• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Eceng Gondok di Samosir (Studi Tentang Ekonomi Kreatif Masyarakat Desa Huta Namora)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemanfaatan Eceng Gondok di Samosir (Studi Tentang Ekonomi Kreatif Masyarakat Desa Huta Namora)"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

Data Informan 1. Nama : Heddy Simbolon

Umur : 54 Tahun

Pekerjaan : Pengrajin 2. Nama : Merli Sinurat

Umur : 56 Tahun Pekerjaan : Pengrajin 3. Nama : Janter Gurning

Umur : 46 Tahun Pekerjaan : Pengrajin

4. Nama : Wanjen Simbolon Umur : 32 Tahun

Pekerjaan : Pengrajin

5. Nama : Gusta Sitanggang Umur : 85 Tahun

Pekerjaan : Petani

6. Nama : Marulak Malau Umur : 59 Tahun

Pekerjaan : Kepala Dinas Pendidikan Samosir 7. Nama : Lastuana Simbolon

(2)

Pekerjaan : Sekretaris Dinas Pendidikan Samosir 8. Nama : Rafael Malau

Umur : 38 Tahun Pekerjaan : Petani Kopi

9. Nama : Nonie Simbolon Umur : 25 Tahun

(3)

Glosarium

Mangaletek : Aktivitas atau kegiatan menganyam pandan dan eceng gondok yang

dilakukan oleh pengrajin untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Bayon : Tanaman pandan yang digunakan oleh pengrajin sebagai bahan baku

untuk menganyam tikar dan tandok (tempat beras)

Tandok : Wadah atau tempat beras yang terbuat dari anyaman pandan, dan

dibawa pada saat pesta adat Batak Toba seperti acara pernikahan dengan cara ditaruh di atas kepala dan dijadikan sebagai simbol hadiah untuk kedua pengantin.

Ombur-ombur: Sebutan eceng gondok dalam bahasa Batak Toba dan istilah ini yang

biasa digunakan oleh masyarakat Desa Huta Namora.

Sasabi : Pisau dengan bentuk melengkung yang digunakan oleh pengrajin untuk mengambil eceng gondok dari Danau Toba.

Matoras : Istilah yang digunakan masyarakat Desa Huta Namora untuk

menyebut jenis eceng gondok yang tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua, jenis ini yang biasa digunakan pengrajin sebagai bahan

baku menganyam.

(4)

Lampiran Gambar

Gambar: Lahan eceng gondok di Danau Gambar: Proses mengambil eceng gondok Toba

(5)

Gambar: Proses penjemuran eceng gondok Gambar: Eceng gondok yang sudah kering

(6)

Gambar: Proses menganyam produk kerajinan tas

(7)

Daftar Pustaka

Abdussalam, Amal Al-Khaili. 2005. Mengembangkan Kreativitas Anak. Jakarta:

Pustaka Al-Kautsar.

Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi Dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Abdullah, Irwan. 2001. Seks, Gender dan Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta:

Tarawang Press Yogyakarta.

Ahimsa-Putra, Heddy Shri, dkk., Ekonomi Moral, Rasional, dan Politik Dalam Industri Kecil di Jawa. Yogyakarta: Kepel Press, 2003.

Baudrillard, Jean. 2004. Masyarakat Konsumsi, terj. Wahyunto, Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Fakih, Mansour, DR. 1999. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fakih, Mansour. 2001. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta:

INSIST PRESS: Pustaka Pelajar Offset.

Fitriati, Rachma. 2012. Ekonomi Kreatif. Jakarta: UI-Press

Giddens, Anthony. 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, terj. Soeheba Kramadibrata. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Koentjaraningrat . 2005. Pengantar Antropologi I. Jakarta: PT. RINEKA CIPTA.

Lee Martyn J. 2006. Budaya Konsumen Terlahir Kembali. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

(8)

Moelyono, Mauled. 2010. Menggerakkan Ekonomi Kreatif. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Mosse Julia Cleves. 1996. Gender dan Pembangunan, terj. Hartian Silawati. Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Center dengan Pustaka Pelajar.

Sairin, Sjafri, Pujo Semedi, Bambang Hudayana. 2002. Pengantar Antropologi Ekonomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Soe’oed, Rosa Diniari F. 2012. Entrepreneurial Behaviour. Jakarta: UI-Press.

Spradley, James P. 2006. Metode Etnografi, terj Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Tabrani, Primadi. 2006. Kreativitas dan Humanitas. Yogyakarta: Jalasutra.

Yustika,Ahmad Erani. 2000. Industrialisasi Pinggiran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Offset.

Yuyus Suryana, Kartib Bayu. 2010. Kewirausahaan. Jakarta: Prenada Media Group.

Sumber Lain:

Pasaribu, Gunawan dan Sahwalita. 2006. Ekspose Hasil-Hasil Penelitian: Pengolahan

Eceng Gondok Sebagai Bahan Baku Kertas Seni.

Sumber Jurnal:

(9)

Sumber Internet:

http://www.presidenby.info/index.php/fokus/2007/07/11/2009.html (diakses pada

tanggal 1 Maret 2016 pukul 13.00 WIB)

http://www.partukoan.com (diakses pada tanggal 11 April 2016 pukul 14.00 WIB)

http://www.samosirkab.go.id/2012/index.php/2014-10-15-02-42-58/industri (diakses pada tanggal 15 Mei 2016 pukul 14.00 WIB)

http://www.antaranews.com/berita/561729/kemdikbud-telah-bentuk-31-kampung-literasi (diakses pada tanggal 23 Mei 2016 pukul 10.00 WIB)

http://www.kompasiana.com/agusirkham/kampung/literasi_551761928133118c669de

79 ( diakses pada tanggal 23 Mei 2016 pukul 10.30 WIB)

https://sitikhotimah29.wordpress.com/2015/04/25/faktor-pendorong-kewirausahaan/

(diakses pada tanggal 16 Juni 2016, pukul 11.00 WIB).

(10)

BAB III

PEMANFAATAN ECENG GONDOK

Manusia adalah mahluk yang luar biasa kompleks, dinamika manusia tidak tinggal diam karena manusia selalu mengaktivitaskan dirinya. Manusia mengolah

alam produktif menjadi alam yang materiil. Dewasa ini manusia mulai mengekspresikan kemampuannya melalui pengetahuan dan kreativitas. Dengan

memanfaatkan sumber daya alam yang memadai disertai dengan kreativitas diri, para pengrajin anyaman Desa Huta Namora mulai mendirikan usaha ekonomi kreatif. Seperti kerajinan eceng gondok yang dikreasikan semenarik mungkin agar dapat

meningkatkan pendapatan. Ekonomi kreatif memang sangat strategis sebagai unsur budaya yang dikembangkan untuk membangun masyarakat lokal.

3.1 Faktor- Faktor Melakukan Usaha Kerajinan Eceng Gondok

Dalam “Enterpreneur‟s Handbook” yang dikutip oleh Yuyun Wirasasmita6 dikemukakan beberapa faktor yang mendorong timbulnya kemauan seseorang untuk

berwirausaha yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri seseorang sebagai subjek, antara lain pengetahuan yang

dimiliki, pengalaman dari individu itu sendiri, pengalaman saat melihat orang lain menyelesaikan masalah, instuisi yang merupakan pemikiran yang muncul dari individu itu sendiri.

6

(11)

Sedangkan faktor eksternal yaitu hal-hal yang dihadapi seseorang dan merupakan objek untuk mendapatkan sebuah inspirasi usaha. Faktor eksternal terdiri

dari faktor ekonomi/ keuangan, yaitu untuk mencari nafkah, untuk menjadi kaya, mencari pendapatan tambahan dan sebagai jaminan stabilitas keuangan. Faktor sosial,

yaitu untuk memperoleh gengsi/status, untuk menjadi terkenal dan dihormati, menjadi contoh bagi warga desa, agar dapat bertemu dengan orang banyak. Faktor

pelayanan, yaitu untuk memberi pekerjaan pada masyarakat, untuk menatar masyarakat, membantu ekonomi masyarakat. Faktor kebutuhan diri, yaitu untuk menghindari ketergantungan pada orang lain, agar lebih produktif dan menggunakan

kemampuan pribadi.

Dari hasil penelitian di lapangan, penulis melihat beberapa faktor yang

melatarbelakangi masyarakat Desa Huta Namora dalam mengolah eceng gondok menjadi berbagai produk kerajinan. Faktor ini terbagi atas 2 yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

3.1.1 Faktor Internal

Faktor internal menjadi alat untuk menciptakan sebuah inspirasi atas objek

yang dihadapinya dengan kemampuan kreativitasnya. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri pelaku ekonomi sebagai subjek. Dari hasil penelitian, penulis melihat ada 2 faktor yang berasal dari dalam diri para pengrajin

(12)

1. Pengalaman Individu Itu Sendiri

Kegiatan kreatif manusia untuk membuat atau menciptakan sesuatu tidak

terlepas dari proses imajinasi dan pengalaman yang dilalui sebelumnya. Pengalaman menganyam yang sudah ditekuni masyarakat Desa Huta Namora sejak dulu, menjadi

salah satu faktor pendorong masyarakat mengolah eceng gondok. Melalui pengalaman tersebut, masyarakat dengan mudah sadar akan adanya inovasi baru dan

pemahaman tentang bagaimana inovasi tersebut berfungsi.

Pengalaman menganyam pandan membuat individu melibatkan diri pada aktivitas yang mengarah pada pilihan untuk menerima inovasi baru. Pengrajin mulai

melakukan kegiatan menganyam dengan bahan utama eceng gondok. Menurut para pengrajin, mereka lebih mudah paham cara menganyam eceng gondok karena

sebelumnya sudah pernah melakukan kegiatan menganyam dan ini merupakan pekerjaan warisan nenek moyang.

