruk, memelihara apa
yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan
sehari-hari dengan sepenuh hati. Atas dasar itu, pendidikan
karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan
mana yang salah, lebih dari itu, pendidikan karakter
menanamkan kebiasaan (habituation) tantang hal mana yang
baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang
mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai
yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Dengan kata
lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan bukan
saja aspek “pengetahuan yang baik (moral knowing), akan
tetapi juga “ merasakan dengan baik atau loving good (moral
feeling), dan perilaku yang baik (moral action). Pendidikan
karakter menekankan pada habit atau kebiasaan yang
terus-menerus dipraktikkan dan dilakukan.
1. Urgensi Pendidikan Karakter
Penguatan pendidikan karakter dalam konteks sekarang
ini sangat urgen untuk mengatasi krisis moral yang sedang
terjadi di negara kita. Diakui atau tidak, saat ini sedang
terjadi krisis atau berbagai penyimpangan yang nyata dan
melibatkan generasi penerus bangsa: anak-anak/peserta
didik. Krisis itu, menurut Sugiri Syarif sebagaimana dikutip
Zubaedi (2011:1-2) antara lain berupa meningkatnya
pergaulan seks bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak
dan remaja (tawuran), kejahatan terhadap teman, kebiasaan
menyontek, penyalahgunaan obat-obatan (narkoba),
pornografi dan pornoaksi, pemerkosaan, serta aborsi. Akibat
yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap
sebagai suatu persoalan sederhana karena perilaku
menyimpang ini telah menjurus tindakan kriminal.
Kenakalan remaja semacam itu, pada dasarnya secara
langsung atau tidak langsung juga disebabkan oleh
“kenakalan orangtua”, yaitu perilaku para orangtua yang
tidak bisa dijadikan teladan: senang dengan konflik dan
tindak kekerasan, perselingkuhan, dan ketidakjujuran yang
ditandai semakin maraknya korupsi yang dilakukan pejabat
publik baik di pusat maupun di daerah. Terkait hal itu, Zuhdi
(2009:39-40) mengemukakan bahwa telah terjadi krisis moral
di tengah-tengah masyarakat Indonesia saat ini, yaitu krisis
kejujuran, krisis tanggung jawab, tidak berpikir jauh ke depan,
krisis kedisiplinan, krisis kebersamaan, dan krisis keadilan.
Agaknya tidak terlalu salah jika banyak orang
mengalami berbagai krisis tersebut diduga bersumber dari
apa yang dihasilkan dunia pendidikan. Menurut Hidayatullah
(2010:15), demoralisasi tersebut terjadi karena dua hal, yakni
(1) sistem pendidikan yang kurang menekankan
pembentukan karakter, tetapi masih lebih menekankan
pengembangan intelektual, misalnya sistem evaluasi
pendidikan lebih cenderung menekankan aspek
kognitif/akademik, seperti Ujian Nasional (UN), dan (2) kondisi
lingkungan yang kurang mendukung pembangunan karakter
yang baik. Senada Hidayatullah, Zubaedi (2011:3)
mengemukakan bahwa dalam konteks pendidikan formal di
sekolah, bisa jadi salah satu penyebab terjadinya krisis moral
adalah karena pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan
pada pengembangan intelektual atau kognitif semata,
sedangkan aspek soft skill atau nonakademik sebagai unsur
utama pendidikan karakter belum diperhatikan secara
optimal bahkan cenderung diabaikan.
Hal yang sama juga terjadi dalam pendidikan agama
dimana materi yang diajarkan oleh pendidikan agama
termasuk di dalamnya bahan ajar akhlak, cenderung terfokus
pada pengayaan pengetahuan (kognitif), sedangkan
pembentukan sikap (afektif) dan pembiasaan (psikomotorik)
lain, praktik pendidikan yang semestinya memperkuat aspek
karakter atau nilai-nilai kebaikan sejauh ini hanya mampu
menghasilkan berbagai sikap dan perilaku manusia yang
nyata-nyata justru bertolak belakang dengan apa yang
diterima dalam pembelajaran di sekolah.
