ASUMSI DASAR
3. Variabel Diluar Kebijakan yang Mempengaruhi Proses Implementasi a. Kondisi sosio-ekonomi dan teknologi
Dalam hal ini faktor eksternal juga dapat mempengaruhi keberhasilan
suatu kebijakan publik seperti kondisi sosio-ekonomi, dan teknologi yang
berpengaruh dalam pencapaian tujuan. Seperti bagaimana kondisi yang
ditimbulkan dengan adanya kebijakan program tersebut serta bagaimana
pengetahuan masyarakat mengenai teknologi pendukungnya. Dari wawancara
dengan I1, peneliti mendapat sebuah hasil wawancara sebagai berikut :
“BPJS Ketenagakerjaan ini berbasis online, untuk sistem informasi bisa didapatkan dikantor cabang manapun, termasuk jaminan pelayanan kepada peserta.” (Wawancara dengan Kepala Pemasaran Peserta Penerima Upah Kantor BPJS Ketenagakerjaan Cikokol Kota Tangerang, Kamis 17 Desember 2015 pukul 10.26 WIB)
Dari hasil wawancara di atas peneliti dapat mengambil sebuah kesimpulan
semakin memudahkan peserta BPJS Ketenagakerjaan mengakses informasi dan
berita lainnya mengenai program BPJS Ketenagakerjaan.
“Teknologi kita sudah canggih sekarang ini, kita juga sistem baru, baru saja per November 2015 kemarin kita pakai, mungkin kalau sekarang hanya lagi ada pembaruan sistem sampai kurang lebih 6 bulan.”
(Wawancara dengan Kepala Pemasaran Peserta Penerima Upah Kantor BPJS Ketenagakerjaan Kebon Besar Kota Tangerang, Selasa 5 Januari 2016, 10:45 WIB).
Dari wawancara dengan I1 dan I2 tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tidak adanya halangan ataupun masalah dalam informasi dan teknologi yang
digunakan oleh BPJS Ketenagakerjaan dalam proses implementasinya karena
selalu memperbarui teknologi yang digunakan untuk kelancaran dan kemudahan
mengakses informasi mengenai program yang sedang berjalan.
“Pernah, sekali. itu sosialisasinya bulan Januari 2014. yang dibahas dalam sosialisasi tersebut tentang kependukungan BPJS, itu adalah penunjang. Seperti yang di pekerjaan saya namanya jaminan hari tua, kecelakaan kerja, sama jaminan kematian. Untuk yang teknologi saya tidak mengerti, belum pernah cek saldo di hp atau lewat internet”
(Wawancara dengan Staff Keamanan di Bank BJB Ruko Tangcity Tangerang, 28 November 2015)
Dari hasil wawancara di atas, peneliti dapat mengambil sebuah kesimpulan
bahwa sosialisasi yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan bersifat monoton,
yang dimana para pekerjanya sudah mengetahui mengenai dasar dari program
BPJS Ketenagakerjaan.
“Untuk sosialisasi BPJS Ketenagakerjaan selama satu setengah tahun saya kerja disini baru pernah sekali dapat sosialisasi, itu kalau tidak salah bulan November 2014. Sosialisasinya tidak jauh tentang programnya itu, Jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan jaminan kematian”. (Wawancara dengan Karyawan PT. Gajah Tunggal Ika, TbkJumat 27 November 20:39 WIB di Kedai Weeks)
Berdasarkan hasil wawancara di atas, peneliti dapat mengambil sebuah
kesimpulan sementara bahwa sosialisasi yang diterima setelah 10 bulan
berjalannya program BPJS Ketenagakerjaan adalah belum berjalannya koordinasi
yang maksimal antara BPJS Ketenagakerjaan dengan perusahaan tersebut seperti
yang sudah dijelaskan dalam wawancara sebelumnya.
