• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DAN ESTETIKA BAHASA DALAM TRILOGI NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI (Kajian Sosiopragmatik dan Stilistika) - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "REPRESENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DAN ESTETIKA BAHASA DALAM TRILOGI NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI (Kajian Sosiopragmatik dan Stilistika) - Test Repository"

Copied!
297
0
0

Teks penuh

(1)

REPRESENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DAN ESTETIKA BAHASA DALAM TRILOGI NOVEL

NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI (Kajian Sosiopragmatik dan Stilistika)

Oleh

Drs. Bahroni, M.Pd. NIP. 196408181994031004

PUSAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

SALATIGA 2014

(2)

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Drs. Bahroni, M.Pd.

NIP : 196408181994031004

Pangkat/Golongan : Pembina (IVa) / Lektor Kepala

menyatakan bahwa naskah penelitian dengan judul REPRESENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DAN ESTETIKA BAHASA DALAM TRILOGI NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI (Kajian Sosiopragmatik dan Stilistika), secara keseluruhan adalah hasil penelitian/karya saya sendiri, kecuali bagian-bagian yang dirujuk sumbernya dan telah saya susun sesuai dengan kaidah dan etika penelitian.

Salatiga, 19 Desember 2014

Yang Menyatakan

Drs. Bahroni, M.Pd.

(3)

ABSTRAK

Bahroni. 2014. Representasi Pendidikan Karakter dan Estetika Bahasa dalam Trilogi Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi (Kajian Sosiopragmatik dan Stilistika). Penelitian Unggulan. Konsultan: Dr.H.Sa’adi, M.Ag.

Kata kunci: pendidikan karakter, estetika bahasa

Pemberlakuan kurikulum 2013 pada dunia pendidikan di Indonesia didasari atas keprihatinan yang mendalam masyarakat Indonesia pada umumnya dan para pendidik pada khususnya terhadap semakin pudar dan merosotnya karakter generasi muda bangsa. Kurikulum 2013 ini lebih menekankan pada internalisasi nilai-nilai karakter yang baik ke dalam diri peseta didik, sehingga setelah mereka lulus dari jenjang pendidikan tertentu diharapkan memiliki kepribadian yang baik. Keberhasilan membentuk generasi muda bangsa yang berkepribadian baik sebagaimana diamanatkan kurikulum 2013 tentu tidak hanya menjadi tanggung jawab para pendidik, namun membutuhkan partisipasi dan kontribusi dari seluruh warga bangsa, termasuk para sastrawan. Oleh karena itu, para sastrawan diharapkan menciptakan karya sastra yang mengandung nilai-nilai kebaikan, terutama nilai-nilai pendidikan.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) bagaimanakah unsur-unsur intrinsik dalam trilogi novel Negeri 5 Menara?; (2) bagaimanakah representasi pendidikan karakter dalam trilogi novel Negeri 5 Menara?; dan (3) bagaimanakah estetika bahasa dalam trilogi novel Negeri 5 Menara? Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mendeskripsikan dan menjelaskan unsur-unsur intrinsik dalam trilogi novel Negeri 5 Menara; (2) mendeskripsikan dan menjelaskan representasi pendidikan karakter dalam trilogi novel Negeri 5 Menara; dan (3) mendeskripsikan dan menjelaskan estetika bahasa dalam trilogi novel Negeri 5 Menara.

(4)

analisis data. Berbagai tulisan dipilih yang mencerminkan pemakaian potensi bahasa yang khas.

Dalam penelitian ini, proses analisis data dilakukan dengan model interatif seperti yang dikemukakan oleh Miles & Hubermen (1984:23). Analisis data model interaktif menggunakan langkah-langkah: (1) reduksi data, (2) sajian data, (3) penarikan simpulan dan verifikasi data. Ketiga langkah tersebut dilakukan ketika pengumpulan data berlangsung dan dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data sebagai proses siklus dan terus-menerus hingga dicapai kesimpulan.

Kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam trilogi novel N5M meliputi: tema tentang pendidikan, alurnya maju-mundur atau campuran, tokoh utama: 'Aku'/Alif merupakan tokoh utama. Amanat: sebuah perenungan yang diberikan penulis bagi pembaca untuk tidak putus asa dalam hidup dan bermanfaat bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan agama. Selanjutnya, unsur-unsur intrinsik novel R3W meliputi: temanya adalah perjuangan dalam meraih cita-cita. Tokoh utama: Alif sebagai tokoh 'aku' dalam novel ini berasal dari Maninjau. Amanat: memotivasi untuk menggapai cita-cita dengan kerja keras, berdoa, dan berserah diri kepada Allah. Adapun unsur-unsur intrinsik novel R1M meliputi: temanya tentang cinta dan perjuangan. Tokoh utama: Alif Fikri atau Aku. Amanat: bersungguh-sungguhlah dalam meraih cita-cita.

Kedua, representasi pendidikan karakter yang ada dalam trilogi novel N5M meliputi (1) nilai-nilai karakter yang dikembangkan dalam pendidikan di indonesia yang meliputi: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab; dan (2) nilai-nilai karakter yang lain, meliputi: semangat memotivasi, menghormati orangtua, berhemat, kekompakan, mengakui kelebihan orang lain, suka membantu atau menolong orang lain, rajin berdoa, berprasangka baik, optimis dan pantang menyerah, tekun, dan tabah.

(5)

yang terdapat dalam trilogi novel N5M yakni antitesis, okupasi, dan prolepsis/antisipasi; (4) majas sindiran yang terdapat dalam trilogi novel N5M yakni ironi dan sarkasme.

KEMENTERIAN AGAMA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA PUSAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT Jl. Tentara Pelajar No.2 Telp. (0298) 323706, Fax 3233433

Salatiga 50721

http://www.stainsalatiga.ac.id e-mail: administrasi@stainsalatiga.ac.id

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : REPRESENTASI PENDIDIKAN KARAKTER

DAN ESTETIKA BAHASA DALAM TRILOGI NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI

(Kajian Sosiopragmatik dan Stilistika)

Peneliti : Drs. Bahroni, M.Pd.

NIP : 196408181994031004

Jenis Penelitian : Penelitian Unggulan

(6)

Salatiga, 19 Desember 2014

Konsultan Kepala P3M

Dr. H. Sa’adi, M.Ag. Mufiq, S.Ag, M.Phil

NIP. 196304201992031003 NIP.

196906171996031004

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, berkat rahmat Allah SWT dan kontribusi dari berbagai pihak, penyusunan laporan penelitian unggulan judul ”REPRESENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DAN ESTETIKA BAHASA DALAM TRILOGI NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI (Kajian Sosiopragmatik dan Stilistika) ” dapat terselesaikan dengan baik.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan rujukan dalam upaya memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang kajian sastra yang dikaitkan dengan ajaran Islam, pendidikan karakter, dan estetika bahasa.

(7)

Akhirnya, semua kebenaran mutlak dan kesempurnaan hanyalah milik Allah, segala kekurangan dan kesalahan tentu dari peneliti sebagai manusia biasa. Mudah-mudahan karya yang jauh dari kesempurnaan ini ada manfaatnya. Amin.