Oleh karena itu, kini sudah saatnya para pengambil
kebijakan, para pendidik, orang tua dan masyarakat
senantiasa memperkaya persepsi bahwa ukuran keberhasilan
tak melulu dilihat dari prestasi yang berupa angka-angka.
Hendaknya institusi sekolah menjadi tempat yang senantiasa
menciptakan pengalaman pengalaman bagi siswa untuk
membangun dan membentuk karakter unggul.
Mengapa pendidikan karakter itu sangat penting dan
mendesak bagi bangsa Indonesia? Ya, karena bangsa kita
telah lama memiliki kebiasaan-kebiasaan yang kurang
kondusif untuk membangun karakter bangsa yang unggul,
meskipun harus diakui masih cukup banyak juga warga
bangsa kita yang memiliki kebiasaan positif atau karakter
yang baik. Ryan Sugiarto dalam Hidayatullah (2010)
mengemukakan sejumlah kebiasaan kecil yang dapat
menghancurkan bangsa sebagai berikut.
Pertama, kebiasaan-kebiasaan dalam memperlakukan
terlambat masuk kantor, tidak disiplin, suka menunda,
melanggar janji, menyontek, ngrasani, kebiasaan meminta,
menganggap berat setiap masalah, pesimis terhadap diri
sendiri, terbiasa mengeluh, merasa hebat, meremehkan
orang lain, tidak sarapan, tidak terbiasa antri, banyak tidur,
banyak nonton TV, dan terlena dengan kenyamanan/takut
berubah.
Kedua, kebiasaan-kebiasaan dalam memperlakukan
lingkungan, meliputi: merokok di sembarang tempat,
membuang sampah di sembarang tempat,
corat-coret/vandalism, kendaraan mengotori udara, jalan bertabur
iklan, konsumsi plastik berlebihan, tidak terbiasa
mengindahkan aturan pakai, abai dengan pohon, dan
menganggap daur ulang.
Ketiga, kebiasaan-kebiasaan yang merugikan ekonomi,
melipiti: konsumtif, pamer, silau dengan kepemilikan orang
lain, boros listrik, kecanduan game, tidak menyusun
rencana-rencana kehidupan, tidak biasa berpikir kreatif, dan
mengabaikan peluang.
Keempat, kebiasaan-kebiasaan dalam bersosial,
meliputi: tak mau membaca, tak mau mendengar pendapat
orang lain, nepotisme, suap-menyuap, politik balik modal,
sejarah, unjukrasa pesanan/bayaran, tawuran, tidak belajar
dari pengalaman, birokratif, provokatif dan mudah
terprovokasi, tidak berani berkata “tidak”, dan berambisi
menguasai.
Mengingat pentingnya karakter dalam membangun
sumber daya manusia yang kuat, maka menurut Hidayatullah
(2010:23) diperlukan pendidikan karakter yang dilakukan
dengan tepat. Dapat dikatakan bahwa pembentukan karakter
merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan. Oleh karena itu, pendidikan karakter harus
menyertai semua aspek kehidupan termasuk di lembaga
pendidikan. Sebaiknya pembentukan atau pendidikan
karakter diintegrasikan ke semua aspek kehidupan sekolah.
Lembag pendidikan, khususnya sekolah dipandang sebagai
tempat yang strategis untuk membentuk karakter siswa. Hal
ini dimaksudkan agar peserta didik dalam segala ucapan,
sikap, dan perilakunya mencerminkan karakter yang baik dan
kuat. Dengan pendidikan karakter yang efektif, diharapkan
sekolah dapat menghasilkan lulusan orang ”pandai” dan
”baik” dalam arti luas. Jangan sampai lembaga pendidikan
menghasilkan orang “pandai” tetapi “tidak baik”. Orang yang
pandai tetapi tidak baik jauh lebih “berbahaya” karena
menyebabkan kerusakan dan kehancuran. Masih lebih baik
lembaga pendidikan menghasilkan orang yang kurang pandai
tetapi baik, karena paling tidak masih tetap memberikan
suasana kondusif bagi kehidupan.