“Sebenarnya menganyam eceng gondok ini hampir samanya dengan menganyam pandan. Bedanya, kalo eceng gondok ini kita harus buat anyaman dasarnya dulu, ada cetakannya, jenis-jenis anyamannya juga sudah bermacam-macam, kalo pandan biasanya hanya dibuat jadi tikar, kita tinggal menganyam saja dengan menjalin 2 atau lebih pandan hingga membentuk seperti kepang, tidak perlu pakai cetakan (Heddy Simbolon, 54 tahun).”

Pengalaman yang sudah dilaluinya tidak mati begitu saja, namun pengalaman tersebut menjadi guru dan modal untuk mengembangkan kreativitas. Dalam ekonomi

kreatif tidak pernah ada kata cukup dan berpuas diri, para pelakunya akan selalu mengembangkan pengetahuannya untuk terus menghasilkan karya-karya baru.

(13)

walaupun tidak begitu signifikan. Para pengrajin memiliki nafsu untuk bekerja dan kebutuhan mencapai prestasi yang berbeda-beda.

“Menganyam eceng gondok ini harus benar-benar ditekuni, jangan asal jadi saja kerajinannya. Jadi orang pun senang membeli produk kerajinan kita. Saya sendiri sudah banyak memperoleh penghargaan seperti piagam dan sertifikat. Karna dalam benak saya harus ada prestasi yang kucapai dari usaha ini. Dan menurut saya usaha kerajinan eceng gondok ini unik, karna yang dihasilkan adalah sesuatu yang orang lain tidak menyangka kalo itu terbuat dari tanaman yang dibuang-buang orang, ya eceng gondok ini (Janter Gurning, 46 tahun).”

Ini berarti bahwa virus tersebut dapat ditanamkan pada diri seseorang, maka penanamannya pada diri seseorang dapat dilakukan melalui pendidikan, pengalaman

dan berbagai pelatihan. Seperti yang tampak pada salah satu informan penulis yaitu pak Janter Gurning, beliau memiliki nafsu bekerja yang baik melalui proses belajar,

pelatihan serta pengalaman hidupnya. Ada dorongan kerja demi memuaskan batin dan kebutuhan pribadi untuk mencapai prestasi.

2. Rasa Ingin Tahu dan Mencoba Melakukan

Perasaan ingin tahu yang cukup tinggi terhadap sesuatu yang dianggap baru merupakan suatu hal yang wajar. Pemanfaatan eceng gondok merupakan hal baru di

Desa Huta Namora dan memicu rasa ingin tahu masyarakat bagaimana mengolah eceng gondok ini menjadi produk kerajinan yang bernilai jual. Dari ke empat informan saya, satu diantaranya yang benar-benar belum pernah melakukan kegiatan

(14)

Kantor Bupati Samosir. Usaha kerajinan eceng gondok ini, dimulai dengan rasa ingin tahu dan mencoba melakukannya. Hal ini dituturkan oleh beliau:

“Awalnya saya sama sekali tidak tahu cara menganyam ini, karna dulu pun saya tidak mau belajar menganyam dari orang tua. Menganyam itu kan kayak pekerjaan bencong menurut saya dulu, kebanyakan pun di kampung ini perempuannya yang menganyam. Tapi setelah saya lihat lah Pak Janter itu menganyam eceng gondok trus hasilnya pun bagus, jadi penasaran saya „kog bisa dianyam eceng gondok ini ya‟ itu dalam hati saya waktu itu. Saya pun belajar dan nanya-nanya sama dia, karna Pak Janter ini pun gak pelit dia ilmunya itu dek, diajarinya saya menganyam eceng gondok ini (Wanjen Simbolon, 32 tahun).”

Dari perasaan ingin tahu muncul tindakan untuk belajar dan mencoba menganyam eceng gondok. Melalui proses belajar Pak Wanjen memunculkan ide-ide kreatif dan menerapkannya pada kegiatan menganyam. Mula-mula hasil kerajinan

Pak Wanjen tampak tidak bagus dan masih kurang rapi. Namun beliau belajar terus dengan Pak Janter dan sekarang sudah mampu menghasilkan kerajinan yang tampak

lebih menarik dan layak untuk dijual. 3.1.2 Faktor Eksternal

Faktor yang berasal dari luar diri seseorang dalam mencipta dan menemukan

sesuatu yang kemudian bermanfaat untuk banyak orang.

1. Motif Ekonomi

Salah satu faktor yang melatarbelakangi masyarakat Desa Huta Namora mengolah eceng gondok adalah motif ekonomi. Semua pengrajin eceng gondok di

(15)

kerajinan karena dianggap memberi keuntungan bagi mereka. Usaha kerajinan eceng gondok ini sendiri merupakan sumber penghasilan tambahan dan pekerjaan

sampingan mereka. Sedangkan penghasilan utama mereka adalah bertani, para pengrajin umumnya memperoleh pendapatan dari sektor pertanian seperti padi, cabe,

kopi, jagung, kacang dan sayur-sayuran. Namun demikian kegiatan menganyam ini tetap dilakukan untuk menambah penghasilan dari sektor pertanian.

Usaha kerajinan ini dinilai sangat membantu mereka terutama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu penghasilan usaha kerajinan ini bertujuan untuk menyekolahkan anak-anak mereka, karena bagi orang Batak Toba sendiri

khususnya di Desa Huta Namora pendidikan merupakan suatu hal yang penting. Mereka selalu berusaha agar anak-anaknya dapat sekolah hingga jenjang pendidikan

yang lebih tinggi.

“Lumayan do dapot sian mangaletek ombur-ombur on makana sai tong do ni puhutan mambaen kerajinan on. Lao manuhor gulamo dohot napuran niba, lumobi tu hepeng sikkola ni gelleng dohot akka keperluanna.”

“Penghasilan dari menganyam eceng gondok ini lumayan lah makanya tetap saya buat kerajinan. Cukup saya pake untuk beli ikan asin sama sirih, uang kuliah anak dan kebutuhannya yang lain (Merli Sinurat).”

Diketahui dari empat informan peneliti, hanya 1 informan yang mengatakan bahwa usaha kerajinan eceng gondok ini merupakan pekerjaan utama beliau yaitu Pak

Janter Gurning. Menganyam sudah menjadi pekerjaan yang sering dilakukan. Dari mulai menganyam pandan hingga beralih ke eceng gondok. Menurut beliau

(16)

konsisten untuk menekuninya. Menganyam eceng gondok tidak hanya karena motif ekonomi, namun ada perasaan senang melakukan kegiatan ini.

Menganyam eceng gondok ini sudah menjadi pekerjaan utama saya, karna saya lebih senang menganyam daripada ke ladang seperti kebanyakan pekerjaan orang di sini. Ketika menganyam saya suka berimajinasi, menghayalkan apa yang mau ku buat. Senang kita melakukannya, jadi ide-ide itu akan muncul sendiri itu (Janter Gurning, 46 tahun).”

2. Potensi Daerah

Danau Toba yang dipenuhi oleh eceng gondok, menjadi sumber daya alam yang memadai untuk melakukan usaha kerajinan. Eceng gondok yang tumbuh banyak di Danau Toba dimanfaatkan oleh masyarakat dan diubah menjadi produk kerajinan yang bernilai jual. Masyarakat tidak perlu mengeluarkan modal yang besar untuk

membuat kerajinan. Dengan memanfaatkan potensi yang terdapat dalam tumbuhan eceng gondok, oleh tangan-tangan terampil tumbuhan pengganggu ini menjadi

barang-barang kerajinan dengan nilai jual tinggi. Di bawah binaan Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan, berkembang beberapa pengrajin yang memanfaatkan

tumbuhan eceng gondok. Seperti penuturan informan Bu Heddy

Begitu banyak eceng gondok tumbuh di Danau Toba itu , tinggal ambil aja, gak ada yang melarang. Dulu eceng gondok ini tidak ada gunanya, terbuang-buang gitu aja. Setelah ada pengetahuan menganyam eceng gondok, jadi kami manfaatkan langsung untuk buat kerajinan (Heddy Simbolon, 54 tahun).”

Pemanfaatan eceng gondok yang dianggap gulma perusak ini, memberi

(17)

gondok mampu meningkatkan perekonomian dan sumber penghasilan para pengrajin. Sedangkan dari segi lingkungan yaitu untuk mengurangi jumlah eceng gondok di

Danau Toba guna mendukung pelestarian Danau Toba serta menunjang aktivitas masyarakat dan kepariwisataan Samosir.

3. Peranan Pemerintah

Dalam mengembangkan Kabupaten Samosir sebagai daerah tujuan wisata,

sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah (Perda)7 Kabupaten Samosir Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Samosir 2011-2015 dengan visi “Samosir Menjadi Daerah dan Tujuan Wisata Lingkungan yang Inovatif 2015” harus dikelola secara terintegrasi. Hal ini

juga sejalan dengan program Presiden Joko Widodo yang akan melakukan

pengembangan wisata Danau Toba dan menjadikan Danau Toba “Monaco of Asia”, layaknya negara kecil indah yang ada di Eropa. Pengembangan yang dilakukan adalah membangun sarana dan prasarana, serta pembersihan Danau Toba dari eceng

gondok.

Sebagai kabupaten pariwisata dibutuhkan dukungan pengembangan semua

sektor pariwisata, salah satu sektor yang mendukung adalah sektor usaha industri kreatif kerajinan. Optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya alam seperti pemanfaatan eceng gondok menjadi potensi pengembangan usaha

7 Dalam http://www.samosirkab.go.id/2012/index.php/2014-10-15-02-42-58/industri (diakses pada

(18)

industri ekonomi kreatif dan inovatif, yang memiliki nilai jual dan daya saing yang tinggi.