Salatiga, 19 Desember 2014

Peneliti

(8)

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ___1 B. Rumusan Masalah ___7 C. Tujuan Penelitian ___ 8 D. Manfaat Penelitian ___ 8 E. Metode Penelitian ___ 10

1. Pendekatan dan Strategi Penelitian ___ 10 2. Data dan Sumber Data Penelitian ___ 11 3. Teknik Pengumpulan Data ___12

4. Validitas Data ___ 12 5. Teknik Analisis Data ___12 BAB II : LANDASAN TEORI

A. Representasi ___ 15

B. Pendidikan Karakter ___16

1. Urgensi Pendidikan Karakter ___18 2. Hakikat Pendidikan Karakter ___ 22

3. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Karakter ___ 31 4. Nilai-niliai Pendidikan Karakter ___ 37

C. Sosiologi Sastra ___ 43 D. Pragmatika Sastra ___ 45

(9)

1. Definisi dan Permasalahan Umum Stilistika ___48 2. Sumber Objek Penelitian Stilistika ___52

3. Ruang Lingkup Penelitian Stilistika ___85

4. Karya Sastra sebagai Sasaran Kajian Stilistika ___62 5. Pendekatan Kajian Stilistika ___67

6. Jenis Gaya Bahasa ___69

7. Pemanfaatan Gaya Bahasa ___87 BAB III : UNSUR-UNSUR INTRINSIK NOVEL

1. Unsur-unsur Intrinsik Novel Negeri 5 Menara (N5M) ___ 99

2. Unsur-unsur Intrinsik Novel Ranah 3 Warna (R3W) ___ 111 3. Unsur-unsur Intrinsik Novel Rantau 1 Muara (R1M) ___ 120 BAB IV : REPRESENTASI PENDIDIKAN KARAKTER

A. Nilai-nilai Karakter yang Dikembangkan dalam Pendidikan di Indonesia ___124

B. Nilai-nilai Karakter yang Lain ___147 BAB V : ESTETIKA BAHASA

A. Citraan (Imagery) ___ 157 B. Majas Penegasan ___ 163 C. Majas Perbandingan ___ 182 D. Majas Pertentangan ___ 196 E. Majas Sindiran 198 ___ BAB VI : PENUTUP

(10)
(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemberlakuan kurikulum 2013 pada dunia pendidikan di

Indonesia didasari atas keprihatinan yang mendalam

masyarakat Indonesia pada umumnya dan para pendidik pada

khususnya terhadap semakin pudar dan merosotnya karakter

generasi muda bangsa. Kurikulum 2013 ini lebih menekankan

pada internalisasi nilai-nilai karakter yang baik ke dalam diri

peseta didik, sehingga setelah mereka lulus dari jenjang

pendidikan tertentu diharapkan memiliki kepribadian yang

baik.

Kurikulum 2013 dirancang untuk mengembangkan

kompetensi yang utuh antara sikap (afektif), keterampilan

(psikomotorik), dan pengetahuan (kognitif). Selain itu, peserta

didik diharapkan tidak hanya bertambah pengetahuan dan

wawasannya, tetapi juga semakin mulia karakter atau

kepribadiannya dan meningkat kecakapan dan

keterampilannya. Dengan kata lain, pemberlakuan kurikulum

2013 merupakan suatu ikhtiar perbaikan dari kurikulum

sebelumnya yang dirasakan masih terlalu dominan

(12)

sehingga lembaga pendidikan banyak menghasilkan lulusan

yang cerdas namun kurang berkarakter/berkepribadian baik.

Keberhasilan membentuk generasi muda bangsa yang

berkepribadian baik sebagaimana diamanatkan kurikulum

2013 tentu tidak hanya menjadi tanggung jawab para

pendidik, namun membutuhkan partisipasi dan kontribusi dari

seluruh warga bangsa, termasuk para sastrawan. Oleh karena

itu, para sastrawan diharapkan menciptakan karya sastra

yang mengandung nilai-nilai kebaikan, terutama nilai-nilai

pendidikan.

Nilai-nilai kebaikan yang terkandung dalam karya sastra

itu pun harus disampaikan dengan bahasa yang santun dan

indah (estetik) sehingga berdampak baik bagi pembaca atau

yang meresepsi karya sastra itu. Salah satu jenis karya sastra

yang cukup baik untuk menebarkan nilai-nilai kebaikan

kepada masyarakat terutama generasi muda adalah novel,

apalagi jika novel tersebut difilmkan sehingga nilai-nilai

kebaikan yang terkandung di dalamnya dapat tersebar luas.

Novel merupakan salah satu jenis karya sastra yang

menarik untuk dikaji. Kehadirannya dimaksudkan

mengungkapkan nilai-nilai estetis, dan diharapkan dapat

(13)

kehidupan masyarakat, seperti nilai-nilai agama, pendidikan,

kemanusiaan, moral, etika, dan lain-lain.

Kehadiran sebuah novel tentunya tidak bisa terlepas

dari latar belakang sosial budaya kehidupan dan ideologi

pengarang, lingkungan ketika terciptanya novel tersebut, dan

masyarakat pembaca yang akan mengapresiasi karya

tersebut. Pengarang menyodorkan karya satra sebagai

alternatif untuk menghadapi permasalahan yang ada

mengingat karya satra erat kaitannya dengan kehidupan

masyarakat. Hal ini sesuai dengan asumsi bahwa satra

diciptakan tidak dalam keadaan kekosongan budaya (Teeuw,

1988: 20).

Kini, kesadaran akan pentingnya penyebaran nilai-nilai

keagamaan, nilai-nilai pendidikan, dan nilai-nilai kebaikan

lainnya melalui penciptaan novel semakin menggembirakan

karena perkembangannya cukup pesat. Kondisi yang

demikian ini ditandai dengan terbitnya novel-novel inspiratif

yang isinya sarat dengan pesan-pesan kebaikan. Misalnya,

novel Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih karya

Habiburrahman El Shirazy, tetralogi novel Laskar Pelangi

karya Andrea Hirata, Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi,

Opera van Gontor karya Amroeh Adiwijaya, dan masih banyak

(14)

Hal yang menggembirakan juga adalah adanya

kesadaran masyarakat (pembaca karya sastra) yang cukup

berminat dan mengapresiasi novel-novel berkarakter tersebut

dengan membeli dan membacanya. Buktinya, novel-novel

tersebut masuk dalam kategori best seller dan bahkan ada

yang diangkat ke film layar lebar.

Sebelum hadirnya novel-novel berkarakter seperti

Ayat-ayat Cinta, Laskar Pelangi, dan Negeri 5 Menara, masyarakat

sudah jenuh dan jemu dengan sajian novel yang dinilai

kadang kurang mendidik, bahkan ada yang bercerita tentang

masalah seks secara vulgar. Oleh sebab itu, hadirnya

novel-novel bertersebut dinilai banyak memberikan pencerahan

baru terutama mengajarkan nilai-nilai pendidikan karakter

karena setelah membaca novel-novel tersebut, masyarakat

banyak yang mengalami perubahan ke arah kebaikan karena

tersentuh ajaran-ajaran yang ada di dalamnya.

Selama ini banyak novel yang berusaha memuat

nilai-nilai pendidikan karakter tetapi ternyata tidak membawa

perubahan kebaikan yang signifikan kepada masyarakat

karena nilai-nilai pendidikan karakter yang dimuat di

dalamnya diceritakan dengan tidak jelas atau samar-samar

sesuai dengan ideologi pengarang (Mahayana, 2008). Akan

(15)

Negeri 5 Menara yang disampaikan dengan bahasa yang

santun, indah, dan mengena (mudah dipahami pembaca)

ternyata mampu mengajarkan nilai-nilai pendidikan karakter

kepada masyarakat tanpa terkesan menggurui.

Selain itu, kesuksesan novel Negeri 5 Menara tidak dapat

dilepaskan dari faktor psikologis pembaca sastra Indonesia

yang sudah cukup lama disuguhi novel-novel karya

penulis-penulis wanita yang sebagian besar menceritakan masalah

percintaan dan perselingkuhan yang dibumbui dengan

perbincangan tentang seks secara vulgar, misalnya

karya-karya Ana Maryam, Dinar Rahayu, Maya Wulan, Riyanti Yusuf,

atau Djenar Maesa Ayu.

Novel Negeri 5 Menara hadir dengan menyuguhkan

nilai-nilai kebaikan untuk menyejukkan hati dan mencerahkan

pikiran pembaca (sastra Indonesia) yang mulai dihinggapi

kejemuan dan kejenuhan terhadap karya-karya yang

mengeksploitasi seksualitas dan tubuh wanita yang tidak

sesuai dengan nilai-nilai pendidikan karakter dan ajaran Islam

yang notabene dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia.

Novel Negeri 5 Menara begitu khas, fenomenal, dan

merepresentasikan nilai-nilai pendidikan karakter yang

diwakili oleh tokoh-tokoh utamanya. Kekhasan itu didukung

(16)

kekayaan ungkapan-ungkapan Arab dan Inggris serta

penggunaan bahasa yang penuh dengan citraan (imagery)

dan berbagai jenis majas. Oleh karena itu, kehadiran novel ini

segera mendapat sambutan masyarakat luas.

Sebagai bukti sambutan positif dari masyarakat

terhadap novel tersebut, adalah adanya komentar-komentar

para tokoh dalam http://negeri5menara.com (diunduh pada 19

Februari 2014) sebagai berikut.