2. Hakikat Pendidikan Karakter
Secara singkat, pendidikan diartikan sebagai suatu
proses untuk memanusiakan manusia. Artinya, seorang bayi
yang lahir tidak dengan sendidrinya akan menjadi manusia
(yang berbudaya). Untuk menjadikan manusia yang
berbudaya haruslah melalui pengembangan dan pembinaan
jasmani dan ruhani melalui aktivitas pendidikan. Dengan kata
lain, pendidikan merupakan proses internalisasi budaya ke
dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat
orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan bukan
merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi
lebih luas lagi yakni sebagai sarana pembudayaan dan
penyaluran nilai.
Anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh
dimensi dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu
mencakup sekurang-kurangnya tiga hal paling mendasar,
yaitu: (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan,
ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta
tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk
menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang
tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan
teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.
Mengacu pada unsur dasar dan komponen pokok pendidikan,
secara singkat-padat, Muhadjir (1993) menyatakan bahwa
pendidikan adalah upaya terprogram dari
pendidik-mempribadi untuk membantu peserta didik agar
berkembang ke tingkat yang normatif lebih baik dengan cara
yang normatif juga baik.
Adapun pengertian karakter menurut Zubaedi (2011:10)
mengacu pada serangkaian perilaku, motivasi, dan
keterampilan. Karakter meliputi sikap seperti keinginan untuk
melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual seperti
berpikir kritis, perilaku seperti jujur dan bertanggung jawab,
mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh
ketidakadilan, dan sebagainya. Pengertian karakter Pusat
Bahasa Depdiknas mengartikan karakter sebagai “bawaan,
hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas,
sifat, tabiat, temperamen, watak”. Dengan demikian,
berkarakter berarti berkepribadian, berperilaku, bersifat,
mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku
(behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills).
Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark”
atau menandai dan memfokuskan bagaimana
mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau
tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus
dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek.
Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah
moral disebut dengan berkarakter mulia.
Selanjutnya, dengan uraian yang cukup mendalam,
Adhim (2012) menegaskan bahwa karakter identik dengan
akhlak sebagaimana dijelaskan oleh para ilmuwan muslim,
misalnya Imam Al-Ghazali, dan Imam Qurthubi, dan
Az-Zarnuji, sebagai berikut.
Jika karakter berbeda dengan perilaku, berbeda pula
dengan kebiasaan dan bahkan tatakrama dan bahkan
temperamen, lalu apa yang dapat dilakukan untuk
membangun karakter anak-anak kita? Langkah apa yang
dapat ditempuh untuk melakukan pendidikan karakter jika
pembiasaan (habituation/habit forming) tidak mempengaruhi
karakter anak-anak kita, di rumah maupun di sekolah?
Karakter berbeda dengan kebiasaan. Karakter itu
orang lain. Krakter menuntut adanya pengahayatan nilai,
proses mengidentifikasikan driri dengan nilai-nilai yang
diyakini sehingga ia senantiasa berusaha agar bersesuaian
dengan nilai yang diyakini sehingga pada akhirnya terjadi
karakterisasi diri. Artinya, karakter merupakan proses yang
berkelanjutan.Karakter memang cenderung menetap dan
sulit diubah, namun bukan berarti sekali terbentuk tidak
mungkin berubah. Dari karakter itulah –baik atau buruk–
melahirkan berbagai perilaku. Akan tetapi perilaku itu sendiri
tidak dapat serta merta dikatakan sebagai karakter.
