• Tidak ada hasil yang ditemukan

PETA SEBARAN INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN JUMLAH UPI : 505

STRUKTUR AHP

2.1 Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

Karakteristik usaha kecil dilihat dari sistem manajemennya, pada umumnya dikelola oleh pemiliknya langsung sehingga lebih fleksibel dalam mengembangkan ide produk. Dari proses produksi usaha kecil memiliki proses yang sederhana dan menggunakan tenaga kerja dengan tingkat pendidikan tidak terlalu tinggi, sehingga biaya operasional dapat ditekan. Namun demikian usaha kecil memiliki beberapa kekurangan dalam hal keterbatasan manajerial, jaringan dan fenonema utama adalah kesulitan dalam hal akses permodalan.

Di Indonesia, terdapat berbagai definisi mengenai Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), diantaranya sebagai berikut :

1. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 20, 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) :

a. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang –Undang.

b. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan, atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang.

c. Usaha Menengah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan, atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.

6

Tabel 1. Kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah menurut UU RI No.20/2008

Kriteria Usaha Mikro (Rp) Usaha Kecil (Rp) Usaha Menegah (Rp)

Kekayaan Bersih <50 juta <50 juta – 500

juta <500 juta – 10 milyar Hasil Penjualan Tahunan <300 juta <300 juta – 2,5 milyar <2,5 milyar – 50 milyar

Sumber : Undang-Undang RI No. 20, 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

2. Menurut Badan Pusat Statistik, UMKM didefinisikan berdasarkan jumlah tenaga kerja seperti dimuat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kriteria Usaha Kecil dan Menengah menurut BPS

Kriteria Usaha Mikro (Rp) Usaha Kecil (Rp) Usaha Menegah (Rp) Jumlah Tenaga

Kerja

<5 orang 5 -19 orang 20 -100 orang Sumber : Undang-Undang RI No. 20, 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan

Menengah

Menurut Hubeis (2009), UKM didefinisikan dengan berbagai cara yang berbeda tergantung pada negara dan aspek-aspek lainnya (misalnya spesifikasi teknologi). Oleh karena itu perlu dilakukan tinjauan khusus terhadap definisi-definisi tersebut agar diperoleh pengertian yang sesuai tentang UKM, yaitu menganut ukuran kuantitatif yang sesuai dengan kemajuan ekonomi.

Menurut Nikijuluw (2012), ada beberapa sifat yang biasanya dimiliki oleh UKM, dilihat dari beberapa dimensi yaitu:

1. Modal : kecil, sulit, keluarga, terbatas akses perbankan, rentenir, kredit pemerintah, program pemerintah, dan lain-lain.

2. Skill : rendah, terbatas, kurang pendidikan, kurang pelatihan, kurang pengalaman dan kurang jaringan.

3. Akses Sumber Daya Alam : sangat terbatas, hanya pada daerahnya saja. 4. Produk : tidak standar, musiman, rendah mutu, shell-life terbatas, jangkauan

pasar rendah, tidak ada guarantee.

5. Pasar : totally driven by the market, absolutely price-taker, terbatas di sekitar daerah produsen.

6. Akumulasi Modal: rendah, atau bahkan tidak ada.

Menurut Pramiyanti (2008), kendati terdapat beberapa definisi mengenai UKM, namun usaha kecil mempunyai karakteristik hampir seragam, yaitu :

1. Tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi. Kebanyakan industria kecil dikelola oleh perorangan yang merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan, serta memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekat.

2. Rendahnya akses industri kecil terhadap lembaga-lembaga kredit formal, sehingga cenderung mengantungkan pembiayaan dari modal sendiri, atau dari sumber sumber lain seperti keluarga, kerabat, pedagang perantara bahkan rentenir.

3. Sebagian usaha kecil ditandai belum memiliki status badan hukum.

4. Dilihat menurut golongan industri tampak bahwa hampir sepertiga bagian dari seluruh industri kecil bergerak pada kelompok usaha industri makanan, minuman, diikuti kelompok industri tekstil dan kayu.

Hubeis (1997) menyatakan bahwa UMKM mempunyai kelebihan dan kekurangan :

a. Kelebihan

1. Organisasi internal sederhana terutama pada usaha mikro kecil (UMK) dan pada usaha menengah cukup terstruktur.

2. Mampu meningkatkan ekonomi kerakyatan/padat karya dan berpeluang untuk mengisi pasar ekspor dan mensubstitusi impor.

3. Relatif aman bagi perbankan dalam pemberian kredit. 4. Bergerak di bidang usaha yang cepat menghasilkan. 5. Mampu memperpendek rantai distribusi.

6. Fleksibilitas dalam pengembangan usaha. b. Kekurangan

1. Lemah dalam kewirausahaan dan manajerial. 2. Keterbatasan ketersediaan keuangan.

8

4. Keterbatasan pengetahuan produksi dan teknologi. 5. Ketidakmampuan informasi.

6. Tidak didukung kebijakan dan regulasi memadai. 7. Tidak terorganisir dalam jaringan dan kerjasama. 8. Sering tidak memenuhi standar.