B.J. Habibie (Presiden RI ke-3), menyatakan bahwa

novel Negeri 5 Menara merupakan novel yang berkisah

tentang generasi muda bangsa ini penuh motivasi, bakat,

semangat, dan optimisme untuk maju dan tidak kenal

menyerah. Novel ini berisi pelajaran yang amat berharga

bukan saja sebagai karya seni, tetapi juga tentang proses

pendidikan dan pembudayaan untuk terciptanya sumberdaya

insani yang handal.

K.H. Hasan A. Sahal (Pimpinan Pondok Modern Gontor)

menyatakan bahwa novel Negeri 5 Menara (N5M)

mengisahkan tentang “pesantren kemasyarakatan” yang

bebas mendidik anak bangsa dalam keislaman dan keilmuan.

Alumninya dengan menumpang “perahu moral” bisa melesat

(17)

hanya dimanfaatkan. Beliau berharap, semoga pembaca

cerdas dan jujur dapat menggali nilai-nilai fitri manusiawi dari

novel tersebut.

Emha Ainun Nadjib juga mengapresiasi novel N5M

dengan menyatakan bahwa masyarakat dunia, khususnya

Indonesia, sedang mengolah kekayaan alam, kreativitas

pengetahuan dan inovasi teknologi menjadi sampah

kebudayaan, kekonyolan mental, kehinaan moral dan

kekerdilan kemanusiaan. Ahmad Fuadi melakukan yang

sebaliknya: dengan novelnya ini ia mengolah

sampah-sampah masa silam kehidupannya menjadi emas permata

masa depan.

Senada dengan pernyataa-pernyataan tersebut, Bill

Liddle, profesor ilmu politik, Ohio State University, Columbus

Ohio, A.S., mengemukakan bahwa pada masa Orde Baru,

jutaan anak santri bermimpi dan berjuang untuk menjadi

orang modern yang mampu hidup di mana-mana. Melalui

kisah enam teman sekelas di sebuah pondok modern yang

terinspirasi kisah nyata, Ahmad Fuadi berhasil menciptakan

kembali ciri-ciri khas budaya masa itu, terutama

kepercayaannya bahwa kunci sukses pribadi adalah

(18)

Demikian pula, Arief Rachman, Guru Besar Universitas

Negeri Jakarta menyatakan bahwa novel N5M merupakan

tulisan yang sangat inspiratif dan dianjurkan untuk dibaca

oleh masyarakat pendidikan. Dari novel N5M dapat dirasakan

kekuatan pandangan hidup yang mendasari bangkitnya

semangat untuk mencapai harga diri, prestasi dan martabat

diri. Keterikatan, peleburan, dan pencerahan diri dari

kekuatan Allah SWT telah mendasari semua kegiatan menjadi

ibadah dan keberkahan.

Di samping itu, trilogi novel N5M memiliki beberapa

keunikan sebagai berikut. Pertama, dari segi pemilihan judul,

ketiga judul novel itu menggunakan angka ganjil. Dimulai dari

angka 5, 3, lalu 1: Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, dan

Rantau 1 Muara. Kedua, dari sisi waktu penerbitan. Penerbit

memilih tahun ganjil, dimulai dari tahun 2009, 2011, lalu

2013. Keunikan ketiga terletak pada penggunaan “semboyan

pembangun jiwa” yang digunakan di ketiga novel.

Semboyan-semboyan itu diambil dari pelajaran Mahfudzot (hafalan

kalimat-kalimat bijak berbahasa Arab) yang diajarkan di

Pondok Modern Gontor, Jawa Timur. Semboyan-semboyan

yang sangat memotivasi bagi para pelajar/santri agar sukses

(19)

siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil), man shabara

zhafira (siapa yang bersabar akan beruntung), dan man saara

ala darbi washala (barang siapa berjalan di jalannya akan

sampai tujuan).

Berdasarkan sejumlah fakta sebagaimana diekspresikan

dalam komentar sejumlah tokoh tersebut, maka penelitian

tentang representasi pendidikan karakter dan estetika bahasa

dalam trilogi novel N5M karya Ahmad Fuadi dari segi sosiologi

dan pragmatika sastra (sosiopragmatik) dan stilistika layak

untuk dilakukan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah unsur-unsur intrinsik dalam trilogi novel

Negeri 5 Menara?

2. Bagaimanakah representasi pendidikan karakter dalam

trilogi novel Negeri 5 Menara?

3. Bagaimanakah estetika bahasa dalam trilogi novel Negeri

(20)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Mendeskripsikan dan menjelaskan unsur-unsur intrinsik

dalam trilogi novel Negeri 5 Menara.

2. Mendeskripsikan dan menjelaskan representasi pendidikan

karakter dalam trilogi novel Negeri 5 Menara.

3. Mendeskripsikan dan menjelaskan estetika bahasa dalam

trilogi novel Negeri 5 Menara.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya

khazanah ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang kajian

sosiologi dan pragmatika sastra (sosiopragmatik) dan

stilistika yang terkait dengan ajaran Islam dan pendidikan

karakter.

2. Manfaat Praktis.

a. Bagi Dunia Pendidikan

Nilai-nilai pendidikan karakter yang dideskripsikan dan

dijelaskan dalam penelitian ini diharapkan dapat:

1) Menjadi acuan alternatif bagi para pendidik dalam

memilih model pendidikan karakter yang lebih sesuai

dengan kondisi sosiologis peserta didik di Indonesia

(21)

pendidikan karakter yang dikembangkan di Indonesia

dewasa ini lebih cenderung merujuk pada teori-teori

pendidikan karakter dari Barat yang belum tentu

sesuai dengan karakteristik peserta didik tersebut.

2) Menjadi acuan alternatif bagi para pendidik dan

peserta didik dalam memilih materi pembelajaran

bahasa dan sastra Indonesia seiring dengan kesadaran

masyarakat tentang pentingnya aktivitas

pembelajaran yang bermuara pada penguatan

karakter seluruh warganegara yang berbasis pada

nilai-nilai agama.

3) Menumbuhkan kecintaan pendidik dan peserta didik

untuk lebih mencintai dan mengapresiasi karya sastra

yang berkarakter karena dapat memberikan nilai-nilai

pendidikan yang sangat berguna bagi kehidupan

karena selama ini pembelajaran sastra kurang

mendapatkan perhatian intens dibandingkan

pembelajaran bahasa.

4) Menumbuhkan semangat belajar dan kegigihan dalam

berikhtiar bagi peserta didik dengan semboyan man

jadda wajada (barang siapa yang bersungguh-sungguh

(22)

bersabar akan beruntung), dan man saara ala darbi

washala (barang siapa berjalan di jalannya akan

sampai tujuan).

b. Bagi Masyarakat

1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah

apresiasi yang mendalam terhadap karya sastra

Indonesia kontemporer, khususnya trilogi novel

Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi yang

merepresentasikan nilai-nilai pendidikan karakter yang

sangat diperlukan untuk membangun manusia yang

memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan

spiritual.

2) Dengan mengetahui dan mengamalkan nilai-nilai

pendidikan karakter yang terdapat dalam trilogi novel

Negeri 5 Menara dapat meningkatkan keimanan dan

ketakwaan kepada Allah SWT dan semangat hidup

yang pantang putus asa dalam berikhtiar untuk

memperbaiki kualitas kehidupan.

3) Para tokoh Islam dapat menjadikan trilogi novel

(23)

4) Para pengarang novel dapat menjadikan trilogi novel

Negeri 5 Menara sebagai contoh untuk menulis

karya-karya yang berkualitas dan best seller.

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Strategi Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan

kualitatif-deskriptif, yakni bertujuan untuk mengungkapkan berbagai

informasi kualitatif dengan pendeskripsian yang teliti dan

penuh nuansa untuk menggambarkan secara cermat

sifat-sifat suatu hal, keadaan, fenomena, dan tidak terbatas

pada pengumpulan data, tetapi meliputi analisis dan

interpretasi data tersebut (Sutopo, 2002:111). Penelitian ini

berusaha mendeskripsikan secara kualitatif representasi

ajaran Islam, pendidikan karakter, serta latar sosiohistoris

pengarang novel N5M, kondisi realitas sosial ketika novel

N5M diciptakan, dan tanggapan pembaca terhadap novel

N5M yang dikaji dengan sosiologi sastra dan pragmatika

sastra (sosiopragmatik). Adapun kekhasan gaya bahasa

dalam novel N5M yang dikaji dengan metode stilistika

genetik. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini

adalah studi kasus terpancang (embedded case study)

mengingat fokus utama penelitian adalah unsur-unsur

(24)

novel N5M sudah ditentukan sejak awal untuk membimbing

arah penelitian.