Perilaku yang berulang setiap hari dapat membentuk
kebiasaan, meskipun sebagian hanya menjadi perilaku
berulang (repeted behavior), yakni manakala perulangan
perilaku tersebut terjadi hanya karena takut terhadap
ancaman. Tidak muncul perilaku tersebut jika ancamannya
hilang. Hal ini perlu diperhatikan agar kita tidak cepat merasa
puas ketika melihat perilaku anak-anak kita. Jangan sampai
kita mengira anak-anak telah memiliki kebiasaan yang baik,
padahal hanya perilaku berulang semata. Dalam hal ini ada
pelajaran yang sangat berharga yang perlu dicamkan oleh
para pendidik, bahwa karakter itu tidak terlepas dari
keyakinan dan penghayatan seseorang terhadap nilai-nilai
perilaku sendiri bukan gambaran yang dapat memastikan
karakter seseorang, kecuali jika ada serangkaian perilaku lain
yang searah. Singkatnya begini, orang baik akan mudah
tersenyum, tetapi murah senyum belum tentu orang baik.
Bukankah para penipu berhasil mengelabuhi orang lain justru
karena senyumnya yang memukau? Bukan karena raut muka
yang menakutkan.
Satu pilar yang sangat penting dalam pendidikan
karakter adalah adanya sosok panutan (role model). Lantas
sosok siapa yang pantas dan tepat untuk dicontoh? Apakah
kita akan menjadikan Lawrence Kohlberg sebagai sosok
panutan? Padahal tokoh yang dijuluki sebagai Bapak
Pendidikan Karakter ini justru matinya dengan cara
mengenaskan. Dia mati bunuh diri dengan cara
menenggelamkan diri karena krisis karakter. Ini mirip dengan
kematian Sigmund Freud. Meskipun bukan bunuh diri, tetapi
tokoh yang dikenal dengan Bapak Kesehatan Mental ini mati
dengan cara eutanasia (suntik mati) atas permintaan sendiri
akibat depresi yang ia alami.
Istilah yang dekat dengan karakter adalah akhlaq,
bentuk jamak dari khuluq. Khuluq adalah bentuk, sifat, dan
nilai-nilai yang berada pada wilayah batin. Ini menarik untuk
lahiriyah, ia adalah khalq. Oleh karena itu, khuluq –terpuji
atau tercela –akan tercermin dalam khalq yang berupa
sifat-sifat lahiriyah. Ini berarti bahwa yang harus diperhatikan
bukan hanya perilaku yang tampak, tetapi apa-apa yang
darinya tercermin dalam bentuk perilaku.
Tentang kaitan antara akhlaq dan perilaku, Imam
Al-Ghazali menulis dalam Ihya’ Ulumuddin, “Akhlaq merupakan
ungkapan keadaan yang melekat pada jiwa dan darinya
timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa perlu
berpikir panjang dan banyak pertimbangan.” Agar tidak salah
arah, marilah kita tengok pendapat Imam Qurthubi, akhlaq
adalah adab atau tatakrama yang dipegang teguh oleh
seseorang sehingga adab atau tatakrama itu seakan menjadi
bagian dari penciptaan dirinya. Dalam peristilahan sekarang,
adab meliputi manner and etiquettes (tatakrama dan etiket).
Ia bukan sekedar serangkaian perilaku, melainkan di
dalamnya juga terkandung sikap. Ini berarti proses
pembentuka adab (ta’dib) memerlukan beberapa unsur, yakni
menumbuhkan sikap yang baik, melakukan serangkaian
pembiasaan yang terkait, menanamkan kebiasaan bukan
hanya bersifat fisik dan mekanik, menumbuhkan motivasi
Merujuk pada pendapat Syaikh Burhanuddin Az-Zarnuji,
Adhim (2012) menyatakan bahwa adab merupakan pilar
utama menuntut ilmu. Agar seseorang dapat menuntut ilmu
dengan baik, hal pertama yang harus dimiliki oleh murid
sekaligus ditumbuhkan oleh guru adalah adab. Proses
pembentukan adab merupakan tahap yang sangat penting
untuk menyiapkan murid dalam menuntut ilmu sekaligus
menumbuhkembangkan akhlaq mulia dalam diri mereka.