“Selama 13 tahun kerja disini tidak ada sosialisasi dari BPJS Ketenagakerjaan mas, belum pernah. Hanya dari pihak HRD saja yang memberi penjelasan tentang ini itunya. Jadi ibaratnya seperti penyambung lidah dari BPJS Ketenagakerjaan ke Pabrik saya begitu.”
(Wawancara peneliti dengan Staff Keamanan Bank BJB Ruko Tangcity Kota Tangerang, Jumat 27 November 2015 pukul 10:40 WIB)
Dari hasil wawancara di atas peneliti dapat mengambil sebuah kesimpulan
sementara mengenai pihak HRD perusahaan yang memberi penjelasan tentang
program BPJS Ketenagakerjaan. Hal tersebut bisa terjadi jika tidak adanya
kecocokan waktu yang diminta oleh BPJS Ketenagakerjaan untuk memberikan
sosialisasi kepada tenagakerja di perusahaan tersebut sehingga sosialisasinya di
wakilkan kepada HRD untuk memberi penyuluhan.
“Sosialisasi dari BPJS Ketenagakerjaan pernah, baru satu kali. Bulan Agustus tahun kemarin, itu juga sosialisasinya tentang yang sudah pernah kita ketahui beberapanya, seperti menjelaskan programnya, prosesnya, seperti itu. Tidak jauh beda dengan Jamsostek dulu. Kalau teknologi pendukungnya, saya Alhamdulillah mengerti, paham sedikit seperti buat cek saldo kita berapa, bayarnya lewat mana, infonya apa. Sama ini pernah kejadian waktu teman saya mau klaim uang asuransi di kantor BPJSTK, itu sistem komputernya suka offline, sering dan tidak cuma sekali. Jadi ya mau tidak mau kita harus balik lagi kesana besoknya, atau nunggu sampai sistemnya online.” (Wawancara karyawan Auto 2000 Kebon Nanas Kota Tangerang, Selasa, 12 Januari 2016, pukul 12:10 WIB)
Dari hasil wawancara di atas diketahui bahwa sosialisasi yang dilakukan
oleh penyelenggara program BPJS Ketenagakerjaan tidak dilakukan sesegera
mungkin, juga keluhan mengenai sistem jaringan komputer yang digunakan sering
terjadi error.
Berdasarkan beberapa hasil wawancara tersebut, peneliti membandingkan
satu dengan yang lainnya, maka dapat disimpulkan bahwa sebagian tenagakerja
kurang paham mengenai aturan, regulasi atau tata cara program BPJS
Ketenagakerjaan ini karena sosialisasi yang monoton, juga kurang aktifnya tempat
tenagakerja bekerja untuk membantu mensosialisasikan program tersebut.
Kurangnya pemahaman mengenai aturan BPJS Ketenagakerjaan ini merupakan
salah satu hambatan yang sebelumnya telah dijelaskan di atas bahwa, untuk
mengadakan sosialisasi mengenai program dari BPJS Ketenagakerjaan, pihaknya
tidak bisa langsung dengan menentukan hari, waktu dan tempat, semua atas
persetujuan dan ijin dari perusahaan tempat dimana akan dilakukan sosialisasi.
b. Dukungan Publik
Untuk mendorong tingkat keberhasilan suatu implementasi kebijakan
sanngat dibutuhkan adanya sentuhan dari tenagakerja itu sendiri dalam arti
bagaimana partisipasi peserta terhadap proses pelaksanaan program tersebut.
“Untuk semua programnya saya setuju, cuma untuk jangka waktu 10 tahun Jaminan hari tua saya kurang setuju. Masalahnya kenapa harus 10 tahun, dan untuk ukuran tua itu seperti apa dan bagaimana. Harus umur berapa. Kalau saya berfikirnya BPJS Ketenagakerjaan itu untuk investasi uang jangka panjang kedepannya nanti kalau di kerjaan saya ada apa kenapa. Cuma agak keberatan sama yang itu tadi, kenapa harus 10 tahun
jangka waktunya”. (Wawancara dengan Karyawan PT. Gajah Tunggal Ika, Tbk di Kedai Weeks, Jumt 27 November 2015, pukul 20:39 WIB)
Peserta program BPJS Ketenagakerjaan ini dapat dikatakan masih jauh
dari target, karena kalah bersaing dengan BPJS Kesehatan yang jumlahnya
pesertanya melambung jauh. Karena masyarakat pada umumnya lebih
membutuhkan kesehatan jika dibandingkan dengan tingkat keselamatan kerja.