2. Data dan Sumber Data Penelitian a. Data Penelitian

Data penelitian kebahasaan adalah fenomena

lingual khusus yang berkaitan langsung dengan masalah

penelitian (Sudaryanto, 2002:5-6). Data penelitian ini

terdiri atas dua kelompok. Pertama, data yang berupa

data kebahasaan, yakni wujud formal pemakaian kata,

kalimat, wacana, bahasa figuratif, dan citraan dalam

N5M. Kedua, data yang berupa informasi mengenai

unsur-unsur novel dan representasi pendidikan karakter.

b. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian berupa dokumen yakni

trilogi novel N5M, R3W, dan R1M. Unsur-unsur novel,

pendidikan karakter, dan estetika bahasa dideskripsikan

dengan menelaah novel-novel tersebut, novel-novel lain

yang relevan misalnya novel Opera van Gontor karya

Amroeh Adiwijaya (2010), dan opini publik yang berupa

tulisan-tulisan di media tentang tanggapan pembaca

terhadap isi trilogi novel N5M.

(25)

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini

menggunakan teknik pustaka, yakni teknik pengambilan

data dari berbagai sumber tertulis beserta konteks

lingual yang mendukung analisis data. Berbagai tulisan

dipilih yang mencerminkan pemakaian potensi bahasa

yang khas (Subroto,1992:42).

4. Validitas Data

Agar data yang diperoleh dapat dipertanggung

jawabkan secara ilmiah dan dapat menjadi landasan

dalam penarikan kesimpulan, maka sebelum informasi

dijadikan data penelitian perlu dicermati validitas dan

reliabiltasnya. Untuk menjamin keabsahan dan

kredibilitas data penelitian, digunakan tekni trianggulasi,

yang lazim dipakai dalam penelitian kualitatif.

Teknik trianggulasi adalah teknik pemeriksaan

validitas data dengan memanfaatkan sarana di luar data

itu (Moleong, 1995:178). Menurut Patton dalam Sutopo

(2002:78-85), teknik trianggulasi meliputi empat macam

yakni: (1) trianggulasi data (data triangulation), (2)

trianggualsi peneliti (investigator triangulation), (3)

trianggulasi metode (methodological triangulation), dan

(4) triangulasi teori (theoretical triangulation).

(26)

Pengumpulan data Reduksi data

Display data

Penarikan Simpulan a. Model Interaktif

Dalam penelitian ini, proses analisis data

dilakukan dengan model interatif seperti yang

dikemukakan oleh Miles & Hubermen (1984:23).

Analisis data model interaktif menggunakan

langkah-langkah: (1) reduksi data, (2) sajian data, (3)

penarikan simpulan dan verifikasi data. Ketiga langkah

tersebut dilakukan ketika pengumpulan data

berlangsung, baik dalam teks trilogi novel N5M

maupun di lapangan, dan aktivitasnya dilakukan

dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan

data sebagai proses siklus dan terus-menerus hingga

dicapai kesimpulan. Adapun proses analisis dengan

model interaktif tersebut dapat digambarkan sebagai

(27)

b. Metode Pembacaan Model Semiotik

Selanjutnya, dalam rangka pengungkapan

makna stilistika N5M sebagai sarana sastra, secara

umum teknik analisis data dilaksanakan melalui

metode pembacaan model semiotik, yakni pembacaan

heuristik dan pembacaan hermeneutik atau retro aktif.

Pembacaan heuristik adalah pembacaan menurut

konvesi atau struktur bahasa (pembacaan semiotik

tingkat pertama). Adapun pembacaan hermeneutik

adalah pembacaan ulang dengan memberikan

interpretasi berdasarkan konvensi sastra (pembacaan

semiotik tingkat kedua) (Riffaterre dalam Al-Ma’ruf,

(28)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Representasi

Ratna (2005:612) mengemukakan bahwa representasi

adalah merekonstruksi serta menampilkan berbagai fakta

sebuah objek sehingga eksplorasi makna dapat dilakukan

dengan maksimal. Jika dikaitkan dengan bidang sastra, maka

representasi dalam karya sastra merupakan penggambaran

karya sastra terhadap suatu fenomena sosial. Penggambaran

ini tentu saja melalui pengarang sebagai kreator.

Representasi dalam sastra muncul sehubungan dengan

adanya pandangan atau keyakinan bahwa karya sastra

sebetulnya hanyalah merupakan cermin, gambaran,

bayangan, atau tiruan kenyataan. Dalam hal ini, Teeuw

(1984:220) menyatakan bahwa karya sastra dipandang

sebagai penggambaran yang melambangkan kenyataan

(mimesis).

Plato dalam Teeuw (1984:220) mengungkapkan bahwa

seni (sastra) melalui mimesis melakukan penggambaran

melalui ide pendekatan sehingga apa yang dihasilkan tidak

sama persis dengan kenyataan. Seni hanya dapat

(29)

kenyataan, seni berdiri di bawah kenyataan itu sendiri.

Demikian pula Aristoteles dalam Teeuw (1984:222)

mengungkapkan bahwa seni melalui mimesis melakukan

proses representasi fakta-fakta sosial. Proses representasi

yang terjadi dalam seni tidak semata-mata meniru kenyataan

seperti pantulan gambar cermin, tetapi melibatkan renungan

yang kompleks atas kenyataan alam.

Sesuatu yang direpresentasikan dalam suatu karya sastra

oleh pengarang bukan merupakan sesuatu sebagaimana

adanya, tetapi dipahami menurut sudut pandang yang

beragam dari para pengarangnya. Dengan kata lain,

representasi juga dapat berarti kemiripan dan imitasi yang

menjadi representasi citra aktual dan mental. Citra mental

tersebut dibentuk oleh individu yang berbeda-beda sehingga

menghasilkan penafsiran yang berbeda pula. Bentuk

representasi tersebut didasarkan pada pesan ideologi tertentu

sehingga tidak terlepas dari sosial politik kekuasaan (Ratna,

2008:122-123).

Representasi dalam dunia sastra bukan hanya sekadar

penggambaran fenomena sosial sebuah masyarakat dalam

kurun waktu tertentu, melainkan lebih mengarah kepada

penggambaran yang bermakna atas masyarakat dan

(30)

dipengaruhi oleh ras, saat, serta lingkungan yang

melatarbelakanginya.

Representasi merupakan bagian dari tradisi sastra biografi

panjang dan sering memiliki tujuan untuk menanamkan ide-ide

yang diwujudkan dalam tokoh atau individu sebagai cermin

sikap bangsa (Paul, 2010). Oleh sebab itu, pengarang

merepresentasikan dunia kenyataan ke dalam karya sastra

yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai agar suatu karya

yang merupakan cermin dari kehidupan nyata yang dapat

digunakan untuk pembelajaran dan penanaman nilai-nilai

kehidupan.

B. Pendidikan Karakter

Rumusan fungsi dan tujuan pendidikan nasional dalam

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) bab II pasal 3 adalah

sebagai berikut: "Pendidikan nasional berfungsi

mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta

peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk

mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia

yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,

(31)

negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Depag. RI,

2006).

Dalam UU Sisdiknas di atas dinyatakan secara eksplisit

bahwa tujuan pendidikan nasional yang menempati urutan

pertama adalah untuk membentuk warganegara Indonesia

yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah swt.), dan

urutan yang kedua adalah membentuk warganegara

Indonesia yang berakhlak mulia. Penempatan kata "takwa"

dan "akhlak mulia" di urutan paling awal dalam rumusan

tujuan pendidikan nasional ini seharusnya dipahami oleh

semua pakar dan praktisi pendidikan di negeri ini bahwa

semangat UU Sisdiknas tersebut adalah ingin mewujudkan

warganegara Indonesia yang bertakwa dan berakhlak mulia.

Artinya, semua aktivitas pendidikan nasional, mulai dari

filosofi, perencanaan, pelaksanaan, dan model-model

evaluasinya semestinya diarahkan dalam rangka mewujudkan

tujuan utama tersebut. Dengan kata lain,

pendidikan/pembinaan karakter merupakan fungsi pokok dari

pendidikan, baik yang dilaksanakan pada jalur pendidikan

informal, formal, maupun nonformal.

