• Tidak ada hasil yang ditemukan

SARANA PENDIDIKAN

2.6 Usaha Kerajinan Eceng Gondok Desa Huta Namora

Keberadaan pengrajin anyaman eceng gondok di Samosir awalnya tersebar di beberapa Desa. Ada empat Desa yang penduduknya melakukan aktivitas menganyam yaitu Desa Huta Namora, Desa Rianiate, Desa Pasar Pangururan, Desa Sianjur mula-mula. Dengan bantuan dari Dinas Koprindag, pada tahun 2012 para pengrajin dari keempat desa ini mengikuti pelatihan ke Tasikmalaya selama dua minggu. Seluruh biaya penginapan, biaya makan, ditanggung oleh Dinas Koprindag dan para pengrajin mendapat uang saku.

Selama mengikuti pelatihan, para pengrajin belajar tehnik dasar dan cara menganyam eceng gondok menjadi produk kerajinan seperti tas, topi, tempat botol minuman, tempat pulpen, vas bunga, keset kaki, taplak meja dan berbagai produk kerajinan lainnya. Setelah mengikuti pelatihan, para pengrajin pulang ke Samosir dan mulai menganyam eceng gondok sebagai usaha kecil rumah tangga. Namun Desa

yang tetap melanjutkan aktivitas menganyam eceng gondok sampai saat ini adalah Desa Huta Namora, sementara pengrajin dari desa lainnya tidak melanjutkan aktivitas menganyam eceng gondok ini.

“Godang do anggo i tikki isi na dohot pelatihan mangaletek ombur-ombur on. Dang holan sian Desa Huta Namora, ale dung sidung sian i, dang adong be na malanjutton mambaen kerajinan on. Holan hami na sian Huta on ma tetap malanjutton mangaletek ombur-ombur on. Na lain nai holan asal dohot do latihan, gabe hera na marsihepeng nama anggi, ala adong do i lean uang pelatihan lao uang masuk name.”

Banyaknya waktu itu kami yang ikut pelatihan menganyam eceng gondok ini. Gak cuman dari Desa Huta Namora, tapi pulang dari situ gak ada lagi yang lanjut buat kerajinan ini. Cuman kami yang di Desa inilah yang tetap lanjut menganyam eceng gondok, yang lainnya kebanyakan ikut latihan karna ada uang saku dikasi untuk uang masuk kami (Merli Sinurat, 56 tahun).”

Usaha kerajinan eceng gondok Desa Huta Namora ini mendapat perhatian lanjut dari Dinas Koprindag. Kemudian tahun 2012 Dinas Koprindag membentuk satu kelompok pengrajin eceng gondok dan menjadikan rumah salah satu pengrajin yaitu Bu Merli Sinurat menjadi sentra kerajinan. Kelompok pengrajin ini terdiri dari 15 orang yang sudah mengikuti pelatihan ke Tasikmalaya.

Desa Huta Namora menjadi sentra kerajinan eceng gondok, karena desa ini merupakan desa yang melakukan aktivitas menganyam sejak dulu di Samosir. Selain itu hal ini juga didukung karena letak desa yang dekat dengan Danau Toba, dan masyarakat dengan mudah memperoleh eceng gondok. Optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan potensi Sumber Daya Alam seperti tanaman eceng gondok merupakan pengembangan potensi usaha-usaha industri yang dihubungkan dengan ekonomi

kreatif dan inovatif sehingga memiliki nilai jual yang tinggi. Potensi pengembangan industri kreatif kerajinan sudah ada sejak turun-temurun di masyarakat Kabupaten Samosir.