Pemerintah sebagai pihak yang seharusnya mendukung dan memberikan kemudahan bagi pemilik usaha kecil menengah telah memberikan apa yang

seharusnya diberikan oleh mereka. Pemerintah yang langsung mengurusi para pemilik usaha adalah Dinas Koprindag Kabupaten Samosir. Hal yang telah dilakukan

oleh Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan adalah memberikan fasilitas pelatihan, dan memberikan sebagian peralatan menganyam.

Dinas Koprindag membentuk kelompok pengrajin eceng gondok di Desa Huta

Namora, melakukan pendampingan dan memberi fasilitas berupa pelatihan menganyam eceng gondok ke Tasikmalaya selama dua minggu. Para pengrajin dilatih

oleh tutor yang sudah lebih berpengalaman, mereka belajar tehnik dasar menganyam eceng gondok. Hal ini sudah menjadi tugas Dinas Koprindag Samosir sebagai unsur pelaksana pemerintahan daerah di bidang pengelolaan sektor perindustrian yang

berupaya membina para pengrajin lokal, sehingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Selain memberikan pelatihan kepada para pengrajin, Dinas Koprindag

juga memberikan peralatan. Peralatan yang diberikan berupa mesin jahit untuk membuat voering tas. Mesin jahit ini berada di rumah salah satu pengrajin yaitu Bu Merli, karena rumahnya menjadi sentra anyaman di Desa Huta Namora. Dan mesin

(19)

Program Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Samosir juga turut mendukung kegiatan prakarya eceng gondok. Dinas Pendidikan menetapkan peraturan untuk

seluruh sekolah di Samosir mulai dari tingkat SD, SMP, SMA maupun SMK menggunakan tas eceng gondok setiap hari kamis. Program yang terbilang sederhana

namun unik ini, direspon positif oleh masyarakat Samosir. Program ini telah terlaksana sejak tahun 2015 dan masih berlangsung sampai saat ini. Seperti penuturan

Kepala Dinas Pendidikan:

“Untuk mendukung prakarya eceng gondok ini kami dari Dinas Pendidikan juga menetapkan peraturan untuk seluruh sekolah di Samosir mulai dari tingkat SD, SMP, SMA dan SMK menggunakan tas eceng gondok setiap hari kamis. Program ini telah terlaksana sejak tahun 2015, baik guru maupun siswa wajib menggunakan tas eceng gondok (Marulak Malau, 59 tahun).”

Kebijakan ini guna mendukung pelaku ekonomi kreatif dan usaha kerajinan

eceng gondok Desa Huta Namora. Kebijakan dengan latar belakang pola hidup sederhana yang berarti siswa-siswi dan guru Samosir tampil sederhana dengan menggunakan produk kerajinan lokal guna mendukung kearifan budaya dan

mendukung usaha ekonomi kreatif para pengrajin.

4. Desa Huta Namora Sebagai Kampung Literasi

Ketua Harian Literasi Nasional8 mengatakan kampung literasi merupakan model pembelajaran keaksaraan yang komprehensif, namun bukan sekedar belajar membaca, menulis dan berhitung, tapi juga menjadi arena melakukan aktivitas

lainnya seperti kelompok kesenian, kelompok pengrajin, kelompok tani, kelompok

8

(20)

belajar anak-anak hingga belajar keterampilan untuk meningkatkan kecakapan hidup. Ditargetkan akan ada 514 kampung literasi pada 2019 dengan anggaran Rp. 160 juta

per kabupaten.

Salah satu daerah yang sudah mewujudkan diri sebagai Kampung Literasi

adalah Provinsi Jawa Tengah9, melalui P2PAUDNI mengalokasikan dana Rp. 300 juta untuk mengembangkan Kampung Literasi. Desa Bergaslor Kec. Bergas, Kab.

Semarang, menjadi contoh Kampung Literasi pertama di Jawa Tengah, sekaligus Indonesia. Kampung Literasi difokuskan pada penyediaan bahan bacaan pada gardu baca, taman baca masyarakat, warung baca, dan teknologi informasi. Tidak hanya itu,

kampung literasi juga menyediakan informasi dan sumber akses informasi kepada masyarakat berkaitan dengan pendidikan, sosial budaya, seni, hukum, ekonomi

(pertanian, perikanan, perdagangan) dan kesehatan.

Melalui Dinas Pendidikan Samosir, Desa Huta Namora menjadi desa percontohan kampung literasi di Samosir. Desa Huta Namora dinamai Kampung

Literasi Ekklesia. Desa Huta Namora menjadi kampung literasi mulai tahun 2015. Program Kampung Literasi ini merupakan program yang bertujuan untuk

pengembangan kegiatan-kegiatan yang ada di masyarakat termasuk kelompok tani, kelompok pengrajin seperti pengrajin pandan, pengrajin eceng gondok, pengrajin rotan, dan kelompok les Bahasa Inggris bagi anak-anak yang diadakan setiap hari

Sabtu dan Minggu. Kampung Literasi merupakan satu upaya agar masyarakat di Desa

9

(21)

Huta Namora dapat mandiri dengan mengelola segala potensi yang ada di desa. Kampung Literasi juga akan membuat warung internet (warnet) dan perpustakaan

sebagai taman baca masyarakat bagi anak-anak maupun orang dewasa. “Selain pengembangan kegiatan seperti kelompok tani dan kelompok pengrajin, di kampung literasi juga direncanakan akan dibuat sebuah perpustakaan sebagai tempat membaca anak-anak sekolah dan warung internet (warnet) yang hanya menyediakan informasi tentang pendidikan, lengkap dengan daftar hadir si anak ke warnet. Sehingga anak-anak tidak lagi berbohong dengan alasan ke warnet padahal tidak. Anak-anak juga tidak akan bisa buka situs-situs yang negatif seperti situs porno, (Lastuana Simbolon, 46 tahun).

Hal ini diungkapkan oleh Lastuana Simbolon selaku Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Samosir pada saat menghadiri rapat yang diadakan oleh Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan. Rapat ini berlangsung pada hari Sabtu

tanggal 28 Maret 2016 pukul 09.00 WIB sampai pukul 12.00 WIB. Rapat ini dihadiri oleh kelompok pengrajin anyaman eceng gondok.

Rapat digelar untuk mengetahui sudah sejauh mana perkembangan kelompok pengrajin anyaman eceng gondok ini, sekaligus Dinas Pendidikan meminta para

pengrajin membuat kerajinan anyaman eceng gondok dalam jumlah banyak untuk didistribusikan keseluruh sekolah yang ada di Kabupaten Samosir. Adapun jenis kerajinan anyaman eceng gondok yang akan dibuat adalah alas kaki, keranjang

sampah, dan vas bunga.

Kegiatan yang sudah berlangsung di kampung literasi selain kelompok

(22)

tersebut beranggotakan 44 orang. Harapan kedepannya Kampung Literasi akan menjadi pusat informasi bagi seluruh masyarakat Samosir. Bukan hanya masyarakat

desa itu sendiri, para pendatang yang ingin mengetahui produk kerajinan apa saja yang ada di desa itu dapat mendatangi Kampung Literasi Desa Huta Namora.

5. Keterbukaan Masyarakat Terhadap Inovasi Baru

Pengelolahan eceng gondok sebagai bahan kerajinan merupakan inovasi baru

bagi masyarakat Desa Huta Namora. Hasil penelitian Dinas Koprindag yang membuahkan penemuan baru, bahwa eceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan direspon positif oleh masyarakat. Dengan mengajak masyarakat

memanfaatkan dan mengolah eceng gondok, gulma perusak ini menjadi bahan baku untuk membuat kerajinan. Seperti penuturan salah satu informan:

“Ajakan untuk menganyam eceng gondok ini kami melakukannya dengan senang hati, karna yang ada dalam pikiran kami waktu itu, kegiatan ini menghasilkan uang dan akan memberi keuntungan buat kami sendiri. Apalagi karna menganyam tidak asing lagi buat kami, jadi kami senang waktu tahu eceng gondok ini bisa dijadikan kerajinan (Merli Sinurat, 56 tahun).”

Melalui proses komunikasi yang baik, inovasi baru ini diterima serta diterapkan oleh masyarakat, karena dipandang memberi manfaat dan keuntungan bagi masyarakat Desa Huta Namora. Partisipasi masyarakat tampak dari tindakan mereka

yang mau memanfaatkan dan mulai mengolah eceng gondok ini, mau belajar dan mengikuti pelatihan serta menghasilkan ide-ide kreatif yang dikreasikan dan

(23)

di Desa Huta Namora dan mereka mulai menekuni usaha kerajinan yang dapat memberi keuntungan besar bagi mereka.

3.2 Pengertian Kreativitas Menurut Pengrajin Desa Huta Namora

Kreativitas adalah lorong misteri yang dibangun dengan penuh ketidakpastian,

artinya seperti dikemukakan oleh Primadi Tabrani dalam Kreativitas dan Humanitas (2006:17) bahwa kreativitas tidak saja merupakan kapasitas atau kemampuan dasar

manusia, akan tetapi lebih jauh lagi disamping rasionalitas, juga merupakan identitas manusia, yang menunjukkan keunggulannya dari binatang. Manusia dan binatang sama-sama mempunyai kemampuan fisik dan insting, tetapi hanya manusialah yang

mempunyai kemampuan kreatif. Oleh karena itu, kreativitas merupakan ciri manusia, dan ekspresi dari diri manusia itu sendiri.