Dalam Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter

(32)

nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan

watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta

didik untuk member keputusan baik-buruk, memelihara apa

yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan

sehari-hari dengan sepenuh hati. Atas dasar itu, pendidikan

karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan

mana yang salah, lebih dari itu, pendidikan karakter

menanamkan kebiasaan (habituation) tantang hal mana yang

baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang

mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai

yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Dengan kata

lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan bukan

saja aspek “pengetahuan yang baik (moral knowing), akan

tetapi juga “ merasakan dengan baik atau loving good (moral

feeling), dan perilaku yang baik (moral action). Pendidikan

karakter menekankan pada habit atau kebiasaan yang

terus-menerus dipraktikkan dan dilakukan.

1. Urgensi Pendidikan Karakter

Penguatan pendidikan karakter dalam konteks sekarang

ini sangat urgen untuk mengatasi krisis moral yang sedang

terjadi di negara kita. Diakui atau tidak, saat ini sedang

terjadi krisis atau berbagai penyimpangan yang nyata dan

(33)

melibatkan generasi penerus bangsa: anak-anak/peserta

didik. Krisis itu, menurut Sugiri Syarif sebagaimana dikutip

Zubaedi (2011:1-2) antara lain berupa meningkatnya

pergaulan seks bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak

dan remaja (tawuran), kejahatan terhadap teman, kebiasaan

menyontek, penyalahgunaan obat-obatan (narkoba),

pornografi dan pornoaksi, pemerkosaan, serta aborsi. Akibat

yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap

sebagai suatu persoalan sederhana karena perilaku

menyimpang ini telah menjurus tindakan kriminal.

Kenakalan remaja semacam itu, pada dasarnya secara

langsung atau tidak langsung juga disebabkan oleh

“kenakalan orangtua”, yaitu perilaku para orangtua yang

tidak bisa dijadikan teladan: senang dengan konflik dan

tindak kekerasan, perselingkuhan, dan ketidakjujuran yang

ditandai semakin maraknya korupsi yang dilakukan pejabat

publik baik di pusat maupun di daerah. Terkait hal itu, Zuhdi

(2009:39-40) mengemukakan bahwa telah terjadi krisis moral

di tengah-tengah masyarakat Indonesia saat ini, yaitu krisis

kejujuran, krisis tanggung jawab, tidak berpikir jauh ke depan,

krisis kedisiplinan, krisis kebersamaan, dan krisis keadilan.

Agaknya tidak terlalu salah jika banyak orang

(34)

mengalami berbagai krisis tersebut diduga bersumber dari

apa yang dihasilkan dunia pendidikan. Menurut Hidayatullah

(2010:15), demoralisasi tersebut terjadi karena dua hal, yakni

(1) sistem pendidikan yang kurang menekankan

pembentukan karakter, tetapi masih lebih menekankan

pengembangan intelektual, misalnya sistem evaluasi

pendidikan lebih cenderung menekankan aspek

kognitif/akademik, seperti Ujian Nasional (UN), dan (2) kondisi

lingkungan yang kurang mendukung pembangunan karakter

yang baik. Senada Hidayatullah, Zubaedi (2011:3)

mengemukakan bahwa dalam konteks pendidikan formal di

sekolah, bisa jadi salah satu penyebab terjadinya krisis moral

adalah karena pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan

pada pengembangan intelektual atau kognitif semata,

sedangkan aspek soft skill atau nonakademik sebagai unsur

utama pendidikan karakter belum diperhatikan secara

optimal bahkan cenderung diabaikan.

Hal yang sama juga terjadi dalam pendidikan agama

dimana materi yang diajarkan oleh pendidikan agama

termasuk di dalamnya bahan ajar akhlak, cenderung terfokus

pada pengayaan pengetahuan (kognitif), sedangkan

pembentukan sikap (afektif) dan pembiasaan (psikomotorik)

(35)

lain, praktik pendidikan yang semestinya memperkuat aspek

karakter atau nilai-nilai kebaikan sejauh ini hanya mampu

menghasilkan berbagai sikap dan perilaku manusia yang

nyata-nyata justru bertolak belakang dengan apa yang

diterima dalam pembelajaran di sekolah.

Oleh karena itu, kini sudah saatnya para pengambil

kebijakan, para pendidik, orang tua dan masyarakat

senantiasa memperkaya persepsi bahwa ukuran keberhasilan

tak melulu dilihat dari prestasi yang berupa angka-angka.

Hendaknya institusi sekolah menjadi tempat yang senantiasa

menciptakan pengalaman pengalaman bagi siswa untuk

membangun dan membentuk karakter unggul.

Mengapa pendidikan karakter itu sangat penting dan

mendesak bagi bangsa Indonesia? Ya, karena bangsa kita

telah lama memiliki kebiasaan-kebiasaan yang kurang

kondusif untuk membangun karakter bangsa yang unggul,

meskipun harus diakui masih cukup banyak juga warga

bangsa kita yang memiliki kebiasaan positif atau karakter

yang baik. Ryan Sugiarto dalam Hidayatullah (2010)

mengemukakan sejumlah kebiasaan kecil yang dapat

menghancurkan bangsa sebagai berikut.

Pertama, kebiasaan-kebiasaan dalam memperlakukan

(36)

terlambat masuk kantor, tidak disiplin, suka menunda,

melanggar janji, menyontek, ngrasani, kebiasaan meminta,

menganggap berat setiap masalah, pesimis terhadap diri

sendiri, terbiasa mengeluh, merasa hebat, meremehkan

orang lain, tidak sarapan, tidak terbiasa antri, banyak tidur,

banyak nonton TV, dan terlena dengan kenyamanan/takut

berubah.

Kedua, kebiasaan-kebiasaan dalam memperlakukan

lingkungan, meliputi: merokok di sembarang tempat,

membuang sampah di sembarang tempat,

corat-coret/vandalism, kendaraan mengotori udara, jalan bertabur

iklan, konsumsi plastik berlebihan, tidak terbiasa

mengindahkan aturan pakai, abai dengan pohon, dan

menganggap daur ulang.

Ketiga, kebiasaan-kebiasaan yang merugikan ekonomi,

melipiti: konsumtif, pamer, silau dengan kepemilikan orang

lain, boros listrik, kecanduan game, tidak menyusun

rencana-rencana kehidupan, tidak biasa berpikir kreatif, dan

mengabaikan peluang.

Keempat, kebiasaan-kebiasaan dalam bersosial,

meliputi: tak mau membaca, tak mau mendengar pendapat

orang lain, nepotisme, suap-menyuap, politik balik modal,

(37)

sejarah, unjukrasa pesanan/bayaran, tawuran, tidak belajar

dari pengalaman, birokratif, provokatif dan mudah

terprovokasi, tidak berani berkata “tidak”, dan berambisi

menguasai.

Mengingat pentingnya karakter dalam membangun

sumber daya manusia yang kuat, maka menurut Hidayatullah

(2010:23) diperlukan pendidikan karakter yang dilakukan

dengan tepat. Dapat dikatakan bahwa pembentukan karakter

merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari

kehidupan. Oleh karena itu, pendidikan karakter harus

menyertai semua aspek kehidupan termasuk di lembaga

pendidikan. Sebaiknya pembentukan atau pendidikan

karakter diintegrasikan ke semua aspek kehidupan sekolah.

Lembag pendidikan, khususnya sekolah dipandang sebagai

tempat yang strategis untuk membentuk karakter siswa. Hal

ini dimaksudkan agar peserta didik dalam segala ucapan,

sikap, dan perilakunya mencerminkan karakter yang baik dan

kuat. Dengan pendidikan karakter yang efektif, diharapkan

sekolah dapat menghasilkan lulusan orang ”pandai” dan

”baik” dalam arti luas. Jangan sampai lembaga pendidikan

menghasilkan orang “pandai” tetapi “tidak baik”. Orang yang

pandai tetapi tidak baik jauh lebih “berbahaya” karena

(38)

menyebabkan kerusakan dan kehancuran. Masih lebih baik

lembaga pendidikan menghasilkan orang yang kurang pandai

tetapi baik, karena paling tidak masih tetap memberikan

suasana kondusif bagi kehidupan.

