• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analysis Feasibility and Business Development Stategy of Boiled Fish for Micro, Small and Medium Scale in Bogor Distric, West Java

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analysis Feasibility and Business Development Stategy of Boiled Fish for Micro, Small and Medium Scale in Bogor Distric, West Java"

Copied!
305
0
0

Teks penuh

(1)

SKALA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

DI KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT

WINARTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa tugas akhir yang berjudul “Analisis Kelayakan dan Strategi Pengembangan Usaha Pengolahan Pindang Ikan Skala Mikro, Kecil dan Menengah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat” merupakan hasil karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada Program sejenis di Perguruan Tinggi lain, serta belum pernah dipublikasikan. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, Januari 2013

(3)

ABSTRACT

WINARTO. Analysis Feasibility and Business Development Stategy of Boiled Fish for Micro, Small and Medium Scale in Bogor Distric, West Java. Under the guidance of H. Musa Hubeis as Chairman and H. Komar Sumantadinata as members.

(4)

RINGKASAN

WINARTO. Analisis Kelayakan dan Strategi Pengembangan Usaha Pengolahan Pindang Ikan Skala Mikro, Kecil dan Menengah Di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dibawah bimbingan H. Musa Hubeis Sebagai Ketua dan H. Komar Sumantadinata sebagai Anggota.

Peranan perikanan dalam pembangunan ekonomi cukup besar, baik sebagai penghasil bahan pangan sumber protein maupun sebagai penghasil devisa negara. Kebutuhan komoditi perikanan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan kesejahteraan dan peningkatan kesadaran masyarakat akan arti penting nilai gizi produk perikanan bagi kesehatan dan perkembangan otak.

Kabupaten Bogor memiliki Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pemindangan ikan sebanyak 43 Usaha Keluarga, dengan jumlah produksi 3.677,16 ton/tahun, tersebar di 16 Kecamatan yaitu Cibinong, Ciampea, Tenjolaya, Parung, Ciawi, Caringin, Cigudeg, Parung Panjang, Jasinga, Leuwiliang, Cibungbulang, Pamijahan, Citereup, Jonggol, Cariu dan Tanjungsari. Kapasitas produksi pengolahan pindang ikan di Kabupaten Bogor berbeda-beda, mulai dari 40 kg/hari sampai 2.000 kg/hari, (Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Bogor, 2012)

Diduga pengembangan pindang ikan di Kabupaten Bogor belum optimal karena keterbatasan modal, sarana produksi, pengetahun tentang sanitasi dan higienis, teknik pengemasan, manajemen dan pemasaran. Padahal sebagai penyangga kota Jakarta peningkatan jumlah penduduk dan perekonomian masyarakat yang semakin meningkat setiap tahunnya, merupakan kondisi yang menguntungkan bagi industri pengolahan pindang. Oleh karena itu diperlukan analisis kelayakan dan strategi pengembangan usaha yang tepat, agar menjadi industri pengolahan pindang yang maju, mandiri dan berkelanjutan.

Tujuan Penelitian ini : (1). Mengkaji profil unit pengolahan pindang ikan skala mikro, kecil dan menengah; (2). Mengkaji sistem produksi unit pengolahan pindang ikan skala mikro, kecil dan menengah; (3). Mengevaluasi kelayakan usaha unit pengolahan pindang ikan skala mikro, kecil dan menengah; (4). Menyusun strategi yang sesuai untuk pengembangan usaha pengolahan pindang ikan skala mikro, kecil dan menengah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan sekunder yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber bahan bacaan yang mendukung penelitian. Contoh UMKM pemindangan ikan diambil dengan menggunakan metode purposive sampling dengan maksud, atau tujuan tertentu, melalui dua tahapan yaitu quota sampling dan judgement sampling.Quota sampling merupakan proses pengelompokan (stratifikasi) sampel secara proposional, namun tidak dipilih secara acak, setelah itu dilakukan

judgement sampling untuk menentukan sampel terbaik untuk dijadikan contoh dalam penelitian, yang memiliki informasi yang diperlukan dalam penelitian.

Berdasarkan analisis keuangan, melalui analisis Payback Periode (PBP), Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), dan Net Benefit/Cost (B/C) Rasio,

(5)
(6)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh Karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

ANALISIS KELAYAKAN DAN STRATEGI

PENGEMBANGAN USAHA PENGOLAHAN PINDANG IKAN

SKALA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

DI KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT

WINARTO

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Industri Kecil Menengah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Judul Tugas Akhir : Analisis Kelayakan dan Strategi Pengembangan Usaha Pengolahan Pindang Ikan Skala Mikro, Kecil dan Menengah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat

Nama Mahasiswa : Winarto

Nomor Pokok : P054110245

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA Ketua

Prof. Dr. Ir. Komar Sumantadinata, M.Sc Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Industri Kecil dan Menengah

Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(9)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah, SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul ‘Analisis Kelayakan dan Strategi Pengembangan Usaha Pengolahan Pindang Ikan Skala Mikro, Kecil dan Menengah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat’ yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Pengembangan Industri Kecil Menengah (PS MPI), Sekolah Pascasarjana (SPs), Institut Pertanian Bogor (IPB).

Banyak pihak yang telah mendukung dalam penyelesaian tugas akhir ini, maka penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Prof.Dr.Ir.H. Musa Hubeis,MS,Dipl.Ing,DEA selaku Ketua Komisi

Pembimbing atas motivasi, bimbingan dan arahannya dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

2. Prof.Dr.Ir. Komar Sumantadinata,M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan dan perhatiannya.

3. Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan dan saran untuk kesempurnaan tugas akhir ini.

4. Teman-teman MPI angkatan 15 atas kekompakan, semangat dan dukungannya sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan.

5. Seluruh karyawan dan staf PS MPI yang telah banyak membantu dan memberikan dorongan untuk penyelesaian tugas akhir ini.

6. Seluruh pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan tugas akhir, baik secara langsung, maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu-satu.

Penulis berharap bahwa Tugas Akhir ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan, khususnya bagi pengembangan pengolahan pindang ikan di Kabupaten Bogor.

(10)

RIWAYATHIDUP

Penulis dilahirkan di Trenggalek Jawa Timur pada tanggal 12 November 1979 sebagai anak pertama dari 4 bersaudara pasangan Bapak Katimin dan Ibu Watilah. Pada tahun 2007 penulis menikah dengan Ika Yusnita dan pada tahun 2008 dikaruniai seorang putra yang bernama Reno Arfa Aqila.

Penulis diterima sekolah kedinasan di Akademi Perikanan Sidoarjo pada tahun 1998 dengan Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Tahun 2008 penulis melanjutkan studi di Universitas Djuanda dengan Jurusan Teknologi Budidaya dan Bisnis Perikanan.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ...xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Permasalahan ... 4

1.3. Tujuan... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah... 5

2.2. Industri Perikanan ... 9

2.3. Ikan Pindang ... 11

2.4. Mutu dan Keamanan Pangan Produk Perikanan ... 12

2.5. Sistem Jaminan Mutu Produk Perikanan ... 13

2.6. Analisis Kelayakan Usaha ... 19

2.7. Manajemen Strategik... 20

2.8. Konsep Keunggulan Daya Saing ...22

2.9. Pengambilan Keputusan Strategik dalam Mengembangkan Usaha ... 23

III. METODE KAJIAN ... 29

3.1. Kerangka Pemikiran Kajian ... 29

3.2. Lokasi dan Waktu... 30

3.3. Metode Kerja ... 30

3.4. Aspek Kajian ... 38 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39

4.1. Gambaran Umum Kabupaten Bogor ... 39

4.2. Profil Usaha Pengolahan Pindang Ikan ... 42

4.3. Sistem Produksi Unit Pengolahan Pindan Ikan ... 45

4.4. Kelayakan Pengembangan Usaha Pengolahan Pindang Ikan ... 55

4.5. Analisis Sensitivitas ... 64 4.6. Strategi Pengembangan Usaha Pengolahan Pindang Ikan ... 66

4.7. Implikasi Managerial... 84

KESIMPULAN DAN SARAN ... 87

1. Kesimpulan... 87

(12)
(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah menurut UU RI No.8/2008 ... 6

2. Kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah menurut BPS ... 6

3. Keuntungan penggunaan metode AHP ... 26

4. Penetapan prioritas unsur dengan perbandingan berpasangan ... 36

5. Jumlah pelaku usaha pengolahan pindang ikan di Kabupaten Bogor, 2009–2011 ...43

6. Penyebaran usaha pengolahan pindang ikan di Kabupaten Bogor, berdasarkan wilayah Kecamatan ... 44

7. Investasi awal untuk pengolahan pindang ikan skala mikro...58

8. Biaya variabel untuk pengolahan pindang ikan skala mikro ...59

9. Biaya investasi untuk unit pengolahan pindang ikan skala kecil ...61

10. Biaya investasi untuk unit pengolahan pindang ikan skala menengah ...63

11. Matrik EFE ...73

12. Matrik IFE ...75

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Peta sebaran industri pengolahan ikan ... 11