“Kalau saya ini kan buruh, tidak setuju sebenarnya karena dilema, sangat keberatan malah, gaji sudah segininya pakai buat bayar segala macam, memang tidak seberapa, ini baru dipotong buat bayar BPJS, belum dipotong buat bayar yang lain lagi. Ya pokoknya saya tidak setuju kalau semuanya kebijakan dan peraturan di kendalikan sama pemerintah”.
(Wawancara dengan buruh yang tidak menyebutkan tempat dimana bekerja di Kantor BPJS Ketenagakerjaan Kota Tangerang, Jumat 27 November 2015 pukul 10:40 WIB)
Dari wawancara di atas, peneliti dapat menarik sebuah kesimpulan
mengenai dukungan publik bagi para peserta BPJS Ketenagakerjaan,
bahwasannya pembagian premi untuk pembayaran sudah ada bagian persennya.
“Setuju tidak setuju, ini kan program dari pemerintah, sudah ada undang – undangnya juga yang mewajib dan mengharuskan. Jadi kita terpaksa ikut yang seperti ini. Bagus programnya buat nanti pensiun atau hari tua, tetapi kan tidak selamanya kita mau jadi pekerja. Kalau yang mau buka usaha sendiri bagaimana? Nunggu pensiun dulu? Atau kalau mau mengambil uangnya harus kerja terus selama 10 tahun? Itu saja, setuju tidak setuju. Pasti program ini banyak kekurangannya juga”. (Wawancara dengan karyawan Auto 2000 Kebon Nanas Tangerang, Selasa 12 Januari 2016, pukul 12:10 WIB)
Dari hasil wawancara di atas, maka peneliti dapat menarik kesimpulan
kewajiban dari pemerintah untuk mengikuti program dari BPJS Ketenagakerjaan,
juga kurangnya sosialisasi yang di terima sehingga kurang pahamnya pengetahuan
tentang program BPJS Ketenagakerjaan.
Setelah membandingkan hasil wawancara yang satu dengan lainnya, maka
dapat peneliti menarik sebuah kesimpulan sementara, bahwa sebagian dari peserta
sebenarnya merasa merasa terpaksa untuk mengikuti program ini, hanya saja
mungkin kurangnya pemahaman akan prosedural, kurang sosialisasi dari pihak
Dinas Tenaga Kerja dan BPJS Ketenagakerjaan mengenai cara kerja dan lainnya
mengenai BPJS Ketenagakerjaan ini juga kejenuhan peserta yang sebelumnya
sudah memakai Jamsostek namun harus memperbarui data dengan memindah ke
BPJS Ketenagakerjaan.
c. Sikap Dan Sumberdaya Dari Konstituen
Perubahan-perubahan yang hendak dicapai oleh suatu kebijakan publik
sangat akan berhasil apabila di tingkat masyarakat, warga memiliki
sumber-sumber dan sikap yang kondusif terhadap kebijakan yang ditawarkan.
“Saya sebenarnya bingung, dalam artian pelayanannya tidak maksimal, apalagi yang di kelas III, kalau obat – obatan harus ada yang ditebuskan, ada yang harus dibeli karena tidak semuanya gratis. Dibilang antusias tidak juga, karena juga kan sebelumnya sudah pernah merasakan Jamsostek. Sama saja seperti ini, hanya nama sama ada bedanya beberapa”. (Wawancara dengan staf Keamanan Bank BJB Ruko Tangerang City, 28 November 2015 pukul 10:40 WIB)
Dari hasil wawancara di atas maka peneliti dapat menarik sebuah
kurangnya antusias terhadap program BPJS Ketenagakerjaan ini karena
sebelumnya sudah merasakan program yang sebelumnya dari Jamsostek.
