• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wacana upakara otonan

I Gde Wayan Soken Bandana Balai Bahasa Provinsi Bal

Data 11. Wacana upakara otonan

“Pinaka upakara unteng sane patut wenten ring upacara pewetonan inggih punika: daksina pinaka upakara sane katur ring Ida Bhatara Surya, punjung putih kuning katur ring para leluhur rajadewata-dewati, lan ketipat genep katur ring Sanghyang Panca Maha Bhuta. Ritatkala pewetonan sane kapertama mangda sampunang lali ngaturang tumpeng putih kuning sane katur ring Ida Sanghyang Kumara. Munggwing upakara sane lianan, inggih punika:suci, peras, lis, byakala, prayas- cita, penyeneng, gebogan, muah sane lianan, wantah pinaka pengenep kemanten’ (informan).

‘Wujud ritual inti atau yang mestinya ada dalam ritual kelahiran adalah: daksina sebagai wujud persembahan kepada Dewa Surya, punjung putih kuning dipersembahkan kepada para leluhur, dan ketipat genep dipersem-

bahan kepada Sanghyang Panca Maha Bhuta. Untuk pewetonan yang per- tama kali hendaknya tidak melupakan persembahan berupa tumpeng putih kuning yang ditujukan kepada Sanghyang Kumara. Sedangkan wujud ritual yang lain, seperti suci, peras, lis, byakala, prayascita, penyeneng, gebogan, dan lain sebagainya adalah sarana pelengkap.’

Berdasarkan data 11 wacana upakara otonan dapat diketahui bahwa seba- gai wujud inti ritual dalam ritual kelahiranadalah daksina, punjung putih kuning, dan ketipat genep, sedangkan wujud ritual yang lainnya, seperti suci, peras, lis, byakala, prayascita, penyeneng, gebogan, dan yang lainnya adalah pelengkap. Kalau

­wetonan yang pertama kali sampai sebelum tanggalnya gigi si bayi, ditambah tumpeng putih kuning untuk Sanghyang Kumara.

Daksina adalah lambang persembahan kepada Dewa Surya atau Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Triyodasasaksi. Sesungguhnya Beliau adalah gabungan ketigabelas unsur Tuhan yang disimbolkan dengan tigabelas aksara suci seperti dijelaskan di depan. Dalam kepercayaan umat Hindu, daksina ber- arti selatan yang dikuasai oleh Dewa Brahma atau Dewa Api. Itulah sebabnya, selain wujud ritual berupa daksina, dalam setiap upacara selalu ada dupa sebagai simbol Dewa Agni yang menyaksikan upacara tersebut.

Punjung putih kuning adalah lambang persembahan kepada para leluhur. Biasanya, wujud tersebut dilengkapi dengan lauk ayam yang dipanggang dan gegecok atau urab ‘sayur-sayuran’. Punjung adalah sebuah wujud ritual berupa nasi. Leluhur sama halnya dengan orang tua yang patut disuguhi makanan seperti saat mereka masih hidup. Dengan wujud ritual yang berupa punjung putih kuning lengkap dengan lauknya, diharapkan Beliau melimpahkan rahmat-Nya, sehingga tidak kekurangan sandang pangan. Warna putih dan kuning mengandung makna kesucian dan kebijaksanaan.

Ketipat genep ‘ketupat genap’ adalah lambang persembahan kepada Sang- hyang Panca Maha Bhuta. Yang dimaksud dengan ketipat genep dalam hal ini bukanlah ketipat sari genep, melainkan lima jenis ketupat yang dihaturkan kepada Sanghyang Panca Maha Bhuta ’lima unsur Tuhan sebagai rajanya para bhuta kala’. Ketipat ’ketupat’ yang dimaksud adalah : ketipat dampul, ketipat galeng, ketipat gangsa, ketipat gong, dan ketipat lepet.

Lebih jelas tentang wujud ritual yang dimaksud bisa dilihat dalam kutipan wacana berikut ini.