2. Model manajemen strategik ...21

3. Kerangka pemikiran kajian ... 29

4. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor berdasarkan sensus penduduk 2010 .... 40

5. Konsumsi ikan di Kabupaten Bogor dan rataan nasional 2009 -2011 ...42

6. Jumlah pelaku usaha pengolahan pindang ikan berdasarkan skala usahanya 43 7. Pindang Badeng di Kabupaten Bogor ... 49

8. Alur proses pembuatan pindang Badeng...50

9. Alur proses pembuatan pindang Besek ... 53

10. Produk olahan pindang besek/naya ... 54

11. Matriks IE ...76

12. Analisis prioritas faktor terhadap tujuan ...81

13. Analisis prioritas subfaktor terhadap faktor kekuatan ...82

14. Analisis prioritas subfaktor terhadap faktor kelemahan ... 82

15. Analisis prioritas subfaktor terhadap faktor peluang ... 83

16. Analisis prioritas subfaktor terhadap faktor ancaman ...83

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Analisis keuangan usaha pengolahan pindang ikan skala mikro ... 95

2. Analisis keuangan usaha pengolahan pindang ikan skala mikro kecil ... 98

3. Analisis keuangan usaha pengolahan pindang ikan skala menengah... 101

4. Analisis sensitivitas ... 104

5. Ketersediaan bahan baku pindang ikan, menurut jenis ikan, 2009 - 2011 ...105

6. Struktur hirarki strategi pengembangan usaha pengolahan pindang ikan ....106

7. Data pengolah ikan pindang di Kabupaten Bogor ...107

8. Data produksi perikanan (bahan baku pindang) menurut pelabuhan perikanan, 2011 ...110

9. Perhitungan bobot faktor strategik internal ...117

10. Perhitungan bobot faktor strategik eksternal...120

11. Rekapitulasi bobot faktor strategik internal eksternal ...123

12. Rekapitulasi rating faktor strategik internal eksternal...124

(16)

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Peranan perikanan dalam pembangunan ekonomi cukup besar, baik sebagai penghasil bahan pangan sumber protein maupun sebagai penghasil devisa negara. Kebutuhan komoditi perikanan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan kesejahteraan dan peningkatan kesadaran masyarakat akan arti penting nilai gizi produk perikanan bagi kesehatan dan perkembangan otak. Para ahli gizi merekomendasikan bahwa konsumsi ikan sebaiknya bisa mencapai 25,55 kg/kapita/tahun (Dahuri, 2002). Tingkat konsumsi ikan penduduk Indonesia mengalami peningkatan dari 21,78 kg/kapita/tahun (2001) menjadi 30,48 kg/kapita/tahun (2010). Tahun 2011 konsumsi ikan perkapita penduduk Indonesia mencapai 31,64 kg/kapita (PUSDATIN KKP, 2012). Tingkat konsumsi ikan di Kabupaten Bogor juga mengalami peningkatan dari 19,36 kg/kapita/tahun (2009) menjadi 22,15 kg/kapita/tahun (2011), walaupun masih dibawah rata-rata tingkat konsumsi ikan nasional.

(17)

penting bagi tubuh, terutama anak dan remaja di masa pertumbuhan. Vitamin dan mineral juga banyak terdapat di dalam daging ikan. Golongan vitamin yang banyak terkandung di dalam ikan adalah golongan vitamin yang larut di dalam lemak seperti vitamin A dan D. Sedangkan mineral yang dominan adalah fosfor, besi, kalsium, selenium dan iodium.

Potensi hasil laut Indonesia, khususnya perikanan cukup besar, diperkirakan mencapai 6,7 juta ton per tahun terdiri dari 4,4 juta ton di perairan nusantara dan 2,3 juta ton di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) (PUSDATIN KKP, 2012). Untuk memberikan nilai tambah terhadap hasil perikanan, mengingat ikan mudah membusuk, maka perlu dibuat alternatif pengolahan atau pengawetan guna memperpanjang masa simpan dan distribusinya. Dengan demikian perlu penanganan yang cepat, tepat dan benar untuk menjaga mutunya sebelum dipasarkan dan sampai ke tangan konsumen. Selain itu, dari segi ekonomi akan memberikan nilai tambah (value added) terhadap harga jual produk. Hal ini diperlukan saat-saat musim ikan, dimana musim panen ikan sangat murah, tetapi permintaan konsumen cenderung stabil/tidak meningkat, sehingga ikan tidak habis dipasarkan dalam keadaan segar, maka masyarakat nelayan mengupayakan penyimpanan dalam cold storage, atau dengan usaha pengolahan dan pengawetan ikan dengan berbagai cara perlakuan, yaitu pengeringan/pengasinan, pemindangan dan pengasapan.

(18)

Perkembangan industri kecil menengah (IKM) pindang ikan memiliki potensi besar dalam meningkatkan taraf hidup orang banyak, terutama para nelayan. Hal ini telah ditunjukkan oleh banyaknya IKM pindang ikan yang secara nasional mencapai 65.766 kepala keluarga (KK) dengan kapasitas 82.207 ton/bulan, untuk wilayah Jawa Barat jumlah IKM pemindangan ikan 24.108 KK dengan kapasitas 30.135 ton/bulan (APPIKANDO, 2012).

Kabupaten Bogor memiliki UMKM pemindangan ikan sebanyak 43 KK, dengan jumlah produksi 3.677,16 ton/tahun, tersebar di 16 Kecamatan, yaitu Cibinong, Ciampea, Tenjolaya, Parung, Ciawi, Caringin, Cigudeg, Parung Panjang, Jasinga, Leuwiliang, Cibungbulang, Pamijahan, Citereup, Jonggol, Cariu dan Tanjungsari. Industri pengolahan pindang ikan di Kabupaten Bogor memiliki jumlah produksi yang berbeda-beda mulai dari 40 kg/hari sampai 2.000 kg/hari. Jenis ikan yang digunakan untuk pindang di Kabupaten Bogor meliputi : ikan Cakalang, Baby tuna, Semar, Salem, Layang, Bandeng, Cucut, Lemuru, Tembang, Cendro, Deho, Como, Selar, Bentrong dan Mas (DPP Kabupaten Bogor, 2011)

(19)

mengkonsumsi ikan pindang. Oleh karena itu diperlukan analisis kelayakan dan strategi pengembangan usaha yang tepat, agar menjadi industri pengolahan pindang yang maju, mandiri dan berkelanjutan.

1.2Perumusan Masalah

1. Bagaimana profil Unit Pengolahan Pindang Ikan Skala Mikro, Kecil dan Menengah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat ?

2. Bagaimana sistem produksi diimplementasikan pada Unit Pengolahan Pindang Ikan Skala Mikro, Kecil dan Menengah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat ?

3. Bagaimana kelayakan usaha Unit Pengolahan Pindang Ikan Skala Mikro, Kecil dan Menengah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat ?

4. Bagaimana strategi pengembangan usaha Unit Pengolahan Pindang Ikan Skala Mikro, Kecil dan Menengah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat ?

1.3Tujuan

1. Mengkaji profil Unit Pengolahan Pindang Ikan Skala Mikro, Kecil dan Menengah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

2. Mengkaji sistem produksi pada Unit Pengolahan Pindang Ikan Skala Mikro, Kecil dan Menengah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

3. Mengevaluasi kelayakan usaha Unit Pengolahan Pindang Ikan Skala Mikro, Kecil dan Menengah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

4. Menyusun strategi yang sesuai untuk pengembangan usaha Unit Pengolahan Pindang Ikan Skala Mikro, Kecil dan Menengah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

(20)

2.1 Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

Karakteristik usaha kecil dilihat dari sistem manajemennya, pada umumnya dikelola oleh pemiliknya langsung sehingga lebih fleksibel dalam mengembangkan ide produk. Dari proses produksi usaha kecil memiliki proses yang sederhana dan menggunakan tenaga kerja dengan tingkat pendidikan tidak terlalu tinggi, sehingga biaya operasional dapat ditekan. Namun demikian usaha kecil memiliki beberapa kekurangan dalam hal keterbatasan manajerial, jaringan dan fenonema utama adalah kesulitan dalam hal akses permodalan.

Di Indonesia, terdapat berbagai definisi mengenai Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), diantaranya sebagai berikut :

1. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 20, 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) :

a. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang –Undang.

b. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan, atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang.