Secara etimologis istilah kreatif berasal dari bahasa latin yang diperuntukkan baik untuk Tuhan, Dewa dan Manusia. Anderos dalam buku Amal Abdussalam Al-Khaili (2005:13) mendefenisikan kreativitas sebagai proses yang dilalui oleh seorang

individu di tengah-tengah pengalamannya, dan menyebabkannya untuk memperbaiki dan mengembangkan dirinya. Manusia semakin lama semakin berkembang kea rah

yang lebih komplek, dengan kemampuan berpikir yang semakin berkembang dan menciptakan ide-ide kreatif . Begitu juga dengan para pengrajin Desa Huta Namora yang sudah sejak lama berkreativitas dengan menganyam, salah satunya menganyam

eceng gondok. Menurut mereka kreatif seseorang diperoleh dengan belajar, pengalaman maupun yang diperoleh secara turun-temurun. Seperti penuturan salah

(24)

“Kreatif ini kan berbeda-beda pengertiannya, tergantung orangnya lah. Kalo ibu sendiri, menurut ibu kreatif ini kalo seseorang bisa membuat atau menciptakan sesuatu yang baru. Itu saja sudah cukup, berarti kan ada muncul ide dari pikiran dia. Kayak menganyam eceng gondok ini lah, ini kan termasuk sesuatu yang baru di Desa ini, walaupun hasil kerajinan kami dari segi keindahan memang ku akui masih kalah dengan yang di Tasikmalaya atau Jogjakarta. Tapi kami telah mampu memunculkan sesuatu yang baru (Heddy Simbolon, 54 tahun).”

Pemikiran tentang kreativitas memang berbeda-beda, tergantung cara

seseorang memandang. Kreativitas sering dikaitkan dengan konsep ekonomi kreatif yang mengandalkan ide, daya cipta dan daya kreasi individu. Manusia sendiri adalah inti dari semuanya, mereka harus mau belajar dan mulai menciptakan yang baru.

Saya menganyam dan menciptakan berbagai jenis kerajinan sederhana hingga yang tersulit. Saya tidak hanya sekedar menganyam asal jadi aja, saya lebih senang mencoba-coba membuat hal baru. Kayak buat kursi dari anyaman eceng gondok dan saya padukan dengan rotan sebagai rangka kursi. Sehingga kreatif itu ada kegunaannya dan kerajinan memiliki nilai tambah (Janter Gurning, 46 tahun).”

Kreativitas merupakan bagian dari inovasi, dalam arti masyarakat mampu

memproduksi suatu barang dari sumber daya yang tak terbatas dengan ide, gagasan, bakat dan talenta yang dimiliki.

(25)

Perbedaan pengetahuan mengenai kreativitas, juga mempengaruhi pada baik buruknya tampilan produk kerajinan yang dihasilkan. Seorang pengrajin yang

benar-benar menekuni usahanya dan belajar lebih lagi, untuk mengembangkan ide-ide, pemikiran dan pengetahuan tentu akan menghasilkan produk kerajinan yang menarik

di mata masyarakat. Pengertian kreativitas sendiri dilihat dari sudut pandang masing-masing individu dan dikreasikan pada suatu produk secara berbeda-beda. Namun

pada intinya kreativitas selalu dikaitkan dengan identitas diri seseorang, yang menandakan bahwa dia kreatif atau tidak.

3.3 Pandangan Umum Masyarakat Terhadap Usaha Kerajinan Eceng Gondok

Ekonomi kreatif disuatu daerah menjadi penunjang pertumbuhan ekonomi.

Usaha kecil dalam masyarakat sangat bervariasi, tergantung pada kemauan dan kepentingan pelaku. Di Desa Huta Namora sendiri, usaha kerajinan eceng gondok menjadi home industry atau industri rumah tangga yang sering dikaitkan dengan

wirausaha. Tetapi, tidak semua masyarakat mau menjadi wirausahawan, sebagian berkecimpung di bidang lain.

Masyarakat Desa Huta Namora yang memiliki pekerjaan di luar pengrajin tentunya memiliki pandangan sendiri terhadap usaha kerajinan eceng gondok ini. Seluruh masyarakat merasa bahwa pemanfaatan eceng gondok ini merupakan sebuah

discovery (penemuan) yang memberikan dampak positif khususnya pada pengrajin

(26)

“Kalo menurut saya dek, usaha kerajinan eceng gondok yang ada di desa ini bagus untuk meningkatkan ekonomi pengrajin yang ada di desa ini. Karena kan setau bapak, biaya untuk buatnya gak banyak, tapi nilai jualnya lumayan tinggi. Satu tas eceng gondok paling modalnya 10 ribu, tapi dijual ke orang bisa nyampe 70rb. Berarti untung 60rb kan dari tas itu (Rafael Malau, 38 tahun).”

Penjelasan di atas merupakan pendapat dari seorang warga Desa Huta Namora

yang berprofesi sebagai petani. Pak Rafael adalah nama panggilan informan yang berusia 38 tahun ini. Beliau sendiri bekerja sebagai petani kopi yang sudah lama

ditekuninya, karena menurut beliau untuk bekerja menjadi seorang pengrajin harus memiliki kemauan yang besar, konsisten, dan terus belajar untuk mengembangkan ide-ide kreatif.

“Jangan hanya karna ngikut-ngikut liat orang buat kerajinan eceng gondok, trus kita pun ikut. Harus dari hati dan konsisten untuk menekuni usaha kerajinan ini. Kayak saya dek karna memang kurang tertarik untuk menganyam, saya lebih suka bertani dan menekuni usaha tanaman kopi (Rafael Malau, 38 tahun).”

Dukungan positif masyarakat tampak dari peran mereka menggunakan tas eceng gondok. Baik anak-anak sekolah maupun ibu-ibu, mereka menggunakan tas

eceng gondok yang dipesan atau dibeli sendiri dari para pengrajin eceng gondok. Walaupun tidak semua masyarakat yang tertarik menggunakan tas eceng gondok,

(27)

Foto 1

Sumber : Foto Fitri Malau, 2016. Salah satu pengguna tas eceng gondok, yaitu Bu Lastuana Simbolon.

Foto tersebut diambil pada saat rapat kampung literasi yang diadakan oleh Dinas Pendidikan Samosir dan Dinas Koprindag. Ibu Lastuana sangat mencintai tas

eceng gondok. Beliau menunjukkan koleksi tas eceng gondoknya pada saat rapat. Hal ini sebagai salah satu bentuk dukungan dan apresiasi terhadap usaha ekonomi kreatif yang hidup di tengah masyarakat.

Hal senada juga diungkapkan oleh informan Nonie Simbolon yang berprofesi sebagai guru honor di SD.

(28)

Menurut penuturan beliau bahwa semua guru di Desa Huta Namora menggunakan tas eceng gondok setiap hari kamis, sesuai kebijakan yang ditetapkan

oleh Dinas Pendidikan. Sebelum ada kebijakan tersebut, tas eceng gondok ini juga sudah digunakan oleh sebagian guru. Beliau juga mengatakan bahwa harga kerajinan

eceng gondok ini masih terjangkau masyarakat.

Pandangan yang positif serta saran membangun dari masyarakat turut

mendukung usaha menganyam eceng gondok ini. Dukungan masyarakat berupa adanya niat membeli dan menggunakan produk ekonomi kreatif dari desa sendiri. Begitu juga dengan pelajar dan guru yang ada di Desa Huta Namora turut ikut

membeli dan menggunakan produk ekonomi kreatif ini. Begitu juga dengan masyarakat Desa Huta Namora yang banyak menggunakan produk eceng gondok

untuk gereja dan acara adat. Foto 2

(29)

BAB IV

PENGRAJIN ECENG GONDOK 4.1 Profil Pengrajin

4.1.1 Pak Janter Gurning

Salah satu pengrajin senior di Desa Huta Namora adalah Pak Janter Gurning, atau biasa dipanggil Pak Andoro yang berusia 46 tahun. Beliau memiliki seorang istri

yaitu Bu Romasta Uli Naibaho yang berusia 36 tahun, dan mereka belum mempunyai anak. Mereka dulunya menganyam pandan, namun karena pandan sudah sulit ditemukan kemudian mereka beralih menjadi menganyam eceng gondok. Usaha

kerajinan eceng gondok ini dilakukan oleh Pak Janter dengan dibantu oleh istrinya. Selain menekuni usaha ini, mereka juga membuka warung kecil di rumah untuk

menjual kebutuhan rumah tangga dan jajan-jajanan kecil untuk anak-anak.

Pak Janter dan Bu Naibaho memulai usaha kerajinan eceng gondok pada tahun 2004. Kebetulan rumah Pak Janter Gurning berada dekat dengan Danau Toba.

Beliau melihat pertumbuhan eceng gondok ini sangat cepat sehingga menutupi pinggiran Danau Toba dan air Danau Toba menjadi sangat kotor. Awalnya Pak Janter

hanya mengangkat eceng gondok dan meletakkannya di pinggiran Danau Toba. Namun karena pertumbuhannya yang cepat, jumlah eceng gondok di Danau Toba semakin banyak. Melihat hal itu muncul banyak pertanyaan dalam benak informan,

(30)

“Setiap sore saya sering mengamati eceng gondok ini, kebetulan juga karna rumah saya dekat pinggiran Danau Toba dan dermaga juga. Saya tengok eceng gondok ini cepat kali tumbuh trus langsung banyak di Danau Toba. Sehingga muncul dalam pikiran ku, diapakan lah eceng gondok ini ya, trus ku buat jadi apalah ya. Tapi saya kurang tahu bagaimana cara dan teknik menganyamnya. Karna dasar atau permulaan untuk menganyam pandan dan eceng gondok ini tentulah beda, namun untuk menganyam selanjutnya tidak jauh bedanya kayak menganyam pandan itu. (Janter Gurning, 46 tahun).”