Adab merupakan pilarnya dan akhlaq keyakinan pada agama
Islam merupakan fondasi yang sangat penting. Keyakinan itu
bersifat afektif, bukan kognitif. Jika keyakinan telah tumbuh,
maka pemahaman secara kognitif akan menguatkannya.
Sebaliknya, tanpa menyadari dan meyakini, pemahaman
yang mendalam pun tidak mempengaruhi sikap, apalagi
sampai ke perilaku.
Tegasnya, penanaman keimanan yang kuat harus
didahulukan, selanjutnya baru pemahaman keilmuan, dan
insya Allah, hanya dengan cara seperti ini peserta didik akan
mengamalkan ilmunya. Jadi, urutannya: iman, ilmu, dan amal.
Inilah urutan proses pendidikan yang sesuai dengan konsep
dari Allah Yang Maha Mendidik (Rabb) sebagaimana tertuang
dalam Al-Quran Surah Luqman:13-19. Konsep ini pula yang
mendidik para sahabatnya, dimana beliau menanamkan
ajaran keimanan/aqidah/tauhid dalam waktu yang cukup
lama. Konsep pendidikan dari Allah yang diterapkan oleh
Rasulullah inilah yang terbukti menghasilkan pribadi-pribadi
mulia, sosok-sosok agung, para sahabat yang biografinya
tercatat dalam sejarah kemanusiaan dengan tinta emas yang
dapat diteladani sampai akhir masa.
Selanjutnya, mari kita bandingkan dengan proses
pendidikan yang terjadi sekarang. Begitu masuk sekolah
anak-anak langsung belajar. Kurang ada proses yang
diikhtiarkah secara serius membentuk adab pada diri mereka
sehingga kurang ada kesiapan belajar belajar, pun kurang
ada bekal awal untuk membentuk karakter (akhlaq) dalam
diri mereka. Begitu masuk sekolah, serta-merta mereka harus
belajar untuk tujuann akademik sebelum sikap dan motivasi
belajar mereka dibangun. Begitu anak-anak yang ceria itu
masuk ruang sekolah, mendadak keceriaan mereka memudar
karena segera memabayang dalam benak mereka
”hantu-hantu angka”: ””hantu-hantu matematika”, ””hantu-hantu english”, ””hantu-hantu
ranking”, ”hantu tidak lulus UN”, ”hantu NEM”, dan
sebagainya.
Padahal sekolah seharusnya menyiapkan mereka terlebih
proses perubahan yang terancang, dari segi mental mereka
mempunyai motivasi akademik yang baik, sedangkan dari
aspek tatakrama dan etiket mereka memilki kesiapan belajar.
Mari kita renungkan secara mendalam, Rasulullah Saw. diutus
untukn menyempurnakan akhlaq. Namun, apakah yang
Beliau lakukan di masa awal risalahn dakwahnya? Bukan
akhlaq yang lebih dulu dibangun, tapi aqidah. Aqidah dulu,
baru akhlaq! Jika aqidah/tauhidnya benar dan kuat, insya
allah akhlaq/karakter peserta didik juga akan mulia dan
kokoh.
Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang
sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak.
Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi
manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara
yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga
masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi
suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah
nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya
masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat
pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia
adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang
bersumber dari agama dan budaya bangsa Indonesia sendiri,
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar
manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat
absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut
sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki
tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter
dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai
karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan
ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur,
hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama,
percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah,
keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi,
cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan
bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya,
rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab;
kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner,
adil, dan punya integritas.
