• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wacana sebagai Fenomena dan Menguasai Sistem Pemikiran Masyarakat SosialMasyarakat Sosial

Dalam dokumen DOMINASI MILITER AMERIKA DALAM VIDEO GAM (Halaman 45-50)

Konsep mendasar dari sebuah wacana diambil dari bagian sosiologis komunikasi, yaitu ketika sebuah ideologi mampu berinteraksi melalui sebuah bahasa dalam ruang lingkup sosial tertentu. Dalam memahami produksi wacana, A.S Hikam dalam Eriyanto (2012, h. 4) berpendapat bahwa terdapat tiga paradigma dalam menyikapi wacana. Diantaranya terdapat dua paradigma yang digunakan untuk memahami fenomena ini secara mendalam yaitu paradigma interpretatif dan paradigma kritis. Kedua paradigma ini digunakan dalam memahami bagaimana proses komunikasi yang terjadi dalam masyarakat sebagai kumpulan individu yang saling berkomunikasi dan membentuk sebuah keteraturan pola dan menimbulkan fenomena wacana tersebut.

Seluruh individu sebagai peserta wacana disebut sebagai pelaku (Aan, 2013, h. 61). Dalam memahami sebuah teks, individu-individu tersebut akan membentuk sebuah makna yang serasi dan tindakan setelah proses pemahaman tersebut akan menciptakan sebuah keteraturan sosial. Proses keteraturan sosial ini menciptakan sebuah ideologi dalam masyarakat.

Paradigma interpretatif dalam memandang sebuah keteraturan sosial yang tercipta dari sebuah pemaknaan teks, menekan pada subyek yang menciptakan teks tersebut (Eriyanto, 2012, h. 5). Subyek disini adalah individu yang menciptakan sebuah teks yang telah mengarah pada sebuah makna tertentu yang dimaksudkan. Sedangkan dalam paradigma kritis, wacana diungkap lebih dalam lagi dan menyangkut pada sistem kekuasaan dibalik produksi teks dan makna

yang disampaikan. Individu sebagai pemroduksi teks tidak hanya sekedar menciptakan makna dari sebuah teks, namun individu tersebut dalam waktu yang sama sedang melakukan praktek-praktek kekuasaan dan kekuatan yang ada dalam masyarakat (Eriyanto, 2012, h. 6). Perspektif ini melahirkan sebuah model analisis tersendiri disamping wacana sebagai sebuah teori yaitu analisis wacana kritis. Konsep ini ditekankan oleh perpektif wacana kritis oleh Teun A Van Dijk dan Norman Fairclough.

2.8.1 Wacana Kritis Perspektif Teun A. Van Dijk dan Norman Fairclough Analisis wacana kritis merupakan sebuah kajian wacana yang melibatkan dominasi, kekuatan dalam mengendalikan dan sebuah ketidakseimbangan sosial yang diproduksi dan dikonstruksi oleh sekelompok atau individu berkepentingan (Van Dijk, 2003, h. 352). Wacana sendiri merupakan sistem pemikiran yang diinformasikan secara terus menerus sehingga muncul berbagai interpretasi oleh khalayak (Stoddart, 2007, h. 203). Analisis wacana kritis memiliki konsep bahwa wacana merupakan sebuah power (Aan, 2013, h. 64), perspektif ini turut dikemukakan dari pemikiran Van Dijk (1996) dan Fairclough (1995). Van Dijk mengatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan sebuah power yang berkontribusi sebagai timbulnya wacana pada masyarakat yang selanjutnya merupakan bentuk dari sebuah kesatuan narasi yang lengkap (Aan, 2013, h. 64). Sedangkan Fairclough (1996) mengatakan bahwa bahasa merupakan wahana untuk penghantar dominasi kekuatan melalui ideologi-ideologi tertentu.

Analisis wacana kritis pada intinya merupakan kajian yang menganalisis sebuah ideologi dibalik sebuah teks-teks media. Fairclough dalam Aan (2013) mengatakan bahwa bahasa merupakan sebuah praktek kekuasaan. Fairclough memiliki pendapat jika wacana merupakan bentuk dari sebuah pertarungan kekuasaan yang didasari oleh ideologi tertentu melalui sebuah bahasa yang dijadikan wahananya (Aan, 2013, h. 64).

Bahasa menjadi fokus analisis dalam Critical Discouse Analysis (CDA) yang dipahami oleh Fairclough, wacana yang timbul merupakan produk dari bahasa, dua asumsi yang menjadi perdebatan pada CDA perspektif Fairclough adalah bahasa sebagai penyusun sosial atau tersusun oleh social (Titscher, Mayer, Wodak, dan Vetter, 2009, h. 242). Bahasa dalam teks merupakan merupakan sebuah peristiwa yang tersusun dalam teks menurut Fairclough (1995) menjadi teks sebagai tanda bahwa telah terjadi perubahan sosial berkebalikan dengan teks sebagai penyusun sosial yang menganggap bentuk-bentuk bahasa dalam teks yang diproduksi merupakan pemicu terjadinya sebuah perubahan sosial.