“Kalau secara pelayanan saya belum pernah merasakan. Tapi yang ada rekan kerja saya yang kerja disini sudah hampir 20 tahun, dia sakit dalam, ketika dia mengajukan BPJS ketenagakerjaan ini ke rumah sakit, dia minta buat di tempatkan di kelas I, kebetulan di rumah sakit ini kamar kelas itu lagi kosong ruangannya di Rumah Sakit Awal Bros Tangerang, karena kamar kelas itu kosong, dialihkan ke VIP, namanya VIP kan hitungannya kita bayar sendiri, dari obatnya juga tidak semua gratis, ada yang bayarnya juga”. (Wawancara dengan karyawan PT. Gajah Tunggal, Tbk di Kedai Weeks, Jumat 27 November 2015, pukul 20:39 WIB)
Dari hasil wawancara di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa peserta
BPJS Ketenagakerjaan sudah merasa bahwa pelayanan yang di dapatkan dari
pihak rumah sakit kurang baik dan kurang maksimal.
“Itu kalau saya belum pernah, Alhamdulillah. Jangan sampai amit amit. Bukannya apa, yang sakit ya sakit, yang minta persyaratan atau prosedur sana sini yang bikin pusing. Iya kalau ketika kita sakit biayanya gratis semua, ada beberapa yang tidak gratis seperti obat gitu ada yang tidak ditanggung, jadi otomatis kita harus nebus itu obat pakai uang sendiri. Kalau senang atau antusias sama program ini sepertinya tidak, seperti yang tadi sudah saya bilang, dilema. Setuju tidak setuju”. (Wawancara dengan buruh yang tidak menyebutkan tempat dimana bekerja di Kantor BPJS Ketenagakerjaan Cikokol Kota Tangerang, Jumat 27 November 2015, pukul 10:40 WIB)
Dari hasil wawancara di atas tersebut, peneliti dapat menyimpulkan bahwa
sosialisasi yang di terima oleh peserta belum sepenuhnya merata dan paham,
karena seperti yang telah di ketahui oleh informan di atas sebelumnya, biaya
pengobatan keseluruhan di tanggung oleh BPJS Ketenagakerjaan, berapapun
“Fasilitas sama pelayanan tahu sendiri seperti bagaimana. namanya juga program dari pemerintah, sudah banyak juga beritanya bagaimana fasilitas sama pelayanan kalau kita berobat pake asuransi dari program pemerintahan. Kalau dari swasta tidak perlu ditanya mas. Kalau boleh memilih, lebih baik saya tidak ikut, lebih baik ikut di asuransi swasta. Bayarnya mahal juga sebanding sama fasilitas yang di dapat. Antusias atau tidaknya program dan kebijakan dari pemerintah tentang BPJS Ketenagakerjaan tidak terlalu, biasa saja. Dulu juga sudah pernah pakai Jamsostek, hanya saja sekarang namanya berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan, isinya hampir sama saja”. (Wawancara dengan karyawan Auto 2000 Kebon Nanas Tangerang, Selasa 12 Januari 2016, pukul 12:10 WIB)
Dari beberapa pernyataan di atas dapat disimpulkan setelah
membandingkan hasil wawancara satu dengan yang lainnya bahwa kualitas
pelayanan dalam menangani kasus klaim BPJS Ketenagakerjaan masih kurang
maksimal karena beberapa oknum yang menyepelekan pasien BPJS
Ketenagakerjaan, dikarenakan beberapa SDM dari rumah sakit yang sering
mengabaikan, untuk fasilitasnya sendiri sudah lumayan cukup baik dan bagus
karena tergolong modern, karena pihak rumah sakit pun selalu berusaha
memberikan tempat kenyamanan untuk berobat rawat inap meskipun dalam
golongan yang berbeda namun fasilitas di dalam kamar cukup nyaman digunakan.