Menurut Nikijuluw (2007), anatomi usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan dapat dilihat dari kinerja produksi produk hasil perikanan dan kelautan serta penggabungan skala usaha mengingat terdapat beberapa persepsi dalam pengelompokan usaha. Usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat), yaitu :

1. Kelompok Usaha skala mikro adalah kelompok usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan yang setidaknya memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 tetapi kekayaan itu tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usahanya.

2. Kelompok Usaha skala kecil adalah kelompok usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan yang memiliki kekayaan bersih mulai Rp50.000.000,00 sampai Rp200.000.000,00 tetapi kekayaan itu tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usahanya.

3. Kelompok Usaha skala menengah adalah kelompok usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan yang memiliki kekayaan bersih mulai Rp200.000.000,00 sampai Rp 10 miliar, tetapi kekayaan itu tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usahanya.

4. Kelompok Usaha skala besar adalah kelompok usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan yang memiliki kekayaan bersih di atas Rp10 Miliar, tetapi kekayaan itu tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usahanya.

Pengembangan usaha kecil, menengah dan Koperasi tergantung pada beberapa faktor, yaitu (1) kemampuan UKM dan Koperasi dijadikan kekuatan utama pengembangan ekonomi berbasis lokal yang mengandalkan endogenous resources di Kota atau Kabupaten; (2) kemampuan usaha kecil, menengah dan

koperasi dalam peningkatan produktivitas, efisiensi dan daya saing; (3) menghasilkan produk bermutu dan berorientasi pasar (domestik maupun ekspor); (4) berbasis bahan baku domestik; (5) substitusi impor, serta (6) agribisnis dan agroindustri (Syaukat, 2002).

Menurut Haryadi (1998), ada lima (5) aspek yang berkaitan erat dengan perkembangan usaha kecil, yaitu aspek pemasaran, produksi, ketenagakerjaan, kewirausahaan dan akses kepada pelayanan. Dalam aspek pemasaran, tujuan dan orientasi pasar penting bagi perkembangan suatu usaha, karena akan menentukan pilihan-pilihan strategi adaptasi yang akan diambil dalam mengatasi kendala-kendala yang akan dihadapi, khususnya yang berkaitan dengan struktur pasar bahan baku produk.

Peran pemerintah sangat diharapkan dalam meningkatkan stabilitas kinerja UKM di Indonesia. Pemerintah telah membangun gedung pusat promosi KUKM yang diberi nama SMEsCO (Small Medium Enterprise Company) Promotion Center atau gedung SPC sejak tahun 2004 dalam rangka mengembangkan dan memudahkan kegiatan promosi produk KUKM di tingkat nasional maupun internasional.

2.2 Industri Perikanan

Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari pra produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan (UU Perikanan No. 45 Tahun 2009). Industri Perikanan merupakan industri yang menggunakan ikan sebagai bahan baku untuk diolah melalui transformasi dan pengawetan dengan cara melakukan proses perubahan fisik, atau kimiawi, penyimpanan, pengemasan dan distribusi untuk menghasilkan produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi.

Pengolahan ikan merupakan salah satu dari kegiatan perikanan yang bertujuan untuk mempertahankan ikan dari proses pembusukan, sehingga mampu disimpan lama sampai tiba waktunya untuk dijadikan sebagai bahan konsumsi. Pembusukan itu disebabkan oleh pengaruh kegiatan bakteri dan pengaruh

10

kegiatan enzim (autolisa), yaitu proses penguraian jaringan yang berjalan dengan sendirinya setelah ikan mati, yang semakin cepat bila suhu meningkat dan mencapai puncaknya pada suhu 37oC (Moeljanto, 1992). Pengolahan ikan diawali dengan cara tradisional menggunakan sinar matahari, yang berfungsi untuk meningkatkan daya simpan dengan jalan mengurangi kadar air (KA). Namun, selama ini ikan tradisional masih mempunyai citra buruk di mata konsumen, karena rendahnya mutu dan nilai nutrisi, tidak konsistennya nilai fungsional, serta tidak adanya jaminan mutu dan keamanan bagi konsumen (Heruwati, 2002). Terdapat beberapa cara pengolahan lain, yaitu pendinginan, pembekuan, pengasapan, penggaraman, pemindangan dan peragian ikan (Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, 2000).

Komoditas perikanan diolah menjadi produk perikanan (produk akhir) yang dapat dikelompokkan menurut proses penanganan dan/atau pengolahan (DITJEN P2HP DKP, 2006) berikut :

1. Produk hidup.

2. Produk segar (fresh product) melalui proses peng-esan/pendinginan.

3. Produk beku (frozen product) baik mentah (raw), atau masak (cooked) melalui proses pembekuan.

4. Produk kaleng (canned product) melaui proses pemanasan dengan suhu tinggi (sterilisasi) dan pasteurisasi.

5. Produk kering (dried product) melalui proses pengeringan alami, atau mekanis.

6. Produk asin kering (dried salted product) melaui proses penggaraman dan pengeringan alami, atau mekanis.

7. Produk asap (smoked product) melalui proses pengasapan.

8. Produk fermentasi (fermented product) melalui proses permentasi. 9. Produk masak (cooked product) melalui proses pemasakan.