(21)

Tabel 1. Kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah menurut UU

2. Menurut Badan Pusat Statistik, UMKM didefinisikan berdasarkan jumlah tenaga kerja seperti dimuat pada Tabel 2.

Menurut Hubeis (2009), UKM didefinisikan dengan berbagai cara yang berbeda tergantung pada negara dan aspek-aspek lainnya (misalnya spesifikasi teknologi). Oleh karena itu perlu dilakukan tinjauan khusus terhadap definisi-definisi tersebut agar diperoleh pengertian yang sesuai tentang UKM, yaitu menganut ukuran kuantitatif yang sesuai dengan kemajuan ekonomi.

Menurut Nikijuluw (2012), ada beberapa sifat yang biasanya dimiliki oleh UKM, dilihat dari beberapa dimensi yaitu:

1. Modal : kecil, sulit, keluarga, terbatas akses perbankan, rentenir, kredit pemerintah, program pemerintah, dan lain-lain.

2. Skill : rendah, terbatas, kurang pendidikan, kurang pelatihan, kurang pengalaman dan kurang jaringan.

3. Akses Sumber Daya Alam : sangat terbatas, hanya pada daerahnya saja. 4. Produk : tidak standar, musiman, rendah mutu, shell-life terbatas, jangkauan

pasar rendah, tidak ada guarantee.

(22)

6. Akumulasi Modal: rendah, atau bahkan tidak ada.

Menurut Pramiyanti (2008), kendati terdapat beberapa definisi mengenai UKM, namun usaha kecil mempunyai karakteristik hampir seragam, yaitu :

1. Tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi. Kebanyakan industria kecil dikelola oleh perorangan yang merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan, serta memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekat.

2. Rendahnya akses industri kecil terhadap lembaga-lembaga kredit formal, sehingga cenderung mengantungkan pembiayaan dari modal sendiri, atau dari sumber sumber lain seperti keluarga, kerabat, pedagang perantara bahkan rentenir.

3. Sebagian usaha kecil ditandai belum memiliki status badan hukum.

4. Dilihat menurut golongan industri tampak bahwa hampir sepertiga bagian dari seluruh industri kecil bergerak pada kelompok usaha industri makanan, minuman, diikuti kelompok industri tekstil dan kayu.

Hubeis (1997) menyatakan bahwa UMKM mempunyai kelebihan dan kekurangan :

a. Kelebihan

1. Organisasi internal sederhana terutama pada usaha mikro kecil (UMK) dan pada usaha menengah cukup terstruktur.

2. Mampu meningkatkan ekonomi kerakyatan/padat karya dan berpeluang untuk mengisi pasar ekspor dan mensubstitusi impor.

3. Relatif aman bagi perbankan dalam pemberian kredit. 4. Bergerak di bidang usaha yang cepat menghasilkan. 5. Mampu memperpendek rantai distribusi.

6. Fleksibilitas dalam pengembangan usaha. b. Kekurangan

1. Lemah dalam kewirausahaan dan manajerial. 2. Keterbatasan ketersediaan keuangan.

(23)

4. Keterbatasan pengetahuan produksi dan teknologi. 5. Ketidakmampuan informasi.

6. Tidak didukung kebijakan dan regulasi memadai. 7. Tidak terorganisir dalam jaringan dan kerjasama. 8. Sering tidak memenuhi standar.

Menurut Nikijuluw (2007), anatomi usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan dapat dilihat dari kinerja produksi produk hasil perikanan dan kelautan serta penggabungan skala usaha mengingat terdapat beberapa persepsi dalam pengelompokan usaha. Usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat), yaitu :

1. Kelompok Usaha skala mikro adalah kelompok usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan yang setidaknya memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 tetapi kekayaan itu tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usahanya.

2. Kelompok Usaha skala kecil adalah kelompok usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan yang memiliki kekayaan bersih mulai Rp50.000.000,00 sampai Rp200.000.000,00 tetapi kekayaan itu tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usahanya.

3. Kelompok Usaha skala menengah adalah kelompok usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan yang memiliki kekayaan bersih mulai Rp200.000.000,00 sampai Rp 10 miliar, tetapi kekayaan itu tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usahanya.

4. Kelompok Usaha skala besar adalah kelompok usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan yang memiliki kekayaan bersih di atas Rp10 Miliar, tetapi kekayaan itu tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usahanya.

(24)

koperasi dalam peningkatan produktivitas, efisiensi dan daya saing; (3) menghasilkan produk bermutu dan berorientasi pasar (domestik maupun ekspor); (4) berbasis bahan baku domestik; (5) substitusi impor, serta (6) agribisnis dan agroindustri (Syaukat, 2002).

Menurut Haryadi (1998), ada lima (5) aspek yang berkaitan erat dengan perkembangan usaha kecil, yaitu aspek pemasaran, produksi, ketenagakerjaan, kewirausahaan dan akses kepada pelayanan. Dalam aspek pemasaran, tujuan dan orientasi pasar penting bagi perkembangan suatu usaha, karena akan menentukan pilihan-pilihan strategi adaptasi yang akan diambil dalam mengatasi kendala-kendala yang akan dihadapi, khususnya yang berkaitan dengan struktur pasar bahan baku produk.

Peran pemerintah sangat diharapkan dalam meningkatkan stabilitas kinerja UKM di Indonesia. Pemerintah telah membangun gedung pusat promosi KUKM yang diberi nama SMEsCO (Small Medium Enterprise Company) Promotion Center atau gedung SPC sejak tahun 2004 dalam rangka mengembangkan dan memudahkan kegiatan promosi produk KUKM di tingkat nasional maupun internasional.

2.2 Industri Perikanan

Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari pra produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan (UU Perikanan No. 45 Tahun 2009). Industri Perikanan merupakan industri yang menggunakan ikan sebagai bahan baku untuk diolah melalui transformasi dan pengawetan dengan cara melakukan proses perubahan fisik, atau kimiawi, penyimpanan, pengemasan dan distribusi untuk menghasilkan produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi.

(25)

kegiatan enzim (autolisa), yaitu proses penguraian jaringan yang berjalan dengan sendirinya setelah ikan mati, yang semakin cepat bila suhu meningkat dan mencapai puncaknya pada suhu 37oC (Moeljanto, 1992). Pengolahan ikan diawali dengan cara tradisional menggunakan sinar matahari, yang berfungsi untuk meningkatkan daya simpan dengan jalan mengurangi kadar air (KA). Namun, selama ini ikan tradisional masih mempunyai citra buruk di mata konsumen, karena rendahnya mutu dan nilai nutrisi, tidak konsistennya nilai fungsional, serta tidak adanya jaminan mutu dan keamanan bagi konsumen (Heruwati, 2002). Terdapat beberapa cara pengolahan lain, yaitu pendinginan, pembekuan, pengasapan, penggaraman, pemindangan dan peragian ikan (Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, 2000).

Komoditas perikanan diolah menjadi produk perikanan (produk akhir) yang dapat dikelompokkan menurut proses penanganan dan/atau pengolahan (DITJEN P2HP DKP, 2006) berikut :

1. Produk hidup.

2. Produk segar (fresh product) melalui proses peng-esan/pendinginan.

3. Produk beku (frozen product) baik mentah (raw), atau masak (cooked) melalui proses pembekuan.

4. Produk kaleng (canned product) melaui proses pemanasan dengan suhu tinggi (sterilisasi) dan pasteurisasi.

5. Produk kering (dried product) melalui proses pengeringan alami, atau mekanis.

6. Produk asin kering (dried salted product) melaui proses penggaraman dan pengeringan alami, atau mekanis.

7. Produk asap (smoked product) melalui proses pengasapan.

8. Produk fermentasi (fermented product) melalui proses permentasi. 9. Produk masak (cooked product) melalui proses pemasakan.

(26)

Komoditas perikanan laut yang dapat dihasilkan di hampir seluruh wilayah Indonesia menyebabkan sentra produksi perikanan, maupun agroindustri ikan tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia.

PETA SEBARAN INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN

JUMLAH UPI : 505

UE : 176 AS : 412 RUSIA : 113 KANADA : 76 KOREA SELATAN : 412 VIETNAM : 76

CHINA : 220

Sumber: Nikijuluw, 2012

Gambar 1. Peta sebaran industri pengolahan ikan

2.3 Ikan Pindang

Dalam proses pengolahannya secara umum, ikan Pindang dibedakan menjadi dua (2) yaitu pindang air garam dan pindang garam. Pindang air garam adalah suatu produk olahan perikanan dengan bahan baku ikan segar yang mengalami perlakuan seperti penerimaan, penyiangan, pencucian, perendaman dalam larutan garam, penyusunan, perebusan dan penyiraman/tanpa penyiraman (BSN, 2009). Sedangkan pindang garam adalah suatu produk olahan perikanan dengan bahan baku ikan segar yang mengalami perlakuan seperti penerimaan, penyiangan, pencucian, penyusunan dan pengaraman, perebusan I, perebusan II dan pendinginan (BSN, 2009).