“Iki luirnya ngaran Sanghyang Panca Maha Bhuta, Iya mula nyama ajak bareng dumadi,

meraga tri buwana,

dewa iya manusa iya bhuta iya,

Sane pinih duwur Sang Bhuta Anggapati ,

menadi dewa maparab I Ratu Ngurah Tangkeb Langit, labania ketipat dampul mabe taluh brekasem,

segehania kepel putih mabe bawang jahe, Sane nomer kalih Sang Bhuta Mrajapati , menadi dewa maparab I Ratu Wayan Teba, labania ketipat galeng mabe taluh bebek, segehania kepel barak mabe bawang jahe, Sane nomer tiga Sang Bhuta Banaspati, menadi dewa maparab I Ratu Made Jelawung, labania ketipat gangsa mabe taluh,

segehania kepel kuning mabe bawang jahe, Sane nomer pat Sang Bhuta Banaspatiraja ,

menadi dewa maparab I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan, labania ketipat gong mabe taluh bebek maguling,

segehania kepel selem mabe bawang jahe, Sane pinih alit Sang Bhuta Dengen , menadi dewa maparab I Ratu Ketut Petung, labania ketipat lepet mabe taluh,

segehania kepel putih brumbun mabe bawang jahe.” (Suastana, 1991:19—25).

‘Inilah yang disebut Sanghyang Panca Maha Bhuta, Mereka adalah saudara yang diajak lahir,

hidup di tiga alam,

Mereka adalah dewa, bhuta, dan juga manusia, sekarang telah menjadi lima dewa,’

‘Yang sulung bernama Sang Bhuta Anggapati,

menjadi dewa bernama I Ratu Ngurah Tangkeb langit,

wujud ritualnya berupa ketipatdampul dengan lauk telor asin, segehan-nya kepal putih dengan lauk bawang jahe,’

‘Yang nomor dua bernama Sang Bhuta Mrajapati, menjadi dewa bernama IRatu Wayan Teba,

wujud ritualnya berupa ketipat galeng dengan lauk telor itik, segehan-nya kepal merah dengan lauk bawang jahe,’

‘Yang nomor tiga bernama Sang Bhuta Banaspati, menjadi dewa bernama I Ratu Made Jelawung,

wujud ritualnya berupa ketipat gangsa dengan lauk telor, segehan-nya kepal putih dengan lauk bawang jahe,’ ‘Yang nomor empat bernama Sang Bhuta Banaspatiraja, menjadi dewa bernama I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan,

wujud ritualnya berupa ketipat gong dengan lauk telor itik yang dipanggang,

segehan-nya nasi kepal hitam dengan lauk bawang jahe,’ ‘Yang paling kecil bernama Sang Bhuta Dengen,

menjadi dewa bernama I Ratu Ketut Petung,

wujud ritualnya berupa ketipat lepet dengan lauk telor, segehan-nya kepal brumbun dengan lauk bawang jahe.’

Dengan memohon kepada Sanghyang Panca Maha Bhuta, diharapkan si bayi yang diupacarai akan memperoleh bantuan atau anugerah-Nya, sehingga ia bisa selamat dan terbebas dari gangguan-gangguan yang mungkin akan datang.

Tumpeng putih kuning adalah lambang persembahan kepada Sanghyang Kumara. Wujud tumpeng yang berupa krucut sebagai simbol bahwa Beliau adalah puncak kemahakuasaan Tuhan, sama seperti Saraswati, Kala, dan Ghana. Dengan memohon kepada-Nya diharapkan si bayi akan selalu dalam keadaan selamat.

Lis adalah wujud ritual sebagai lambang senjata Dewata Nawa Sanga ‘sembilan dewa penjaga penjuru mata angin’. Hal itu terlihat dari wujudnya yang dibentuk menyerupai senjata para dewa itu, seperti gadha milik Dewa Brahma, cakra milik Dewa Wisnu. Dengan wujud ritual itu, si bayi diharapkan mendapat dari anugerah kesembilan dewa, yaitu Iswara, Mahesora, Brahma, Ludra, Mahadewa, Sangkara, Wisnu, Sambu, dan Siwa. Suci adalah wujud ritual sebagai lambang kesucian Hyang Widhi yang dapat mewujudkan ke- bahagiaan rohani dan kemakmuran ekonomi (Wiana, 2001:218—219).