Kegiatan menganyam eceng gondok ini awalnya berlangsung di rumah sentra kerajinan anyaman. Namun sekarang usaha kerajinan ini sudah dilakukan di rumah masing-masing pengrajin, karena sulit mencocokkan waktu antar pengrajin mengingat pekerjaan utama mereka adalah bertani. Kegiatan menganyam eceng gondok ini merupakan pekerjaan sampingan para pengrajin. Kegiatan ini dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Mereka bekerja sama, tidak terlalu tampak pembagian kerja untuk masing-masing anggota keluarganya. Contohnya saja untuk mengambil eceng gondok dari Danau Toba, dapat dilakukan oleh anak laki-laki dan perempuan, walaupun pekerjaan ini tergolong cukup sulit dilakukan. Begitu juga dengan menganyam, dapat dilakukan oleh perempuan dan laki-laki.

Proses pengerjaannya dimulai dari tahap awal pengumpulan eceng gondok, pembersihan eceng gondok hingga tahap akhir yaitu menganyam eceng gondok. Bahan-bahan yang digunakan adalah eceng gondok kering, air bersih, dan bahan pewarna. Sedangkan alat-alat yang digunakan untuk menganyam adalah pisau, mesin press, gunting, palu, mesin khusus untuk menjahit furing dalam tas, dan cetakan kayu yang dibuat sendiri oleh pengrajin dan bentuknya tergantung pada jenis produk kerajinan.

Waktu yang dibutuhkan untuk membuat kerajinan eceng gondok ini tergantung pada jenis produk kerajinan yang akan dibuat dan tingkat kesulitan membuatnya. Misalnya untuk membuat alas kaki para pengrajin dapat menganyam satu alas kaki dalam satu hari, sedangkan untuk membuat tas tergantung pada bentuk tas yang akan dibuat. Untuk membuat satu tas sandang biasanya membutuhkan waktu satu hari, sedangkan untuk membuat tas ransel membutuhkan waktu dua hari. Karena menganyam tas bentuk ransel lebih rumit daripada tas bentuk sandang. Begitu juga dengan alas meja, para pengrajin dapat menganyam satu buah alas meja dalam satu hari.

Biaya yang dikeluarkan untuk membuat kerajinan anyaman eceng gondok ini tergantung pada jenis produk kerajinan, apabila produk kerajinan yang dianyam alami biaya yang dikeluarkan sedikit. Alami yang dimaksud disini adalah, eceng gondok yang dianyam tidak dicampur bahan pewarna. Warna produk kerajinan sesuai dengan warna asli eceng gondok, karena terkadang konsumen lebih suka produk kerajinan dengan warna eceng gondok yang alami daripada eceng gondok yang diwarnai. Namun berbeda dengan kerajinan yang menggunakan bahan pewarna dan pernak-pernik sebagai hiasan kerajinan. Untuk produk kerajinan ini akan membutuhkan biaya lebih banyak.

Penjualan kerajinan eceng gondok tergantung pada pesanan. Mengingat lokasi pemasaran yang masih sangat kurang. Para pengrajin biasanya mendapat pesanan dari pihak sekolah, guru, siwa/i, dan masyarakat di desa itu sendiri maupun yang diluar Desa Huta Namora. Produk kerajinan yang biasa dipesan adalah seperti tas, tempat

pulpen, alas kaki dan alas meja. Harga kerajinan ini berkisar antara Rp. 15.000 – Rp. 120.000, tergantung jenis produk kerajinan. Dampak usaha kerajinan eceng gondok ini sangat positif. Dengan usaha kerajinan eceng gondok ini, penghasilan para pengrajin bertambah atau meningkat.

Masyarakat Desa Huta Namora juga sangat senang dengan adanya usaha kerajinan eceng gondok ini. Eceng gondok di Danau Toba menjadi berkurang, aktivitas masyarakat seperti mencuci kain, piring, mandi dan memancing lebih mudah. Perkembangan usaha kerajinan anyaman eceng gondok ini dari tahun 2012 sampai tahun 2016 mengalami perkembangan walaupun tidak begitu pesat. Hal ini juga didukung dengan adanya peraturan dari Dinas Pendidikan yang mewajibkan seluruh siswa/i dan guru sekolah di Samosir menggunakan tas eceng gondok. Dan tahun 2016 ini, seluruh sekolah yang ada di Samosir akan diwajibkan menggunakan alas kaki dan vas bunga eceng gondok.