(27)

2 – 4 hari (Moedjiharto, 2002). Bahan yang sering digunakan dalam pemindangan adalah Ikan layang (Decapterus. spp) (Purnomo, 2002), yang memiliki kandungan gizi cukup tinggi yaitu jumlah protein 27%, lemak 3%, energi 176 kalori, air 60%, mineral 0,26%, serta vitamin B 0,07 mg (Heruwati, 2002).

Sebagian besar pindang diproduksi di pulau Jawa dengan bahan baku ikan Layang, Lisong, Kembung, Tongkol, Tongkol Como, Banyar, dan Slengseng. Pada tahun 2010 jumlah pemindang nasional 65.766 KK. Sentra produksi pindang di pulau Jawa terutama terdapat di Sukabumi, Bogor, Karawang, Kendal, Rembang, Pati, dan Trenggalek. Proses pengolahan pindang belum memenuhi jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan; kemasan masih sederhana; daya saing memasuki pasar retail modern dan ekspor rendah; serta dukungan permodalan masih rendah. Masalah utama yang dihadapi industri pemindangan saat ini adalah bahan baku tidak tersedia sepanjang tahun, sehingga tingkat utilitas

pemindang rata-rata hanya 50% (DITJEN P2HP KKP, 2012)

2.4 Mutu dan Keamanan Pangan Produk Perikanan

Berkaitan dengan produk perikanan sebagai produk pangan, maka jaminan mutu dan keamanan pangan produk perikanan sangat penting. Mutu dan keamanan produk perikanan ditentukan mulai dari kondisi mutu ikan segar sebagai bahan baku utama. Kesegaran ikan dalam karakteristik organoleptiknya merupakan faktor penting dalam penilaian mutu ikan.

(28)

menghasilkan bau dan rasa tengik, serta perubahan warna menjadi coklat kusam. Aktivitas beragam mikroorganisme yang terdapat pada ikan dapat menghasilkan beragam senyawa hasil penguraian protein dan lemak seperti amonia, gas hidrogen belerang (H2S), beragam jenis asam, dan senyawa lain yang berbau busuk dan

tengik (Ilyas, 1993).

Penanggulangan beragam masalah yang menurunkan mutu ikan dan bahaya keamanan pangan terkait dengan aktivitas penanganan ikan, dimulai dari kegiatan penangkapan ikan hingga konsumen akhir. Berdasarkan hal tersebut, maka jaminan mutu terhadap produk agroindustri ikan yang baik perlu dilakukan melalui penerapan sistem jaminan mutu yang memadai secara efektif mulai dari ikan ditangkap, proses pengolahan di pabrik sampai ke tangan konsumen. Sistem mutu pada agroindustri ikan meliputi Good Manufacturing Practices (GMP),

Standard Sanitation Operational Procedure (SSOP) dan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) (Palacios, 2001).

2.5 Sistem Jaminan Mutu Produk Perikanan

2.5.1 Penanganan yang Baik

(29)

2.5.2 Cara Berproduksi yang Baik

Cara berproduksi yang baik (Good Manufacturing Practices atau GMP) terdiri dari berbagai macam persyaratan yang secara umum, meliputi persyaratan mutu dan keamanan bahan baku/bahan pembantu, persyaratan penanganan bahan baku/bahan pembantu, persyaratan pengolahan, persyaratan pengemasan produk, persyaratan penyimpanan produk dan persyaratan distribusi produk. Persyaratan-persyaratan tersebut dapat dijabarkan lebih spesifik lagi sesuai dengan jenis produk yang diolah.

2.5.3 Prosedur Standar Penerapan Sanitasi

Prosedur standar penerapan sanitasi (Sanitation Standar Operating Procedure atau SSOP) merupakan langkah terdokumentasi yang secara spesifik mendeskripsikan prosedur sanitasi tertentu untuk menjamin terpenuhinya kebersihan di suatu tempat pengolahan pangan. Prosedur kebersihan tersebut harus cukup detil untuk menjamin bahwa pencemaran produk tidak akan terjadi. Dokumentasi dan peninjauan penerapan SSOP diperlukan dalam rencana HACCP secara periodik. SSOP secara umum harus meliputi :

a. Keamanan air.

b. Kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan pangan. c. Pencegahan kontaminasi silang.

d. Menjaga tempat cuci tangan, sanitasi, dan fasilitas toilet.

e. Proteksi pangan dan bahan baku dari pencemaran dan kerusakan. f. Pelabelan yang sesuai.

g. Pengendalian kondisi kesehatan pekerja. h. Proteksi dari gangguan hewan.

(30)

untuk dijaga, agar dapat tercegah dari kontaminasi bahaya pangan. Permukaan alat yang mengalami kontak langsung dengan pangan, harus dibersihkan secara teratur untuk mencegah perkembangbiakan mikroorganisme dan pembentukan biofilm. Komponen zat pembersih, maupun alat kebersihan dan sanitasi harus disimpan jauh dari pangan (pada tempat terpisah). Suatu sistem sanitasi yang efektif akan memerlukan beragam prosedur pembersihan yang meliputi pengukuran efektif untuk pengendalian penyakit dan pasokan air yang memadai. Kondisi drainase yang baik juga diperlukan untuk membuang air limbah

penanganan pangan. Pengendalian sanitasi tambahan meliputi perawatan sanitasi fasilitas toilet, penyediaan tempat cuci tangan dan penyediaan

tempat pembuangan limbah pada lokasi yang tepat (Tajkarimi, 2007)

2.5.4 Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis

Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis Critical Control Point, atau HACCP) adalah suatu sistem yang digunakan untuk mengidentifikasi bahaya dan menetapkan tindakan pengendaliannya yang memfokuskan pada pencegahan daripada mengandalkan sebagian besar pengujian mutu produk akhir. HACCP dapat diterapkan pada seluruh rantai pangan dari produk primer sampai pada konsumsi akhir dan penerapannya harus dipedomani dengan bukti secara ilmiah terhadap risiko kesehatan manusia. Penerapan sistem HACCP dilakukan berdasarkan 12 langkah terurut. Dari 12 langkah tersebut terdapat tujuh prinsip dasar HACCP. Penerapan sistem HACCP berdasarkan SNI 01-4852-1998 tentang Sistem Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP) serta Pedoman Penerapannya (BSN, 1998) adalah :

a. Pembentukan tim HACCP

(31)

pembentukan sebuah tim dari berbagai disiplin ilmu. Apabila beberapa keahlian tidak tersedia, diperlukan konsultan dari pihak luar. Lingkup tersebut harus menggambarkan segmen-segmen mana dari rantai pangan tersebut yang terlibat dan penjenjangan secara umum bahaya-bahaya yang dimaksudkan (semua jenjang bahaya-bahaya, atau hanya jenjang tertentu).

b. Deskripsi produk

Deskripsi yang lengkap mengenai produk, atau kelompok produk diperlukan sebagai gambaran bagi tim HACCP dan sangat diperlukan dalam membantu menetapkan tujuan keamanan pangan dan analisis bahayanya.

c. Identifikasi rencana penggunaan

Rencana penggunaan harus didasarkan pada kegunaan-kegunaan yang diharapkan dari produk oleh pengguna produk, atau konsumen. Dalam hal-hal tertentu, kelompok-kelompok populasi konsumen yang rentan dalam menerima pangan dari institusi, maka perlu dipertimbangkan.

d. Penyusunan bagan alir

Diagram alir yang dibuat harus memuat segala tahapan dalam operasional produksi. Bila HACCP diterapkan pada suatu operasi tertentu, maka harus dipertimbangkan tahapan sebelum dan sesudah operasi tersebut.

e. Konfirmasi Bagan Alir di Lapangan

(32)

f. Melaksanakan analisis bahaya (Prinsip 1)

Identifikasi bahaya akan menyoroti bahaya keamanan pangan yang diperkirakan berasosiasi dengan produk, atau proses. Identifikasi bahaya memerlukan suatu pemahaman terhadap bahan baku, proses, spesifikasi produk, peralatan pengolahan, lingkungan pengolahan dan kegiatan operator di dalam suatu proses.

g. Menentukan Titik Kendali Kritis (Prinsip 2)

Titik kendali kritis (TKK) dapat berupa poin, langkah, atau prosedur dimana kendali dapat diterapkan dan penting untuk mencegah, atau menghilangkan bahaya keamanan pangan atau mengurangi hingga batas tertentu, sesuai dengan :

1) Tujuan keamanan pangan untuk produk. 2) Level bahaya yang terjadi.

3) Frekuensi seringnya bahaya terjadi.