Dalam tulisan Muhadjir (1993) karakter dasar manusia
ini dinyatakan sebagai nilai-nilai insani yang sesungguhnya
itu juga nilai-nilai yang bersumber dari Ilahi yang bersifat
universal, misalnya ketaqwaan, kejujuran, kasih sayang,
kedisiplinan, tolong menolong, keadilan, kesantunan,
kesabaran, tanggung jawab, saling paercaya, ksetiaan, dan
melestarikan nilai-nilai Ilahi/insani tersebut. Oleh karena
masyarakat manusia dapat berlangsung terus (lestari) jika
jika ada kemauan untuk menaati atau mengamalkan
nilai-nilai Ilahi/insani tersebut.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan
bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang
dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk
membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku
manusia yang berhubungan dengan Allah SWT, diri sendiri,
sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang mewujud
dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan
berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,
budaya, dan adat istiadat.
Khusus untuk peserta didik yang beragama Islam,
penguatan (intensifikasi) pendidikan keimanan/aqidah/tauhid
pada pendidikan tingkat dasar dan menengah merupakan
tindakan yang harus segera dilakukan. Mengingat,
keimanan/aqidah/tauhid yang benar dan kuat merupakan
fondasi yang sangat kokoh untuk menopang berkembangnya
nilai-nilai karakter/akhlaq terpuji dalam diri peserta didik.
Oleh karena mengembangkan nilai-nilai karakter/akhlaq
terpuji tanpa didasari fondasi yang kokoh, ibarat mendirikan
mengkwatirkan, dan membahayakan karena sedikit ada
goncangan akan segera roboh.
3. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Karakter
Hasan dkk. (2010) mengatakan bahwa pendidkan
karakter setidaknya mempunyai lima tujuan, yaitu (1)
mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik
sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai
karakter bangsa, (2) mengembangkan kebiasaan dan perilaku
peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai
universal dan tradisi budaya bangsa yang religius, (3)
menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab
peserta didik sebagai generasi penerus bangsa, (4)
mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia
yang mandiri, kreatif, dan berwawasan kebangsaan, dan (5)
mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai
lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan
persahabatan, dan dengan rasa kebangsaan yang tinggi serta
penuh kekuatan.
Adapun menurut Zubaedi (2011), mempunyai tiga
fungsi utama, yaitu (1) fungsi pembentukan dan
pengembangan potensi, (2) fungsi perbaikan dan penguatan,
dan (3) fungsi penyaring. Pertama, fungsi pembentukan dan
membentuk dan mengembangkan potensi peserta didik agar
berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku baik sesuai
dengan nilai-nilai keagamaan, kemanusiaan, kesatuan dan
kebersamaan, mesyuwarah, dan solidaritas sosial
sebagaimana terkandung dalam falsafah hidup Pancasila.
Sejujurnya, nilai-nilai Pancasila yang telah dirumuskan
pada zaman Orde Baru yang tertuang dalam Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) jika diamalkan
secara sungguh-sungguh –yang dalam zaman Orde Baru –
disebut ”secara murni dan konsekuen”, tidak sekedar sebagai
slogan kampanye politik atau sekedar ”proyek” yang bertajuk
”Penataran P4”, sudah cukup memadai untuk membangun
karakter bangsa. Namun sayang, butir-butir nilai Pancasila
yang telah dirumuskan secara baik dan telah diterbitkan
secara massal tersebut tidak dihayati apalagi diamalkan oleh
para pejabat publik waktu itu, sehingga sebagain besar
rakyat juga ikut meneladaninya: tidak mengamalkan
Pancasila secara murni dan konsekuen. Akibatnya, nilai-nilai
Pancasila yang telah dirumuskan dengan sangat baik
tersebut, kini telah dimuseumkan, dilupakan, dan
dicampakkan.
Kedua, fungsi perbaikan dan penguatan. Pendidikan
keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah
untuk ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam
pengembangan potensi warga negara dan pembangunan
bangsa menuju bangsa yang maju, mandiri, dan sejahtera.
Terkait dengan fungsi pendidikan karakter dalam
memperbaiki dan memperkuat peran keluarga, atau
sebaliknya: peran keluarga sebagai pilar utama untuk
kesuksesan pendidikan karakter, Allah SWT berfirman dalam
Al-Quran yang terjemahannya sebagai berikut.
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan" (Q.S. At-Tahrim: 6).