Komoditas perikanan laut yang dapat dihasilkan di hampir seluruh wilayah Indonesia menyebabkan sentra produksi perikanan, maupun agroindustri ikan tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia.

PETA SEBARAN INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN

JUMLAH UPI : 505 UE : 176 AS : 412 RUSIA : 113 KANADA : 76 KOREA SELATAN : 412 VIETNAM : 76 CHINA : 220 Sumber: Nikijuluw, 2012

Gambar 1. Peta sebaran industri pengolahan ikan 2.3 Ikan Pindang

Dalam proses pengolahannya secara umum, ikan Pindang dibedakan menjadi dua (2) yaitu pindang air garam dan pindang garam. Pindang air garam adalah suatu produk olahan perikanan dengan bahan baku ikan segar yang mengalami perlakuan seperti penerimaan, penyiangan, pencucian, perendaman dalam larutan garam, penyusunan, perebusan dan penyiraman/tanpa penyiraman (BSN, 2009). Sedangkan pindang garam adalah suatu produk olahan perikanan dengan bahan baku ikan segar yang mengalami perlakuan seperti penerimaan, penyiangan, pencucian, penyusunan dan pengaraman, perebusan I, perebusan II dan pendinginan (BSN, 2009).

Pemindangan merupakan salah satu cara pengawetan yang dilakukan oleh masyarakat, tetapi ikan pindang hanya memiliki umur simpan yang singkat sekitar

12

2 – 4 hari (Moedjiharto, 2002). Bahan yang sering digunakan dalam pemindangan adalah Ikan layang (Decapterus. spp) (Purnomo, 2002), yang memiliki kandungan gizi cukup tinggi yaitu jumlah protein 27%, lemak 3%, energi 176 kalori, air 60%, mineral 0,26%, serta vitamin B 0,07 mg (Heruwati, 2002).

Sebagian besar pindang diproduksi di pulau Jawa dengan bahan baku ikan Layang, Lisong, Kembung, Tongkol, Tongkol Como, Banyar, dan Slengseng. Pada tahun 2010 jumlah pemindang nasional 65.766 KK. Sentra produksi pindang di pulau Jawa terutama terdapat di Sukabumi, Bogor, Karawang, Kendal, Rembang, Pati, dan Trenggalek. Proses pengolahan pindang belum memenuhi jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan; kemasan masih sederhana; daya saing memasuki pasar retail modern dan ekspor rendah; serta dukungan permodalan masih rendah. Masalah utama yang dihadapi industri pemindangan saat ini adalah bahan baku tidak tersedia sepanjang tahun, sehingga tingkat utilitas

pemindang rata-rata hanya 50% (DITJEN P2HP KKP, 2012) 2.4 Mutu dan Keamanan Pangan Produk Perikanan

Berkaitan dengan produk perikanan sebagai produk pangan, maka jaminan mutu dan keamanan pangan produk perikanan sangat penting. Mutu dan keamanan produk perikanan ditentukan mulai dari kondisi mutu ikan segar sebagai bahan baku utama. Kesegaran ikan dalam karakteristik organoleptiknya merupakan faktor penting dalam penilaian mutu ikan.

Penurunan mutu ikan segar ditandai oleh adanya perubahan karakteristik organoleptik ikan yang meliputi terdeteksinya off-odours dan off-flavor, pembentukan lendir, produksi gas, perubahan warna dan tekstur daging ikan (Huss, 1994). Terjadinya perubahan karakteristik organoleptik ikan segar disebabkan oleh proses autolisis, aktivitas kimiawi pada tubuh ikan, serta akibat aktivitas mikrobiologis. Ketiga (3) faktor tersebut selalu terdapat pada perubahan karakteristik organoleptik ikan segar. Proses autolisis merupakan proses penguraian protein jaringan otot dan komponen organik lainnya di dalam daging ikan. Penurunan mutu akibat aktivitas kimia yang paling utama terjadi adalah perubahan akibat oksidasi lemak daging ikan yang

menghasilkan bau dan rasa tengik, serta perubahan warna menjadi coklat kusam. Aktivitas beragam mikroorganisme yang terdapat pada ikan dapat menghasilkan beragam senyawa hasil penguraian protein dan lemak seperti amonia, gas hidrogen belerang (H2S), beragam jenis asam, dan senyawa lain yang berbau busuk dan tengik (Ilyas, 1993).

Penanggulangan beragam masalah yang menurunkan mutu ikan dan bahaya keamanan pangan terkait dengan aktivitas penanganan ikan, dimulai dari kegiatan penangkapan ikan hingga konsumen akhir. Berdasarkan hal tersebut, maka jaminan mutu terhadap produk agroindustri ikan yang baik perlu dilakukan melalui penerapan sistem jaminan mutu yang memadai secara efektif mulai dari ikan ditangkap, proses pengolahan di pabrik sampai ke tangan konsumen. Sistem mutu pada agroindustri ikan meliputi Good Manufacturing Practices (GMP),

Standard Sanitation Operational Procedure (SSOP) dan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) (Palacios, 2001).

2.5 Sistem Jaminan Mutu Produk Perikanan