Analisis wacana menurut Fairclough (1995) berarti sebuah analisis hubungan antara penggunaan bahasa yang konkret dengan struktur sosial yang ada hingga meluas kepada ranah budaya (Titscher, Mayer, Wodak, dan Vetter, 2009, h. 244). Metodologi mengenai analisis wacana kritis perspektif Fairclough lebih mengarah pada penggunaan linguistik dan dari pemikiran ini tersusun beberapa level untuk mendeskripsikan sebuah wacana.

Sedangkan konsep wacana yang dikemukakan oleh van Dijk (2005) tidak hanya berpusat pada bagaimana bentuk teks-teks tersebut dikonstruksi, namun

proses bagaimana terbentuknya teks hingga dapat menjawab sebuah pertanyaan mengapa bisa terjadi teks semacam itu (Aan, 2013, h. 50). Van Dijk memetakan bahwa dimensi analisis wacana memiliki tiga dimensi yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial (Kuntoro, 2008, h. 46).

Kedua analisis ini memiliki tiga ranah fokus yang sama yaitu fenomena, konteks, dan kognisi, perbedaannya adalah analisis wacana milik Fairclough lebih mengedepankan mengenai teks-teks media yang merupakan sebuah kajian linguistik di mana bahasa merupakan sumber data analisis utama yang digunakan. Kemudian dalam dimensi analisis Fairclough tidak membahas lebih lanjut bagaimana teks itu diskemakan hingga membentuk runtutan yang mengarahkan pada sebuah ideologi.

Pada analisis milik van Dijk terdapat dimensi superstruktur yang melihat proses teks itu diskemakan, urutan-urutan kepentingan menjadi sebuah tolak ukur tersendiri untuk menggiring interpretasi khalayak dalam mengkonsumsi sebuah teks media. Pola pemikiran ini mengarahkan bahwa perspektif van Dijk termasuk pada metode non-linguistik yang tidak hanya memfokuskan pada bentuk bahasa. Metode non-linguistik fokus pada analisis koherensi (Titscher, Mayer, Wodak, dan Vetter, 2009, h. 374). Koherensi wacana merupakan tindakan, aksi, dan peristiwa yang menimbulkan kausalitas tanpa memandang bahasa (Van Dijk, 2008, h. 185).

Beberapa poin yang menjadi sebuah konsep dasar dari analisis wacana kritis adalah indiscursivity dan intertextuality (Wodak & Meyer, 2008, h 21). Praktek diskursif kemudian dimaknai sebagai praktek penerapan hegemoni untuk mengusai pihak lain melalui sebuah kekuatan pengaruh dan persuasif. Dikatakan

lebih lanjut bahwa salah satu bentuk praktek diskursif adalah pemaknaan sebuah teks yang mengutip dari teks yang lain mengarahkan pada makna intertekstualitas. Intertekstualitas menurut Gee (2011) merupakan sebuah makna kata yang dikutip untuk menekankan makna teks sebelumnya. Dengan aktivitas yang mengarahkan pada sebuah teks yang terus diulang-ulang maknanya akan memunculkan sebuah wacana. Porter (2008) menambahkan bahwaintertextualitymemiliki dua ciri yaitu hadirnya pengulangan dan presuposisi teks. Pengulangan teks mengarahkan pada pengertian bahwa wacana memiliki jejak, teks telah memiliki makna yang secara spesifik muncul akibat konteks yang sedang berlaku (Porter, 2006, h. 35). Sedangkan presuposisi adalah makna yang terkandung dalam sebuah teks dapat meluas berbuhubungan dengan pemikiran yang hadir diakibatkan oleh teks (Porter, 2006, h. 35).

Sedangkan dalamDelta Force: Black Hawk Down, asumsi dasar penelitian adalah wacana yang timbul mengenai tema besar superioritas Amerika hadir pada sebuah new media, bahwa bahasa bukan menjadi fokus utama, melainkan dari aksi, tindakan, dan peran tentara Amerika dalam sebuah video game tersebut. Kajian wacana berdasarkan van Dijk memiliki korelasi dengan cara wacana itu timbul sebagai wacana non-linguistik, dalam hal ini video game merupakan sebuah produk yang dinikmati secara visual. Kehadiran intertextuality dalam

game Delta Force: Black Hawk Down adalah pada peran media luar dalam menceritakan dan memberitakan kejadian perang di Somalia dengan Amerika. Pengulangan cerita dan aktivitas langsung dalamgamesebagai bentuk presuposisi mengarahkan pada pemikiran wacana secara kritis.

Proses konstruksi dalam game juga disusun sedemikian rupa ditandai dengan misi setiap stage, hal ini mengarahkan pada bagaimana sebuah wacana dibentuk melalui level skematis. Van Dijk menganggap bahwa proses terbentuknya teks itu merupakan sumber dari pengetahuan dalam mengungkap wacana, sehingga proses juga menjadi sebuah tahapan analisis wacana.

Dalam dokumen DOMINASI MILITER AMERIKA DALAM VIDEO GAM (Halaman 45-50)