"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar" (Q.S. An-Nisa’: 9).
Keluarga merupakan tempat untuk mempersiapkan
generasi muda yang akan meneruskan perjuangan dari para
pendahulunya. Oleh karena itu, para orang tua harus
menciptakan kondisi keluarga yang harmonis, keluarga yang
tenteram yang penuh dengan cinta dan kasih sayang
sehingga kondusif untuk mendidik anak-anak terutama dalam
tentu saja akan menghasilkan generasi penerus yang
tangguh dan tanggap sehingga lebih siap menghadapi
berbagai tantangan kehidupan dalam bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Sebaliknya, sebuah keluarga yang
tidak kondusif untuk mendidik anak, bukan saja tidak
menghasilkan generasi penerus yang berkualitas, tetapi
justru menghasilkan generasi yang bermasalah yang menjadi
beban tersendiri bagi keluarga dan masyarakatnya.
Di antara tugas keluarga terutama orang tua dalam
pendidikan karakter/akhlak adalah memberikan teladan yang
baik bagi anak-anaknya dalam berpegang teguh kepada
akhlak mulia. Keteladanan merupakan faktor terpenting
untuk mencapai tujuan utama pendidikan yaitu tertanamnya
akhlak mulia pada anak-anaknya. Anak yang mendapatkan
pendidikan agama dan pendidikan karakter/akhlak yang baik
serta keteladanan yang baik umumnya akan baik pula
karakter/akhlaknya. Namun sebaliknya kurangnya pendidikan
agama dan keteladanan dari orang tua akan berakibat pada
buruknya karakter/akhlak anak.
Ibarat angka, generasi yang bermasalah yang dihasilkan
dari keluarga yang tidak kondusif itu adalah angka minus.
Agar menjadi angka plus, tentu memerlukan perhatian dan
melewati angka nol dulu. Pendek kata, perubahan dari
generasi minus menuju plus itu menyita perhatian dan waktu
tersendiri yang semestinya perhatian dan waktu itu sudah
dapat dipergunakan untuk "menangkarkan tunas-tunas muda
yang berkualitas pada lahan yang lebih luas" sehinga "panen
raya" akan segera menjadi kenyataan.
Demikianlah gambaran betapa pentingnya menciptakan
kondisi keluarga yang harmonis, keluarga yang tenteram
yang penuh dengan cinta dan kasih sayang (sakinah,
mawaddah, wa rahmah) sehingga kondusif untuk mendidik
anak-anak terutama dalam menanamkan karakter/akhlak
mulia kepada mereka, dimana karakter/akhlak mulia ini
merupakan prasyarat yang harus ada bagi tercapainya
cita-cita: keluarga bahagia. Dampak positif dari keluarga-keluarga
bahagia itu, akan –secara karambol –berdampak luas bagi
terwujudnya ”lahan” dan lingkungan yang kondusif untuk
menyemai benih-benih karakter mulia. Secara sederhana,
dapat dikatakan bahwa: jika banyak keluarga yang baik,
keadaan dusun akan baik, desa akan baik, selanjutnya:
kecamatan, kabupaten, provinsi, dan negara akan baik.
Ketiga, fungsi penyaring. Pendidikan karakter berfungsi
memilah budaya bangsa sendiri dan menyaring budaya
karakter bangsa yang bermartabat. Termasuk di dalamnya
adalah menyaring atau menyeleksi berbagai informasi yang
semakin ”membanjir” dari media cetak, elektronik, dan online
seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi sekarang ini. Fungsi ini sejalan dengan salah
satu fungsi pendidikan sebagaimana yang dinyatakan
Muhadjir (1993), yaitu untuk menumbuhkan kreativitas
peserta didik. Di era teknologi informasi yang canggih
dewasa ini, informasi yang diterima manusia sangat
beragam, ada yang bermanfaat dan ada pula sampah
informasi yang beracun. Keragaman informasi menantang
manusia untuk memilah, memilih atau menyaring validitas
(kebenaran) isinya, terpercaya salurannya, dan sebagainya.