d. Dukungan Pejabat yang Lebih Tinggi
Lembaga atasan dapat memberikan dukungan terhadap tujuan kebijakan
melalui evaluasi tentang 4 program dari BPJS Ketenagakerjaan dan juga inovasi
tambahan di masa yang akan datang, seperti yang disampaikan oleh I2 sebagai Kepala Pemasaran Peserta Penerima Upah, berikut ini :
“Kalau kejaksaan berarti kita larinya ke masalah hukum, itu kita gunakan untuk perusahaan yang belum mendaftar, menunggak iuran, sama juga dengan Disnaker. Housing Benefit itu rencana yang akan berjalan, baru akan mau. Karena juga kerjasama dengan Bank, yang menentukan KPRnya. Program pastinya ya 4 itu tadi”. (Wawancara dengan Kepala Pemasaran Peserta Penerima Upah Kantor BPJS Ketengakerjaan Kebon Besar Tangerang, Selasa 5 Januari 2016, pukul 10:45 WIB)
Dukungan lain dari pejabat yang lebih tinggi selain yang diungkapkan I2, informan lain I1 menyatakan bahwa dukungan untuk program BPJS Ketenagakerjaan saat ini hanya memfokuskan di 4 program tertera, seperti yang
dijelaskan berikut ini :
“Dukungan dari stakeholder, karena ini program dari pemerintah, semua instansi harus bersinergi untuk menjalankan program BPJS Ketenagakerjaan. Kesejahteraan masyarakat sangat dibutuhkan dari pelaksanaan 4 jaminan sosial di suatu Negara. Tidak saja dalam negeri, dunia internasional pun sangat mendukung perlindungan jaminan sosial tenagakerja di seluruh dunia, karena jaminan sosial merupakan hak asasi pekerja”. (Wawancara dengan Kepala Pemasaran Peserta Penerima Upah Kantor BPJS Ketenagakerjaan Cikokol Kota Tangerang, Kamis 17 Desember 2015, pukul 10:26 WIB)
Dari pihak rumah sakit, I3 menyatakan penjelasan mengenai dukungan pejabat yang lebih tinggi dengan berusaha mempermudah, meringankan beban
pengobatan dirumah sakit, tentunya dalam hal obat – obatan dan yang lainnya,
seperti dibawah ini :
“Bentuk dukungan dari pejabat yang lebih tinggi pastinya seperti dengan berusaha mempermudah, meringankan beban ketika suatu saat nanti terjadi kecelakaan kerja, memperbanyak manfaatlah pokoknya”.
(Wawancara dengan Staff Bagian Penelitian Rumah Sakit Awal Bros Kebon Nanas Kota Tangerang, Senin 11 Januari 2016, pukul 10:45 WIB)
Dari narasumber I5 mengatakan bahwa dukungan yang dilakukan oleh pejabat yang lebih tinggi seperti yang dijelaskan di bawah ini :
“Dukungan pejabat yang lebih tinggi dalam mendukung program ini seperti bertambahnya program dari BPJS Ketenagakerjaan, yang dulu awalnya hanya 3, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan jaminan hari tua, sekarang ditambah dengan jaminan pensiun”.
(Wawancara dengan Kepala Seksi Pengupahan dan Jamsostek Dinas Tenaga Kerja Kota Tangerang, Senin 23 Mei 2016 pukul 10:45 WIB)
Berdasarkan hasil wawancara dengan I4 menjelaskan bentuk dukungan yang diterima dari pemerintah untuk membantu mengawasi pelayanan publik
sebagai berikut :
“Bentuk dukungan konkrit dalam bentuk APBN atau APBD, itu juga dana dari negara, bukan dari pemerintah, juga hubungan kerjasama untuk sama – sama meningkatkan kualitas pelayanan publik”. (Wawancara dengan karyawan Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Propinsi Banten, Rabu 23 Mei 2016 pukul 16:15 WIB).