2. Hakikat Pendidikan Karakter

Secara singkat, pendidikan diartikan sebagai suatu

proses untuk memanusiakan manusia. Artinya, seorang bayi

yang lahir tidak dengan sendidrinya akan menjadi manusia

(yang berbudaya). Untuk menjadikan manusia yang

berbudaya haruslah melalui pengembangan dan pembinaan

jasmani dan ruhani melalui aktivitas pendidikan. Dengan kata

lain, pendidikan merupakan proses internalisasi budaya ke

dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat

orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan bukan

merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi

lebih luas lagi yakni sebagai sarana pembudayaan dan

penyaluran nilai.

Anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh

dimensi dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu

mencakup sekurang-kurangnya tiga hal paling mendasar,

yaitu: (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan,

ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta

(39)

tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk

menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu

pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang

tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan

teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.

Mengacu pada unsur dasar dan komponen pokok pendidikan,

secara singkat-padat, Muhadjir (1993) menyatakan bahwa

pendidikan adalah upaya terprogram dari

pendidik-mempribadi untuk membantu peserta didik agar

berkembang ke tingkat yang normatif lebih baik dengan cara

yang normatif juga baik.

Adapun pengertian karakter menurut Zubaedi (2011:10)

mengacu pada serangkaian perilaku, motivasi, dan

keterampilan. Karakter meliputi sikap seperti keinginan untuk

melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual seperti

berpikir kritis, perilaku seperti jujur dan bertanggung jawab,

mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh

ketidakadilan, dan sebagainya. Pengertian karakter Pusat

Bahasa Depdiknas mengartikan karakter sebagai “bawaan,

hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas,

sifat, tabiat, temperamen, watak”. Dengan demikian,

berkarakter berarti berkepribadian, berperilaku, bersifat,

(40)

mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku

(behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills).

Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark

atau menandai dan memfokuskan bagaimana

mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau

tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus

dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek.

Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah

moral disebut dengan berkarakter mulia.

Selanjutnya, dengan uraian yang cukup mendalam,

Adhim (2012) menegaskan bahwa karakter identik dengan

akhlak sebagaimana dijelaskan oleh para ilmuwan muslim,

misalnya Imam Al-Ghazali, dan Imam Qurthubi, dan

Az-Zarnuji, sebagai berikut.

Jika karakter berbeda dengan perilaku, berbeda pula

dengan kebiasaan dan bahkan tatakrama dan bahkan

temperamen, lalu apa yang dapat dilakukan untuk

membangun karakter anak-anak kita? Langkah apa yang

dapat ditempuh untuk melakukan pendidikan karakter jika

pembiasaan (habituation/habit forming) tidak mempengaruhi

karakter anak-anak kita, di rumah maupun di sekolah?

Karakter berbeda dengan kebiasaan. Karakter itu

(41)

orang lain. Krakter menuntut adanya pengahayatan nilai,

proses mengidentifikasikan driri dengan nilai-nilai yang

diyakini sehingga ia senantiasa berusaha agar bersesuaian

dengan nilai yang diyakini sehingga pada akhirnya terjadi

karakterisasi diri. Artinya, karakter merupakan proses yang

berkelanjutan.Karakter memang cenderung menetap dan

sulit diubah, namun bukan berarti sekali terbentuk tidak

mungkin berubah. Dari karakter itulah –baik atau buruk–

melahirkan berbagai perilaku. Akan tetapi perilaku itu sendiri

tidak dapat serta merta dikatakan sebagai karakter.

Perilaku yang berulang setiap hari dapat membentuk

kebiasaan, meskipun sebagian hanya menjadi perilaku

berulang (repeted behavior), yakni manakala perulangan

perilaku tersebut terjadi hanya karena takut terhadap

ancaman. Tidak muncul perilaku tersebut jika ancamannya

hilang. Hal ini perlu diperhatikan agar kita tidak cepat merasa

puas ketika melihat perilaku anak-anak kita. Jangan sampai

kita mengira anak-anak telah memiliki kebiasaan yang baik,

padahal hanya perilaku berulang semata. Dalam hal ini ada

pelajaran yang sangat berharga yang perlu dicamkan oleh

para pendidik, bahwa karakter itu tidak terlepas dari

keyakinan dan penghayatan seseorang terhadap nilai-nilai

(42)

perilaku sendiri bukan gambaran yang dapat memastikan

karakter seseorang, kecuali jika ada serangkaian perilaku lain

yang searah. Singkatnya begini, orang baik akan mudah

tersenyum, tetapi murah senyum belum tentu orang baik.

Bukankah para penipu berhasil mengelabuhi orang lain justru

karena senyumnya yang memukau? Bukan karena raut muka

yang menakutkan.

Satu pilar yang sangat penting dalam pendidikan

karakter adalah adanya sosok panutan (role model). Lantas

sosok siapa yang pantas dan tepat untuk dicontoh? Apakah

kita akan menjadikan Lawrence Kohlberg sebagai sosok

panutan? Padahal tokoh yang dijuluki sebagai Bapak

Pendidikan Karakter ini justru matinya dengan cara

mengenaskan. Dia mati bunuh diri dengan cara

menenggelamkan diri karena krisis karakter. Ini mirip dengan

kematian Sigmund Freud. Meskipun bukan bunuh diri, tetapi

tokoh yang dikenal dengan Bapak Kesehatan Mental ini mati

dengan cara eutanasia (suntik mati) atas permintaan sendiri

akibat depresi yang ia alami.

Istilah yang dekat dengan karakter adalah akhlaq,

bentuk jamak dari khuluq. Khuluq adalah bentuk, sifat, dan

nilai-nilai yang berada pada wilayah batin. Ini menarik untuk

(43)

lahiriyah, ia adalah khalq. Oleh karena itu, khuluq –terpuji

atau tercela –akan tercermin dalam khalq yang berupa

sifat-sifat lahiriyah. Ini berarti bahwa yang harus diperhatikan

bukan hanya perilaku yang tampak, tetapi apa-apa yang

darinya tercermin dalam bentuk perilaku.

Tentang kaitan antara akhlaq dan perilaku, Imam

Al-Ghazali menulis dalam Ihya’ Ulumuddin, “Akhlaq merupakan

ungkapan keadaan yang melekat pada jiwa dan darinya

timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa perlu

berpikir panjang dan banyak pertimbangan.” Agar tidak salah

arah, marilah kita tengok pendapat Imam Qurthubi, akhlaq

adalah adab atau tatakrama yang dipegang teguh oleh

seseorang sehingga adab atau tatakrama itu seakan menjadi

bagian dari penciptaan dirinya. Dalam peristilahan sekarang,

adab meliputi manner and etiquettes (tatakrama dan etiket).

Ia bukan sekedar serangkaian perilaku, melainkan di

dalamnya juga terkandung sikap. Ini berarti proses

pembentuka adab (ta’dib) memerlukan beberapa unsur, yakni

menumbuhkan sikap yang baik, melakukan serangkaian

pembiasaan yang terkait, menanamkan kebiasaan bukan

hanya bersifat fisik dan mekanik, menumbuhkan motivasi

(44)

Merujuk pada pendapat Syaikh Burhanuddin Az-Zarnuji,

Adhim (2012) menyatakan bahwa adab merupakan pilar

utama menuntut ilmu. Agar seseorang dapat menuntut ilmu

dengan baik, hal pertama yang harus dimiliki oleh murid

sekaligus ditumbuhkan oleh guru adalah adab. Proses

pembentukan adab merupakan tahap yang sangat penting

untuk menyiapkan murid dalam menuntut ilmu sekaligus

menumbuhkembangkan akhlaq mulia dalam diri mereka.

Adab merupakan pilarnya dan akhlaq keyakinan pada agama

Islam merupakan fondasi yang sangat penting. Keyakinan itu

bersifat afektif, bukan kognitif. Jika keyakinan telah tumbuh,

maka pemahaman secara kognitif akan menguatkannya.

Sebaliknya, tanpa menyadari dan meyakini, pemahaman

yang mendalam pun tidak mempengaruhi sikap, apalagi

sampai ke perilaku.

Tegasnya, penanaman keimanan yang kuat harus

didahulukan, selanjutnya baru pemahaman keilmuan, dan

insya Allah, hanya dengan cara seperti ini peserta didik akan

mengamalkan ilmunya. Jadi, urutannya: iman, ilmu, dan amal.