Karena niat Pak Janter yang besar untuk mengolah eceng gondok ini menjadi

sebuah kerajinan, kemudian muncul ide beliau untuk mencoba menganyam eceng gondok ini. Cara yang dilakukannya tidak jauh beda dengan cara mengolah pandan.

Pertama Pak Janter mengambil eceng gondok, kemudian membersihkannya dan mengeringkannya. Setelah dikeringkan, eceng gondok langsung dianyam oleh Pak Janter. Produk kerajinan eceng gondok yang pertama kali dibuat Pak Janter adalah

topi dan hasilnya pada saat itu belum tampak bagus.

Pengetahuan awal menganyam eceng gondok diperoleh Pak Janter dari proses

belajar dan latihan yang diikutinya di Yogyakarta. Beliau mengatakan pada tahun 2004 sebuah perusahaan Jepang bernama JICA (Japan International Corporation

Agency) yang bergerak dalam bidang industri perabotan rumah tangga, melakukan survey di wilayah Kabupaten Samosir untuk lokasi pemasaran bahan pengawet yang diproduksi perusahaan tersebut. Dan Desa Huta Namora menjadi daerah yang

menggunakan produk pengawet tersebut. Para pengrajin anyaman baik anyaman pandan, eceng gondok, dan rotan pada saat itu menggunakan bahan pengawet dari

(31)

Terjalin kerjasama antar para pengrajin dengan perusahaan JICA, para pengrajin membeli dan menggunakan produk pengawet dari perusahaan tersebut.

Termasuk Pak Janter Gurning yang merupakan salah satu pengrajin eceng gondok, beliau juga menggunakan produk pengawet dari perusahaan JICA. Kemudian

perusahaan JICA memfasilitasi para pengrajin berangkat ke Yogyakarta untuk mengikuti pelatihan. Pak Janter mengikuti pelatihan menganyam eceng gondok

selama satu bulan.

“Saya sangat senang waktu perusahaan JICA itu datang ke Samosir, apalagi waktu ditawarkan untuk ikut latihan menganyam ke Jogja. Karna saya tahu Jogja itu salah satu pusat kerajinan di Indonesia. Pasti sudah banyak pengalaman para pengrajin disana, itu yang ada dalam benak saya waktu itu. Kami latihan selama satu bulan dan semua biaya ditanggung perusahaan JICA (Janter Gurning, 46 tahun).”

Selama mengikuti pelatihan, Pak Janter dengan sungguh-sungguh dan teliti memahami teknik dasar pengerjaan dan proses menganyam eceng gondok hingga

tahap akhir pengemasan produk kerajinan. Setelah satu bulan mengikuti pelatihan, Pak Janter kembali menekuni usaha kerajinan anyaman eceng gondok dengan ilmu

yang diperoleh. Dengan berbekal ilmu menganyam eceng gondok yang diperoleh dari pelatihan, Pak Janter mulai paham teknik dasar menganyam eceng gondok dan hasil kerajinan anyaman eceng gondok yang dihasilkan bagus.

Dalam proses produksi Pak Janter mengupah orang untuk mengambil eceng gondok dari Danau Toba, mengingat proses mengambil eceng gondok ini merupakan

(32)

kilonya, kemudian eceng gondok tersebut akan dikeringkan. Jumlah kerajinan eceng gondok yang dibuat oleh Pak Janter per bulannya tidak menentu. Beliau membuat

kerajinan dalam jumlah yang relatif kecil dan tergantung pada pesanan pembeli. Produk kerajinan yang biasa dibuat oleh Pak Janter adalah tas yang dipajang di rumah

untuk dijual. Sedangkan produk kerajinan lainnya seperti topi, taplak meja, kursi, gendongan bayi dikerjakan apabila ada pesanan.

Usaha kerajinan eceng gondok Pak Janter mendapat perhatian dari orang lain dan disambut baik oleh beliau. Pertama kalinya Pak Janter mendapat kunjungan belajar dari negara Perancis pada tahun 2005. Beliau mengatakan bahwa orang luar

memperoleh informasi tentang beliau dari warta Samosir yang diposting di internet. Postingan tersebut memuat informasi tentang usaha menganyam eceng gondok yang

dilakoni oleh Pak Janter, dan mereka tertarik untuk belajar ke Samosir. Selanjutnya pada tahun 2012 Pak Janter mendapat kunjungan belajar dari mahasiswi Belanda. Hingga informasi mengenai usaha kerajinan anyaman eceng gondok Pak Janter

menyebar ke luar negeri dari mulut ke mulut.

Kemudian pada tahun 2016 Pak Janter juga mendapat kunjungan belajar dari

tiga mahasiswi Universitas Nordwincollege Belanda. Mereka melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana cara dan teknik dasar pembuatan kerajinan anyaman eceng gondok ini. Sebelumnya ketiga mahasiswi Belanda ini sering mengadakan

penelitian di negara Kenya. Mendapat informasi dari kawan-kawannya yang sebelumnya sudah pernah datang melakukan penelitian dan belajar pada Pak Janter

(33)

Kenya, akhirnya mereka memutuskan untuk datang ke Samosir, mereka akan mengadakan penelitian selama 1 bulan.

Kendala yang kerap dihadapi Pak Janter adalah komunikasi dengan mahasiswi luar karena Pak Janter kurang paham bahasa Inggris. Pak Janter biasanya meminta

bantuan masyarakat dekat rumahnya yang fasih bahasa Inggris. Selesai belajar mahasiswi tersebut akan membawa hasil anyaman ke Belanda dan melakukan praktek

menganyam eceng gondok di Nordwincollege. Mereka datang penelitian dan belajar menganyam eceng gondok dengan biaya sendiri tanpa dibiayai oleh pemerintah atau kampus mereka.

Usaha Pak Janter terus berlanjut mulai awal membuka usaha hingga saat ini. Walaupun pada awalnya permintaan akan kerajinan ini sedikit, tetapi Pak Janter tetap

menekuninya. Pada tahun 2015 usaha eceng gondok Pak Janter membaik dan permintaan produk kerajinan eceng gondok meningkat. Hal ini didukung dengan adanya program pemerintah yang mewajibkan seluruh guru dan anak sekolah mulai

dari tingkat SD, SMP dan SMA di Kabupaten Samosir menggunakan tas eceng gondok setiap hari Kamis, sehingga permintaan akan tas eceng gondok melonjak

naik. Banyak siswa/i dan guru yang membeli dan memesan langsung tas eceng gondok.

(34)

“Selalunya ada orang yang beli kerajinan eceng gondok ini waktu pertama kali aku buka usaha, yang beli langsung ke rumah pun ada juganya walaupun pada waktu itu tidak banyak. Tetapi semenjak ada peraturan Dinas Pendidikan itu, jadi banyak yang mesan buat tas (Merli Sinurat, 56 tahun).”

Dari usaha kerajinan eceng gondok ini pendapatan Pak Janter dan istrinya meningkat dan bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka. Pak Janter juga memperoleh penghargaan berupa piagam seperti piagam dari Kementrian Negara Lingkungan

Hidup, Departemen Perindustrian RI, Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Sumatera Utara, dan Bupati Samosir sebagai apresiasi pecinta lingkungan hidup dan

pengrajin eceng gondok. 4.1.2 Bu Merli Sinurat

Bu Merli Sinurat merupakan seorang janda berusia 56 tahun, suaminya telah

lama meninggal. Bu Merli memiliki empat orang anak, anak pertama seorang laki-laki yang sudah menikah dan tinggal bersama Bu Merli, anak kedua seorang laki-laki-laki-laki

yang sudah menikah dan tinggal bersama mertuanya, anak ketiga seorang perempuan yang sudah menikah dan tinggal menetap di Medan, sementara anak keempat Bu

Merli sedang kuliah di D3 di Universitas Harapan Medan dan tinggal bersama kakaknya yang sudah menikah.

Bu Merli memulai usaha kerajinan menganyam eceng gondok ini sejak tahun

2012. Kegiatan menganyam bukan suatu hal yang baru lagi bagi Bu Merli. Sebelumnya Bu Merli sudah pernah menganyam pandan. Pengetahuan menganyam

(35)

menggunakan eceng gondok. Berdasarkan keterangan Bu Merli, kegiatan menganyam eceng gondok menjadi sebuah kerajinan adalah suatu inovasi terbaru

dalam pemanfaatan alam.

Pengetahuan menganyam eceng gondok diperoleh Bu Merli dari hasil belajar

dan pelatihan yang diadakan oleh Dinas Koprindag pada tahun 2012. Bu Merli mengikuti pelatihan ke Tasikmalaya selama 2 minggu. Ada sekitar 15 orang

pengrajin yang dikirim untuk mengikuti pelatihan ke Tasikmalaya. Pelatihan itu bertujuan untuk melatih para pengrajin Desa Huta Namora agar terampil dalam menganyam eceng gondok. Sehingga produk kerajinan yang dihasilkan memiliki nilai

jual dan berkualitas untuk dipasarkan.

Berbekal ilmu dan pengalaman yang diperoleh Bu Merli dari Tasikmalaya,

beliau mulai menganyam eceng gondok dan membuat berbagai produk kerajinan. Beberapa kerajinan yang dianyam oleh Bu Merli adalah tas, topi, alas kaki, dan vas bunga Produk kerajinan yang paling banyak dibuat oleh Bu Merli adalah tas.

Permintaan akan tas melonjak naik semenjak ada peraturan dari Dinas Pendidikan yang mewajibkan anak sekolah dan guru menggunakan tas eceng gondok. Usaha

kerajinan eceng gondok ini merupakan pekerjaan sampingan Bu Merli, sedangkan pekerjaan utamanya adalah bertani.