Dari pernyataan di atas, kesimpulan yang di dapat adalah bahwa dukungan
pejabat yang lebih tinggi baik yang berpengaruh langsung terhadap kebijakan
maupun tidak berpengaruh secara langsung, namun dukungan dari pemegang
kekuasaan atau pejabat penting bagi keberlangsungan pelaksanaan program
tersebut, dalam implementasinya baik evaluasi program, inovasi program
berkelanjutan maupun penetapan regulasi, revisi undang – undang atau peraturan
dan lain sebagainya.
e. Komitmen dan Kualitas Kepemimpinan dari Pejabat Pelaksana
Aparat pelaksana memiliki keterampilan dalam merealisasikan tujuan
mempunyai komitmen dan kerja keras, karena hal ini tidak lepas dari dukungan
Pemerintah, dengan demikian kebijakan para penegaknya dapat berupa make a
real yang kalau perlu maka demi pemerintah tentang Peraturan Pemerintah dapat
segera direalisasikan.
Pemerintah Daerah dapat kerja sama dengan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Rumah Sakit yang berada di daerahnya. Kurang
dari setahun, sudah banyak orang yang merasakan terbantu dengan adanya
jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan
pensiun, meski masih diiringi kritik di sana dan sini. Dari informan I8 mengatakan jika dirinya dan sebagian dari tenagakerja merasa di rugikan dengan adanya
program ini, seperti di bawah ini :
“Saya bingung kalau ditanya kualitas dan kuantitas pemerintah, karena tidak begitu paham. Namanya juga buruh pabrik, tapi kalau menurut saya kurang, karena ada sebagian atau mungkin banyak orang yang merasa dirugikan dengan adanya ini, termasuk saya”. (Wawancara dengan buruh yang tidak menyebutkan tempat dimana bekerja di Kantor BPJS Ketenagakerjaan Cikokol Kota Tangerang, Jumat 27 November 2015 pukul 10:40 WIB).
Pandangan lain mengenai kualitas dan kuantitas pemimpin dari pejabat
pelaksana yang dijelaskan oleh I7, menyebutkan bahwa beliau merasa kurang maksimal, terutama dari undang – undang yang mengatur tentang BPJS
Ketenagakerjaan, berikut penjelasannya dibawah ini :
“Dari yang saya lihat itu kualitas pemerintah dalam mendukung program ini rasanya masih kurang maksimal. Kalau menurut saya harusnya Undang – Undang yang mengatur kebijakan tentang BPJS
Ketenagakerjaan ini harusnya di revisi beberapa. Ada perbaikan sama pembaruan”. (Wawancara dengan Karyawan PT. Gajah Tunggal, Tbk. Jumat 27 November 2015 di Kedai Weeks pukul 20:39 WIB)
Dari Informan I9 menjelaskan kualitas pemimpin dari pejabat pelaksana terutama dari BPJS Ketenagakerjaan yang dinilai sudah cukup bagus dari sisi
pembayaran asuransi yang dilakukan setiap bulannya, seperti dibawah ini :
“Kalau dari kualitas dari BPJS Ketenagakerjaan itu yang bagus baru di sistem pembayarannya, karena bisa bayar online juga seperti di alfa, indomart, transfer”. (Wawancara dengan Karyawan Auto 2000 Kebon Nanas Kota Tangerang, Selasa 12 Januari 2016 pukul 12:10 WIB).
Dari informan I6 menjelaskan komitmen dan kualitas pemimpin dari segi undang – undang, peraturan maupun regulasinya sebagai berikut yang
menyatakan bahwa ketika mengajukan klaim ke Kantor BPJS Ketenagakerjaan
selalu saja ada kendala yang diterima.