Inilah urutan proses pendidikan yang sesuai dengan konsep

dari Allah Yang Maha Mendidik (Rabb) sebagaimana tertuang

dalam Al-Quran Surah Luqman:13-19. Konsep ini pula yang

(45)

mendidik para sahabatnya, dimana beliau menanamkan

ajaran keimanan/aqidah/tauhid dalam waktu yang cukup

lama. Konsep pendidikan dari Allah yang diterapkan oleh

Rasulullah inilah yang terbukti menghasilkan pribadi-pribadi

mulia, sosok-sosok agung, para sahabat yang biografinya

tercatat dalam sejarah kemanusiaan dengan tinta emas yang

dapat diteladani sampai akhir masa.

Selanjutnya, mari kita bandingkan dengan proses

pendidikan yang terjadi sekarang. Begitu masuk sekolah

anak-anak langsung belajar. Kurang ada proses yang

diikhtiarkah secara serius membentuk adab pada diri mereka

sehingga kurang ada kesiapan belajar belajar, pun kurang

ada bekal awal untuk membentuk karakter (akhlaq) dalam

diri mereka. Begitu masuk sekolah, serta-merta mereka harus

belajar untuk tujuann akademik sebelum sikap dan motivasi

belajar mereka dibangun. Begitu anak-anak yang ceria itu

masuk ruang sekolah, mendadak keceriaan mereka memudar

karena segera memabayang dalam benak mereka

”hantu-hantu angka”: ””hantu-hantu matematika”, ””hantu-hantu english”, ””hantu-hantu

ranking”, ”hantu tidak lulus UN”, ”hantu NEM”, dan

sebagainya.

Padahal sekolah seharusnya menyiapkan mereka terlebih

(46)

proses perubahan yang terancang, dari segi mental mereka

mempunyai motivasi akademik yang baik, sedangkan dari

aspek tatakrama dan etiket mereka memilki kesiapan belajar.

Mari kita renungkan secara mendalam, Rasulullah Saw. diutus

untukn menyempurnakan akhlaq. Namun, apakah yang

Beliau lakukan di masa awal risalahn dakwahnya? Bukan

akhlaq yang lebih dulu dibangun, tapi aqidah. Aqidah dulu,

baru akhlaq! Jika aqidah/tauhidnya benar dan kuat, insya

allah akhlaq/karakter peserta didik juga akan mulia dan

kokoh.

Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang

sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak.

Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi

manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara

yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga

masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi

suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah

nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya

masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat

pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia

adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang

bersumber dari agama dan budaya bangsa Indonesia sendiri,

(47)

Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar

manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat

absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut

sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki

tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter

dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai

karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan

ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur,

hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama,

percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah,

keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi,

cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan

bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya,

rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab;

kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner,

adil, dan punya integritas.

Dalam tulisan Muhadjir (1993) karakter dasar manusia

ini dinyatakan sebagai nilai-nilai insani yang sesungguhnya

itu juga nilai-nilai yang bersumber dari Ilahi yang bersifat

universal, misalnya ketaqwaan, kejujuran, kasih sayang,

kedisiplinan, tolong menolong, keadilan, kesantunan,

kesabaran, tanggung jawab, saling paercaya, ksetiaan, dan

(48)

melestarikan nilai-nilai Ilahi/insani tersebut. Oleh karena

masyarakat manusia dapat berlangsung terus (lestari) jika

jika ada kemauan untuk menaati atau mengamalkan

nilai-nilai Ilahi/insani tersebut.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan

bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang

dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk

membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku

manusia yang berhubungan dengan Allah SWT, diri sendiri,

sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang mewujud

dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan

berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,

budaya, dan adat istiadat.

Khusus untuk peserta didik yang beragama Islam,

penguatan (intensifikasi) pendidikan keimanan/aqidah/tauhid

pada pendidikan tingkat dasar dan menengah merupakan

tindakan yang harus segera dilakukan. Mengingat,

keimanan/aqidah/tauhid yang benar dan kuat merupakan

fondasi yang sangat kokoh untuk menopang berkembangnya

nilai-nilai karakter/akhlaq terpuji dalam diri peserta didik.

Oleh karena mengembangkan nilai-nilai karakter/akhlaq

terpuji tanpa didasari fondasi yang kokoh, ibarat mendirikan

(49)

mengkwatirkan, dan membahayakan karena sedikit ada

goncangan akan segera roboh.

3. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Karakter

Hasan dkk. (2010) mengatakan bahwa pendidkan

karakter setidaknya mempunyai lima tujuan, yaitu (1)

mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik

sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai

karakter bangsa, (2) mengembangkan kebiasaan dan perilaku

peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai

universal dan tradisi budaya bangsa yang religius, (3)

menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab

peserta didik sebagai generasi penerus bangsa, (4)

mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia

yang mandiri, kreatif, dan berwawasan kebangsaan, dan (5)

mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai

lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan

persahabatan, dan dengan rasa kebangsaan yang tinggi serta

penuh kekuatan.

Adapun menurut Zubaedi (2011), mempunyai tiga

fungsi utama, yaitu (1) fungsi pembentukan dan

pengembangan potensi, (2) fungsi perbaikan dan penguatan,

dan (3) fungsi penyaring. Pertama, fungsi pembentukan dan

(50)

membentuk dan mengembangkan potensi peserta didik agar

berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku baik sesuai

dengan nilai-nilai keagamaan, kemanusiaan, kesatuan dan

kebersamaan, mesyuwarah, dan solidaritas sosial

sebagaimana terkandung dalam falsafah hidup Pancasila.

Sejujurnya, nilai-nilai Pancasila yang telah dirumuskan

pada zaman Orde Baru yang tertuang dalam Pedoman

Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) jika diamalkan

secara sungguh-sungguh –yang dalam zaman Orde Baru –

disebut ”secara murni dan konsekuen”, tidak sekedar sebagai

slogan kampanye politik atau sekedar ”proyek” yang bertajuk

”Penataran P4”, sudah cukup memadai untuk membangun

karakter bangsa. Namun sayang, butir-butir nilai Pancasila

yang telah dirumuskan secara baik dan telah diterbitkan

secara massal tersebut tidak dihayati apalagi diamalkan oleh

para pejabat publik waktu itu, sehingga sebagain besar

rakyat juga ikut meneladaninya: tidak mengamalkan

Pancasila secara murni dan konsekuen. Akibatnya, nilai-nilai

Pancasila yang telah dirumuskan dengan sangat baik

tersebut, kini telah dimuseumkan, dilupakan, dan

dicampakkan.

Kedua, fungsi perbaikan dan penguatan. Pendidikan

(51)

keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah

untuk ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam

pengembangan potensi warga negara dan pembangunan

bangsa menuju bangsa yang maju, mandiri, dan sejahtera.

Terkait dengan fungsi pendidikan karakter dalam

memperbaiki dan memperkuat peran keluarga, atau

sebaliknya: peran keluarga sebagai pilar utama untuk

kesuksesan pendidikan karakter, Allah SWT berfirman dalam

Al-Quran yang terjemahannya sebagai berikut.

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan" (Q.S. At-Tahrim: 6).

"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar" (Q.S. An-Nisa’: 9).

Keluarga merupakan tempat untuk mempersiapkan

generasi muda yang akan meneruskan perjuangan dari para

pendahulunya. Oleh karena itu, para orang tua harus

menciptakan kondisi keluarga yang harmonis, keluarga yang

tenteram yang penuh dengan cinta dan kasih sayang

sehingga kondusif untuk mendidik anak-anak terutama dalam

(52)

tentu saja akan menghasilkan generasi penerus yang

tangguh dan tanggap sehingga lebih siap menghadapi

berbagai tantangan kehidupan dalam bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara. Sebaliknya, sebuah keluarga yang

tidak kondusif untuk mendidik anak, bukan saja tidak

menghasilkan generasi penerus yang berkualitas, tetapi

justru menghasilkan generasi yang bermasalah yang menjadi

beban tersendiri bagi keluarga dan masyarakatnya.