Usaha kerajinan ini menjadi penghasilan tambahan bagi Bu Merli, karena

usaha ini tidak membutuhkan modal yang besar. Selanjutnya pada tahun 2012 oleh Dinas Koprindag rumah Bu Merli menjadi sentra atau pusat anyam-anyaman di Desa

(36)

lainnya. Namun karena alasan kesulitan mencocokkan waktu antar pengrajin, sehingga usaha kerajinan ini dilakukan di rumah masing-masing pengrajin.

4.1.3 Bu Heddy Simbolon

Bu Heddy merupakan seorang ibu rumah tangga berusia 54 tahun dan sudah

janda, suaminya sudah lama meninggal. Bu Merli bekerja sebagai petani dan bertani merupakan penghasilan utamanya, untuk mencukupi kebutuhan hidup dan sekolah

anaknya. Bu Merli memiliki empat orang anak, anak pertama seorang laki-laki yang sudah tamat SMA dan bekerja sebagai satpam, anak kedua seorang perempuan yang sudah duduk di bangku SMA, anak ketiga dan keempat adalah laki-laki yang sudah

duduk di bangku SMP.

Beliau sudah menekuni usaha ini sejak tahun 2012. Awal mula mengolah

eceng gondok menjadi bahan utama menganyam didasari oleh penelitian yang dilakukan Dinas Koprindag terhadap tanaman eceng gondok. Dinas Koprindag melihat bahwa tumbuhan eceng gondok yang menyebar luas di kawasan Danau Toba

dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku kerajinan anyaman.

“Ada kira-kira seminggu lah waktu itu mereka bolak-balik ke kampung ini. Katanya mau meneliti eceng gondok supaya bisa dianyam. Masyarakat disini ya sangat senang, karna eceng gondok ini pun udah terlalu banyak di pinggiran Danau Toba itu. Sangat mengganggu kalo waktu mencuci atau mandi (Heddy Simbolon, 54 tahun).”

Kemudian Dinas Koprindag memfasilitasi para pengrajin untuk mengikuti

(37)

mengolah eceng gondok ini masih minim, dan masih perlu belajar lebih dalam lagi mengenai cara dan teknik untuk mengolah eceng gondok hingga menjadi produk

kerajinan. Seperti penuturan informan:

“Dua minggu waktu itu kami pelatihan, dan semua biaya kami ditanggung, makan, penginapan dan dikasi juga waktu itu uang saku kami. Kami pelatihan ke Tasikmalaya karna Tasikmalaya adalah salah satu daerah pusat kerajinan anyaman eceng gondok ini. Di Tasikmalaya kami diajari pelatih mulai dari teknik dasar sampe proses akhir menganyam eceng gondok ini (Heddy Simbolon, 54 tahun).

Selama mengikuti pelatihan para pengrajin dilatih oleh orang yang sudah

berpengalaman dalam hal menganyam eceng gondok. Bu Heddy menyebutkan, mereka dilatih oleh Bapak Sulaiman, beliau merupakan salah satu pengrajin senior di Tasikmalaya. Pelatihan ini berlangsung selama dua minggu dan setelah mengikuti

pelatihan Bu Heddy mulai membuat berbagai produk kerajinan eceng gondok, seperti tempat beras atau biasa disebut Bahul-bahul, tas dengan bentuk yang bervariasi,

tempat pulpen, topi, sandal, dan dompet. Produk kerajinan eceng gondok yang paling banyak dibuat oleh Bu Merli adalah tas, karena produk ini yang paling laku,

sedangkan untuk jenis produk kerajinan lainnya hanya dibuat jika ada pesanan. Saat ini dalam proses pembuatan kerajinan, Bu Heddy dibantu oleh anak-anaknya. Usaha kerajinan eceng gondok ini menjadi penghasilan tambahan dan

mampu meningkatkan perekonomian Bu Heddy. Dalam produksi kerajinan ini, Bu Heddy tidak dipengaruhi oleh waktu dan target hasil yang akan dicapai. Usaha ini

(38)

eceng gondok ini biasa dijual oleh Bu Heddy ke pasar Pangururan pada saat pekan hari Rabu, dan kepada konsumen yang memesan kerajinan anyaman eceng gondok.

Harga kerajinan ini berkisar Rp. 15.000 – Rp. 120.000, tergantung jenis produk kerajinan eceng gondok.

4.1.4 Pak Wanjen Simbolon

Pak Wanjen adalah seorang laki-laki berusia 32 tahun, ia memiliki seorang

istri bernama Bu Lenni Pasaribu yang berusia 28 tahun dan belum memiliki anak. Pekerjaan utama beliau adalah Satpol PP di kantor Bupati Samosir dan istrinya membuka usaha salon di rumah. Ide untuk mengolah eceng gondok ini berawal dari

rasa penasaran dan dan timbul rasa ingin mencoba membuat sendiri kerajinan eceng gondok.

“Sering hinan do au tu jabu ni uda Janter marmeam sambil mamereng imana mambaen kerajinan. Botari ro au tusi, sai penasaran ma au inna roha ku „boasa boi i baen uda on kerajinan sian ombur-ombur‟ bagak muse hasilna.” (artinya: Saya sering datang ke rumah Pak Janter main-main sambil lihat dia buat kerajinan. Sore hari biasanya saya datang, dan saya sangat penasaran „kog bisa dibuat kerajinan dari eceng gondok ya‟ itu dalam hati saya, dan hasilnya pun bagus (Wanjen Simbolon, 32 tahun).

Dari rasa penasaran timbul niat untuk belajar. Beliau belajar menganyam dari

Pak Janter yang sudah lebih paham dan mengetahui banyak cara membuat kerajinan eceng gondok. Menurut Pak Wanjen awal belajar menganyam ini merupakan hal yang sulit. Pak Wanjen belajar membuat anyaman dasar hingga proses akhir

(39)

dihasilkannya bagus. Pak Wanjen belajar menganyam eceng gondok selama 3 minggu.

“Gak cukup cuman sekali aja coba menganyam eceng gondok ini dek. Perlu waktu yang cukup dan kesabaran untuk menganyam eceng gondok ini, karna pada dasarnya juga saya sama sekali belum pernah menganyam. Saya sering mengalami masalah pada urat leher saya karna sering tegang waktu menganyam (Wanjen Simbolon, 32 tahun).”

Dari proses belajar, Pak Wanjen sudah bisa membuat kerajinan eceng gondok

seperti tas sandang dan tas ransel khusus untuk anak sekolah, dan sarung tablet. Pak Wanjen memulai usaha kerajinan eceng gondok ini sejak tahun 2015 sampai saat ini. Usaha ini tetap bertahan karena hanya membutuhkan modal sedikit, dan

menghasilkan keuntungan yang lumayan besar. Selain karena eceng gondok mudah didapatkan di Danau Toba, Pak Wanjen juga membuat sendiri cetakan kerajinan.

Pak Wanjen juga menerima pesanan, konsumen dapat memesan tas ataupun jenis kerajinan lainnya sesuai dengan selera mereka. Harga produk kerajinan Pak Wanjen tergantung tingkat kesulitan dan ukuran tas yang dibuat. Rata-rata harga tas

yang dijual berkisar antara Rp. 70.000 sampai dengan Rp. 120.000. Biasanya Pak Wanjen menerima pesanan tas terutama dari anak-anak sekolah, karena seluruh

(40)

4.2 Kebanjiran Pesanan Memicu KerjaSama

Usaha kerajinan ini sangat bergantung pada besar-kecilnya pesanan yang

diterima. Tiap-tiap pengrajin memperoleh jumlah pesanan yang berbeda-beda, dan jumlah pesanan ini tidak menentu tiap bulannya. Biasanya jumlah pesanan meningkat

ketika anak sekolah memasuki tahun ajaran baru. Siswa/i mulai dari tingkat SD, SMP, SMA dan SMK mulai memesan tas eceng gondok untuk digunakan ke sekolah.

Apabila seorang pengrajin kebanjiran pesanan10, maka akan timbul hubungan kerjasama antar pengrajin. Bentuk hubungan kerjasama mereka adalah berbagi pekerjaan menganyam eceng gondok.

Seperti hubungan yang terjalin antara Pak Janter dan Bu Merli, apabila Pak Janter mendapat pesanan yang banyak maka beliau akan menghubungi Bu Merli

untuk membantu membuat tas eceng gondok. Ketika proses wawancara Bu Merli mengatakan bahwa dia membantu Pak Janter membuat anyaman tas yang masih kasar. Anyaman kasar yang dimaksud adalah tas yang masih berbentuk setengah jadi,

polos, dan tidak memiliki hiasan. Dalam proses pengerjaannya Bu Merli tidak perlu repot-repot menyediakan bahan. Eceng gondok kering disediakan oleh Pak Janter dan

diantar ke rumah Bu Merli. Selanjutnya Bu Merli tinggal menganyam tas eceng gondok setengah jadi.

10

(41)

Hal tersebut dilakukan oleh Pak Janter dengan tujuan untuk menghemat waktu dan tenaga dalam proses pengerjaan, selain itu memiliki tujuan untuk menjaga

hubungan kerjasama yang baik antar pengrajin. Dalam menjalankan kerjasama ini mereka menjaga komunikasi tetap terjalin. Melalui komunikasi yang baik muncul

kesepakatan harga diantara mereka. Tas eceng gondok setengah jadi ini dijual oleh Bu Merli dengan harga Rp 100.000 per 3 buah tas. Dan harga tersebut merupakan

kesepakatan bersama antara Pak Janter dan Bu Merli. Menurut Bu Merli harga tersebut cocok mengingat bahwa bahan menganyam tidak lagi disediakan oleh Bu Merli dan hasil anyaman yang diberikan adalah anyaman kasar atau produk setengah

jadi. Selanjutnya anyaman tas setengah jadi ini akan dirapikan oleh Pak Janter dengan memberi tali, kancing, ritsleting, voering, dan aksesoris lainnya.