Wujud ritual berupa peras mengandung makna agar ritual yang dilaksa- nakan perasida ‘berhasil’. Byakala dan prayascita dimaksudkan sebagai pem- bersihan lahiriah dan bathiniah si bayi sebelum diupacarai. Khusus untuk

byakala, belum boleh dilaksanakan pada bayi (Wenten, 1999:22; Putra, 1987:34). Mengapa demikian? Menurut penulis, bayi adalah sosok yang masih suci secara lahir, sehingga wujud ritual yang ditujukan untuk kesuciannya belum di- perlukan.

Penyeneng adalah lambang permohonan agar si bayi selalu terhindar dari segala gangguan. Kata penyeneng berasal dari kata nyeneng’hidup’. Dengan wujud ritual itu si bayi diharapkan akan mendapat umur panjang. Dalam wujud ritual tersebut terdapat porosan sebagai lambang Sanghyang Tri Murthi, kapur sirih agar kulitnya bersih bagai kapur sirih, kapas agar putih halus bagai kapas, beras adalah lambang pangan, benang dimaksudkan sebagai simbol agar memiliki urat dan tulang yang kuat, dan tepung tawar dengan daun dadap sebagai pelengkapnya adalah lambang permohonan agar apa yang diharapkan akan tercapai.

5. Simpulan

Berdasarkan uraian pada subbagian 2, 3, dan 4 dapat disimpulkan bahwa ritual hari lahir adalah hutang moral yang harus dibayar oleh umat Hindu kepada para leluhurnya. Dalam pelaksanaannya perlu permakluman kepada Dewa Surya sebagai saksi dalam ritual tersebut. Sanghyang Panca Maha Bhuta sebagai saudara si bayi hendaknya tidak dilupakan. Begitu pula Sanghyang Kumara sebagai dewa bayi sampai giginya tanggal.

Kajian dalam tulisan ini difokuskan kepada struktur atau bangun kalimat imperatif, wujud ritual, fungsi, dan makna.Berdasarkan analisis ditemukan tiga macam struktur atau bangun kalimat imperatif yang tergolong dalam kalimat imperatif biasa, kalimat imperatif halus, dan imperatif permintaan.

Fungsi wacana ritual kelahiran secara umum ada dua, yaitu sebagai alat komunikasi atau bahasa pengantar ritual dan sebagai alat untuk mengkilatkan pikiran kepada maksud yang dituju. Selain itu, wacana ritual kelahiran memiliki fungsi direktif, emotif atau ekpresif, dan fungsi magis.

Adapun wujud ritual inti dalam ritual kelahiran adalah daksina, punjung putih kuning, dan ketipat genep. Tiap-tiap wujud itu mengandung makna sendiri- sendiri. Makna yang dikaji adalah makna kontekstual atau makna budaya. Secara kontekstual, ketiga wujud ritual itu mengisyaratkan bahwa dalam ritual kelahiran ada tiga hal pokok yang harus diingat, dan ada tiga unsur Tuhan yang harus sembah, yaitu Dewa Matahari/Dewa Surya, para leluhur, dan SanghyangPancaMahaBhuta.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan dkk.2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Alwi, Hasan dan Dendy Sugono. 2011. Politik Bahasa:Rumusan Seminar Politik Bahasa. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

Bandana, IGW. Soken. 2009. Ritual Tolak Bala Masyarakat Bali. Denpasar: Pustaka Larasan.

Bandana, IGW. Soken dkk. 2011. Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali dalam Wacana Seremonial Kematian. Denpasar: Cakra Press.

Cassirer, Ernest. 1987. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei tentang Manusia. (Diindonesiakan oleh Alois A. Nugroho). Jakarta: PT Gramedia. Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama. (Diterjemahkan dari judul

aslinya: Phenomenology of Religion oleh Kelompok Studi Agama Driyarkara). Jakarta: Kanisius.

Duranti, Alessandro. 1997. Linguistik Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.

Foley, William A. 1997. Anthropological linguistics: An Introduction. Oxford: Blackwell Published.

Hymes, Dell. 1964. Language in Culture and Society.New York, Evanton, and London: Harper & Row.

Hooykaas, C. 2002. Surya Sevana (The Way to God of A Balinese Siva Priest). Alih Bahasa oleh: Suariyati. 2002. Surya Sevana (Jalan untuk Mencapai Tuhan dari Pandita dan Umat Hindu). Surabaya: Paramita.