Dalam menyaring informasi tersebut dibutuhkan kemampuan
kreatif untuk menggeneralisasikan, mengabstrakkan,
menemukan hubungan unuiknya untuk akhirnya
menampilkan pendapat, sikap, dan wawasan yang tepat,
sehingga kita tidak hanyut bahkan tenggelam dalam sampah
informasi.
Selain tiga fungsi yang telah dipaparkan di atas,
pendidikan karater juga berfungsi untuk menghancurkan
penyakit mental block. Prihadi (2009) menyatakan bahwa
yang terhalangi oleh ilusi-ilusi yang sebenarnya hanya
membuat kita terhambat untuk melangkah menuju
kesuksesan. Di samping memiliki penyakit fisik, manusia juga
memilki penyakit mental (mental block), yang sangat
berbahaya untuk seseorang atau kelompok yang ingin
sukses.
Penyakit mental ini dapat dideteksi dengan
memperhatikan gejala-gejala awal yang biasanya dialami si
penderita seperti suka mengeluh, konflik batin, tidak ada
perubahan kehidupan, dan tidak mau mengambil resiko. Cara
mendeteksi penyakit mental block dapat dilakukan sendiri
atau meminta bantuan orang lain. Caranya dengan pasang
target, perhatikan pola, tanya oarang lain, dan tanya hati
nurani. Beberapa penyebab penyakit mental block adalah
citra diri buruk, pengalaman buruk, lingkungan buruk, rujukan
buruk, dan pendidikan buruk. Adapun virus-viru penyebab
penyakit ini adalah banyak alasan, pembenaran, gengsi,
malas, takut, menunggu, tidak percaya diri, dan buruk
sangka.
Orang yang terjangkit penyakit mental block perlu
segera dilakukan upaya pengobatan. Penyakit mental block
dapat dicegah dengan optimisme, selalu berpikir positif,
pemikiran, perasaan, sikap, dan tindakan. Agar proses
penyembuhan deangan pengobatan menjadi lebih efektif,
menurut Zubaedi (2011), maka diperlukan pemahaman serta
harus ada kemauan yang kuat, membangun diri,
menemukan, dan mengakui keadaan yang sebenarnya.
Adapaun obat penawar penyakit mental block adalah berani
mengambil tanggung jawab, pembuktian diri, memperjelas
sasaran hidup, menaikkan level, dan sebagainya.
4. Nilai-niliai Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter mengemban misi untuk
mengembangkan watak-watak dasar yang seharusnya
dimiliki oleh peserta didik. Pendidikan karakter di Indonesia
didasarkan pada sembilan pilar karakter dasar, yaitu (1) cinta
kepada Allah dan semesta beserta isinya; (2) tanggung
jawab, disiplin, dan mandiri; (3) jujur; (4) hormat dan santun;
(5) kasih sayang, peduli, dan kerjasama; (6) percaya diri,
kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; (7) keadilan dan
kepemimpinan; (8) baik dan rendah hati; serta (9) toleransi,
cinta damai, dan persatuan.
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter
di Indonesia diidentifikasi berasal dari empat sumber yaitu (1)
nasional. Keempat sumber nilai tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut.
Pertama, agama. Masyarakat Indonesia merupakan
masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu,
masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama.
Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari nilai-nilai
yang berasal dari agama. Karenanya, nilai-nilai pendidikan
karakter harus didasasi nilai-nilai agama.
Kedua, Pancasila. Indonesia ditegakkan atas
prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut
Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945
yang dijabarkan lebih lanjut ke dalam pasal-pasal dalam
batang tubuh UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan
politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, dan kemasyarakatan.
Pendidikan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan
peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik yaitu
warga negara yang memiliki kemampuan dan kemauan
menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, budaya. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia
yang hidup bermasyarakat senatiasab didasari nilai-nilai
budaya yang diakui masyarakat tersebut. Nilai budaya ini