Foto 3

(42)

Foto 4

Sumber : Foto Fitri Malau, 2016. Bentuk tas setengah jadi

4.3 Pinjam Meminjam Alat Menganyam

Sifat toleransi antar pengrajin tampak dalam aktivitas mereka pada saat melakukan proses menganyam eceng gondok. Pinjam meminjam alat produksi antar

pengrajin menjadi hal yang biasa dan lumrah. Antar pengrajin bisa saling meminjam alat menganyam. Alat yang biasa dipinjam seperti pisau atau sabit melengkung yang digunakan untuk mengambil eceng gondok dari danau toba, gunting, palu dan mesin

press. Sedangkan mesin jahit untuk membuat voering tas dapat digunakan bersama oleh para pengrajin, karena alat tersebut merupakan bantuan dari Dinas Koprindag.

Apabila mesin rusak akan diperbaiki bersama oleh pengrajin. Namun untuk biaya perbaikan akan ditanggung lebih banyak oleh pengrajin yang sudah membuat mesin

(43)

Proses pinjam meminjam ini disertai juga dengan tanggung jawab yang diberlakukan oleh pengrajin. Ada kewajiban untuk menjaga barang yang dipinjam

terutama alat berupa mesin karena mesin rentan rusak apabila tidak digunakan dan dijaga dengan baik. Namun kerusakan mesin press eceng gondok belum pernah

terjadi, karena pengrajin jarang menggunakan mesin tersebut. Mesin press digunakan apabila eceng gondok yang diambil dalam jumlah yang banyak, jika jumlah eceng

gondok sedikit mereka tidak perlu mengepresnya. Eceng gondok akan dijemur langsung di bawah sinar matahari.

Hal pinjam meminjam sering dilakukan oleh Bu Merli dan Bu Heddy. Lokasi

rumah Bu Heddy yang tidak berada pas di pinggiran Danau Toba membuat beliau selalu meminjam pisau atau sabit kepada Bu Merli karena rumah Bu Merli berada

dekat pinggiran Danau Toba. Sehingga Bu Heddy tidak perlu repot-repot membawa pisau atau sabit, beliau akan singgah di rumah Bu Merli untuk meminjam sabit dan akan mengembalikannya setelah selesai dipakai. Hal tersebut terlihat dengan apa

yang dikatakan Bu Heddy ketika datang ke rumah Bu Merli untuk meminjam sabit. Perkataan Bu Heddy terlihat sebagai berikut:

“Nai Heddy hu pakke jo sasabi mon da, lao mambuat ombur-ombur au saonnari ne. Hu paulak anon dung sidung au mambuat da.” (Artinya: Bu Heddy ku pake dulu sabit mu ya, mau ambil eceng gondok aku sekarang. Nanti ku kembalikan setelah aku siap ambil eceng gondok)

Aktivitas mengambil eceng gondok biasanya dilakukan pada pagi hari pukul 10.00 Wib sampai dengan pukul 12.00 Wib. Bu Heddy akan mengumpulkan eceng

(44)

memberikan sebagian eceng gondok yang sudah dikumpulkannya kepada Bu Merli. Hal ini dilakukan sebagai bentuk ucapan terimakasih karena sudah meminjam pisau

atau sabit. Walaupun sebenarnya Bu Merli tidak pernah meminta eceng gondok namun hal ini dilakukan oleh Bu Heddy atas dasar sukarela dan sebagai bentuk

hubungan tolong-menolong.

Hal meminjam juga dilakukan oleh Bu Merli, biasanya beliau meminjam

cetakan tas kepada Bu Heddy. Cetakan yang dipinjam adalah cetakan yang bentuknya berbeda dengan cetakan yang dimiliki Bu Merli. Hal ini menunjukkan tidak ada perasaan bersaing antar pengrajin terutama dalam hal menciptakan kreasi

bentuk tas. Mereka saling mendukung dan bertukar alat produksi untuk saling melengkapi. Mereka tidak berebut langganan atau orang untuk membeli hasil

kerajinannya, masing-masing pengrajin sudah memiliki langganan baik karena hubungan saudara maupun hubungan tetangga.

4.4 Tidak Ada Larangan Mengambil Eceng Gondok

Masyarakat Desa Huta Namora bebas untuk mengambil eceng gondok dari Danau Toba. Tidak ada larangan untuk mengambil eceng gondok, karena jumlah

eceng gondok di Danau Toba lebih banyak daripada yang dimanfaatkan. Masyarakat yang ingin memanfaatkan eceng gondok sebagai bahan baku kerajinan, kapan saja bisa mengambilnya dari Danau Toba. Tidak ada perebutan tumbuhan gulma ini antar

(45)

Tidak ada hak kepemilikan lahan eceng gondok dan batasan area ataupun zona-zona tertentu yang dimiliki secara individu, karena pada dasarnya eceng gondok

ini tumbuh secara cepat dan menyebar luas. Masyarakat Desa Huta Namora juga tidak seluruhnya pengrajin eceng gondok. Hal ini menyebabkan tumbuhan eceng

gondok bukan sesuatu yang diperebutkan, dan tidak menimbulkan konflik antar pengrajin.

Masyarakat setempat yang bukan pengrajin sangat mendukung adanya pemanfaatan eceng gondok ini dan berharap supaya eceng gondok di Danau Toba secepatnya bersih. Eceng gondok merupakan tumbuhan gulma yang dapat merusak

(46)

BAB V

PROSES PRODUKSI

Proses produksi kerajinan eceng gondok ini sepenuhnya dilakukan oleh pengrajin dan anggota rumah tangga sendiri tanpa harus mengambil tenaga kerja dari

luar. Kerajinan eceng gondok merupakan hasil pemrosesan yang cukup rumit mulai dari tahap pengumpulan eceng gondok hingga tahap menganyam. Produksi kerajinan

eceng gondok tidak dalam jumlah yang besar tergantung pada pesanan dan mengikuti musim seperti musim tahun ajaran baru masuk sekolah. Untuk mengolah eceng gondok menjadi produk kerajinan, proses yang dilakukan adalah sebagai berikut:

5.1 Persiapan Bahan dan Peralatan

Adapun bahan dan peralatan yang digunakan dalam proses pembuatan

kerajinan eceng gondok adalah sebagai berikut:

5.1.1 Bahan yang digunakan dalam menganyam

Proses produksi kerajinan eceng gondok membutuhkan beberapa bahan

penting yang akan digunakan oleh pengrajin. Adapun bahan-bahan yang digunakan seperti: eceng gondok kering, pewarna eceng gondok, dan air bersih. Sub bab ini akan

menjelaskan bahan tersebut secara terperinci menurut data yang diperoleh oleh peneliti.

1. Eceng Gondok

Salah satu bahan dasar dan menjadi bahan utama dalam pembuatan kerajinan

(47)

Eceng gondok yang dipandang sebagai tanaman pengganggu atau gulma dianggap tidak begitu penting bagi sebagian orang, akan tetapi bagi para pengrajin eceng

gondok menjadi sumber penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Eceng gondok hidup terapung di kawasan perairan Danau Toba. Daun-daun eceng gondok ditopang oleh tangkai berbentuk silinder memanjang yang

kadang-kadang sampai mencapai 1 meter dengan diameter 1-2 cm. Tangkai daunnya berisi serat yang kuat dan lemas serta mengandung banyak air.

Diberbagai daerah eceng gondok memiliki sebutan yang berbeda-beda. Di

Palembang eceng gondok dikenal dengan nama Kelipuk, di Lampung dikenal dengan nama Ringgak, di Dayak dikenal dengan nama Ilung-Ilung, di Manado dikenal

dengan nama Tumpeh, dan di Samosir sendiri eceng gondok dikenal dengan nama Ombur-Ombur11.

Eceng gondok yang biasa digunakan adalah eceng gondok yang terpilih, tidak

semua eceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kerajinan. Eceng gondok yang dipilih untuk dianyam adalah memiliki tangkai daun yang panjang, usia

eceng gondok tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. Standar panjang batang eceng gondok biasa adalah antara 45-50 cm.

11

(48)

Foto 5

Sumber : Foto Fitri Malau, 2016. Eceng gondok merupakan bahan baku menganyam. Para pengrajin dengan mudah mendapatkan eceng gondok, mengingat eceng

gondok adalah tumbuhan gulma yang memiliki proses pertumbuhan dan penyebaran yang sangat cepat. Sehingga masyarakat tidak perlu lagi membeli eceng gondok dari

luar daerah. Keadaan itulah yang membuat pengrajin Desa Huta Namora tetap semangat membuat kerajinan eceng gondok.

2. Air Bersih

Air bersih diperlukan untuk membersihkan eceng gondok dari kotoran yang terbawa pada saat pengumpulan eceng gondok. Air yang digunakan biasanya air

bersih dari kamar mandi ataupun air Danau Toba. Eceng gondok sesekali dibanting-banting di dalam air, agar kotoran cepat rontok. Seperti penuturan informan ini di

(49)

“Eceng gondok harus dicuci dulu pake air bersih karena pas diambil kotor kali dia trus akarnya yang hitam itu kita buang. Air yang biasa dipake air dari kamar mandi, atau biasanya langsung dicuci di Danau Toba (Heddy Simbolon, 54 tahun).”