Jacobson, R.1992. “Linguistik dan Bahasa Puitik”(Diterjemahkan oleh Koeshendrati, H.dan N. Yusuf), dalam P. Sudjiman dan A.V. Zoes. Serba- serbi Semiotika. Jakarta: PT Gramedia.

Kamiartha, I Made Agus. 1992. Kamus Bali Indonesia Bidang Istilah Sajen Bali dan Sarananya. Denpasar: Upada Sastra.

Mardiwarsito, L. 1978. Kamus Jawa Kuna (Kawi) –Indonesia. Ende-Flores: Nusa Indah.

Mbete, Aron Meko. 2004. Lingusitik Kebudayaan: Rintisan Konsep dan Beberapa Aspek Kajiannya. (Dalam Bawa, I Wayan dan I Wayan Cika (penyunting): Bahasa dalam Perspektif Kebudayaan). Denpasar: Universitas Udayana. Mulyani, Yeni Supriatin dkk. 2004. Struktur dan Pemarkah Kalimat Imperatif Sajak-

Sajak Keagamaan Tahun 1930-an. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Palmer, Gary B. 1996. Toward A Theory Of Cultural Linguistics. USA: The University of Texas Press.

Putra, Ny. I Gusti Agung Mas. 1987. Upacara Manusa Yadnya. Jakarta: Ny. I Gusti Agung Mas Putra.

Riana, I Ketut. 2003. “Linguistik Budaya: Kedudukan dan Ranah Pengkajiannya”. Dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Linguistik Budaya pada Fakultas Sastra Unud. Denpasar: Universitas Udayana.

Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik:Antropologi Lingusitik, Linguistik Antropologi. Medan: Poda.

Suarjaya, I Wayan, dkk. 2008. Panca Yadnya. Denpasar: Widya Dharma. Suastana, I Made. 1991. “Kandapatsari”. Tabanan.

Suparlan, Y.B. 1988. Kamus Kawi Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.

Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik Bagian Pertama:Ke Arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Warna, I Wayan. 1991. Kamus Bali-Indonesia. Denpasar: Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Dati I Bali.

Wenten. M. 1999. Tetandingan Banten Manusa Yadnya. Singaraja: Toko Buku Indra Jaya.

Wiana, I Ketut. 2001. Makna Upacara Yadnya dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.

Lampiran Data Wacana Ritual Hari Lahir

Data 2. Menggunting rambut di depan “Om Sang Sadya ya namah,

hilanganing papa klesa pataka”.

‘Ya Tuhan sebagai Sadyojata yang dilambangkan dengan aksara Sang,

hilangkanlah segala dosa, cacat (dan) bencana’. Data 3. Menggunting rambut di sebelah kanan

“Om Bang Bama Siwaya namah, hilanganing lara roga wigna”.

‘Ya Tuhan sebagai Bamadewa yang dilambangkan dengan aksara Bang,

hilangkanlah segala penyakit (dan) halangan’. Data 4. Menggunting rambut di belakang

“Om Tang Tatpurusaya namah, hilanganing gegodan satru musuh”.

Ya Tuhan sebagai Tatpurusa yang dilambangkan dengan aksara Tang,

Data 5. Menggunting rambut di sebelah kiri “Om Ang Aghoraya namah,

dohaken gering sasab merana”.

‘Ya Tuhan sebagai Aghora yang dilambangkan dengan aksara Ang,

jauhkanlah dari segala virus (dan) mara bahaya’. Data 6. Menggunting rambut di tengah

“Om Ing Isanaya namah,

hilanganing sebel kandel sang pinetik” (Putra, 1987:36); (Panca Yadnya, 2005:224—225)

Data 7. Saa untuk Dewa Surya

“Singgih Ratu Bhatara Surya sesuhunan titiyang,

ampurayang titiyang kadi purun ngulgul linggih palungguh Bhatara. mangda ledang I Ratu ngrawuhin puniki titiyang madruwe gawe. mangkin pewetonan ipun damuh druwe pianak titiyang.

puniki wenten aturan titiyang marupa pras daksina, saka sida antuk titiyang maturan.

durusang palungguh Bhatara pada amuktisari. risampun amuktisari,

mangda ledang I Ratu nyaksinin.

titiyang jagi maturan ring Ida bhatara-bhatarin titiyang, minakadi Ida Sanghyang Panca Maha Bhuta,

miwah Ida para Dewata-Dewati, leluhur titiyang sareng sami.

inggih wantah asapunika atur piuning titiyang. yaning wenten kirang utawi salit atur titiyang, titiyang nunas geng rna sinampura. (Informan).