Usaha kerajinan anyaman eceng gondok ini merupakan usaha yang menjanjikan seperti dikatakan para pengrajin, karena bahan baku yang sudah disediakan oleh alam dan tidak membutuhkan modal yang banyak. Hanya saja kendala yang saat ini dihadapi adalah masih kurangnya lokasi-lokasi pemasaran hasil kerajinan anyaman eceng gondok.

BAB I PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang Masalah

Dalam penelitian ini mengkaji mengenai pemanfaatan eceng gondok sebagai produk kerajinan dan ekonomi kreatif masyarakat Desa Huta Namora, Kabupaten Samosir. Ekonomi kreatif merupakan pengembangan konsep berdasarkan modal kreativitas yang dapat berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono1 “ekonomi gelombang ke-4 adalah gelombang ekonomi dengan orientasi pada kreativitas, budaya, serta warisan budaya dan lingkungan”. Masyarakat Indonesia mulai menyadari bahwa saat ini mereka tidak bisa hanya mengandalkan bidang industri sebagai sumber ekonomi di negaranya tetapi mereka harus lebih mengandalkan Sumber Daya Manusia yang kreatif karena kreativitas manusia itu berasal dari daya pikirnya yang menjadi modal dasar untuk menciptakan inovasi dalam menghadapi daya saing atau kompetisi pasar yang semakin besar.

Indonesia merupakan provinsi yang memiliki daerah perairan yang luas. Selama 106 tahun berada di bumi Indonesia, eceng gondok telah menyebar ke seluruh perairan yang ada dan memenuhi setiap jengkalnya baik waduk, rawa, danau maupun sungai. Tanaman ini sudah menyebar ke seluruh perairan di Jawa, Kalimantan,

1

http://www.presidenby.info/index.php/fokus/2007/07/11/2009.html (diakses pada tanggal 1 Maret 2016 pukul 13.00 WIB).

Sumatera. Di Samosir khususnya salah satu kabupaten di Sumatera Utara, yang terkenal dengan Danau Toba namun sangat disayangkan Danau Toba banyak ditumbuhi tanaman eceng gondok, yang dianggap mengganggu keindahan dan merusak lingkungan.

Eceng gondok2 termasuk dalam famili Pontederiaceae. Tanaman ini memiliki bunga yang indah berwarna ungu muda. Daunnya berbentuk bulat telur dan berwarna hijau segar mengkilat bila diterpa sinar matahari. Daun-daun tersebut ditopang oleh tangkai berbentuk silinder memanjang yang kadang-kadang sampai mencapai 1 meter dengan diameter 1-2 cm. Tangkai daunnya berisi serat yang kuat dan lemas serta mengandung banyak air.

Eceng gondok diperkirakan masuk ke Indonesia pada tahun 1894. Penanaman eceng gondok yang berasal dari negara Brazil saat itu bertujuan untuk melengkapi dan memperindah suasana kebun raya Bogor, karena eceng gondok yang hidup terapung di permukaan air itu memiliki bunga ungu yang cukup indah. Apabila pertumbuhannya terkendali, eceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak, membantu menetralkan air yang tercemar, dan sebagai pelindung ikan.

Eceng gondok di Danau Toba berkembang secara liar dan menjadi gulma (tanaman pengganggu). Tanaman air yang pertumbuhannya sangat cepat ini mengganggu ekosistem dalam air. Tumbuhan gulma ini hidup terapung pada air

2

Eceng gondok (Euchornia Crassipes) termasuk dalam kelompok gulma perairan yang memiliki kecepatan berkembang biak yang tinggi dan memenuhi perairan Indonesia hingga menyebar ke Danau Toba, Samosir.