3. Bahan Pewarna

Untuk mewarnai eceng gondok para pengrajin Desa Huta Namora biasanya menggunakan bahan-bahan pewarna yang disebut basis. Bahan pewarna ini pertama kali mereka dapatkan dari Dinas Koprindag pada saat pelatihan menganyam. Bahan

pewarna ini berbentuk bubuk yang dikemas dalam bungkusan plastik dengan variasi warna yaitu hijau tua, merah tua, ungu tua, kuning dan coklat.

Foto 6

Sumber : Foto Fitri Malau, 2016. Bahan pewarna eceng gondok 5.1.2 Alat Yang Digunakan Dalam Menganyam

Proses produksi kerajinan eceng gondok juga membutuhkan beberapa jenis peralatan. Para pengrajin menggunakan beberapa alat dalam menganyam antara lain: pisau, gunting, mesin atau alat untuk mengepress (menekan) eceng gondok, cetakan

(50)

kerajinan eceng gondok tergolong sederhana dan harganya murah, sehingga tidak menyulitkan para pengrajin dalam segi modal.

1. Pisau

Pisau merupakan salah satu alat produksi yang penting dalam proses

pembuatan kerajinan eceng gondok. Disisi lain, pisau merupakan alat sederhana yang mudah djumpai dan harganya relatif murah. Proses produksi kerajinan eceng gondok

memerlukan bermacam-macam pisau untuk berbagai fungsi yaitu sebagai alat panen eceng gondok, membelah serta mengiris eceng gondok.

Masing-masing dibedakan berdasarkan ukuran besar dan ketebalannya. Sabit

atau biasa disebut pengrajin sasabi dengan bentuk melengkung, digunakan untuk memotong batang eceng gondok pada saat panen. Sementara pisau dapur digunakan

untuk membelah batang eceng gondok secara vertikal. Foto 7

(51)

2. Gunting

Gunting digunakan untuk menggunting daun eceng gondok yang sudah

kering, kemudian ujung dan pangkal eceng gondok yang sudah dikeringkan. Pangkal eceng gondok akan digunting berbentuk runcing.

Foto 8

Sumber : Foto Fitri Malau, 2016. Alat menggunting eceng gondok kering. 3. Palu

Palu digunakan untuk memaku anyaman dasar eceng gondok ke atas cetakan, sehingga anyaman tidak bergeser pada saat proses menganyam. Untuk memaku dasar

anyaman tersebut, digunakan paku kecil dan palu berukuran sedang. Foto 9

(52)

4. Cetakan

Untuk membuat kerajinan eceng gondok diperlukan cetakan sesuai dengan

bentuk kerajinan yang akan dibuat. Para pengrajin eceng gondok di Desa Huta Namora biasanya membuat sendiri wadah cetakan. Cetakan dibuat dari kayu atau

benda-benda bekas yang bentuknya sesuai dengan jenis kerajinan yang akan dianyam. Misalnya untuk membuat tas maka cetakan akan dibentuk sesuai dengan tas, untuk

membuat tempat minum maka cetakan akan disesuaikan dengan tempat minum, begitu juga dengan keranjang sampah, sarung tablet, topi, kotak koran, tempat pulpen. Berikut contoh cetakan yang diperoleh peneliti dari lapangan:

Foto 10

(53)

5. Mesin Press Eceng Gondok

Tujuan pengepresan eceng gondok adalah untuk mengubah bentuk tangkai

eceng gondok yang bulat panjang menjadi pipih seperti pita. Pengrajin eceng gondok Desa Huta Namora biasanya menggunakan mesin pres, apabila eceng gondok yang

akan digunakan sebagai bahan anyaman dalam jumlah yang banyak. Tetapi jika tangkai eceng gondok yang dibutuhkan hanya sedikit, biasanya eceng gondok tidak

dipress menggunakan mesin press, melainkan dengan menggunakan tangan, dipress dengan cara menekan eceng gondok dari pangkal hingga ujung tangkai eceng gondok. Berikut gambar mesin press yang diperoleh peneliti dari lapangan:

Foto 11

Sumber : Foto Fitri Malau, 2016. Mesin pengepres batang eceng gondok

6. Mesin Jahit

Mesin jahit merupakan salah satu alat produksi yang digunakan oleh pengrajin eceng gondok. Mesin jahit ini merupakan mesin khusus yang digunakan untuk

menjahit voering12 tas. Mesin jahit ini merupakan bantuan peralatan yang diberikan oleh Dinas Koprindag sebagai bentuk perhatian pemerintah. Jumlah mesin jahit yang

12

(54)

diberikan adalah satu unit dan berada di rumah sentra anyaman. Pengrajin bebas menggunakan mesin jahit tersebut apabila diperlukan.

Foto 12

Sumber : Foto Fitri Malau, 2016. Mesin jahit voering tas eceng gondok

5.2 Pengumpulan Eceng Gondok

Proses pengumpulan eceng gondok dilakukan pada saat eceng gondok masih mentah dan dikumpulkan dalam jumlah yang banyak, karena eceng gondok akan

menyusut ketika dikeringkan dan tampak lebih sedikit. Sewaktu eceng gondok diangkat dari Danau Toba, akan terbawa juga bagian-bagian lain dari tumbuhan eceng gondok secara lengkap, seperti bunga, daun, tangkai, tunas, dan akar. Eceng

gondok yang dikumpulkan adalah eceng gondok yang berukuran panjang, tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda atau biasa disebut matoras. Tangkai eceng gondok

yang terlalu tua dan terlalu muda akan mudah patah ketika diambil dari Danau Toba. Pengumpulan eceng gondok akan terasa mudah pada saat musim kemarau. Keadaan air Danau Toba yang surut membuat pinggiran Danau Toba dipenuhi eceng

(55)

ketika cuaca stabil, ini menjadi tantangan bagi para pengrajin. Eceng gondok akan kembali ke daerah Danau Toba yang berlumpur dan jaraknya lumayan jauh dari

pinggiran Danau Toba. Eceng gondok harus diambil dengan berenang, belum lagi lintah dan pacat yang biasanya menempel pada badan. Karena sulitnya proses

pengambilan eceng gondok ini, sebagian pengrajin biasanya meminta tolong kepada anak laki-laki yang pandai berenang untuk mengumpulkan eceng gondok dan diberi

upah uang jajan.

5.3 Pembersihan Eceng Gondok

Setelah eceng gondok terkumpul dalam jumlah yang banyak, maka

selanjutnya adalah mencuci eceng gondok tersebut agar bersih dan menghilangkan bau tidak sedap dari eceng gondok. Eceng gondok yang sudah diambil dari Danau

Toba dibersihkan, karena untuk mempersiapkan bahan anyaman hanya diperlukan bagian tangkai daunnya, maka bagian yang lain harus disisihkan. Akar, bunga, tunas akan dibuang, tetapi untuk daun eceng gondok tidak dibuang. Daun eceng gondok

akan dibuang setelah dikeringkan, agar hasilnya tidak hitam.

Pemilahan antara akar, bunga, tunas dan tangkai eceng gondok diperlukan

untuk mengklasifikasikan bahan yang akan digunakan sebagai pembuat produk kerajinan. Pemisahan biasanya dilakukan pengrajin dengan cara memotong akar eceng gondok menggunakan gunting kain yang kuat atau dengan pisau. Karena

(56)

Setelah bagian-bagian yang tidak dibutuhkan disisihkan, tangkai eceng gondok kemudian dicuci. Membersihkan eceng gondok tidak memakan banyak

waktu. Cara mencuci eceng gondok ini cukup disemprot dengan air bersih dan dirontokkan kotorannya dengan cara dibanting-banting atau dibilas dengan air bersih

hingga benar-benar bersih.

5.4 Pengeringan Eceng Gondok

Proses selanjutnya adalah pengeringan eceng gondok. Eceng gondok yang sudah bersih dari segala kotoran, dijemur langsung di bawah sinar matahari. Untuk menjemur eceng gondok para pengrajin Desa Huta Namora menggunakan lantai

semen yang tidak terlindungi, sehingga sinar matahari dapat diterima secara maksimal. Namun sebagian pengrajin juga menjemur eceng gondok di atas pasir

langsung atau dilapisi seng,

Gambar

Gambar: Lahan eceng gondok di Danau Gambar: Proses mengambil eceng gondok                Toba
Gambar: Proses pewarnaan eceng gondok
Gambar: Proses menganyam produk kerajinan tas
TABEL 5
+7

Referensi

Dokumen terkait

Peningkatan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sebagai dampak usaha kerajinan eceng gondok, selanjutnya berpengaruh terhadap pengembangan wilayah, khususnya Desa

Hasil dari penelitian ini menunjukkan dengan adanya kerajinan eceng gondok yang berada di Desa Kebondowo membuat matapencaharian masyarakat menjadi semakin beragam dan

KAJIAN NILAI EKONOMIS DAN PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PEMANFAATAN ECENG GONDOK DI DESA ROWOBONI.. KABUPATEN SEMARANG

Analisis SWOT Pengelolaan Eceng Gondok di Kabupaten Samosir Error.. Bookmark

STRATEGI PENGELOLAAN ECENG GONDOK DI DANAU TOBA WILAYAH KABUPATEN SAMOSIR..

“ Komodifikasi Eceng Gondok ” (Studi Kasus Pemanfaatan Eceng Gondok di Sekitar Danau Rawa Pening) adalah judul yang penulis berikan untuk thesis ini, meskipun

Terkait dengan program ini maka tim mitra telah memiliki quality control dalam finishing dan membuat kreasi-kreasi baru berbahan eceng gondok, para pengrajin

Hasil dari penelitian ini menunjukkan dengan adanya kerajinan eceng gondok yang berada di Desa Kebondowo membuat matapencaharian masyarakat menjadi semakin beragam dan