‘Ya Tuhan sebagai Dewa Matahari sesembahan hamba.

maafkanlah atas kelancangan hamba yang telah berani mengusik ketenangan-Mu.

sudi kiranya Engkau datang dalam upacara yang hamba gelar. saat ini adalah upacara hari kelahiran anak hamba.

ini hamba haturkan persembahan berupa pras daksina, semampu yang hamba haturkan,

silakan Engkau nikmati bersama. setelah menikmati,

hamba mohon perkenan-Mu sebagai saksi.

yaitu yang disebut sebagai Sanghyang Panca Maha Bhuta, dan Beliau yang disebut Dewata-Dewati,

para leluhur semuanya,

ya Tuhan hanya itu yang ingin hamba sampaikan,

kalau ada yang kurang atau kesalahan hamba berkata-kata, hamba mohon maaf yang sebesar-besarnya.’

Data 8. Saa untuk SanghyangPancaMahaBhuta “Singgih Ratu Sanghyang Panca Maha Bhuta, titiyang nunas ledang I Ratu sareng sami rawuh. mangkin pewetonan ipun damuh druwe pianak titiyang. puniki wenten aturan titiyang marupa ketipat genep, saka sida antuk titiyang maturan.

durusang palungguh Bhatara pada amuktisari. risampun amuktisari,

elingang I Ratu masemeton sarenga pianak titiyang. mangda ledang sareng sami mapaica kesidian. mangda ledang ngemong ngemban raren tityang. mangda ipun selamet dirghayusa ngantos kawekasan. inggih wantah asapunika atur piuning titiyang, yaning wenten kirang utawi salit atur titiyang, titiyang nunas geng rna sinampura. (Informan)

‘Hormatku kepada-Mu yang disebut SanghyangPancaMahaBhuta. hamba mohon perkenan-Mu semua untuk datang.

sekarang adalah hari kelahiran anak hamba. ini hamba persembahkan ketupat lengkap, semampu yang hamba haturkan.

silakan Engkau nikmati bersama. setelah menikmati,

ingatlah bahwa Engkau bersaudara dengan anak hamba. sudilah Engkau menganugerahkan kekuatan.

sudilah Engkau menjaga anak hamba. agar dia selamat panjang umur sampai nanti. ya Tuhan hanya itu yang ingin hamba sampaikan.

kalau ada yang kurang atau kesalahan hamba berkata-kata, hamba mohon maaf yang sebesar-besarnya.’

Data 9. Saa untuk Leluhur

“Singgih Ratu Leluhur Rajadewata-Dewatin titiyang, mangda ledang I Ratu sareng sami rawuh.

mangkin pewetonan ipun damuh druwe pianak titiyang. puniki wenten aturan titiyang marupa punjung putih kuning. durusang palungguh Bhatara pada amuktisari.

risampun amuktisari,

mangda ledang sareng sami mapaica kesidian. mangda ledang ngemong ngemban raren tityang. mangda ipun nenten kirang sandang pangan kinum. mangda ipun selamet dirghayusa ngantos kawekasan. inggih wantah asapunika atur piuning titiyang. yaning wenten kirang utawi salit atur titiyang, titiyang nunas geng rna sinampura. (Informan) ‘Hormat kepada-Mu para leluhurku,

hamba mohon perkenan-Mu semua untuk datang. sekarang adalah hari kelahiran anak hamba. ini hamba persembahkan punjung putih kuning. silakan Engkau nikmati bersama.

setelah menikmati,

sudilah Engkau menganugerahkan kekuatan. sudilah Engkau menjaga anak hamba.

agar dia tidak kekurangan sandang pangan dan minuman, agar dia selamat panjang umur sampai nanti,

ya Tuhan hanya itu yang ingin hamba sampaikan.

kalau ada yang kurang atau kesalahan hamba berkata-kata, hamba mohon maaf yang sebesar-besarnya.’