4) Transfer atau redistribusi timbulnya bahaya. 5) Kondisi efek bahaya pada pelanggan.

h. Menetapkan batas kritis (Prinsip 3)

Batas kritis merupakan kriteria yang memisahkan pengamatan, atau pengukuran yang dapat dan tidak dapat diterima. Batas kritis harus jelas didefinisikan dan dapat diukur. Batas kritis harus spesifik untuk setiap TKK sebagaimana batas kritis mendefinisikan aktivitas dan operasi yang dapat diterima untuk mengendalikan bahaya.

i. Menetapkan sistem untuk memantau pengendalian TKK (Prinsip 4)

(33)

Dimana mungkin, penyesuaian proses harus dilaksanakan pada saat hasil pemantauan menunjukkan kecenderungan kearah kehilangan kendali pada suatu TKK.

j. Menetapkan tindakan perbaikan untuk dilakukan jika hasil pemantauan menunjukkan bahwa suatu titik kendali kritis tertentu tidak dalam kendali (Prinsip 5).

Tindakan-tindakan perbaikan harus memastikan bahwa TKK telah berada dibawah kendali. Tindakan-tindakan harus mencakup disposisi tepat dan produk yang terpengaruh. Penyimpangan dan prosedur disposisi produk harus didokumentasikan dalam catatan HACCP.

k. Menetapkan prosedur verifikasi untuk memastikan bahwa sistem HACCP bekerja secara efektif (Prinsip 6)

Metoda audit dan verifikasi, prosedur dan pengujian, termasuk pengambilan contoh secara acak dan analisis, dapat dipergunakan untuk menentukan apakah sistem HACCP bekerja secara benar. Frekuensi verifikasi harus cukup untuk mengkonfirmasikan bahwa sistem HACCP bekerja secara efektif. Contoh kegiatan verifikasi mencakup peninjauan kembali sistem HACCP dan catatannya; meninjau kembali penyimpangan dan disposisi produk; mengkonfirmasi apakah TKK berada dalam kendali.

(34)

2.6 Analisis Kelayakan Usaha

Studi kelayakan usaha adalah suatu penelitian tentang layak tidaknya suatu usaha dilaksanakan, yaitu prakiraan bahwa proyek dapat, atau tidak dapat menghasilkan keuntungan yang layak (Umar, 2003). Dari sisi keuangan, proyek dikatakan sehat, apabila dapat memberikan keuntungan yang layak dan mampu memenuhi kewajiban finansialnya. Tujuan dari analisis aspek finansial adalah untuk membandingkan pengeluaran dengan pendapatan, seperti ketersediaan dana, kemampuan proyek untuk dapat membayar kembali dana tersebut dalam waktu yang telah ditentukan, dan menilai apakah proyek akan dapat berkembang terus (Umar, 2003). Hal-hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan perhitungan aliran kas (cash flow). Pada umumnya ada empat (4) metode yang biasa digunakan dalam penilaian aliran kas dari suatu investasi, yaitu metode payback period (PBP), net present value (NPV), internal rate of return (IRR) dan

profitability index (PI).

PBP adalah metode untuk mencoba mengukur seberapa cepat investasi dapat kembali. Karena itu, satuan hasilnya bukan persentase, tetapi satuan waktu. Kalau nilai PBP lebih pendek dari yang disyaratkan, maka proyek dikatakan menguntungkan, namun apabila lebih lama proyek ditolak (Rangkuti, 2008). NPV dapat diartikan sebagai nilai sekarang dari arus pendapatan yang ditimbulkan oleh investasi. IRR adalah nilai discount rate yang membuat NPV dari suatu proyek sama dengan nol. IRR adalah tingkat rataan keuntungan intern tahunan bagi perusahaan yang melakukan investasi dan dinyatakan dalam satuan persen (Gittinger, 1996). PI atau Benefit Cost Ratio (B/C Ratio) adalah perbandingan antara nilai sekarang dari penerimaan-penerimaan kas bersih di masa mendatang dengan nilai sekarang dari investasi (Umar, 2003).

(35)

mengukur sampai seberapa jauh perusahaan dibiayai oleh pihak luar; (3) rasio aktivitas (activity ratio), tujuan rasio ini adalah untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam mengelola sumber dana perusahaan dan (4) rasio keuntungan (profitability ratio), tujuan rasio ini adalah untuk mengukur efektivitas keseluruhan manajemen yang dapat dilihat dari keuntungan yang dihasilkan (Rangkuti, 2008).

2.7 Manajemen Strategik

Manajemen Strategik merupakan proses obyektif, rasional dan sistematik yang melibatkan fase perumusan dan implementasi rencana, strategi dan keputusan yang diperlukan untuk meraih tujuan yang efektif dan efisien dari suatu organisasi dan mempertahankan keunggulan yang dimilikinya saat ini dan ke depan, baik untuk bertahan maupun mempengaruhi sistem dalam arti makro, meso dan mikro (Hubeis dan Najib, 2008). David (2008), mendefinisikan manajemen strategi sebagai ilmu tentang perumusan, pelaksanaan, dan evaluasi keputusan-keputusan lintas fungsi yang memungkinkan organisasi untuk mencapai tujuannya. Sementara Hutabarat dan Huseini (2006), mengemukakan manajemen strategik adalah pengelolaan organisasi yang menyangkut desain, formasi, transformasi serta implementasi dari strategi yang berlaku untuk kurun waktu tertentu.

(36)

Pengamatan Lingkungan

Formulasi Strategi Implementasi Strategi Evaluasi dan

Pengendalian

Eksternal

Lingkungan sosial

Lingkungan Tugas

Internal

Struktur Budaya Sumberdaya

Misi

Tujuan

Strategi

Kebijakan

Program

Anggaran

Prosedur Kinerja

1. Pengamatan Lingkungan

Pengamatan lingkungan merupakan proses awal dari manajemen strategi yang bertujuan menganalisa faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap lingkup organisasi.

Gambar 2. Model Manajemen Strategik (Wheelen dan Hunger, 2010)

2. Formulasi Strategi

(37)

SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat). Analisis tersebut akan menghasilkan strategi alternatif dan pemilihan strategi tertentu.

3. Implementasi Strategi

Implementasi strategi merupakan tahap dimana formulasi strategi dikembangkan secara logis ke dalam bentuk tindakan. Langkah terakhir, yaitu kegiatan evaluasi dan pengendalian yang dimaksudkan untuk menjamin bahwa semua kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi hendaknya didasarkan pada rencana yang telah disepakati sehingga tidak menyimpang dari batas-batas toleransi.

4. Evaluasi dan Pengendalian

Evaluasi dan pengendalian memiliki tiga tahap utama, yaitu (1) evaluasi faktor eksternal dan internal yang merupakan dasar bagi strategi saat ini, (2) mengukur performance, dan (3) mengoreksi kesalahan yang terjadi.

2.8 Konsep Keunggulan Daya Saing

(38)

2.9 Pengambilan Keputusan Strategik dalam Pengembangan Usaha

Perencanaan strategik (Renstra) merupakan proses analisis, perumusan dan evaluasi strategis yang bertujuan agar perusahaan dapat melihat secara obyektif kondisi-kondisi eksternal dan internal untuk mampu mengantisipasi perubahan yang terjadi. Renstra penting untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan keinginan konsumen dengan dukungan optimal dari sumber daya yang ada agar dapat meningkatkan daya saing (Rangkuti, 2008). Menurut Umar (2003), lingkungan perusahaan dapat dibagi menjadi lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Lingkungan internal terdiri atas peubah-peubah yang merupakan kekuatan dan kelemahan bagi perusahaan dan berada di bawah kontrol perusahaan. Lingkungan eksternal terdiri atas peubah-peubah yang merupakan peluang dan ancaman bagi perusahaan dan tidak dapat dikontrol perusahaan.

Teknik perumusan strategi yang digunakan dalam membantu menganalisa, mengevaluasi dan memilih strategi terdiri atas tiga tahap, yaitu (1) tahap mengumpulkan data (input stage); (2) tahap pencocokan (matching stage), berfokus pada strategi alternatif yang layak dengan memadukan faktor-faktor eksternal dan internal; (3) tahap keputusan (decision stage), tahap pemilihan strategi yang terbaik dari berbagai strategi alternatif yang ada untuk diimplementasikan (David, 2008).

Faktor eksternal yang dimiliki oleh suatu unit usaha meliputi peluang dan ancaman. Peluang dan ancaman merujuk pada peristiwa dan tren ekonomi, sosial, budaya, demografi, lingkungan, politik, hukum, pemerintahan, teknologi dan persaingan yang dapat menguntungkan atau merugikan suatu organisasi secara berarti di masa depan, sebagian besar di luar kendali suatu organisasi (David, 2008). Menurut Jauch dan Glueck (1999), analisis eksternal adalah suatu proses yang dilakukan oleh perencanaan strategik untuk memantau sektor lingkungan dalam menentukan peluang dan ancaman bagi perusahaan.