Danau Toba yang dalam dan mengembangkan perakaran di dalam lumpur pada air yang dangkal. Eceng gondok berkembang biak dengan sangat cepat, baik secara vegetatif maupun generatif. Hasil penelitian Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Sumatera Utara di Danau Toba melaporkan bahwa satu batang eceng gondok dalam waktu 52 hari mampu berkembang seluas 1 m2, atau dalam waktu 1 tahun mampu menutupi area seluas 7 m2. Heyne menyatakan bahwa dalam waktu 6 bulan pertumbuhan eceng gondok pada areal 1 ha dapat mencapai bobot basah sebesar 125 ton. Di kawasan perairan danau, eceng gondok tumbuh pada bibir-bibir pantai sampai sejauh 5-20 m (dalam Gunawan Pasaribu dan Sahwalita 2006).

Salah satu upaya yang cukup prospektif untuk menanggulangi eceng gondok yang ada di Danau Toba, adalah dengan memanfaatkan tanaman eceng gondok sebagai bahan baku kerajinan. Meskipun usaha ini belum dapat dikatakan berhasil sepenuhnya, tetapi dengan adanya usaha pengendalian tersebut memberi peluang usaha baru bagi masyarakat. Pengolahan eceng gondok di Desa Huta Namora ini, memberi beberapa keuntungan baik dilihat dari segi ekonomi dan lingkungan. Pertama, dilihat dari segi ekonomi yaitu memanfaatkan dan memodifikasi eceng gondok untuk menambah penghasilan masyarakat pengrajin. Kedua, dari segi lingkungan berguna untuk mengurangi jumlah eceng gondok di Danau Toba, guna menunjang aktivitas masyarakat dan mendukung pelestarian Danau Toba.

Masyarakat memanfaatkan tangkai daun eceng gondok sebagai bahan baku untuk kerajinan anyaman seperti tas baik ransel maupun sandang, sandal,topi dan lain-lain. Kerajinan eceng gondok ini merupakan kegiatan kreatif yang berkaitan

dengan kreasi, produksi dan distribusi produk yang dibuat atau dihasilkan oleh tenaga pengrajin mulai dari desain awal sampai proses penyelesaian produknya. Eceng gondok dimanfaatkan untuk mencapai keuntungan serta kelanjutan usahanya. Eceng gondok diolah semenarik mungkin, dilakukan dengan cara menciptakan kerajinan tangan berbahan baku eceng gondok untuk dipasarkan, dikembangkan, dikemas dengan tampilan menarik dan lebih komersial agar menarik minat konsumen.

Kegiatan mengolah eceng gondok ini dilakukan oleh tangan-tangan terampil. Tumbuhan penggangu ini menjadi barang-barang kerajinan dengan nilai jual tinggi. Muncul watak wirausaha yang memiliki kemauan dalam mewujudkan gagasan inovatif ke dalam dunia nyata secara kreatif. Masyarakat Samosir menambahkan guna atau manfaat terhadap eceng gondok dengan pengetahuan dan keterampilan. Para pengrajin mengembangkan ide dan meramu sumber daya yang tersedia. Pengetahuan sendiri salah satu unsur kebudayaan universal yang merupakan wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala dengan perkataan lain, dalam alam pikiran masyarakat berupa ide-ide, gagasan, nilai-nilai yang diinterpretasikan ke dalam kegiatan masyarakat termasuk kegiatan mengolah eceng gondok.

Prakarya sederhana eceng gondok ini sangat banyak memberi manfaat bagi masyarakat Samosir. Seperti contoh yang sudah penulis lihat, bahwa setiap hari Kamis seluruh guru dan murid yang ada di sekolah Samosir menggunakan tas eceng gondok, hal ini merupakan peraturan dari Dinas Pendidikan Samosir dan menjadi ikon kerajinan lokal hasil ide kreatif masyarakat Samosir. Berdasarkan latar belakang

yang telah diuraikan dengan melihat bagaimana masyarakat Samosir mengolah eceng gondok, mengemas eceng gondok menjadi barang yang bersifat profan atau komersial menjadi tolak ukur dan ketertarikan penulis untuk menelitinya. Penulis mencoba untuk menjelaskannya melalui penelitian ini.

Dokumen terkait