Data 10. Saa untuk Segehan

“Singgih Ratu Sang Bhuta Raja, Kala Raja, Yaksa Raja, Sang Bhuta Bala, Kala Bala, Yaksa Bala,

Sang Catur Sanak Anggapati, Mrajapati, Banaspati, Banaspatiraja, puniki titiyang ngaturang segehan wong-wongan mabe bawang jahe miwah jejeron matah,

segehan pulangan, segehan agung.

mangda ledang sareng sami pada anadah saji.

risampun anadah saji mangda ledang mapaica kesidian, keselametan dirghayusa ring sang inotonan.

asapunika pinunas titiyang.

kirang langkung titiyang nunas pangampura,

‘Hormatku kepada-Mu wahai rajanya para Bhuta, Kala, dan Yaksa, pengikutnya para Bhuta, Kala, dan Yaksa,

saudara empat, yaitu Anggapati, Mrajapati, Banaspati, Banaspatiraja, ini hamba persembahkan segehan wong-wongan

dengan lauk bawang jahe dan jeroan mentah, segehan pulangan, segehan agung.

bergembiralah semua sambil menikmati suguhan. setelah itu sudilah menganugerahkan kekuatan, keselamatan umur panjang kepada yang diupacarai, demikianlah permohonan hamba,

kurang lebihnya hamba mohon maaf.

silakan kembali ke asal-Mu masing-masing.’ Data 11. Mantra untuk Dewa Matahari

“Ong Adityasya param jyoti, Rakta teja namo’stute, Sweta pangkaja madhya-stha, Bhaskaraya namo’stute

Om Hram Hrim Sah Parama Siwa Adityaya namah”

‘Oh Aditya yang memiliki cahaya yang maha cemerlang, Engkau yang memiliki warna merah yang megah, kami bersujud kepada-Mu,

Oh Engkau yang bersemayam di tengah-tengah bunga teratai, kami bersujud kepada-Mu oh pembuat kemegahan,

kami bersujud kepada-Mu yang dilambangkan dengan aksara HramHrim dan Sah, kami bersujud kepada-Mu Siwa Raditya (Dewa Matahari) yang tertinggi’ (Hooykaas, 2002:159).

Inti Sari

Kajian ini berisi paparan hasil penelitian tentang pemakaian disfemis- me dalam surat kabar di Yogyakarta. Disfemisme adalah penggunaan kata-kata bernuansa kasar yang biasanya dipakai untuk menunjukkan kejengkelan, rasa tidak senang, penghinaan dan ketidakhormatan, atau sebagai umpatan dan julukan kasar. Pembahasan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui referensi apa sajakah yang diguna- kan dalam pemakaian disfemisme pada surat kabar yang terbit di Yogyakarta. Data diambil dari wacana berita dan opini surat kabar Kedaulatan Rakyat, Bernas, Harian Jogja, Tribun Jogja, dan Koran Merapi. Dengan berlandaskan pada teori Allan dan Burridge tentang referensi disfemisme diperoleh hasil bahwa referensi disfemisme dalam surat kabar di Yogyakarta meliputi hal-hal yang berkaitan dengan istilah atau ungkapan yang menunjukkan ketidaksenangan, penghinaan, dan ketidakhormatan terhadap karakter atau sifat buruk seseorang/ organisasi/lembaga, pelaku/tindak pidana (kriminal/kejahatan); kri- tik terhadap kondisi politik, sosial, ekonomi yang timpang; perban- dingan sifat/perilaku buruk dengan binatang, penyakit, dan makhluk halus; kematian tragis; aktivitas seksual yang menyimpang; dan istilah atau ungkapan yang digunakan untuk melebih-lebihkan peristiwa dalam pertandingan olahraga.

Kata kunci: disfemisme, referensi, surat kabar Abstract

The study contains the result of dysphemism in Yogyakarta newspaper. Dysphemism is the use of words which has rude nuance that are usually used to show displeasure, irritation, humiliation and disrespect, or as curse and rude epithet. The aim of discussion is to find out what is the reference of dysphemism in Yogyakarta newspaper. The data gained from news discourse