(39)

mengkaji pemasaran dan distribusi perusahaan, penelitian dan pengembangan, produksi dan operasi, sumber daya dan karyawan perusahaan serta faktor keuangan dan akuntansi untuk menentukan dimana letak kekuatan dan kelemahan perusahaan.

Analisis SWOT merupakan salah satu alat analisis yang dapat menggambarkan secara jelas keadaan yang dihadapi oleh perusahaan. Rangkuti (2008), menyatakan analisis SWOT adalah mengidentifikasi berbagai faktor yang secara sistematis untuk merumuskan strategi yang didasarkan pada logika untuk memaksimalkan kekuatan yang dimiliki dan peluang yang ada dan secara bersamaan mampu meminimalkan kelemahan dan ancaman yang timbul, baik yang berasal dari internal maupun eksternal perusahaan. Alat analisis untuk menyusun faktor-faktor strategis perusahaan dengan menggunakan matrik SWOT, dapat mengambarkan dengan jelas peluang dan ancaman dari luar yang dihadapi serta dapat menyesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki perusahaan. Matrik ini menghasilkan empat set alternatif strategik, yaitu strategi SO, strategi ST, strategi WO dan strategi WT.

Metode Analytic Hierarchy Process (AHP) merupakan salah satu metode yang sangat komprehensif dalam pengambilan keputusan. Metode ini dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan informasi dari berbagai keputusan secara rasional (judgement) agar dapat memilih alternatif yang paling disukai (Saaty, 1990). Metode ini dapat membantu memecahkan masalah kualitatif kompleks dengan memakai perhitungan kuantitatif, melalui proses pengekspresian masalah yang dimaksud dalam kerangka berpikir terorganisir, sehingga memungkinkan dilakukannya proses pengambilan keputusan secara efektif. Metode ini memiliki keunggulan tertentu, karena mampu membantu menyederhanakan persoalan kompleks menjadi persoalan terstruktur, sehingga mendorong dipercepatnya proses pengambilan keputusan terkait.

(40)

Keunggulan lain dari AHP, diantaranya menjelaskan proses pengambilan keputusan secara grafik, sehingga mudah dipahami oleh semua pihak yang terlibat dalam proses bersangkutan. Dengan memakai metoda AHP, proses keputusan yang bersifat kompleks dapat diuraikan menjadi sejumlah keputusan lebih kecil (terbatas), sehingga dapat ditangani dengan lebih mudah. Selain itu, dalam aplikasinya, metode ini juga menguji konsistensi berbagai penilaian, khususnya apabila terjadi penyimpangan penilaian yang terlalu jauh dari nilai konsistensi yang sempurna (Marimin, 2004).

Marimin (2004) menyatakan beberapa langkah yang dilakukan dalam metode AHP adalah :

1. Penyusunan Hirarki untuk menguraikan persoalan menjadi unsur-unsur, dalam wujud kriteria dan alternatif, yang disusun dalam bentuk hirarki.

2. Penyusunan kriteria untuk membuat keputusan yang dilengkapi dengan (1) uraian subkriteria dan (2) bentuk alternatif yang terkait masing-masing kriteria tersebut untuk dipilih sebagai keputusan tercantum pada tingkatan paling bawah.

3. Penilaian Kriteria dan Alternatif untuk melihat pengaruh strategik terhadap pencapaian sasaran, yang dinilai melalui perbandingan berpasangan. Nilai dan definisi pendapat kualitatif berdasarkan skala perbandingan Saaty (1990) adalah seperti termuat pada Tabel 6.

4. Penentuan Prioritas menggunakan teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) untuk setiap kriteria dan alternatif. Nilai-nilai perbandingan relatif tersebut diolah dengan menggunakan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif yang ada. Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk melihat konsistensi penilaian dengan menggunakan cara perhitungan CR (Consistency Ratio).

(41)
(42)

pindang ikan dan (2) melakukan analisis AHP. Menurut Budiharsono (2001) tahapan metode gabungan antara SWOT dan AHP adalah sebagai berikut :

1. Analisis SWOT dilakukan dengan cara mengdentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi dalam penyusunan kebijakan. Analisis SWOT didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman.

(43)

3.1 Kerangka Pemikiran Kajian

Usaha pengolahan pindang ikan dipengaruhi 2 (dua) faktor penting yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi aspek produksi, manajerial, SDM, pengelolaan keuangan dan lain-lain. Sedangkan faktor eksternal meliputi bahan baku (ikan), tingkat persaingan usaha, kondisi pasar, kebijakan pemerintah, kondisi sosial masyarakat sekitar dan lain-lain. Dari faktor internal dan eksternal dilakukan analisis kelayakan (aspek teknis produksi, ekonomi dan sosial) dan analisis strategi (SWOT dan AHP). Hasilnya merupakan rekomendasi untuk pengembangan usaha pengolahan pindang ikan skala mikro, kecil, dan menengah di Kabupten Bogor, Jawa Barat. Adapun kerangka berpikir secara sistematis dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Kerangka pemikiran kajian Usaha Pengolahan

Pindang Ikan

Layak Rekomendasi

Faktor Eksternal

1. Visi dan Misi 2. Pengelolaan Usaha 3. SDM

4. Sarana Produksi 5. Kualitas Produk

Analisis Kelayakan

(Teknis Produksi, Ekonomi dan Sosial) Analisis Strategi

(SWOT dan AHP) Faktor Internal

1. Ketersediaan Bahan Baku 2. Persaingan Usaha 3. Bunga Bank

(44)

3.2 Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di Kabupaten Bogor pada tanggal 1 Agustus sampai dengan 30 Desember 2012.

3.3 Metode Kerja

3.3.1 Tahapan Kajian

Survei lapangan dilakukan untuk menganalisis kinerja usaha pengolahan ikan pindang dan kebutuhan pasar. Hasil analisis kebutuhan pasar menjadi masukan dalam pengembangan usaha pengolahan ikan pindang, kemudian dilakukan analisis kelayakan pengembangan usaha. Apabila hasilnya layak, maka dilakukan penyusunan rencana pengembangan usaha yang akan didukung oleh strategi pengembangan usaha yang sesuai agar usaha dapat menguntungkan, berkembang dan berkelanjutan.

3.3.2 Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan sekunder yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber bahan bacaan yang mendukung penelitian. Berdasarkan pengertian tersebut, data primer dalam penelitian ini diperoleh dari pengamatan langsung di lokasi baik melalui wawancara dengan pendekatan pendapat pakar dan angket/kuesioner.

Data sekunder diperoleh dari instasi terkait, laporan-laporan berkala, atau tahunan unit usaha, jurnal dan berbagai literatur yang berhubungan dengan penelitian. Sumber pokok data sekunder akan diperoleh dari Pemda Kabupaten Bogor, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

(45)

proposional, namun tidak dipilih secara acak, setelah itu dilakukan

judgement sampling untuk menentukan contoh terbaik yang dijadikan contoh dalam penelitian, untuk memberikan informasi yang diperlukan.

3.3.3 Pengolahan dan Analisis Data

Data yang terkumpul diolah dan dianalisis dengan bantuan perangkat lunak. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis kelayakan usaha, analisis faktor internal dan eksternal, analisis SWOT dan AHP.

a. Analisis Kelayakan Usaha

Analisis kelayakan usaha dilakukan untuk melihat apakah usaha yang dijalankan layak, atau tidak. Kriteria-kriteria pengukuran terhadap kelayakan investasi tersebut berupa PBP, NPV, IRR, dan Net B/C Ratio. Untuk menganalisa aspek keuangan dikumpulkan data melalui kuesioner dan analisis laporan keuangan unit usaha beberapa periode terakhir. Data yang diperoleh digunakan sebagai dasar perhitungan untuk menganalisis proyeksi keuangan. Analisis proyeksi keuangan dilakukan dengan metode cashflow. Hasil proyeksi keuangan menjadi dasar perhitungan PBP, NPV, IRR dan Net B/C Ratio.

Menurut Suliyanto (2010), PBP merupakan metode yang digunakan untuk menghitung lamanya periode yang diperlukan untuk mengembalikan uang yang telah diinvestasikan dari aliran kas masuk (proceeds) tahunan yang dihasilkan oleh proyek investasi tersebut. Apabila procceds setiap tahunnya jumlahnya sama maka PBP dari suatu investai dapat dihitung dengan cara membagi jumlah investasi (outlays) dengan proceeds tahunan. Rumus yang digunakan untuk menghitung PBP adalah sebagai berikut :

= ℎ ℎ

(46)

tersebut dinyatakan tidak layak. Metode ini cukup sederhana, sehingga mempunyai kelemahan. Kelemahan utamanya yaitu metode ini tidak memperhatikan konsep nilai waktu dari uang di samping juga tidak memperhatikan aliran kas masuk setelah PBP. Jadi pada umumnya metode ini digunakan sebagai pendukung metode lainnya.