“Kalau dari peraturan yang dibuat bagus. Peraturan yang di ajukan ke masyarakat balik lagi ke lapangan. Untuk yang JHT 10 tahun, di Jamsostek dulu 5 tahun 1 bulan bisa cairkan. Terlalu lama kalau menunggu 10 tahun, kalau ada umur, kalau tidak? Kemudian juga pengurusan untuk ahli warisnya juga susah. Cuma kenapa hak kita selalu dipersulit, sedangkan kita setiap bulan bayar dan dipotong. Itukan hak kita. Kemarin saja saya ketika pencairan agak dipersulit, harus konfirmasi dulu ke kantor Jamsostek harus bikin persyaratannya saja kalau salah nama, tanggal, itukan salah orang pusat yang bikin data, kalau kita hanya menyerahkan data diri yang benar sesuai sama KK, Akta Kelahiran KTP dan lain-lainnya. (Wawancara dengan Staf Keamanan Bank BJB Ruko Tangcity Kota Tangerang, 28 November 2015 pukul 10:40 WIB)
Dari pembahasan di atas, idealnya asuransi kecelakaan kerja, kematian,
jaminan hari tua dan jaminan pensiun dapat membantu tenagakerja yang menjadi
peserta untuk mendapatkan layanan kesehatan secara optimal. Sayang, di
Banyak orang yang berharap adanya perbaikan layanan yang lebih optimal dari
semua sisi, karena pihak yang terlibat bukan hanya satu, melainkan beberapa
pihak. Bahwa kehadiran BPJS Ketenagakerjaan yang mengoperasionalkan
Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua dan Jaminan
Pensiun bagi seluruh tenaga kerja di Indonesia diharapkan sebagai proses
reformasi pelayanan kesehatan yang selama ini sangat diskriminatif dan sulit serta
mahal. Beberapa permasalahan terkait rendahnya kualitas pelayanan kesehatan
kepada peserta BPJS Ketenagakerjaan adalah:
a. Banyak pasien yang diminta menunggu untuk menunggu pelayanan rumah sakit. Dengan alasan kekurangan tempat tidur, banyak pasien ditolak
langsung dirawat di Rumah Sakit. Pihak Rumah Sakit menerapkan sistem
kuota bagi peserta BPJS Ketenagakerjaan sehingga banyak pasien yang
harus menunggu berhari-hari untuk mendapat perawatan di Rumah Sakit.
b. Banyak pasien yang masih diminta membayar untuk obat, membayar uang administrasi RS, membayar untuk beli darah, dan sebagainya. Padahal
sesuai ketentuan pasien tidak boleh dibebani lagi membayar kepada Rumah
Sakit maupun ke klinik atapun puskesmas karena semua biaya atau apapun
administrasinya sudah langsung masuk ke dalam klaim asuransi.
c. Pasien diminta pulang ketika sudah melebihi 3 hari dirawat di Rumah Sakit walaupun belum sembuh. Ini jelas-jelas pelanggaran hak pasien untuk
mendapatkan perawatan dan menjadi sehat.
d. Terjadinya rayonisasi rujukan. Kondisi ini sangat menyulitkan pasien karena tidak semua Rumah Sakit memiliki fasilitas medis yang sama.
Kondisi permasalahan ini terjadi akibat rendahnya penegakan hukum. Masih
belum adanya pengawasan langsung kepada rumah sakit. Peraturan Pemerintah
Nomor 49 tahun 2013 tentang Badan Pengawas RS belum dibentuk baik di tingkat
pusat maupun propinsi. Dari beberapa hasil wawancara di atas, peneliti
membandingkan hasil wawancara satu dengan yang lainnya, sehingga penulis
dapat menarik sebuah kesimpulan sementara mengenai komitmen dan kualitas
pemimpin dari pejabat pelaksana, bahwa peserta BPJS Ketenagakerjaan masih
merasa kualitas dari sumber daya manusia pihak penyedia pelayanan kesehatan di
rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS Ketenagakerjaan masih dirasa minim,