Di antara tugas keluarga terutama orang tua dalam

pendidikan karakter/akhlak adalah memberikan teladan yang

baik bagi anak-anaknya dalam berpegang teguh kepada

akhlak mulia. Keteladanan merupakan faktor terpenting

untuk mencapai tujuan utama pendidikan yaitu tertanamnya

akhlak mulia pada anak-anaknya. Anak yang mendapatkan

pendidikan agama dan pendidikan karakter/akhlak yang baik

serta keteladanan yang baik umumnya akan baik pula

karakter/akhlaknya. Namun sebaliknya kurangnya pendidikan

agama dan keteladanan dari orang tua akan berakibat pada

buruknya karakter/akhlak anak.

Ibarat angka, generasi yang bermasalah yang dihasilkan

dari keluarga yang tidak kondusif itu adalah angka minus.

Agar menjadi angka plus, tentu memerlukan perhatian dan

(53)

melewati angka nol dulu. Pendek kata, perubahan dari

generasi minus menuju plus itu menyita perhatian dan waktu

tersendiri yang semestinya perhatian dan waktu itu sudah

dapat dipergunakan untuk "menangkarkan tunas-tunas muda

yang berkualitas pada lahan yang lebih luas" sehinga "panen

raya" akan segera menjadi kenyataan.

Demikianlah gambaran betapa pentingnya menciptakan

kondisi keluarga yang harmonis, keluarga yang tenteram

yang penuh dengan cinta dan kasih sayang (sakinah,

mawaddah, wa rahmah) sehingga kondusif untuk mendidik

anak-anak terutama dalam menanamkan karakter/akhlak

mulia kepada mereka, dimana karakter/akhlak mulia ini

merupakan prasyarat yang harus ada bagi tercapainya

cita-cita: keluarga bahagia. Dampak positif dari keluarga-keluarga

bahagia itu, akan –secara karambol –berdampak luas bagi

terwujudnya ”lahan” dan lingkungan yang kondusif untuk

menyemai benih-benih karakter mulia. Secara sederhana,

dapat dikatakan bahwa: jika banyak keluarga yang baik,

keadaan dusun akan baik, desa akan baik, selanjutnya:

kecamatan, kabupaten, provinsi, dan negara akan baik.

Ketiga, fungsi penyaring. Pendidikan karakter berfungsi

memilah budaya bangsa sendiri dan menyaring budaya

(54)

karakter bangsa yang bermartabat. Termasuk di dalamnya

adalah menyaring atau menyeleksi berbagai informasi yang

semakin ”membanjir” dari media cetak, elektronik, dan online

seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi

dan komunikasi sekarang ini. Fungsi ini sejalan dengan salah

satu fungsi pendidikan sebagaimana yang dinyatakan

Muhadjir (1993), yaitu untuk menumbuhkan kreativitas

peserta didik. Di era teknologi informasi yang canggih

dewasa ini, informasi yang diterima manusia sangat

beragam, ada yang bermanfaat dan ada pula sampah

informasi yang beracun. Keragaman informasi menantang

manusia untuk memilah, memilih atau menyaring validitas

(kebenaran) isinya, terpercaya salurannya, dan sebagainya.

Dalam menyaring informasi tersebut dibutuhkan kemampuan

kreatif untuk menggeneralisasikan, mengabstrakkan,

menemukan hubungan unuiknya untuk akhirnya

menampilkan pendapat, sikap, dan wawasan yang tepat,

sehingga kita tidak hanyut bahkan tenggelam dalam sampah

informasi.

Selain tiga fungsi yang telah dipaparkan di atas,

pendidikan karater juga berfungsi untuk menghancurkan

penyakit mental block. Prihadi (2009) menyatakan bahwa

(55)

yang terhalangi oleh ilusi-ilusi yang sebenarnya hanya

membuat kita terhambat untuk melangkah menuju

kesuksesan. Di samping memiliki penyakit fisik, manusia juga

memilki penyakit mental (mental block), yang sangat

berbahaya untuk seseorang atau kelompok yang ingin

sukses.

Penyakit mental ini dapat dideteksi dengan

memperhatikan gejala-gejala awal yang biasanya dialami si

penderita seperti suka mengeluh, konflik batin, tidak ada

perubahan kehidupan, dan tidak mau mengambil resiko. Cara

mendeteksi penyakit mental block dapat dilakukan sendiri

atau meminta bantuan orang lain. Caranya dengan pasang

target, perhatikan pola, tanya oarang lain, dan tanya hati

nurani. Beberapa penyebab penyakit mental block adalah

citra diri buruk, pengalaman buruk, lingkungan buruk, rujukan

buruk, dan pendidikan buruk. Adapun virus-viru penyebab

penyakit ini adalah banyak alasan, pembenaran, gengsi,

malas, takut, menunggu, tidak percaya diri, dan buruk

sangka.

Orang yang terjangkit penyakit mental block perlu

segera dilakukan upaya pengobatan. Penyakit mental block

dapat dicegah dengan optimisme, selalu berpikir positif,

(56)

pemikiran, perasaan, sikap, dan tindakan. Agar proses

penyembuhan deangan pengobatan menjadi lebih efektif,

menurut Zubaedi (2011), maka diperlukan pemahaman serta

harus ada kemauan yang kuat, membangun diri,

menemukan, dan mengakui keadaan yang sebenarnya.

Adapaun obat penawar penyakit mental block adalah berani

mengambil tanggung jawab, pembuktian diri, memperjelas

sasaran hidup, menaikkan level, dan sebagainya.

4. Nilai-niliai Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter mengemban misi untuk

mengembangkan watak-watak dasar yang seharusnya

dimiliki oleh peserta didik. Pendidikan karakter di Indonesia

didasarkan pada sembilan pilar karakter dasar, yaitu (1) cinta

kepada Allah dan semesta beserta isinya; (2) tanggung

jawab, disiplin, dan mandiri; (3) jujur; (4) hormat dan santun;

(5) kasih sayang, peduli, dan kerjasama; (6) percaya diri,

kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; (7) keadilan dan

kepemimpinan; (8) baik dan rendah hati; serta (9) toleransi,

cinta damai, dan persatuan.

Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter

di Indonesia diidentifikasi berasal dari empat sumber yaitu (1)

(57)

nasional. Keempat sumber nilai tersebut dapat diuraikan

sebagai berikut.

Pertama, agama. Masyarakat Indonesia merupakan

masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu,

masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama.

Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari nilai-nilai

yang berasal dari agama. Karenanya, nilai-nilai pendidikan

karakter harus didasasi nilai-nilai agama.

Kedua, Pancasila. Indonesia ditegakkan atas

prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut

Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945

yang dijabarkan lebih lanjut ke dalam pasal-pasal dalam

batang tubuh UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung

dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan

politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, dan kemasyarakatan.

Pendidikan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan

peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik yaitu

warga negara yang memiliki kemampuan dan kemauan

menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Ketiga, budaya. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia

yang hidup bermasyarakat senatiasab didasari nilai-nilai

budaya yang diakui masyarakat tersebut. Nilai budaya ini

Gambar

Gambar 2. Skema Analisis Model Interaktif26

Referensi

Dokumen terkait

dalam skala yang lebih kecil sejalan dengan sasaran yang lebih besar dalam hal visi dan strategi..  tidak hanya berfokus pada hasil finansial melainkan juga masalah manusia,

Banyuurip Final Disposal (TPA) in Magelang City was the TPA which haven’t apply sanitary landfill system and doesn’t have the adequate leachate treatment unit, therefore need to

Menurut Assauri (1999:4) mendefinisikan pemasaran: “Sebagai usaha menyediakan dan menyampaikan barang dan jasa yang tepat kepada orang-orang yang tepat pada tempat dan waktu

The regression result shows the significance number of 0,000 or less than equal to 0,05 which means that the corporate governance score has correlation with extent

 Pembelajaran dapat memenuhi tuntutan ketercapaian standar kompetensi dalam kurikulum.  Pembelajaran diawali dengan masalah realistik sehingga siswa termotivasi

Standar Kompetensi : Setelah mengikuti perkuliahan praktik pedagogi olahraga, mahasiswa dapat menyusun, menerapkan, dan mengembangkan program aktivitas jasmani untuk

Kesimpulan dari penelitian ini adalah dengan menggunakan sistem yang ditunjang dengan basis data spasial dan metode shortest path pada aplikasinya dapat menghemat waktu dan

Zakat profesi jika dikelola dengan baik mampu membantu mengatasi kemiskinan yang sampai saat ini belum juga dientaskan, zakat profesi ini dikeluarkan oleh