Metode NPV digunakan untuk mengurangi kekurangan-kekurangan yang terdapat pada metode PBP. NPV ini merupakan perbandingan antara nilai sekarang dari aliran kas masuk bersih

(proceeds) dengan nilai sekarang dari biaya pengeluaran suatu investasi (outlays). Oleh karena itu, untuk melakukan perhitungan kelayakan investasi dengan metode NPV diperlukan data aliran kas keluar awal (initial cash outflow), aliran kas masuk bersih di masa yang akan datng (future net cash inflows), dan rate of return minimum yang diinginkan. Menurut Suliyanto (2010), rumus yang digunakan untuk menghitung NPV adalah sebagai berikut :

= 1 + − !

"

#$

Dimana :

CFt = aliran kas pertahun pada periode t I0 = investasi awal pada tahun 0

K = suku bunga (discount rate) Dengan kriteria penilaian:

1. Jika NPV > 0, maka usulan proyek diterima 2. Jika NPV < 0, maka usulan proyek ditolak

3. Jika NPV = 0, nilai perusahaan tetap walau usulan proyek diterima ataupun ditolak.

(47)

! = 1 + %% "

#$

Dimana:

t = tahun ke I0 = nilai investasi awal

n = jumlah tahun CF = arus kas bersih IRR = tingkat bunga yang dicari harganya.

Nilai IRR dapat dicari misalnya dengan coba-coba (trial and error). Kriteria penilaian IRR yaitu jika IRR yang didapat ternyata lebih besar dari rate of return yang ditentukan maka investasi dapat diterima. Rumus IRR untuk interpolasi adalah:

%% = $ − $ & − $ − ' $− '

Dimana:

P1 = tingkat bunga ke-1 C1 = NPV ke-1

P2 = tingkat bunga ke-2 C2 = NPV ke-2

Net B/C Ratio merupakan angka perbandingan antara jumlah

present value yang positif (sebagai pembilang) dengan jumlah present value yang negatif (sebagai penyebut). Net B/C Ratio ini menunjukkan gambaran berapa kali lipat manfaat (benefit) yang diperoleh dari biaya (cost) yang dikeluarkan. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut :

Kriteria :

- Jika Net B/C Ratio > 1, maka proyek layak untuk dilaksanakan. - Jika Net B/C Ratio < 1, maka proyek tidak layak untuk dilaksanakan. - Jika Net B/C Ratio > 1, maka proyek berada dalam keadaan break

(48)

b. Analisis Matrik Faktor Strategi Eksternal

Penilaian eksternal ditujukan untuk mengukur sejauh mana peluang dan ancaman yang dimiliki perusahaan. Menurut Rangkuti (2008) cara-cara menentukan faktor strategi eksternal (EFAS) adalah sebagai berikut:

1) Susunlah dalam kolom 1 (5 sampai dengan 10 peluang dan ancaman

2) Beri bobot masing-masing faktor dalam kolom 2, mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Faktor-faktor tersebut kemungkinan dapat memberikan dampak terhadap faktor strategis.

3) Hitung rating (dalam kolom 3) untuk masing-masing faktor dengan memberikan skala mulai dari 4 sampai dengan 1 berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi perusahaan yang bersangkutan. Pemberian nilai rating untuk faktor peluang bersifat positif (peluang yang makin besar diberi rating 4, tetapi jika peluangnya kecil diberi rating 1). Pemberian nilai rating ancaman adalah kebalikannya, jika nilai ancamannya sangat besar maka ratingnya 1, sebaliknya jika nilai ancamannya sedikit ratingnya 4.

4) Kalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3, untuk memperoleh faktor pembobotan dalam kolom 4. Hasilnya berupa skor pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi mulai dari 4 sampai dengan 1. 5) Jumlahkan skor pembobotan (pada kolom 4), untuk memperoleh total skor

pembobotan.

c. Analisis Matrik Faktor Strategi Internal

Penilaian internal ditujukan untuk mengukur sejauh mana kekuatan dan kelemahan yang dimiliki perusahaan. Menurut Rangkuti (2008) cara-cara menentukan faktor strategi internal (IFAS) adalah sebagai berikut:

1) Tentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan serta kelemahan perusahaan dalam kolom 1.

(49)

3) Hitung rating (dalam kolom 3) untuk masing-masing faktor dengan memberikan skala mulai dari 4 sampai dengan 1 berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi perusahaan yang bersangkutan. Variabel yang bersifat positif (semua variabel yang masuk kategori kekuatan) diberi nilai mulai dari 1 sampai dengan 4 (sangat baik) dengan membandingkannya dengan rata-rata industri atau dengan pesaing utama. Sedangkan variabel yang bersifat negatif, kebalikannya. Contohnya, jika kelemahan perusahaan besar sekali dibandingkan dengan rata-rata industri, nilainya adalah 1, sedangkan jika kelemahan perusahaan di bawah rata-rata industri, nilainya adalah 2.

4) Kalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3, untuk memperoleh faktor pembobotan dalam kolom 4. Hasilnya berupa skor pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi mulai dari 4 sampai dengan 1. 5) Jumlahkan skor pembobotan (pada kolom 4), untuk memperoleh total skor

pembobotan.

d. Analisis SWOT

Analisis ini dapat menggambarkan secara jelas peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan untuk disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Setelah memperoleh gambaran yang jelas mengenai kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dihadapi perusahaan maka selanjutnya dapat dipilih alternatif strategi dalam pengembangan pengolahan pindang ikan.

e. Analisis AHP

AHP adalah metode untuk memecahkan suatu situasi kompleks, tidak terstruktur ke dalam beberapa komponen dalam susunan hirarki, dengan memberi nilai subyektif tentang pentingnya setiap peubah secara relatif dan menetapkan peubah mana yang memiliki prioritas paling tinggi guna mempengaruhi hasil pada situasi tersebut.

Peralatan utama AHP adalah memiliki sebuah hirarki fungsional dengan

(50)

tidak terstruktur dipecahkan ke dalam kelomok-kelompoknya dan diatur menjadi suatu bentuk hirarki. Tahapan penerapan AHP adalah :

1. Menetapkan prioritas unsur dengan membuat perbandingan berpasangan, dengan skala perbandingan yang telah ditetapkan oleh Saaty (1990), seperti dimuat pada Tabel 4. Kebalikan Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka dibanding dengan

(51)

3. Penggunaan Software Expert Choise untuk metode AHP. Expert Choise adalah suatu sistem yang digunakan untuk melakukan analisa, sistematik, dan pertimbangan (justifikasi) dari sebuah evaluasi keputusan yang kompleks. Penggunaan hirarki dalam expert choice bertujuan untuk mengorganisir perkiraan dan intuisi dalam suatu bentuk logis. Pendekatan secara hirarki ini memungkinkan pengambil keputusan untuk menganalisis seluruh pilihan untuk pengambilan keputusan yang efektif.

f. Gabungan Analisis SWOT dan AHP

Analisis strategi pengembangan usaha pengolahan pindang ikan di Kabupaten Bogor dilakukan dengan menggabungkan SWOT dan AHP. Analisis SWOT dimaksudkan untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi pengembangan usaha dengan memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun meminimalkan kelemahan dan ancaman yang ada (Rangkuti, 2008).

Penentuan strategi yang terbaik, dilakukan dengan cara pembobotan antara 0 – 1 dengan memberikan rating untuk masing-masing unsur SWOT dengan skala 1 sampai dengan 4. Nilai 0 berati tidak penting dan nilai 1 berarti sangat penting. Selanjutnya bobot dan rating dikalikan untuk mendapatkan skor. Kemudian unsur-unsur SWOT dihubungkan keterkaitannya dalam bentuk matrik guna memperoleh beberapa alternatif strategi pengembangan unit pengolahan pindang ikan.

Analisis AHP digunakan untuk menetapkan prioritas pengembangan unit pengolahan pindang ikan. Tujuan analisis adalah untuk membantu para pengambil keputusan dalam menentukan strategi yang akan diambil dengan menetapkan prioritas dan membuat keputusan yang terbaik.

(52)

SWOT dan (4) penetapan prioritas strategi dengan analisis AHP. Menurut Budiharsono (2001) tahapan metode gabungan antara SWOT dan AHP adalah : 1. Analisis SWOT dilakukan dengan cara mengdentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi dalam penyusunan kebijakan. Analisis SWOT didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman.

2. Setelah melakukan analisis SWOT, selanjutnya melakukan analisis AHP dengan tahapan sebagai berikut : merinci permasalahan ke dalam komponennya, kemudian mengatur bagian dari komponen-komponen tersebut kedalam bentuk hierarki. Hirarki yang paling atas diturunkan ke dalam beberapa unsur set lainnya, sehingga terdapat unsur-unsur yang spesifik atau unsur-unsur yang dapat dikendalikan dan dicapai dalam situasi konflik (Saaty, 1993)

3.4 Aspek Kajian

Aspek yang dikaji adalah kelayakan usaha dan strategi pengembangan usaha pengolahan pindang ikan skala mikro, kecil dan menengah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Untuk pengembangan usaha pengolahan ikan pindang analisis keuangan sangat diperlukan. Jika usahanya secara keuangan layak, maka perlu dilakukan pengembangan usaha. Dalam pengembangan usaha selain faktor internal juga diperlukan faktor eksternal yang berkaitan dengan pertumbuhan jumlah penduduk, perkiraan permintaan konsumen, perkiraan jenis ikan pindang yang diinginkan oleh konsumen dan perkiraan konsumsi ikan per kapita di wilayah Kabupaten Bogor.

(53)

4.1 Gambaran Umum Kabupaten Bogor

Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah penyangga Ibu Kota Republik Indonesia yaitu Daerah Kedudukan Istimewa Jakarta dan secara geografis terletak pada posisi 6019’ - 6047’ Lintang Selatan dan 10601’ - 1070103’ Bujur Timur. Luas wilayahnya 2.301,95 Km2, yang berbatasan dengan beberapa Kabupaten/Kota, yaitu :

Di Utara : Kota Depok Di Barat : Kabupaten Lebak. Di Barat Daya : Kabupaten Tangerang. Di Timur : Kabupaten Purwakarta. Di Timur Laut : Kabupaten Bekasi. Di Selatan : Kabupaten Sukabumi. Di Tenggara : Kabupaten Cianjur.

Kabupaten Bogor memiliki 40 Kecamatan, 428 Desa/Kelurahan, 3.781 RW dan 15.044 RT. Dari jumlah tersebut 234 desa mempunyai ketinggian sekitar kurang dari 500 m di atas permukaan laut (dpl), 144 Desa diantara 500-700 m dpl dan sisanya 49 desa sekitar lebih dari 700 m dpl (BPS Kabupaten Bogor, 2012)

Kabupaten Bogor dibagi dalam perwilayahan pembangunan yang merupakan dasar penyusunan agenda pembangunan dan rencana strategik (Renstra) setiap bidang dan program pembangunan dalam rangka penyeimbangan pembangunan antar wilayah. Dengan mempertimbangkan karakteristik wilayah dan perkembangan ekonomi wilayah, pola interaksi internal dan eksternal yang didukung oleh jaringan infrastruktur pelayanan baik lokal, maupun regional serta kebijakan pengembangan dan penyebaran penduduk secara seimbang sesuai dengan daya dukung lingkungan, maka wilayah Kabupaten Bogor dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah pembangunan, yaitu wilayah pembangunan Barat, Tengah dan Timur.

(54)

Leuwiliang, Leuwisadeng, Tenjolaya, Cibungbulang, Ciampea, Pamijahan dan Kecamatan Rumpin, dengan luas wilayah sekitar 128.750 Ha. Pembangunan wilayah tengah meliputi 20 (dua puluh) kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Sindur, Parung, Ciseeng, Kemang, Rancabungur, Bojonggede, Tajurhalang, Cibinong, Sukaraja, Dramaga, Cijeruk, Cigombong, Caringin, Ciawi, Megamendung, Cisarua, Citeureup, Babakan Madang, Ciomas dan Kecamatan Tamansari, dengan luas wilayah sekitar 87.552 Ha. Pembangunan wilayah timur meliputi 7 (tujuh) kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Putri, Cileungsi, Klapanunggal, Jonggol, Sukamakmur, Tanjungsari dan Kecamatan Cariu.

Sebagai penyangga Ibukota Negara, Kabupaten Bogor merupakan daerah yang mempunyai pertumbuhan dan perkembangan kawasan industri, manufaktur dan pemukiman penduduk yang sangat pesat. Menurut BPS Kab. Bogor (2012) Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor terus mengalami peningkatan dari 5,09 % (tahun 2010) menjadi 5,70 % (tahun 2011) dan jumlah penduduknya pun juga mengalami peningkatan dari 4.477 ribu jiwa tahun 2009 menjadi 4.771 ribu jiwa tahun 2010 (Gambar 4). Hal ini merupakan peluang bagi perkembangan industri pangan, salah satunya pengolahan pindang ikan.

(55)

Sesuai dengan letak geografisnya yang tidak bersinggungan dengan laut, maka di Kabupaten Bogor berkembang usaha budidaya ikan air tawar, baik berupa pembenihan, kolam air tenang, kolam air deras, minapadi, keramba jaring apung maupun budidaya ikan hias. Selain itu usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan di Kabupaten Bogor berkembang cukup pesat, berdasarkan data dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2011) jumlah usaha pengolahan ikan di Kabupaten Bogor mencapai 75 unit dan 43 diantaranya pengolahan pindang ikan, yang terbagi dalam 4 (empat) skala yaitu mikro, kecil, menengah dan besar. Adapun produk yang dihasilkan berupa ikan asap, ikan pindang, bandeng presto, ebi kering, vallue added (Ekado, Keong mas, Udang gulung, Kaki naga, Siomay, Otak-otak, Bakso ikan, Empek-empek), Abon, Kerupuk kulit ikan, Dendeng lele, fillet Sidat, Ubur-ubur asin, Telur ikan terbang,

baby fish dan lain-lain. Masing-masing produk mempunyai pasar yang berbeda, baik pasar luar negeri maupun dalam negeri (pasar tradisional, pasar modern, memasok restoran dan hotel di Jakarta). Sebagian besar bahan baku didatangkan dari luar daerah seperti Muara Baru, Muara Angke, Palabuhan Ratu, Banyuwangi dan sentra-sentra produksi ikan lainnya di Indonesia.

(56)

Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2012

Gambar 5. Konsumsi ikan di Kabupaten Bogor dan rataan nasional 2009 -2011

4.2 Profil Usaha Pengolahan Pindang Ikan

Pelaku usaha pengolahan pindang ikan di Kabupaten Bogor dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Tahun 2009 pelaku usaha pengolahan pindang ikan berjumlah 31 pelaku usaha, tahun 2010 mengalami peningkatan 16,13% menjadi 36 pelaku usaha dan tahun 2011 masih terus mengalami peningkatan sebesar 19,44% menjadi 43 pelaku usaha. Dilihat dari volume produksi, tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 7,41% jika dibandingkan tahun 2010, namun jika dibandingkan volume tahun 2009 masih mengalami penurunan sebesar 16,95% (Tabel 5). Usaha Pengolahan pindang ikan di Kabupaten Bogor tersebar di 16 Kecamatan yaitu Cibinong, Ciampea, Tenjolaya, Parung, Ciawi, Caringin, Cigudeg, Parung Panjang, Jasinga, Leuwiliang, Cibungbulang, Pamijahan, Citeureup, Jonggol, Cariu dan Tanjungsari (Tabel 6), yang masing-masing mempunyai kapasitas produksi yang berbeda-beda dan berada dalam suatu Desa/kawasan yang sama.

19.36 20.95

22.15

29.08 30.48

31.64

0 5 10 15 20 25 30 35

2009 2010 2011

Kab. Bogor

(57)

Gambar

Gambar 2. Model Manajemen Strategik (Wheelen dan Hunger, 2010)
Tabel 3.    Keuntungan penggunaan metode AHP
Gambar 3. Kerangka pemikiran kajian
Gambar 4.  Jumlah penduduk Kabupaten Bogor berdasarkan sensus penduduk
+7

Referensi

Dokumen terkait

oligosporus UICC 550 untuk memproduksi enzim lipolitik; (2) karakter enzim yang telah dipurifikasi sebagian pada suhu dan pH optimum, serta kestabilan enzim pada

Hasil dari tahap refleksi yang telah dilakukan oleh peneliti dan guru kelas yang mendampingi peneliti ketika peneliti sedang melakukan penelitian pada siklus I

Bahan tambahan adalah bahan yang digunakan dalam proses produksi dan berfungsi meningkatkan mutu produk serta merupakan bagian dari produk akhir.. Bahan tambahan yang

“Untuk menghasilkan Brand Experience , seseorang harus mempunyai pengalaman yang baik dengan suatu merek, sebagian besar dari mereka akan membeli produk atau

Sedangkan tanaman dengan pemaparan lindi artifisial menunjukkan jumlah biomassa tinggi sehingga akan tumbuh lebih baik karena mampu menghasilkan bahan kering

Berdasarkan skor rata-rata kemampuan kerja yakni 4,4 masuk kategori penilaian sangat tinggi yang menunjukkan bahwa responden mengetahui waktu pemupukan yang tepat

Undang undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat i Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran

Variabel yang paling berpengaruh positif dan signifikan adalah antara komitmen organisasi terhadap perilaku kewargaan organisasi, karena karyawan FEB UI memiliki tingkat